Home / Romansa / Hasrat Liar Sang Kakak Ipar / 7. Kendali dan Perlindungan

Share

7. Kendali dan Perlindungan

Author: Merspenstory
last update Last Updated: 2025-01-08 07:41:02

Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.

Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.

Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.

Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.

Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih dalam. Setelah beberapa detik, dia melangkah mundur sedikit dan membuka pintu lebih lebar.

"Masuklah,” katanya dengan suara tenang, namun ada sesuatu dalam intonasinya yang terdengar lebih seperti perintah daripada ajakan.

Jantung Lea berdegup kencang, ia merasa ragu, namun ketakutan yang lebih besar membuatnya melangkah masuk dengan cepat.

Kayden menutup pintu perlahan, lalu tanpa mengalihkan pandangannya dari Lea, ia berkata dengan suara yang halus namun penuh penekanan, “Pergilah ke kamar dan beristirahat di sana.”

Lea hanya mengangguk. Dengan langkah ragu, ia bergerak menuju kamar yang ditunjuk. Begitu ia berada di dalam kamar, Lea segera duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam erat tangannya.

"Rasanya sakit sekali.” Lea meringis sambil memegangi wajahnya.

Kemudian, pandangannya tertuju pada jendela kamar, mengamati bulan yang bersinar terang di langit malam. Di villa ini, ia seharusnya merasa aman, tetapi pikirannya terus berputar hingga membuatnya tidak bisa tenang.

Lea merasa ragu apakah ia harus tetap di sini atau kembali ke villa Noah. Namun, bayangan wajah Noah yang kejam terus menghantuinya. Suara keras pria itu ketika mencacinya, dan tangan dinginnya yang menghantam kulitnya tanpa ragu, semua itu membuat Lea menggigil ketakutan.

Tidak ada jaminan bahwa suaminya itu tidak akan memukulinya lagi jika ia kembali ke sana. Tetapi berada di villa ini bersama Kayden juga menekan diri Lea. Saat berlari untuk menghindari Noah, Lea tidak tahu mengapa kedua kakinya justru berlari ke mari.

Mengapa ia meminta perlindungan pada Kayden?

Pertanyaan itu berputar memenuhi isi kepala Lea. Dengan datang ke tempat ini, sama saja dengan meminta perlindungan pria itu, bukan? Jelas sekali Kayden bukan pria yang baik, tapi kenapa Lea justru datang kepadanya?

Saat Lea sibuk bergelut dengan isi kepalanya, sebuah ketukan lembut pada pintu menginterupsinya. “Kakak ipar, kamu kah itu?” tanyanya memastikan.

Pintu terbuka perlahan dan Kayden masuk dengan membawa secangkir teh hangat di tangannya. Pria itu berhenti tepat di samping Lea, lalu memberikan cangkir tersebut pada wanita itu. “Minumlah,” ucapnya dengan suara rendah.

Lea mengamati cangkir itu sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke wajah Kayden. Mata pria itu terlihat tenang, tapi Lea sama sekali tak bisa menebak apa yang pria itu pikirkan.

Lea menelan saliva dengan sedikit payah. “Mengapa kamu bersikap baik padaku?”

Kayden tersenyum tipis, lalu mencodongkan tubuhnya sedikit ke arah Lea. “Karena aku ingin,” jawabnya.

Lea mengernyit, merasa jawaban tersebut terlalu mudah dan tidak masuk akal. “Itu bukan alasan,” balasnya dengan nada pelan namun tegas.

Kayden tertawa kecil, nyaris tak bersuara. “Tapi aku ingin melakukannya,” balasnya cepat.

Lea mendongak menatap Kayden dengan sorot mata penuh keraguan. Tubuhnya menegang di tempatnya, seperti seekor kelinci yang baru saja terperangkap di dalam jebakan pemburu.

“Kamu membuatku merasa seperti sedang dipermainkan. Di satu sisi, kamu menakutkan. Tapi di sisi lain, kamu bersikap baik padaku. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kamu inginkan.”

Kayden bergumam panjang, seperti sedang mempertimbangkan jawaban yang tepat. “Aku tahu itu membingungkan. Tapi, mungkin itulah yang membuatku sulit untuk diabaikan, bukan?”

Lea menggertakkan giginya. “Berhenti bermain-main, Kayden. Aku serius.”

Kayden bangkit berdiri menuju jendela. Ia suka ketika Lea menyebut namanya seperti tadi. Cukup lama Kayden membungkam mulutnya, hingga akhirnya ia kembali berbicara.

“Aku ingin kamu melihatku, Lea. Bukan sebagai ancaman, tapi sebagai seseorang yang kamu butuhkan.”

Lea sontak tertegun mendengar pernyataan mengejutkan itu. “Kenapa? Aku bahkan tidak—”

“Karena hanya aku yang bisa,” potong Kayden dengan cepat. “Hanya aku satu-satunya yang bisa melindungimu, Lea. Orang lain hanya akan menyakitimu, seperti yang sudah Noah lakukan.”

Keheningan seketika menyeruak seperti kabut tebal yang menyesakkan. Melindunginya? Lea mencengkeram ujung piyamanya semakin kuat.

'Bagaimana mungkin aku bisa percaya pada kata-kata itu?’ batinnya.

Selama ini Kayden tidak pernah ragu untuk menindasnya. Memaksa Lea tunduk pada kehendaknya dan mengancam Lea setiap kali wanita itu mencoba melawan. Sekarang, pria itu berbicara tentang perlindungan? Bukankah itu terdengar seperti lelucon yang buruk?

“Sejak kapan mengancam dan mengendalikan seseorang menjadi bentuk perlindungan?” Suara Lea terdengar bergetar. “Kamu tidak melindungiku, Kayden. Kamu hanya memastikan aku tidak punya tempat lain untuk lari,” katanya melanjutkan.

Kayden tidak bereaksi. Pria itu terlihat begitu tenang, sementara matanya penuh dengan keyakinan.

"Terkadang, melindungi seseorang berarti memaksa mereka untuk tetap di tempat yang aman. Meski harus membuat mereka tidak punya pilihan.”

Lea semakin menegang usai mendengar pernyataan Kayden barusan. “Itu bukan perlindungan … itu kendali.”

Kayden tersenyum tipis sebelum akhirnya melangkah keluar. “Kendali, perlindungan … itu hanya nama. Kau boleh membenciku, Lea. Tapi dunia di luar sana lebih buruk dari apa pun yang bisa kulakukan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   200. Happy Ending

    Langit Santorini memancarkan semburat oranye keemasan saat senja menuruni cakrawala. Laut biru membentang luas di hadapan mereka, sementara angin laut yang hangat menyapu perlahan kulit mereka.Di balkon vila pribadi yang menghadap laut, Lea bersandar di dada Kayden, dibalut gaun putih tipis dengan rambut tergerai lembut tertiup angin.“Aku masih tidak percaya kita sudah menikah,” bisik Lea, jemarinya menggenggam tangan Kayden yang melingkari pinggangnya dari belakang.Kayden menunduk, mencium pelipis Lea dengan pelan. “Kalau begitu, aku harus lebih sering mengingatkanmu.”Lea terkekeh kecil. “Dengan apa? Ciuman? Pelukan? Atau ... sesuatu yang lain?”Kayden tertawa pelan di telinganya. “Semua itu. Dan lebih.”Ia membalik tubuh Lea perlahan agar menghadap padanya. Mata mereka bertemu, dan sesaat dunia terasa hening. Jemari Kayden mengusap lembut rahang Lea, kemudian menyelip ke belakang lehernya.“Kamu tahu,” ucap Kayden pelan, “sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kamu akan menghanc

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   199. Janji Suci

    Gedung megah itu berdiri anggun di jantung Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan cahaya matahari sore yang perlahan menurun.Dikelilingi taman pribadi dan air mancur yang menjulang di tengah pelataran marmer putih, lokasi itu dipilih Kayden sendiri.Tempat eksklusif yang tak pernah dibuka untuk umum, hanya untuk perayaan yang benar-benar berarti.Sore itu, ballroom dengan dinding kaca sepenuhnya berubah menjadi taman impian. Kelopak mawar putih berjatuhan dari langit-langit kaca, sementara pilar-pilar klasik dihiasi anggrek dan bunga lili yang dirangkai dengan kristal halus.Suara denting harpa mengalun lembut di latar, mengisi ruang dengan kemegahan tanpa kesan berlebihan. Hanya tamu pilihan yang hadir. Orang-orang yang benar-benar berarti dalam hidup Lea dan Kayden.Julianne tampak anggun dengan gaun berwarna champagne, berdiri di sisi kursi tamu bersama Indi dan Rhaelil. Silas mengenakan tuksedo hitam pekat, berdiri di dekat altar sebagai pendamping utama Kayden.Kaelyn Br

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   198. Mawar, Cincin, dan Takdir

    Lea menatap Kayden dengan mata membulat, tak percaya pada apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Seluruh pikirannya membeku sejenak, digantikan oleh satu gelombang emosi yang tak tertahan—kaget, haru, bahagia, semuanya berbaur jadi satu.Cincin berlian itu berkilau indah. Namun bukan kilau cincin yang membuat hatinya bergetar hebat, melainkan pria yang saat ini berlutut di hadapannya.“Kayden …,” bisik Lea, matanya mulai basah.Kayden tetap menatapnya penuh keyakinan. “Aku tahu semua yang kamu lewati tidak mudah, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi hari ini, dan setiap hari setelah ini, aku ingin menjadi orang yang berdiri di sampingmu. Menjadi rumahmu, pelindungmu, teman sekaligus kekasihmu.”Lea menutup mulutnya, berusaha menahan isak yang mulai pecah.“Aku tahu kamu kuat tanpaku, Little Rose. Tapi izinkan aku menjadi orang yang membuat hidupmu sedikit lebih ringan. Lebih hangat. Selamanya,” ucap Kayden lembut namun tegas.Tangan Lea bergetar saat menutupi dadanya, tak sa

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   197. Beneath the Roses

    Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   196. Senyum Licik Namun Menawan

    Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   195. Sebuah Tawaran

    Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status