Mag-log in"Aku tidak melihat alasan untuk menolaknya, Laura."
Jawaban Darren seketika membuat suasana hening. Semua mata tertuju padanya dengan tidak percaya, termasuk Laura yang membelalak lebar.
Laura pikir Darren ada di pihaknya. Ia pikir Darren bukan hanya akan menolak, bahkan menertawakan isi wasiat itu, tapi mengapa pria itu malah menerimanya?
"Ini gila!" Wanda meradang. "Anda tidak mungkin menerimanya begitu saja, Pak Darren! Dan juga, pasti ada kesalahan di sini, Pak Pengacara! Tidak mungkin Laura harus dinikahi Pak Darren!"
"Benar!" sahut Darwis, kakak Yusak. "Laura baru saja menjadi janda, tidak mungkin dia menikah lagi! Selain itu, Laura juga adalah tanggung jawab kami sebagai keluarga suaminya!"
Wanda yang mendengarnya kembali membelalak tidak terima. "Siapa yang mau bertanggung jawab atas dia, jangan gila kau, Darwis! Tapi tidak diberikan pada Pak Darren juga! Laura lebih pantas menjadi pelayannya daripada menjadi istrinya!" cecar Wanda lagi.
Seketika suasana riuh. Wanda dan Darwis berdebat tidak setuju Laura diberikan pada Darren, begitu juga dengan Laura sendiri yang tidak mau menikah dengan pria itu.
Namun, Darren tetap pada keputusannya.
"Aku yang memutuskan pantas atau tidak untukku, Bu Wanda! Aku menghormati wasiat Yusak dan aku siap untuk menikahi Laura," tegas Darren yang membuat Laura lemas seketika.
* Rasanya masih seperti mimpi buruk saat akhirnya Laura resmi menjadi istri Darren hanya selang dua hari sejak suaminya meninggal.Sungguh gila dan tidak bermoral. Entah pernikahan ini sah atau tidak.
Laura yang sudah diusir oleh Wanda pun akhirnya dibawa tinggal di rumah pria itu. Rumah besar itu berdiri megah di kawasan elit, tapi Laura merasa kecil dan kesepian di dalamnya.
Air mata Laura mengalir. Ia duduk di sudut ranjang, memeluk tubuhnya sambil menatap langit-langit, seolah ia sedang berbicara dengan suaminya di sana.
"Yusak ... apa ini yang kau inginkan?" bisiknya lirih. "Mengapa kau harus memberikan aku pada pria lain dan mengapa harus dia?"
Selama dua tahun menjadi istri Yusak, Laura bisa menghitung berapa kali Darren mengajaknya bicara. Pria itu terlalu misterius dan sering menatapnya dengan tatapan aneh.
Ada yang bilang pria itu kejam. Ada yang bilang ia sudah punya anak di luar nikah, tapi ada juga yang bilang ia tidak suka wanita.
Bagian tidak suka wanita, Laura tahu itu tidak benar. Darren menyukai wanita, bahkan sudah terbiasa menyentuh wanita dengan luwes. Ia masih merinding dengan kenyataan bahwa pria itu sudah menjadi suaminya.
Darren tetap tidak banyak bicara begitu mereka tiba di rumah ini kemarin. Pria itu hanya berkata, "Ini kamarmu! Kita tidak akan tidur sekamar."
"Syukurlah! Aku juga tidak mau tidur sekamar denganmu," jawab Laura, melupakan semua panggilan formalnya.
Hanya itu. Tidak ada pertanyaan apakah ia baik-baik saja atau pembahasan apa pun.
Rasanya dingin. Terlalu dingin.
Jika ini balasan dari setia dan sabarnya selama ini, mengapa begitu menyakitkan?
Ia bahkan belum sempat berkabung dengan benar, tapi dunia terlalu cepat memaksanya berpindah peran.
Laura masih begitu hanyut dalam pikirannya saat ketukan pelan terdengar di pintu. Laura menoleh dan ia melihat Darren yang masuk tanpa menunggu ijin.
Laura menahan napasnya sejenak. Aura pria itu seolah menyerap semua energi Laura. Setiap langkahnya mendekat membuat debar jantung Laura menghentak kencang.
"Keluar dan makanlah! Kau sudah terlalu lama mengurung diri di kamar." Suara itu berseru datar.
Laura terdiam dan hanya menatap wajah dingin itu, sebelum ia malah balik bertanya.
