Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.
“Kamu mau ke mana?”
Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.
Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.
Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.
Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden tiba-tiba menarik lengannya. Sentuhan itu tidak keras, tetapi cukup untuk menghentikan langkahnya.
Lea menatap Kayden dengan tatapan penuh tanya. “Ada apa?”
Kayden diam beberapa saat, hingga akhirnya menjawab, “Tidak ada. Jika suamimu itu memukulmu lagi, jangan ragu untuk datang kepadaku.”
Kepala Lea secara impulsif mengangguk dengan pelan. Setelah Kayden melepaskan genggaman tangannya, ia pun melangkah menuju pintu utama. Sebenarnya, Lea sempat berpikir Kayden mungkin akan menahannya, tetapi pria itu membiarkannya pergi begitu saja.
“Mengapa dia mengatakan itu? ‘Jangan ragu datang kepadaku jika Noah menyakitimu lagi’. Bukankah dia juga tidak lebih baik?” gumam Lea saat di tengah perjalanan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Kayden saat di villa.
Setelah hampir saatnya tiba di villa Noah, mendadak langkah Lea terasa begitu berat. Ada ketakutan sekaligus keraguan menyergap dirinya. Rasanya, Lea tidak siap bertemu Noah kembali.
Namun tanpa ia sadari, langkah kakinya sudah memasuki area villa suaminya itu. Dengan keberanian yang sedikit terkumpul di sepanjang perjalanan, Lea memasuki villa tersebut dengan perasaan waspada.
Hening, tidak ada siapa pun di sana. Lea melangkah di lorong villa hendak menuju kamarnya. Namun ketika kakinya akan menginjak anak tangga, suara Noah tiba-tiba mengudara.
“Dari mana saja kamu?” tanya pria itu. Matanya menatap dingin, seolah kehangatan tidak diperuntukkan untuk Lea.
Sekujur tubuh Lea seketika membeku. Seolah udara di dunia ini mendadak habis, ia kesulitan untuk bernapas. Dengan sedikit gemetar, Lea pun berbalik.
“Aku … aku ….” Wanita itu tergagap.
Lea melangkah mundur ketika Noah berjalan mendekatinya. Dilihat dari bagaimana reaksinya sekarang, jelas sekali Lea merasa takut pada suaminya itu. Lea takut Noah akan kembali menghajarnya seperti tadi malam.
“Kita akan pergi ke suatu tempat yang bagus. Jadi, pastikan kamu terlihat seperti istri yang bisa kubanggakan,” ujar Noah dengan suara datar. “Aku tidak butuh istri yang cantik. Aku butuh istri yang tidak memalukan.”
Lea mengangguk pelan, seperti boneka yang hanya tahu mengikuti perintah tanpa bisa bertanya. Begitu Noah pergi, Lea langsung mengembuskan napas lega. Ia segera bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Sesampainya di dalam kamar dan mengunci pintu, Lea bersandar di balik pintu sambil memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. “Ke mana dia akan membawaku pergi?” gumamnya pelan.
Tak ingin membuang waktu, Lea melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meskipun pagi itu udara terasa menusuk kulit, tubuh Lea justru terasa panas seperti terbakar api. Air dingin yang mengalir dari pancuran menjadi pelarian sesaatnya.
Selesai mandi, Lea keluar dengan rambut yang masih setengah basah dan handuk melilit tubuhnya. Ia berdiri di depan lemari, mencari pakaian yang sesuai seperti perintah Noah. Sebuah gaun sederhana berwarna biru laut dengan potongan elegan namun tidak terlalu mencolok menjadi pilihan Lea.
Selesai berpakaian, Lea segera duduk di depan meja rias untuk merias wajahnya. Begitu selesai, Lea menatap pantulan dirinya tanpa ada rasa semangat. Meski penampilannya tampak sempurna, ada rasa hampa menyelimuti dirinya.
“Baiklah, Lea. Dia tidak perlu istri yang cantik, tapi dia perlu istri yang tidak memalukan. Kamu pasti bisa melakukannya,” katanya sebelum melangkah keluar dari kamar.
Lea pun turun ke lantai satu dan langsung menuju ruang tengah. Di sana sudah ada Noah yang menunggunya. Ketika mendengar langkah kaki Lea, pria itu berbalik dengan perlahan.
