Rendra yang curiga memutar netranya, sedangkan
dari bawah meja David memberikan ponselnya kepada Laura. “Ah iya tadi Paman ke sini dia mencarimu dan ponselnya ketinggalan.” Jelas Laura sembari menunjukkan ponsel David. "Ah begitu." Untunglah pria itu percaya, dia mengambil ponsel David dan hendak mengembalikannya. Setelah Rendra keluar Laura juga meminta David keluar. "Pergilah Paman, Mas Rendra mencarimu untuk mengembalikan ponsel jangan sampai dia kemari lagi." Laura sungguh kesal dengan David yang terus membahayakan dirinya. “Baiklah aku tunggu di kamar, kalau kamu tidak datang maka aku yang pergi ke kamarmu!” Lagi-lagi pria itu mengancamnya, entah apa yang David mau sebenarnya. Dalam keadaan yang seperti ini Laura sudah tidak fokus mendesain, pikirannya kacau karena ucapan David. Dia serba bingung, “Arrggg David kenapa kamu selalu mengusikku!” Di luar, Rendra berpapasan dengan David. Dia nampak mengerutkan alis, sedari tadi muter-muter mencari pamannya tak taunya malah berpapasan di samping ruang kerjanya. “Kamu dari mana paman? aku mencarimu kemana-mana.” Tanya Rendra. “Dari sana,” jawab David sambil menunjuk ruang kerja Rendra. Pria itu menatap Pamannya lekat, tadi dia juga dari sana tapi tak mendapati David. Apa jangan-jangan David tadi memang berada di ruangan kerjanya bersama Laura? “Aku mencari ponselku.” Sambungnya. Rendra tertawa, dia terlalu berpikiran yang macam-macam tentang pamannya. “Ah maaf Paman, ini ponselnya aku bawa.” Dia menyodorkan ponsel Pamannya. Setelah memberikan ponsel David, Rendra masuk ke dalam kamarnya begitu pula dengan David. Sesaat kemudian Laura keluar dari ruang kerja suaminya, dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanya besok. Kini Laura berdiri tepat di antara kamarnya dan kamar David. “Dia bingung harus masuk kemana dulu.” Berpikir sejenak akhirnya Laura memutuskan masuk ke dalam kamar David dulu. Dia akan menyelesaikan urusannya dengan sang Paman kemudian baru tidur bersama suaminya. Melihat istri keponakannya datang, David tersenyum puas. Dia menepuk tempat di sampingnya. “Kemarilah Sayang, kita nonton film sebentar.” Laura memutar wajah malas, dia ingin cepat-cepat ke kamarnya tapi David malah mengajaknya nonton film. “Aku harus segera kembali paman, Mas Rendra sudah menungguku.” Sahutnya ketus. Pria itu tersenyum sembari berkata, “Rendra akan keluar.” Benar saja tak selang lama terdengar suara mobil, saat Laura berlari ke balkon dia melihat Rendra mengendarai mobilnya. “Kamu mau kemana Mas?” Netra Laura menatap nanar mobil yang sudah tak kelihatan itu. David memeluk Laura dari belakang sambil berbisik “Rendra menemui Monica.” Bisiknya. Air mata Laura meluncur bebas, kesakitan siang itu mencuat kembali. Selama ini dia selalu menjadi yang terbaik buat Rendra tapi mengapa suaminya tak memandangnya sedikit pun bahkan tega menjalin hubungan dengan Monica di belakangnya, lalu apa arti kata cintanya selama ini? “Lebih baik kita juga melakukan apa yang mereka lakukan Sayang.” Tangannya mengusap air mata sang wanita. Laura berteriak, David dan Rendra sama-sama brengsek! Satunya berselingkuh dan satunya lagi selalu saja memaksakan keinginannya. "Paman kamu ngerti perasaanku nggak sih." Tangisan Laura semakin keras. David hanya terdiam menatap istri keponakannya itu, "Sudahlah jangan menangis." Ucapnya. Netra pria itu menatap langit, "Lihatlah bintang-bintang itu." Menujuk salah satu bintang. Mendengar ucapan David Laura menghentikan tangisnya, dia turut melihat bintang-bintang tersebut. "Aku pernah membaca buku diari seseorang, dia sangat menyukai Sirius bahkan dia bercita-cita ingin sepertinya yang benderang diantara bintang-bintang yang lain." Kemudian David menatap