Di samping David, Laura nampak gugup. Degup jantungnya berpacu dengan cepat, sejurus dengan tatapan sang suami.
Tahu istri keponakannya ketakutan, David mencoba berbicara. “Kamu sungguh suami kejam. Apa tidak ada pelayan di sini sehingga menyuruh istri mencuci piring?” katanya dengan nada sinis. Rendra tampak terkejut dan memucat. Memang selama ini dia menyuruh Laura mengerjakan pekerjaan rumah. Dan ia punya alasan sendiri untuk itu. “Aku hanya ingin istriku yang mengurus semua paman. Apakah salah?” Tatapan Rendra kini mengarah pada sang paman. “Tidak salah. Tapi keluarga kita memiliki uang berlimpah, membayar ratusan pelayan pun sanggup, kenapa harus menyiksa istri?” Tangan David bersedekap di depan dada. Matanya memicing curiga. Mengapa keponakannya memperlakukan Laura seperti pembantu? Rumah dua lantai bahkan hanya mempekerjakan satu pelayan. Apa tujuan keponakannya itu sebenarnya? “Aku tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga kalian. Hanya saja aku sanggup menggaji pelayan, jadi mana mungkin aku mempekerjakan keluargaku sendiri.” Kemudian David pergi meninggalkan Rendra dan Laura di dapur. Selepas kepergian David, Rendra meminta Laura kembali ke kamar. “Kembalilah ke kamar, Sayang,” katanya. Di ruang tamu, mereka diskusi mengenai rencana perusahaan dan melupakan sejenak masalah di dapur tadi. Perusahaan akan mengeluarkan perhiasan baru dalam waktu dekat. Oleh karenanya, David meminta Rendra untuk mengadakan pameran. “Setidaknya, kita perlu sepuluh desain perhiasan terbaru,” kata David. “Akan aku atur paman. Dua minggu lagi semua desain perhiasan itu akan Monica selesaikan,” sahut Rendra. Mendengar itu, David tersenyum sinis. Setahunya Monica tidak memiliki keahlian dalam mendesain perhiasan. Tapi kenapa Rendra bilang kalau semua akan diselesaikan wanita itu? Entah apa lagi yang Rendra sembunyikan darinya. Setelah pembahasan mereka selesai, Rendra pergi ke kamar. Dia memeluk Laura yang tengah berbaring di tempat tidur. “Sayang, maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku sangat senang melihat wanita yang pintar mengurus…” Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Laura membalikkan badan. “Sst, jangan meminta maaf, Mas. Pekerjaan rumah adalah pekerjaan seorang istri, jadi kamu tidak salah memintaku mengurus rumah,” kata Laura sambil menyilangkan telunjuk di bibir suaminya. Rendra lantas memeluk Laura kembali. “Aku sangat mencintaimu, Sayang.” Mendengar kalimat cinta dari suaminya, hati Laura terasa perih. Dia sudah berkhianat. Apa pantas dirinya mendapatkan cinta sebesar itu dari suaminya? Sementara…. Ah, sudahlah. Di atas tempat tidur, Renda dan Laura asyik mengobrol dan bercanda layaknya sepasang suami istri yang harmonis. Hingga terdengar bunyi pesan masuk dari ponsel Rendra. Ting! Rendra terlihat panik saat membaca pesan di ponselnya. “Sayang, maaf aku harus pergi.” Rendra bangkit dan buru-buru mengambil jasnya. Melihat sang suami, Laura ikut panik. “Ada apa, Mas?” tanyanya. “Tiba-tiba ada urusan mendesak,” jawab Rendra singkat. Laura menghela nafas panjang. Lagi-lagi Rendra membiarkannya sendirian demi urusan yang setiap hari datang tanpa ada hentinya. Cup! Rendra mengecup kening Laura. “Baik-baik di rumah ya,” katanya lalu keluar. Netra Laura terus menatap pintu yang sedikit terbuka. Seperti inilah sikap Rendra, selalu meninggalkannya dengan alasan yang sama. Wanita itu kembali membaringkan tubuh, air matanya mengalir sejurus dengan sakit hatinya. Bukan seperti ini pernikahan yang dia inginkan…. Setiap hari selalu ada alasan untuk pergi. Hampir setiap malam Laura tidak sendiri. Saat pikiran Laura melayang, dia merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya. “Mas, kamu balik lagi?” Laura buru-buru menghapus air matanya, kemudian memasang senyuman. Ternyata pikirannya salah, Rendra pasti tidak tega meninggalkannya sendirian malam ini. Namun, senyuman manisnya perlahan menghilang saat membalikkan badan. Bukan Rendra yang memeluknya, melainkan David. “Paman! Apa yang kamu lakukan?” Laura segera melepaskan tubuhnya dari David. David tersenyum menatap Laura yang panik dan menjauh. “Tentu saja minta jatah,” jawabnya santai. “Jatah apa?!” sentak Laura dengan nada yang cukup tinggi. David tidak tersulut. “Oh, jangan pura-pura bodoh, Laura. Kamu mengerti apa yang aku mau.” Rahang kecil Laura tampak mengeras mendengar ucapan David. Apakah pria ini tidak tahu malu?! Wanita itu menggeleng, tapi David tampaknya tidak peduli. “Atau kamu mau Rendra tahu hubungan kita?” Lagi-lagi ancaman itu yang David gunakan untuk menjeratnya. Hati Laura mencelos. “Jangan, Paman….” Sepasang matanya yang berkaca-kaca menatap David sambil memohon. “Aku benci tatapanmu itu!” ujar David tiba-tiba. Tanpa aba-aba, dia mengungkung tubuh Laura hingga berbaring di kasur, lalu menciumnya dengan kasar. Laura memberontak. Ia berusaha mendorong dada bidang David yang menekan tubuhnya. Tangan pria itu menjelajahi kulitnya dengan sentuhan-sentuhan panas. Kepala Laura terasa pening menerima perlakuan itu. Tubuhnya pun mulai berkhianat. Bibir yang semula menutup rapat mulai terbuka. Tangan yang sedari tadi mendorong tubuh David kini mulai tenang. Bahkan bibirnya terus mendesah saat sentuhan David semakin intens. “Mendesahlah, Sayang,” bisiknya sambil menggigit kecil daun telinga sang wanita. Keduanya hanyut dalam rasa nikmat, melupakan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Ah, Paman….” desah Laura tanpa bisa ditahan. Hal itu membuat David semakin bersemangat untuk memompa tubuhnya lebih cepat. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatkan pelepasan masing-masing. Jantung Laura berdentum dengan cepat saat merasakan kenikmatan itu sekali lagi. Sekujur tubuhnya terasa panas. Namun, kenyataan langsung mengguyurnya saat itu juga. Ini salah. Mereka tidak seharusnya melakukan ini. “Paman, kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Jadi… keluarlah,” pinta Laura dengan suara bergetar. Sungguh, ia merasa hina karena terjebak permainan paman suaminya sendiri. “Jangan buru-buru,” ujar David santai. “Lagipula Rendra tidak pulang malam ini.” David malah memejamkan mata. “Paman!” Wanita itu semakin kesal dengan David. Apa reaksi Rendra nanti jika masuk kamar lalu mendapati mereka telanjang seperti ini? Laura segera memakai pakaiannya. Dia mendorong tubuh David untuk turun dari tempat tidur. “Kumohon, Paman, jangan buat aku dalam masalah,” pintanya, terdengar begitu putus asa. Tatapan Laura membuat David tak tega. Dia kemudian memakai pakaiannya kembali. “Aku tidak membuatmu bermasalah. Justru aku ingin menyelamatkan kamu, Laura!” Laura menatap pria itu bingung. Menyelamatkan katanya? Mana ada menyelamatkan dengan cara seperti ini! Lagipula, dia dan Rendra baik-baik saja. Kenapa harus diselamatkan? “Memangnya aku kenapa sampai Paman ingin menyelamatkan aku?” Tatapan sinis Laura terlempar ke David. David menaikkan dagu Laura, “Kamu ingin tahu?” tanyanya dengan nada seolah menantang. Laura mengangguk pelan. David tersenyum miring. “Besok datang ke kantor, akan aku tunjukkan sesuatu padamu.”David gugup sendiri mendengar ucapan keponakannya itu. Dia pun berpikir keras Mencari Alasan apa yang pas agar Laura percaya. “Itu… Aku tahu dari Rendra.” Kalimat itulah yang dia dapat. Laura tersenyum memang renda sama tahu tentang dirinya meskipun suaminya itu telah menghianatinya. Senyuman perlahan menghilang digantikan oleh raut wajah yang masam. “Kenapa?” David menatap Laura. “Aku heran dengan Mas Rendra paman di sisi lain dia begitu memperdulikan aku dan menyayangiku dengan segenap hatinya tapi disisi lain dia juga mengkhianati aku. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?”Ungkapan hati Laura sontak membuat David kesal, menyesal dia mengharumkan nama Rendra di hadapan Laura, selain itu dia juga kesal dengan Laura yang mau saja dibodohi oleh Rendra. “Bodoh.” Satu kata pedas keluar dari mulut David. Mendengar itu Laura menjadi kesal selalu saja David mengetainya dengan kata itu. “Memang aku bodoh jadi jangan dekat-dekat denganku paman atau kamu akan ketularan.” Cicitnya sambil
Sepanjang malam David menjaga Laura, dia terus memeluk wanita itu seakan ingin seperti ini sepanjang hari. Ada rasa sesal di hatinya kenapa dulu… Ah, semua sudah terjadi yang terpenting saat ini dia selalu ada untuk Laura, meskipun dia tahu sedikit banyak Laura membencinya. Mentari datang menyapa, sinar matahari yang menembus celah gorden membuat tidur wanita itu terusik. "Sudah pagi." Dalam keadaan terpejam Laura menggumam. Mata Laura sontak melotot dan bergegas bangun, tubuhnya terasa sangat lelah mungkin karena semalam David menggempurnya habis-habisan. Melihat seorang disampingnya kekesalan Laura muncul kembali, meskipun semalam dia juga menikmati tapi kalau David tidak memaksanya percintaan panas mereka tidak akan terjadi. “Bajingan.” Kaki Laura menendang tubuh yang membelakanginya. Dia meluapkan amarahnya untuk semalam dan untuk pagi ini, hari sudah siang sementara dia masih berada di kamar David, entah bagaimana dia menjawab pertanyaan Rendra nanti. “Kamu apa-apaan
Rendra yang curiga memutar netranya, sedangkan dari bawah meja David memberikan ponselnya kepada Laura. “Ah iya tadi Paman ke sini dia mencarimu dan ponselnya ketinggalan.” Jelas Laura sembari menunjukkan ponsel David. "Ah begitu." Untunglah pria itu percaya, dia mengambil ponsel David dan hendak mengembalikannya. Setelah Rendra keluar Laura juga meminta David keluar. "Pergilah Paman, Mas Rendra mencarimu untuk mengembalikan ponsel jangan sampai dia kemari lagi." Laura sungguh kesal dengan David yang terus membahayakan dirinya. “Baiklah aku tunggu di kamar, kalau kamu tidak datang maka aku yang pergi ke kamarmu!” Lagi-lagi pria itu mengancamnya, entah apa yang David mau sebenarnya. Dalam keadaan yang seperti ini Laura sudah tidak fokus mendesain, pikirannya kacau karena ucapan David. Dia serba bingung, “Arrggg David kenapa kamu selalu mengusikku!” Di luar, Rendra berpapasan dengan David. Dia nampak mengerutkan alis, sedari tadi muter-muter mencari pamannya tak tau
Setelah Rendra pergi, Laura buru-buru melepas pelukannya namun David menahannya. “Paman!” Protes Laura. Pria itu tertawa, melihat keponakannya judes begini dia semakin tertantang. “Jangan lupa upah menyembunyikanmu tadi.” Bisiknya. Bibir pria itu menggigit kecil daun telinga Laura dan Laura merinding dibuatnya. Laura tak menggubris ucapan David, dia menyambar tasnya kemudian pulang. Malam itu Rendra pulang dengan membawa bunga mawar untuk Laura, dia juga membawa setumpuk berkas yang akan ditunjukkan pada sang istri. “Laura Sayang.” Rendra mendekat bibirnya hendak mengecup pipi Laura tapi Laura segera menghindar. “Maaf Mas aku pilek.” Alasan Laura saja. Rendra tersenyum kemudian mengelus rambut sang istri. “Sudah minum obat? Jangan sakit-sakitan ya.” Sok perhatian padahal dia tidak ingin Laura menyusahkannya saja. Wanita itu mengangguk, siapa sangka tutur lembut penuh cinta itu hanyalah kamuflase. “Ini bunga untuk kamu.” Bunga mawar cantik berada di hadapannya. Setelah itu
Apa sebenarnya yang ingin David tunjukkan padanya? Kenapa harus ke kantor? Tepat pukul sebelas siang, Laura datang ke kantor, tanpa lapor ke resepsionis wanita itu langsung saja naik ke atas. Setibanya di lantai paling atas gedung perkantoran Laura menjadi bingung pasalnya di depannya kini ada dua ruang CEO, entah dimana ruangan milik David. “Ruangan Paman yang sebelah mana?” Kepalanya menoleh kiri dan kanan menerka-nerka. Hingga salah satu ruangan itu terbuka, seseorang baru saja keluar dari dalam. Sekilas dia melihat David, lalu wanita itu melangkah masuk ke dalam ruangan. “Paman.” Suara lembutnya mencuat yang diiringi langkah menuju meja kerja sang Paman. “Aku kira kamu tidak datang.” David bangkit dari kursi kebesarannya, mengajak Laura untuk duduk di sofa. Netra wanita itu memutar, ruangan David sangat estetik. Siapa yang mendesainnya? “Apa yang ingin kamu tunjukkan paman?” Tanya Laura. Tatapannya mengarah ke David yang kini duduk di sampingnya. “Santai Sayang, s
Pagi itu, setelah membuka mata, Laura tak mendapati Rendra di sampingnya.“Ternyata apa yang dikatakan Paman semalam benar, Mas Rendra tidak pulang,” gumam Laura murung. Baru saja dia hendak bangkit, terdengar suara pintu terbuka. Rendra berjalan masuk kemudian duduk di sofa. “Sayang, kamu baru bangun?” tanya pria itu. Netra Rendra memutar melihat tempat tidur yang sedikit acak-acakan. “Kamu semalam habis ngapain saja, kenapa tempat tidur berantakan begitu?” Sontak Laura memelototkan mata. Dia tidak menyadari hal itu. Netranya turun memutar melihat tempat tidurnya. Wanita itu menggigit bibir, berusaha memutar otak untuk mencari alasan agar tidak membuat Rendra curiga. “Itu Mas… semalam aku kesal sehingga sedikit tantrum,” cicitnya sambil menatap Rendra takut-takut. Pria itu menghela nafas, kemudian duduk di samping sang istri. “Sayang, aku kerja demi kamu, demi keluarga kita. Tolong mengertilah,” kata Rendra lembut. “Jangan marah ya…” Tangan Rendra mengelus pipi sang istri.