"Mengapa kau menikahiku?" tanya Laura putus asa. "Kau bisa saja menolak wasiat itu, tapi mengapa kau harus menerimanya? Berikan alasan agar aku juga bisa menerimanya!" Laura sedikit emosional.
Darren tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat dan menunduk menyejajarkan posisinya dengan Laura. Sorot matanya tidak bisa ditebak, dingin, tapi tidak kejam. Lembut, tapi membuat merinding.
"Aku sudah bilang aku menghormati wasiat Yusak kan?"
Laura mengeraskan rahangnya, menatap Darren tanpa rasa takut.
"Pasti ada alasan lain kan? Tidak mungkin semudah itu kau menerima wasiat gila ini!" geram Laura dengan suara sedikit bergetar. "Kita bahkan tidak terlalu saling mengenal sebelumnya, sampai malam itu ...."
"Aku mengenalmu, itu sudah cukup!" Darren menyela dengan suara tenang.
Laura menggeleng tidak terima. "Tidak cukup! Ini bukan menyangkut dirimu saja, Darren! Ini menyangkut aku, hidupku, masa depanku ...."
"Aku tidak suka keputusan yang sudah kubuat dipertanyakan lagi, Laura!" sela Darren lagi.
Nada suaranya datar, tapi menusuk. Seolah keputusan itu bukan sesuatu yang bisa dibahas atau diubah lagi, seolah perasaan Laura juga tidak penting di sana.
"Kau lelah! Lebih baik kau makan dulu lalu istirahat dan jangan banyak berpikir!" imbuh Darren sambil menegakkan tubuhnya dan menatap Laura sedikit lebih lama.
Dengan tetap tenang, Darren berbalik dan melangkah pergi ke arah pintu. Baru saja ia memegang gagang pintu saat suara Laura kembali terdengar.
"Apa kau menikahiku karena apa yang terjadi di antara kita malam itu?"
**Takdir tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan. Kadang ia menyamar sebagai ujian, kehilangan, atau air mata. Namun, Tuhan tidak pernah salah menulis kisah. Ia hanya menunda bahagia, sampai hati kita cukup kuat untuk benar-benar menerima dan bersyukur atas setiap momennya. Seperti kisah hidup Laura. Begitu banyak hal yang sudah ia lalui sejak awal. Ditinggalkan ibunya, tidak diinginkan keluarganya, diperlakukan tidak baik oleh suaminya, diwariskan, mendapati pria yang menjadi suami barunya punya banyak rahasia yang terus menyiksa batinnya. Semuanya sakit sampai Laura ingin melarikan diri dari semuanya. Tapi Tuhan tidak pernah ingkar janji. Tuhan selalu menjanjikan pelangi setelah hujan badai, begitu juga dengan akhir kisah Laura. Laura belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari hidup yang sempurna, melainkan dari hati yang memilih untuk tetap sabar di tengah ketidaksempurnaan. Dan hadiah untuk kesabaran itu sangat luar biasa. "Selamat satu bulan, Carlo Pratama!" Suara se
"Welcome Home, Carlo!" Sebuah spanduk dan hiasan-hiasan sudah terpasang penuh di rumah Darren dari pintu masuk sampai ke kamar bayi hari itu. Setelah menginap di rumah sakit selama dua hari, akhirnya Laura dan si kecil Carlo pun diijinkan pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat sehat. Semua anggota keluarga pun begitu antusias menyambut anggota baru di keluarga mereka itu. "Selamat datang di rumah, Carlo Sayang!" seru Laura sambil menggendong anaknya itu. "Cia mau lihat! Cia mau!" Cia sudah berloncatan ingin memeluk adiknya. Laura pun membungkuk agar Cia bisa melihat adiknya itu dan Cia pun tertawa begitu cantik melihat bayi tampan di gendongan Laura itu. "Ih, adik Carlo gemas. Cia mau gendong!" "Belum bisa, Sayang. Cia masih belum kuat, tapi Carlo lucu sekali, Darren, Laura!" seru Winda yang ikut gemas melihat Carlo. "Wajahnya mirip dengan Laura," seru Harry juga. "Tapi ada miripnya dengan Darren. Dia benar-benar perpaduan Darren dan Laura, tampan sekali," timpal Winda.
