Home / Romansa / Hasrat Liar Sang Kakak Ipar / 6. Pukulan yang Tidak Terduga

Share

6. Pukulan yang Tidak Terduga

Author: Merspenstory
last update Last Updated: 2025-01-08 07:40:12

Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.

“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.

Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan.

"Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.

Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.

Lea membuka langkah dan berhenti di sisi meja. “Aku tidak butuh makan. Jawab saja pertanyaanku. Mengapa kamu melakukan ini?”

Kayden kembali tersenyum sambil menata peralatan makan untuk Lea. “Bukankah seharusnya kamu menanyakan hal itu pada Noah? Kenapa dia bercinta dengan wanita lain hari ini … dan pada malam pernikahan?”

Kata-kata itu menusuk jantung Lea seperti sembilu yang sangat tajam. Rahangnya mengeras dan ia berusaha menahan emosi yang menyeruak. Jadi, alasan Noah tidak pulang di malam pernikahan adalah karena dia bersama wanita lain?

Lea merasa marah, tapi lebih kepada dirinya sendiri. Jika saja Noah kembali bersamanya malam itu, ia tidak akan terjerumus dalam situasi seperti ini. Ia tidak akan menjadi tawanan Kayden dan terjerat dalam ancaman pria itu.

“Aku … aku ….” Lea tidak tahu harus menjawab apa.

Kayden bangkit berdiri, lalu menarik tangan Lea dan memaksanya duduk. Salah satu tangannya menyerahkan peralatan makan kepada wanita itu. “Makanlah. Kamu butuh energi,” katanya tanpa basa-basi.

Lea memilih diam, menundukkan kepala, lalu menuruti permintaan Kayden. Wanita itu hanya fokus dengan makanannya hingga tidak ada makanan lagi tersisa di atas piringnya.

“Aku membawamu ke sini untuk bersenang-senang,” kata Kayden tiba-tiba.

Lea mengangkat kepalanya dan menatap Kayden dengan tak bersemangat. “Tapi aku sedang tidak ingin bersenang-senang,” sahutnya tanpa ragu.

Kayden tertawa kecil. “Aku tidak sedang meminta persetujuanmu,” balasnya santai. “Kamu terlihat sedih setelah melihat Noah. Kenapa? Bukankah kamu juga tidak menginginkan pernikahan ini sama sepertinya?”

Lea menggigit bibirnya demi menahan rasa marah yang membuncah di dalam dirinya, namun ia tidak ingin memberikan Kayden rasa puas dengan membalas ucapannya. Ia segera berdiri dan berniat meninggalkan ruangan.

Namun pergerakan Kayden lebih cepat dari dugaan Lea. Dengan langkah panjang, pria itu meraih tubuh Lea lalu menggendongnya ke lantai satu. Lea memberontak sekuat tenaga, tapi kekuatan pria itu terlalu besar untuk dilawan.

Kayden menurunkan Lea dan mendapati wanita itu menangis. “Mengapa menangis?” tanyanya dengan nada suara yang sulit diartikan.

Lea mencoba menahan isak tangisnya. “Tolong biarkan aku sendiri,” pintanya lirih.

Kayden tidak menjawab dan keheningan sempat membalut mereka beberapa saat. “Masuklah ke kamar ….”

Lea tidak menjawab dan langsung masuk ke kamar yang berada tak jauh dari mereka. Ia mengunci pintu lalu menjatuhkan diri di sofa. Air mata tidak berhenti mengalir dari ekor matanya, perasaannya benar-benar seperti roller coaster.

“Mengapa semuanya begitu kacau?” gumam Lea pelan.

Ketika malam hampir tiba, Lea keluar dari kamar dengan mata sembap. Ia mencari keberadaan Kayden, memanggil namanya beberapa kali, namun tak ada jawaban.

Saat hendak menuju pintu utama, pintu itu tiba-tiba terbuka karena seseorang mendorongnya dan membuat Lea sedikit terkejut. Sosok Kayden yang tinggi menjulang berdiri di sana, dengan rambut berantakan dan tatapan yang sulit diartikan.

“Uhm, sekarang sudah hampir malam. Aku harus kembali ke villa sebelum Noah,” kata Lea.

Kayden menatapnya sejenak. “Tidak ada yang melarangmu pergi dari tempat ini,” katanya.

Dengan cepat, Lea berjalan keluar dari villa sebelum Kayden berubah pikiran. Sepanjang perjalanan, perasaan Lea terasa begitu aneh. Hal-hal yang menimpanya beberapa hari terakhir sungguh membuat Lea kewalahan.

Setibanya di villa Noah, Lea segera menuju kamar dan masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir deras dari pancuran membuatnya merasa seolah bisa membilas semua rasa lelah dan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Namun saat tubuhnya terhanyut dalam keheningan itu, tiba-tiba suara Noah terdengar berteriak memanggil namanya.

"Mengapa suaranya terdengar begitu marah?” gumam Lea bingung sambil mengenakan jubah mandi dengan tangan gemetar.

Lea bergegas keluar dari kamar mandi, kemudian membuka pintu kamar dengan hati berdebar. Tanpa ia duga, begitu pintu terbuka, tubuh Noah langsung menerjangnya. Sebelum Lea sempat berkata apa-apa, pukulan pertama sudah mendarat di pipinya.

"Dasar gadis sialan!" teriak Noah dengan suara penuh kebencian. "Gara-gara dirimu, hubunganku dengan Sophia jadi berantakan! Aku sangat mencintainya, tapi sekarang dia bahkan tidak peduli padaku! Semua ini karena kamu tidak membatalkan pernikahan kita!”

Lea terhuyung, tapi dia berusaha keras untuk tetap berdiri. Pipinya terasa panas, wajahnya berdenyut-denyut akibat tamparan Noah. Darah mulai terasa hangat mengalir di dalam mulutnya, namun rasa sakit itu seolah tak ada artinya dibandingkan dengan kehancuran di matanya.

"Maafkan aku. Aku sama sekali tidak berniat untuk merusak semuanya.”

Noah mendengus, tidak peduli dengan permohonan Lea. “Diam! Apa pun yang kamu lakukan sekarang, semuanya sudah terlambat! Sophia tidak akan pernah kembali padaku! Semua ini salahmu, dan kamu harus membayar harga itu!” teriaknya lantang.

Dengan amarah yang semakin membara, Noah memberikan tamparan kedua yang lebih keras. Kali ini, rasa sakit di wajah Lea memuncak, seolah-olah seluruh dunia runtuh dalam sekejap. Tangannya bergetar saat dia mencoba untuk menahan tubuhnya yang semakin limbung.

Setiap pukulan Noah terasa seperti mematahkan semangatnya satu per satu. Bahkan permohonan Lea yang tulus seakan tak berarti sama sekali bagi pria itu. Ingin rasanya Lea melawan, berteriak, atau lari, tetapi tubuhnya terasa seperti terikat.

"Aku mohon, berhentilah memukulku ….”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   200. Happy Ending

    Langit Santorini memancarkan semburat oranye keemasan saat senja menuruni cakrawala. Laut biru membentang luas di hadapan mereka, sementara angin laut yang hangat menyapu perlahan kulit mereka.Di balkon vila pribadi yang menghadap laut, Lea bersandar di dada Kayden, dibalut gaun putih tipis dengan rambut tergerai lembut tertiup angin.“Aku masih tidak percaya kita sudah menikah,” bisik Lea, jemarinya menggenggam tangan Kayden yang melingkari pinggangnya dari belakang.Kayden menunduk, mencium pelipis Lea dengan pelan. “Kalau begitu, aku harus lebih sering mengingatkanmu.”Lea terkekeh kecil. “Dengan apa? Ciuman? Pelukan? Atau ... sesuatu yang lain?”Kayden tertawa pelan di telinganya. “Semua itu. Dan lebih.”Ia membalik tubuh Lea perlahan agar menghadap padanya. Mata mereka bertemu, dan sesaat dunia terasa hening. Jemari Kayden mengusap lembut rahang Lea, kemudian menyelip ke belakang lehernya.“Kamu tahu,” ucap Kayden pelan, “sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kamu akan menghanc

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   199. Janji Suci

    Gedung megah itu berdiri anggun di jantung Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan cahaya matahari sore yang perlahan menurun.Dikelilingi taman pribadi dan air mancur yang menjulang di tengah pelataran marmer putih, lokasi itu dipilih Kayden sendiri.Tempat eksklusif yang tak pernah dibuka untuk umum, hanya untuk perayaan yang benar-benar berarti.Sore itu, ballroom dengan dinding kaca sepenuhnya berubah menjadi taman impian. Kelopak mawar putih berjatuhan dari langit-langit kaca, sementara pilar-pilar klasik dihiasi anggrek dan bunga lili yang dirangkai dengan kristal halus.Suara denting harpa mengalun lembut di latar, mengisi ruang dengan kemegahan tanpa kesan berlebihan. Hanya tamu pilihan yang hadir. Orang-orang yang benar-benar berarti dalam hidup Lea dan Kayden.Julianne tampak anggun dengan gaun berwarna champagne, berdiri di sisi kursi tamu bersama Indi dan Rhaelil. Silas mengenakan tuksedo hitam pekat, berdiri di dekat altar sebagai pendamping utama Kayden.Kaelyn Br

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   198. Mawar, Cincin, dan Takdir

    Lea menatap Kayden dengan mata membulat, tak percaya pada apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Seluruh pikirannya membeku sejenak, digantikan oleh satu gelombang emosi yang tak tertahan—kaget, haru, bahagia, semuanya berbaur jadi satu.Cincin berlian itu berkilau indah. Namun bukan kilau cincin yang membuat hatinya bergetar hebat, melainkan pria yang saat ini berlutut di hadapannya.“Kayden …,” bisik Lea, matanya mulai basah.Kayden tetap menatapnya penuh keyakinan. “Aku tahu semua yang kamu lewati tidak mudah, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi hari ini, dan setiap hari setelah ini, aku ingin menjadi orang yang berdiri di sampingmu. Menjadi rumahmu, pelindungmu, teman sekaligus kekasihmu.”Lea menutup mulutnya, berusaha menahan isak yang mulai pecah.“Aku tahu kamu kuat tanpaku, Little Rose. Tapi izinkan aku menjadi orang yang membuat hidupmu sedikit lebih ringan. Lebih hangat. Selamanya,” ucap Kayden lembut namun tegas.Tangan Lea bergetar saat menutupi dadanya, tak sa

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   197. Beneath the Roses

    Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   196. Senyum Licik Namun Menawan

    Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama

  • Hasrat Liar Sang Kakak Ipar   195. Sebuah Tawaran

    Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status