Laura. Wanita itu terkejut, apa yang dimaksud David adalah dirinya? karena dia juga menulis keinginan yang sama yaitu ingin menjadi Sirius. Tapi mana mungkin David membaca buku diarinya, selama ini mereka tidak pernah dekat. Dirasa sudah tenang, David mengajak Laura mengobrol hal lain. Dia ingin melihat senyum Laura malam ini. "Kamu asyik juga Paman." Laura tersenyum. "Karena sudah membuatmu tertawa maka kamu harus membayarnya. Tanpa aba-aba David menggendong tubuh Laura dan membawanya masuk ke kamar. “Paman kamu mau apa?” Tak ingin melayani pamannya Laura bergegas bangkit. “Apa kamu lupa dengan hutangmu Sayang plus jasa di Balkon tadi." Rasa kesal kembali mencuat, baru saja dia mengagumi David tapi kini pria itu justru membuatnya kesal kembali. "Paman tidak!" Sekali tarik tubuh Laura sudah berada dalam kungkungan pamannya, dia tidak bisa pergi lagi karena kini tubuhnya benar-benar terkunci. "Apa kamu siap Sayang?" Bisik David. Lagi-lagi Laura melayang karena sentuhan David, tubuhnya terus berkhianat. Terlarang namun nyatanya apa yang dilakukan David membuat Laura tak lagi berharap akan cinta Rendra. Olahraga malam terjadi berkali-kali, beberapa kali menolak tapi Laura mampu mendapatkan kepuasan lebih dari sekali. Karena kelelahan wanita itu pun memejamkan mata, tangan David menyibak rambut Laura, dia ingin menikmati wajah istri keponakannya itu tanpa ada yang menghalangi. “Maafkan aku karena harus menggunakan cara seperti ini Laura."David gugup sendiri mendengar ucapan keponakannya itu. Dia pun berpikir keras Mencari Alasan apa yang pas agar Laura percaya. “Itu… Aku tahu dari Rendra.” Kalimat itulah yang dia dapat. Laura tersenyum memang renda sama tahu tentang dirinya meskipun suaminya itu telah menghianatinya. Senyuman perlahan menghilang digantikan oleh raut wajah yang masam. “Kenapa?” David menatap Laura. “Aku heran dengan Mas Rendra paman di sisi lain dia begitu memperdulikan aku dan menyayangiku dengan segenap hatinya tapi disisi lain dia juga mengkhianati aku. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?”Ungkapan hati Laura sontak membuat David kesal, menyesal dia mengharumkan nama Rendra di hadapan Laura, selain itu dia juga kesal dengan Laura yang mau saja dibodohi oleh Rendra. “Bodoh.” Satu kata pedas keluar dari mulut David. Mendengar itu Laura menjadi kesal selalu saja David mengetainya dengan kata itu. “Memang aku bodoh jadi jangan dekat-dekat denganku paman atau kamu akan ketularan.” Cicitnya sambil
Sepanjang malam David menjaga Laura, dia terus memeluk wanita itu seakan ingin seperti ini sepanjang hari. Ada rasa sesal di hatinya kenapa dulu… Ah, semua sudah terjadi yang terpenting saat ini dia selalu ada untuk Laura, meskipun dia tahu sedikit banyak Laura membencinya. Mentari datang menyapa, sinar matahari yang menembus celah gorden membuat tidur wanita itu terusik. "Sudah pagi." Dalam keadaan terpejam Laura menggumam. Mata Laura sontak melotot dan bergegas bangun, tubuhnya terasa sangat lelah mungkin karena semalam David menggempurnya habis-habisan. Melihat seorang disampingnya kekesalan Laura muncul kembali, meskipun semalam dia juga menikmati tapi kalau David tidak memaksanya percintaan panas mereka tidak akan terjadi. “Bajingan.” Kaki Laura menendang tubuh yang membelakanginya. Dia meluapkan amarahnya untuk semalam dan untuk pagi ini, hari sudah siang sementara dia masih berada di kamar David, entah bagaimana dia menjawab pertanyaan Rendra nanti. “Kamu apa-apaan
Rendra yang curiga memutar netranya, sedangkan dari bawah meja David memberikan ponselnya kepada Laura. “Ah iya tadi Paman ke sini dia mencarimu dan ponselnya ketinggalan.” Jelas Laura sembari menunjukkan ponsel David. "Ah begitu." Untunglah pria itu percaya, dia mengambil ponsel David dan hendak mengembalikannya. Setelah Rendra keluar Laura juga meminta David keluar. "Pergilah Paman, Mas Rendra mencarimu untuk mengembalikan ponsel jangan sampai dia kemari lagi." Laura sungguh kesal dengan David yang terus membahayakan dirinya. “Baiklah aku tunggu di kamar, kalau kamu tidak datang maka aku yang pergi ke kamarmu!” Lagi-lagi pria itu mengancamnya, entah apa yang David mau sebenarnya. Dalam keadaan yang seperti ini Laura sudah tidak fokus mendesain, pikirannya kacau karena ucapan David. Dia serba bingung, “Arrggg David kenapa kamu selalu mengusikku!” Di luar, Rendra berpapasan dengan David. Dia nampak mengerutkan alis, sedari tadi muter-muter mencari pamannya tak tau
Setelah Rendra pergi, Laura buru-buru melepas pelukannya namun David menahannya. “Paman!” Protes Laura. Pria itu tertawa, melihat keponakannya judes begini dia semakin tertantang. “Jangan lupa upah menyembunyikanmu tadi.” Bisiknya. Bibir pria itu menggigit kecil daun telinga Laura dan Laura merinding dibuatnya. Laura tak menggubris ucapan David, dia menyambar tasnya kemudian pulang. Malam itu Rendra pulang dengan membawa bunga mawar untuk Laura, dia juga membawa setumpuk berkas yang akan ditunjukkan pada sang istri. “Laura Sayang.” Rendra mendekat bibirnya hendak mengecup pipi Laura tapi Laura segera menghindar. “Maaf Mas aku pilek.” Alasan Laura saja. Rendra tersenyum kemudian mengelus rambut sang istri. “Sudah minum obat? Jangan sakit-sakitan ya.” Sok perhatian padahal dia tidak ingin Laura menyusahkannya saja. Wanita itu mengangguk, siapa sangka tutur lembut penuh cinta itu hanyalah kamuflase. “Ini bunga untuk kamu.” Bunga mawar cantik berada di hadapannya. Setelah itu
Apa sebenarnya yang ingin David tunjukkan padanya? Kenapa harus ke kantor? Tepat pukul sebelas siang, Laura datang ke kantor, tanpa lapor ke resepsionis wanita itu langsung saja naik ke atas. Setibanya di lantai paling atas gedung perkantoran Laura menjadi bingung pasalnya di depannya kini ada dua ruang CEO, entah dimana ruangan milik David. “Ruangan Paman yang sebelah mana?” Kepalanya menoleh kiri dan kanan menerka-nerka. Hingga salah satu ruangan itu terbuka, seseorang baru saja keluar dari dalam. Sekilas dia melihat David, lalu wanita itu melangkah masuk ke dalam ruangan. “Paman.” Suara lembutnya mencuat yang diiringi langkah menuju meja kerja sang Paman. “Aku kira kamu tidak datang.” David bangkit dari kursi kebesarannya, mengajak Laura untuk duduk di sofa. Netra wanita itu memutar, ruangan David sangat estetik. Siapa yang mendesainnya? “Apa yang ingin kamu tunjukkan paman?” Tanya Laura. Tatapannya mengarah ke David yang kini duduk di sampingnya. “Santai Sayang, s
Pagi itu, setelah membuka mata, Laura tak mendapati Rendra di sampingnya.“Ternyata apa yang dikatakan Paman semalam benar, Mas Rendra tidak pulang,” gumam Laura murung. Baru saja dia hendak bangkit, terdengar suara pintu terbuka. Rendra berjalan masuk kemudian duduk di sofa. “Sayang, kamu baru bangun?” tanya pria itu. Netra Rendra memutar melihat tempat tidur yang sedikit acak-acakan. “Kamu semalam habis ngapain saja, kenapa tempat tidur berantakan begitu?” Sontak Laura memelototkan mata. Dia tidak menyadari hal itu. Netranya turun memutar melihat tempat tidurnya. Wanita itu menggigit bibir, berusaha memutar otak untuk mencari alasan agar tidak membuat Rendra curiga. “Itu Mas… semalam aku kesal sehingga sedikit tantrum,” cicitnya sambil menatap Rendra takut-takut. Pria itu menghela nafas, kemudian duduk di samping sang istri. “Sayang, aku kerja demi kamu, demi keluarga kita. Tolong mengertilah,” kata Rendra lembut. “Jangan marah ya…” Tangan Rendra mengelus pipi sang istri.