Beberapa bulan berlalu dan waktu melahirkan pun sudah semakin dekat. Saat kandungannya mulai besar, Laura makin aktif, bahkan Laura kembali bekerja di perusahaan, tentunya dengan status yang baru. Semua orang menghormati Laura dan Laura merasakan hari-harinya yang jauh lebih bahagia. Persahabatannya dengan Nada tetap sama, malahan Laura tidak mau dipanggil Bu dan ingin tetap dipanggil nama oleh sahabatnya itu. Bukan hanya Nada, tapi Marlin juga sudah menjadi sahabat Laura juga sekarang. "Aku saja yang membawa ini, Laura. Perutmu sudah terlalu besar, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Lalu yang ini, biar aku saja yang mengerjakannya. Ada hal lain yang kau butuhkan? Apa pun yang kau perlu, panggil aku saja ya!" Setiap harinya, Marlin selalu sibuk melayani Laura, padahal pekerjaan wanita itu sendiri sudah begitu sibuk. Sejak Darwis resmi dipecat, akhirnya Marlin diangkat menjadi manager keuangan. Di bawah kepemimpinan Marlin, keuangan menjadi lebih kokoh dan solid. Marlin
"Aku mau mie ayam dan permen susu madu." "Cia juga mau permen susu madu sama kue strawberry." "Oh, kue strawberry. Mama juga mau. Ayo kita minta Papa pergi membelinya." Cia mengangguk bersemangat dan langsung berteriak memanggil Papanya. "Papa!" Suara anak itu pun begitu ribut di rumah dan membuat rumah Darren semakin berwarna. Cia, anak yang dulunya lebih banyak diam dan hanya berteriak sesekali, sekarang menjadi anak yang luar biasa ceria. Tidak ada orang yang mengekang teriakannya, tidak ada orang yang mengekang tawanya, Cia sangat bahagia. "Papa!" "Iya, Papa datang, Sayang. Ada apa? Papa sedang bersiap ke kantor." "Tapi Mama sama Cia mau banyak makanan, Papa." Cia memasang ekspresi memelasnya. Tidak hanya Cia, karena sekarang Laura pun menatap Darren dengan penuh harap dan Darren selalu tidak tahan melihat tatapan itu. "Ya ampun, apa yang kalian mau, hah? Beritahu Papa!" Darren langsung memeluk sandaran kursi Laura dan Cia yang saat ini duduk berjejer di meja makan. "M
"Sampai jumpa lagi, Cucu Grandma! Kalau Cia merindukan Grandma dan Grandpa, telepon kami!" Setelah semua acara duka Winny berakhir, Harry dan Winda memutuskan untuk kembali ke Amerika dan menetap di sana. Perpisahan di bandara dengan Cia benar-benar membuat mereka menangis. Mereka sudah menyayangi cucu mereka sekarang, tapi mereka tahu bersama Darren dan Laura, Cia akan lebih bahagia. Tidak ada yang tahu siapa ayah Cia yang sesungguhnya karena Winny sering berpesta liar sebelumnya, tapi tidak ada yang berniat mencari tahu tentang itu. Biarlah dunia tahu bahwa Cia adalah anak Darren dan Laura. "Dah, Grandma, Grandpa!" Cia memeluk Harry dan Winda lalu mencium mereka. Tangan kecil itu menangkup pipi Winda dan rasanya hangat sekali. "Sekali lagi maafkan kami atas semuanya dan terima kasih, Darren, Laura." Darren dan Laura ikut mengantar kepulangan Harry dan Winda. "Bolehkah aku juga menelepon Om dan Tante kalau aku rindu?" tanya Laura yang membuat tangisan Winda makin deras. "Te
Winny tidak bisa meminta lebih. Tuhan sudah memberinya lebih dari sekedar bonus. Ia sudah bahagia sekarang. Melihat bagaimana Darren dan Laura bahagia, membuatnya ikut bahagia. Cia sendiri akhirnya ikut naik ke panggung dan memeluk kedua orang tuanya di sana. Pemandangan yang indah. Winny menghela napas dalam, air matanya terus mengalir, tapi bukan karena sedih."Aku baru saja merasakan bahagia yang sesungguhnya di akhir hidupku, Karina," ucap Winny lirih pada Karina yang selalu setia menemaninya dan mendorong kursi rodanya. "Akhir hidup apa? Jangan bicara begitu, Winny!" "Jangan mencoba menghiburku lagi! Aku sudah menerimanya. Kalian juga harus menerimanya." "Winny ...." "Perpisahan tidak akan terasa menyakitkan kalau yang kita tinggalkan adalah kebahagiaan, Karina." Winny tersenyum dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Carilah sahabat baru yang bisa membawamu ke jalan yang tetap lurus, ke jalan yang lebih baik, jangan seperti saat kau bersamaku." "Tidak akan ada sahabat te