“Bagus,” kata Noah setelah mengamati Lea dengan seksama. Tatapannya tidak menunjukkan pujian, lebih seperti penilaian yang seolah memastikan bahwa penampilan Lea cukup pantas untuk mendampinginya.
Lea mengikuti Noah keluar tanpa sepatah kata. Ketika mereka berdiri di ujung teras, Noah tiba-tiba mendekati Lea dan melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu. Dan dengan gerakan cepat, Noah melakukan gerakan seperti ingin mencium istrinya itu.
Lea merasa sangat terkejut, tetapi saat ia berpikir Noah akan menciumnya, pria itu tidak benar-benar melakukannya. Tepat sebelum bibir mereka bertemu, Noah berhenti dan membisikkan sesuatu.
“Kita harus berakting sekarang.”
Langit Santorini memancarkan semburat oranye keemasan saat senja menuruni cakrawala. Laut biru membentang luas di hadapan mereka, sementara angin laut yang hangat menyapu perlahan kulit mereka.Di balkon vila pribadi yang menghadap laut, Lea bersandar di dada Kayden, dibalut gaun putih tipis dengan rambut tergerai lembut tertiup angin.“Aku masih tidak percaya kita sudah menikah,” bisik Lea, jemarinya menggenggam tangan Kayden yang melingkari pinggangnya dari belakang.Kayden menunduk, mencium pelipis Lea dengan pelan. “Kalau begitu, aku harus lebih sering mengingatkanmu.”Lea terkekeh kecil. “Dengan apa? Ciuman? Pelukan? Atau ... sesuatu yang lain?”Kayden tertawa pelan di telinganya. “Semua itu. Dan lebih.”Ia membalik tubuh Lea perlahan agar menghadap padanya. Mata mereka bertemu, dan sesaat dunia terasa hening. Jemari Kayden mengusap lembut rahang Lea, kemudian menyelip ke belakang lehernya.“Kamu tahu,” ucap Kayden pelan, “sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kamu akan menghanc
Gedung megah itu berdiri anggun di jantung Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan cahaya matahari sore yang perlahan menurun.Dikelilingi taman pribadi dan air mancur yang menjulang di tengah pelataran marmer putih, lokasi itu dipilih Kayden sendiri.Tempat eksklusif yang tak pernah dibuka untuk umum, hanya untuk perayaan yang benar-benar berarti.Sore itu, ballroom dengan dinding kaca sepenuhnya berubah menjadi taman impian. Kelopak mawar putih berjatuhan dari langit-langit kaca, sementara pilar-pilar klasik dihiasi anggrek dan bunga lili yang dirangkai dengan kristal halus.Suara denting harpa mengalun lembut di latar, mengisi ruang dengan kemegahan tanpa kesan berlebihan. Hanya tamu pilihan yang hadir. Orang-orang yang benar-benar berarti dalam hidup Lea dan Kayden.Julianne tampak anggun dengan gaun berwarna champagne, berdiri di sisi kursi tamu bersama Indi dan Rhaelil. Silas mengenakan tuksedo hitam pekat, berdiri di dekat altar sebagai pendamping utama Kayden.Kaelyn Br
Lea menatap Kayden dengan mata membulat, tak percaya pada apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Seluruh pikirannya membeku sejenak, digantikan oleh satu gelombang emosi yang tak tertahan—kaget, haru, bahagia, semuanya berbaur jadi satu.Cincin berlian itu berkilau indah. Namun bukan kilau cincin yang membuat hatinya bergetar hebat, melainkan pria yang saat ini berlutut di hadapannya.“Kayden …,” bisik Lea, matanya mulai basah.Kayden tetap menatapnya penuh keyakinan. “Aku tahu semua yang kamu lewati tidak mudah, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi hari ini, dan setiap hari setelah ini, aku ingin menjadi orang yang berdiri di sampingmu. Menjadi rumahmu, pelindungmu, teman sekaligus kekasihmu.”Lea menutup mulutnya, berusaha menahan isak yang mulai pecah.“Aku tahu kamu kuat tanpaku, Little Rose. Tapi izinkan aku menjadi orang yang membuat hidupmu sedikit lebih ringan. Lebih hangat. Selamanya,” ucap Kayden lembut namun tegas.Tangan Lea bergetar saat menutupi dadanya, tak sa
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki