Masuk“Fab!” seru seseorang dari belakang.
Fabio menoleh dan langsung tersenyum. “Revan! Wah, lama banget!” Mereka berpelukan hangat, tawa kecil pecah di antara mereka. “Gila, udah kayak reuni aja nih,” celetuk Revan. Fabio terkekeh. “Emang, kebetulan banget semuanya ngumpul.” “Rani?” suara lain memanggil, menyusul datangnya Revan. Doni—teman kuliah Rani yang lain—melambaikan tangan, tampak tak percaya. Rani terkejut tapi senang. “Hai, Don! Masih inget aku, gak?” Revan menepuk bahunya. “Gila, masa lupa. Sok banget, kamu.” Tawa mereka meledak. Fabio memperhatikan Rani yang tertawa lepas—senyum yang sudah lama tak ia lihat sejak terakhir mereka berpisah dulu. Bahkan kemarin, tersenyum pun Rani tampak tertekan. “Eh, hei!” suara riang memotong. Seorang perempuan hamil muncul membawa aura cerah. “Elen!” seru mereka hampir bersamaan. Rani segera memeluknya. “Astaga, kamu udah tujuh bulan ya? Cantik banget, Len.” Elen tertawa kecil. “Kamu juga masih sama, Ran. Cantik terus!" Rani mengelus perut Elen dengan senyum hangat. “Biar nular, ya.” Ada sedikit rasa iri di balik matanya, tapi ia menutupinya dengan tawa. “Gak nyangka ya, kita semua udah nikah,” kata Elen, separuh tak percaya. “Iya, apalagi kamu yang dulu tomboi sekarang jadi calon ibu,” seloroh Doni disambut tawa ramai. “Ngomong-ngomong, Don, kerja di mana sekarang?” tanya Fabio. “Ngajar. Dosen HI di universitas swasta,” jawabnya bangga. “Wih, keren,” puji Fabio, lalu menatap Revan. “Kalau kamu?” Revan mengangkat alis. “PR di Bank internasional, Malaysia. Baru pindah bulan lalu.” "Kamu sekarang kerja di mana Ran?" tanya Doni lepas. Rani tahu, pertanyaan itu akan sampai padanya. Mendadak, rasa rendah diri menyelimutinya dengan sedikit ngilu. "Oh, aku gak kerja. Yang kerja suamiku." Rani menjawab dengan hati-hati dan ramah, menarik Bima mendekat. Teman-teman Rani yang tadinya sibuk tampak heran namun kemudian memandang Bima dengan tersenyum. "Hai!" Mereka menyapa dengan ceria dan ramah. Bima tampak kikuk dan menyapa dengan dingin. Tampaknya, rasa rendah diri juga ikut meracuninya sebab teman-teman Rani memiliki kehidupan yang luar biasa. "Kerja dimana, Mas?" tanya Doni, langsung. "Saya PNS." Bima menjawab sambil tersenyum berusaha ramah. "Oalah, PNS, ya. Dinas mana?" Elen menanggapi. "Dinas pariwisata," singkatnya. Rani bisa melihat kekecewaan di wajah teman-temannya. Bukan karena suaminya seorang PNS namun pilihannya untuk tidak bekerja. Semua orang tau kalau Rani adalah mahasiswi paling cerdas dan paling mungkin mendapatkan pekerjaan yang bagus. "Golongan berapa?" Revan bertanya dengan spontan. Bima terlihat tidak nyaman namun tetap membalas dengan sopan. "Dua D." Mereka semua tampak mengangguk dengan canggung. "Formasi SMA, ya?" Doni menambahkan, berusaha menghilangkan canggung. "Iya." singkat Bima. "Bagus tuh, Mas. Kalau kuliah, bisa naik banyak pangkatnya, kan?" Doni menambahkan. Tampak jelas antusias dengan Bima. Berbeda dengan Bima, ia menganggap itu tidak sopan dan mulai berubah raut mukanya. Rani mencuri pandang dengan khawatir, takut suaminya marah. "Iya." singkatnya lagi. Terjadi jeda diam yang cukup lama, kemudian mereka memilih membahas kehidupan mereka masing-masing. Rani tampak antusias meskipun rasa rendah diri menyelimutinya. Beruntung, teman-temannya tidak membuat dirinya harus merasa terluka karena hal itu. Sayangnya, Bima jelas kesal pada teman-teman Rani atas sikap mereka barusan. Diam-diam, ia bertekad membuat Rani membayar apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Bima perlahan melipir menjauh, Mencari pergaulannya sendiri sebab rasa tidak nyaman membuatnya tidak tahan. Dari jauh, Rani melihat Bima yang tampak akrab dengan Wina dan beberapa orang disana. Ia ingin menyusul kesana dan berkenalan dengan teman-teman Bima namun kejadian bersama teman-temannya cukup membuat Rani mengurungkan niat. Perlahan, matanya menatap Bima dan Wina yang tampak akrab. Teringat lagi kejadian ketika Jihan salah mengenali Wina sebagai Rani. Kecemburuan secara pasti merambat di dada Rani. "Mau kemana?" tanya Elen, menyadari pergerakan Rani yang mulai menjauhi mereka. Rani tersenyum. "Mau nyusul Kak Bima, Len." jawabnya. Rani langsung menuju tempat suaminya berada perlahan. Ia menyaksikan betapa manisnya Bima dan Wina dalam bercanda dan betapa Wina sangat akrab dengan teman-teman Bima. Sejujurnya, Rani sangat berharap bisa dekat dengan teman-teman Bima seperti halnya Wina. Bukankah seharusnya seperti itu? Setidaknya, Rani ingin tahu siapa saja teman-teman Bima. Selama menikah, Bima sangat protektif dan membuat Rani tidak sempat mempunyai teman atau pergaulan. Rani bahkan tak tahu siapa saja teman-teman Bima karena dilarang olehnya untuk berinteraksi. Kebetulan mereka di acara seperti ini, mungkin ada baiknya bagi Rani untuk mendekatkan diri pada teman-teman Bima. Seperti sedang dihipnotis, pandangan Rani pada Bima dan Wina membuatnya secara otomatis berjalan menuju mereka. Tanpa disadari, Rani memotong jalan seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi berbagai macam minuman dalam gelas. “Awas!” Teriak si pelayan, mencoba menghindari Rani. Rani yang terkejut tak sempat menolong dirinya dan malah menabrak pelayan tersebut. Minuman yang dibawa si pelayan lantas tumpah mengenai Rani, membasahi tubuhnya. Terkejut karena ditumpahi minuman, Rani mundur menjauh namun ia malah menabrak kursi, membuat sepatunya yang licin karena tumpahan air terpeleset jatuh ke belakang. “Argh!” Rani berteriak, ia mencari pegangan namun tak menemukannya. Mata Rani terkatup kuat, merasakan dirinya melayang, Rani pasrah jika harus terjatuh ke lantai. Alih-alih jatuh ke lantai, Rani merasa ada seseorang yang menahannya. Tiba-tiba semua orang terdengar takjub dan terkejut. Perlahan, Rani memberanikan diri untuk membuka matanya. "Kamu tidak apa-apa?"Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer
Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak
Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.
Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me
Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga







