MasukRani kemudian menaiki motor dengan diam meskipun seleranya sudah hilang. Sungguh malas rasanya jika harus berdebat dengan Bima untuk hal seperti ini.
Sepanjang jalan, Bima terus komplain karena menurut estimasi waktu, mereka sudah terlambat lima belas menit. Bima menyalahkan Rani yang tidak bisa mengatur waktu dan mengurusnya untuk pergi ke acara. Sepanjang jalan, telinga Rani di sakiti oleh kemarahan Bima yang tidak penting. Beruntung, suara angin di atas motor menyamarkan rata-rata ucapan Bima. Sesampainya di tempat acara, Bima menyuruh Rani turun sambil mencari tempat parkir. "Ayo, masuk." kata Bima berlenggang pergi meninggalkan Rani. Rani tampaknya ingin digandeng seperti tamu-tamu yang datang berpasangan namun Bima tampak menolaknya. Alih-alih memikirkannya, Rani memilih untuk melihat-lihat sekitar. Rumah Fabio tampak besar dengan halaman yang luas. Yah, setara dengan kerja keras yang ia lakukan selama ini pastinya. "Mas Bima." sapa seorang wanita muda pada Bima. Rani yang mengekori dari belakang langsung menaruh perhatian. Bima yang melepasnya begitu saja membuat Rani mengekor seperti anak sapi yang hilang. "Wina!" balas Bima sambil memberikan salam cium pipi kiri dan kanan di depan Rani dengan santai. Rani merasa canggung melihat suaminya seperti itu dengan perempuan lain. Hatinya terasa ganjil. "Mas baru nyampe, ya?" tanya Wina basa-basi. "Iya, nih. Repot banget tadi jadinya baru nyampe." jawab Bima akrab. Wina tersenyum lebar saat melihat Bima. Gaunnya pas di tubuh, menonjolkan kesan muda dan segar. Ia mencondongkan badan sedikit, suaranya ringan namun menggoda. “Mas makin sibuk aja ya? Padahal di kantor juga udah kejar-kejaran.” Bima tertawa kecil. “Namanya juga kerjaan, Win. Kalau nggak sibuk, bukan Bima namanya.” Wina ikut tertawa, menatapnya dengan mata berbinar. “Aku baru sebulan di kantor, tapi udah sering denger cerita soal Mas. Katanya, disiplin banget.” “Ah, masa?” Bima terkekeh, senyum puas muncul di wajahnya. Rani berdiri di belakang mereka, menunggu diperkenalkan, tapi Bima tak juga menoleh. Ia akhirnya berdeham pelan. “Mas, ini—” “Oh iya,” sahut Bima singkat. “Ini Rani.” “Oh, halo Mbak Rani,” sapa Wina sopan, sekilas menatap sebelum kembali ke Bima. “Mas, nanti ajarin aku input laporan ya. Aku masih bingung banget.” “Siap. Nanti aku bantu,” jawab Bima cepat, nada suaranya jauh lebih hangat daripada tadi di motor. “Mas baik banget sih,” Wina tertawa kecil, menepuk lengan Bima pelan. Rani mencoba tersenyum, tapi dadanya terasa sesak. “Kamu kerja di kantor yang sama, Win?” tanyanya berusaha masuk. “Iya, aku CPNS baru,” jawab Wina ramah tapi singkat. “Mas Bima yang bantu aku adaptasi. Orangnya sabar banget, ya.” Mereka tertawa lagi. Rani berdiri di antara tawa itu—membeku, merasa kecil, seperti tamu yang tak diundang di sisi suaminya sendiri. Melihat itu semua, Rani menyadari betapa ia bahkan tak tahu apa-apa soal suaminya. Tak lama kemudian, mereka masuk bersama sambil Wina terus berbincang dengan Bima sedang Rani hanya mengekor dari belakang. "Hai, Bim." Seorang perempuan lain datang dan menyapa. Wajahnya manis dengan tubuh berisi namun padat membuat gaun span hitam ketatnya memeluk sempurna. "Hai, Jihan." Bima teralihkan dari Wina pada Jihan—wanita yang menyapanya. "Baru nyampe?" tanyanya ramah, melirik Wina dan Bima. "Iya, baru nyampe." jawabnya. "Ini istri kamu? Astaga, cantik ya. Awet muda juga." Jihan memuji sambil menatap Wina dengan cerah. Melihat itu, Rani meremas gaunnya. Ia sudah menahan dari tadi namun kali ini rasa cemburunya membakarnya dari dalam. "Oh, bukan. Saya bukan istrinya mas Bima." Wina tertawa kecil sambil menyilangkan tangannya pada Jihan. "Eh, bukan ini istriku. Yang ini." Menyadari ada kesalahpahaman, Bima menarik Rani yang berdiri di belakangnya dengan kasar. Rani tampak terkejut sambil memandang Jihan dengan canggung. Rani hanya menunduk tanpa bicara karena terlalu kaget hingga membuatnya tampak bodoh. Rani melirik Bima, memeriksa respon laki-laki itu. Ia tampak kesal melihat kebodohan yang dibuat Rani. "Oh, halo. Maaf, ya. Saya gak lihat kamu." Jihan meminta maaf, tampak menyelidiki Rani. "Iya, gak apa-apa. Maaf, gak memperkenalkan diri dengan baik. Saya Rani. ISTRI Kak Bima." balas Rani memperkenalkan diri sambil menekan kata terakhirnya. "Saya Jihan. Istrinya Fabio." balasnya dengan tersenyum. Rani merasakan dadanya terjun ke bawah. Sungguh tidak nyata rasanya melihat istri Fabio di depan matanya. Aroma parfum mahalnya seolah membius Rani. "Silahkan duduk, dulu. Acara mulainya sebentar lagi." katanya kemudian memilih berlalu. Perginya Jihan membuat Wina ikutan pamit menyapa kenalannya yang lain. Rani merasa lega karena keberadaan Wina sedikit mengiritasi hatinya. Bima kemudian berbalik memandangi istrinya. "Tadi itu Jihan, istri Fabio." kata Bima. Rani memandang Bima dengan kesal. Ia tak peduli dengan istri Fabio. Ia peduli pada Wina, perempuan yang barusan tampak akrab dengan Bima. Alih-alih protes, Rani memilih mendengarkan Bima. "Jihan itu nikahnya dijodohkan sama Fabio. Tapi, katanya hubungan mereka lagi gak bagus. Jihan gak mau ngurus ibu Fabio yang lagi sakit dan ditelantarkan begitu saja." cerita Bima sambil menuju tempat duduk yang masih kosong. Rani tampak terkejut. "Oh, ya?!" serunya, melupakan soal Wina. Bima mengangguk. "Dan desas-desusnya, sejak kejadian itu, Jihan sama Fabio jadi jauh. Apalagi, kata karyawan yang tinggal sama mereka, Jihan ini pelit dan suka mempermainkan gaji karyawan. Padahal ya, Fabio terkenal banget dermawannya." lanjut Bima. Reaksi Rani yang terkejut membuat Bima puas menceritakannya. "Tapi kok gak keliatan, ya?" Rani tampak setengah heran dan takjub. "Jelas, lah! Siapa juga yang mau bilang rumah tangganya gak bener? Orang Fabio sama Jihan itu pinter banget buat nyembunyiin ini dan itu." jawabnya tampak bangga. Hal inilah yang membuat Bima merasa setidaknya berada diatas Fabio sedikit sebab ia memiliki istri yang penurut dan mengurusnya dengan baik. Bagi keluarganya, Bima tentu sudah berprestasi karena berhasil jadi PNS di usia muda dalam satu kali tes meskipun hanya lulusan SMA. Meskipun pada kenyataannya, di lingkungan Bima, ia justru yang paling kecil karena PNS lulusan SMA memiliki pangkat lebih rendah. Tidak ada yang salah dengan itu namun rasa rendah diri Bima sangatlah bermasalah. Rani kemudian duduk dan memandang sekitar, mengobservasi apa yang terjadi disana. "Oh, hai, Fabio!" Rani terkejut begitu Bima menyapa Fabio yang muncul dari belakang. Rani buru-buru menyapa dan dibalas dengan hangat. Ia jadi sadar akan satu hal. Sejak tadi, Jihan dan Fabio tidak menyapa tamu bersama melainkan menyapanya masing-masing. Jauh di belakang Fabio, Jihan sendirian menyapa tamu lain dan entah bagaimana, Rani bisa merasakan adanya tembok dingin yang membatasi keduanya. Sementara itu, Bima dan Fabio tampak sibuk menyapa satu sama lain. Tak sengaja, Rani bertatapan dengan Fabio yang rupanya memandanginya sejak tadi padahal ia sedang bicara dengan Bima. Rani langsung menunduk, menghindari tatapan Fabio yang kental padanya. Apakah Rani diperhatikan oleh Fabio sejak tadi?Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer
Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak
Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.
Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me
Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga







