Laura menahan napasnya sejenak. Bagaimana ini bisa dikatakan wasiat? Bagaimana ia bisa diwariskan begitu saja seperti sebuah barang.
Ini pasti lelucon. Yusak tidak mungkin menginginkan ini.
Belum sempat Laura menyahut, suara Darwis, kakak Yusak, sudah terdengar di sana.
"Wasiat macam apa ini? Laura diwariskan? Ini gila! Laura baru saja menjadi janda, tidak mungkin dia menikah lagi! Selain itu, Laura juga adalah tanggung jawab kami sebagai keluarga suaminya!"
Wanda yang mendengarnya langsung membelalak tidak terima. "Siapa yang mau bertanggung jawab atas dia, jangan gila kau, Darwis! Tapi tidak diberikan pada Pak Darren juga! Yusak pasti sudah gila kan? Pak Darren tentu saja tidak mau menikahi wanita bekas seperti Laura kan?"
Wanda menatap Darren dengan hormat dan segan.
Pria muda yang kaya raya itu adalah sahabat Yusak, sekaligus bos di tempat Yusak dan Darwis bekerja.
Darren banyak membantu Yusak dan Darwis sampai hidup mereka menjadi sangat makmur. Tapi mereka tetap bukan orang kaya. Keluarga mereka hanya keluarga menengah yang tidak mempunyai terlalu banyak harta untuk diwariskan.
"Bagaimanapun Ibu tidak setuju! Biar saja Laura pulang kembali pada keluarga miskinnya itu! Bahkan Laura lebih pantas menjadi pelayan Pak Darren daripada menjadi istrinya!" cecar Wanda lagi.
Seketika suasana riuh. Wanda dan Darwis tidak setuju Laura diberikan pada Darren, begitu juga dengan Laura sendiri yang tidak mau menikah dengan Darren.
Bukan hanya karena Laura tidak menyukai Darren, tapi juga karena pria itu sudah menyentuhnya dengan kurang ajar dan mengambil kesuciannya yang harusnya menjadi hak Yusak.
Laura marah, walau ia belum sempat melampiaskan amarahnya karena terlalu terkejut dengan semua ini. Sontak, ia pun kembali menatap pria yang ia tinggalkan begitu saja di kamar waktu itu.
Saat tatapan mereka bertemu, sekelibat ingatan mendadak muncul di otak Laura dan membuatnya membeku, percakapan terakhir yang tanpa sengaja ia dengar di pesta malam itu.
Laura baru akan ke toilet saat ia melihat Darren dan Yusak berdebat di ruangan kecil di samping toilet. Entah apa tepatnya yang mereka bicarakan, tapi ada bagian yang bisa Laura dengarkan dengan jelas.
"Kalau kau berani melakukannya, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri, Yusak!" Suara Darren terdengar tajam, tegas, dan menantang.
"Dan setelah aku mati, kau bisa memiliki Laura, Darren. Aku akan memberikannya padamu ...," sahut Yusak yang seolah begitu pasrah.
Jantung Laura memacu makin kencang. Laura yakin ada sesuatu yang terjadi antara keduanya, dan ada campur tangan Darren karena tidak lama setelahnya, Laura merasa pusing sampai berakhir tidur dengan pria itu.
Lalu Yusak meninggal dan mendadak mewariskan dirinya untuk Darren.
Tubuh Laura gemetar. Seketika ia memahami semuanya. Yusak bukan meninggal secara wajar. Yusak mungkin dibunuh dan pembunuhnya mungkin Darren. Ya, Laura yakin itu.
"Aku tidak mau! Semuanya rekayasa! Aku tidak mau menikah dengan pembunuh suamiku! Aku tidak mau!" teriak Laura tiba-tiba dengan histeris.
Semua orang mendadak menatap Laura seolah ia gila.
"Lancang sekali! Siapa maksudmu yang membunuh Yusak? Kau benar-benar tidak tahu diri, Laura!" geram Wanda.
Namun, Laura tetap menuduh Darren pembunuh dan ia terus menolak wasiat itu. Hanya saja, tidak ada satu pun yang menyangka bahwa Darren akan menerima wasiat gila itu begitu saja.
"Aku bersedia menikahi Laura!"
* Rasanya masih seperti mimpi buruk saat akhirnya Laura resmi menjadi istri Darren hanya selang satu minggu sejak suaminya meninggal.Sungguh gila dan tidak bermoral. Entah pernikahan ini sah atau tidak.
Semua orang menentangnya, tapi Darren yang tidak punya perasaan itu memaksa untuk memiliki Laura.
Laura yang sudah diusir oleh Wanda pun akhirnya dibawa tinggal di rumah pria itu, sebuah rumah mewah di kawasan elit. Mereka hanya tinggal berdua bersama para pelayan di sana.
"Aku tidak sudi menjadi istrimu!" Teriakan Laura begitu keras terdengar saat Darren masuk ke kamarnya.
Pria itu berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke kantong celananya, dingin, tanpa ekspresi, seolah tidak memiliki emosi.
"Aku hanya melakukan apa yang diwasiatkan oleh Yusak, Laura."
Laura tertawa kesal. "Wasiat? Kau tahu kalau wasiat itu sangat aneh kan? Katakan apa yang sudah kau lakukan pada suamiku sampai dia bisa membuat wasiat seperti itu? Kau yang membunuhnya kan? Kau yang membunuh suamiku kan?" bentak Laura sambil memukul dada pria itu dengan kedua lengannya.
Dengan sigap, Darren menahan kedua lengan itu.
"Harus berapa kali kubilang kalau aku tidak punya alasan membunuhnya, Laura!"
"Kau punya! Kau punya alasan melakukannya! Aku mendengar sendiri kau mengancam akan membunuhnya! Lalu kau memberiku obat perangsang agar aku tidur denganmu! Kau psikopat, Darren!"
"Jangan gila, Laura! Kematian Yusak adalah musibah, dan tidak ada satu orang pun yang mau musibah itu terjadi. Aku juga tidak pernah memberimu obat apa pun!"
"Tidak ada pembunuh yang akan mengakui kesalahannya, Darren! Dan aku tidak mau tinggal bersama pembunuh!"
Darren menggeram dan melepaskan lengan Laura begitu saja. "Baiklah, terserah padamu! Yang jelas, sekarang kau sudah menjadi istriku, jadi suka atau tidak, kau akan tetap di sini! Dan demi ketenangan kita bersama, jangan ke mana-mana sampai aku kembali nanti!"
Darren menatap Laura sedikit lebih lama, sebelum ia memutuskan keluar dari kamar itu.
Laura yang ditinggalkan sendirian pun mendadak tertawa frustasi dan mengamuk. Ia langsung meraih lampu meja lalu melemparnya ke arah pintu yang baru saja tertutup.
"Akhh!"
Prang!
Suaranya begitu keras didengar Darren dari luar, diikuti teriakan Laura yang begitu frustasi."Mengapa aku tidak boleh ke mana-mana? Aku bukan tahanan! Aku tidak mau tinggal di sini bersama pembunuh!"
**Brak!Suara pintu tertutup membuat Darren dan Oscar menoleh ke atas. Mereka hanya tinggal berdua setelah anak buah pergi bersama koruptor yang berani menggelapkan dana proyek. "Apa itu Laura? Dia mau keluar tapi tidak jadi?" Oscar menatap penuh tanya pada balkon di depan kamar Laura. Darren ikut menatap pintu kamar Laura yang tertutup sambil mengembuskan napas panjangnya. "Biarkan saja, Oscar! Aku akan mengatasinya nanti. Tapi semua masalah ini membuat kepalaku berdenyut. Untung saja kita sudah berhasil menyingkirkan koruptor itu, jadi kita bisa fokus meredam gosip." "Ya, akhir-akhir ini banyak masalah di perusahaan, tapi ada baiknya kau menyelesaikan urusan istrimu, sebelum dia menambah deretan masalah kita, Darren!" "Aku tahu apa yang harus kulakukan, Oscar!" sahut Darren tajam. Oscar mengangkat bahunya. "Baiklah, aku tidak bicara lagi! Tapi kalau tidak ada hal lain, aku pulang duluan!"Oscar segera berpamitan dan pergi dari sana, sementara Darren menatap pintu kamar Laura sed
"Dia pasti menjual dirinya, Ibu! Bukankah Pak Darren itu bosnya Yusak juga? Aku masuk ke perusahaan itu juga karena rekomendasi Yusak. Ya, Laura pasti menjual dirinya pada Pak Darren!" Claudia menatap jijik pada rumah mewah Darren seolah ia sedang menatap Laura sekarang. "Oh, kau benar juga, Claudia! Dasar wanita murahan! Mungkin dia tidak mau dengan Pak Bono yang gendut dan jelek, tapi dia maunya sekelas Pak Darren yang masih muda dan gagah." "Tapi bukankah itu mustahil Pak Darren mau padanya?" "Ah, kau benar juga, Sayang! Kalau Pak Darren mau wanita, pastilah dia mencari yang cantik sepertimu, bukan yang jelek dan bekas seperti Laura. Tapi ini masih tidak masuk akal. Kalau memang dia tinggal di rumah mewah seperti ini, untuk apa lagi dia pulang ke rumah kita?" Claudia mengerjapkan mata mendengarnya. "Ibu benar juga. Ini masih aneh sekali." "Ck, tapi sudahlah, ayo kita pulang dulu dan tanyakan lagi dengan jelas!" Ayudia dan Claudia pun akhirnya pulang dan langsung mencari tahu
Darren tidak memberi ruang untuk Laura membantah lagi. Tangannya menyusup lebih dalam, menyentuh bagian paling pribadi dari tubuh Laura, menggerayangi dengan penuh kuasa. Tubuh Laura menegang, mulutnya mengumpat, tapi suara yang keluar justru berupa desahan tertahan."Ah ... tidak ... Darren ... jangan!"Namun, tubuhnya mengkhianatinya. Tangan Darren terus bermain, menguasai kelembutan wanita itu dengan intensitas yang membuat Laura menggigil. Tubuhnya mulai bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena gelombang kenikmatan yang menyerbu bertubi-tubi—dan ia membencinya. Ia membenci tubuhnya sendiri yang menyambut sentuhan Darren.Darren mendekatkan wajahnya, matanya menatap Laura dalam-dalam. "Aku tahu kau sedang berduka, tapi ini mengejutkan bagaimana kau tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini padahal kau sudah menikah, Laura." "Kau ... brengsek, Darren ...." Laura mengumpat, tapi tidak menghentikan apa yang Darren lakukan lagi. Tangan pria itu terus menyiksa Laura, seme
Semua orang tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan Laura. Entah Laura harus lega atau malah takut melihat pria itu di sana. Darren, suaminya ada di sana dengan tatapan tajam dan aura dinginnya. "Siapa kau? Berani sekali mendobrak pintu dan menganggu kesenanganku!" geram Pak Bono yang langsung memberi kode anak buahnya untuk maju. Tanpa menjawab, Darren melangkah cepat. Dua anak buah Pak Bono maju menyerang, namun dalam hitungan detik, tubuh mereka terpelanting ke sisi ruangan. Tatapan Darren beralih pada Pak Bono dan langsung menyerangnya."Berani sekali kau menyentuhnya!" Buk!Tinju Darren menghantam rahang Pak Bono. Pria gempal itu jatuh terhempas dan tidak mampu berdiri lagi.Dengan cepat, Darren pun menarik tangan Laura, menyeretnya keluar dari klub itu."Apa ini, Darren? Lepaskan aku!" pekik Laura tidak terima. Laura sampai berkali-kali tersandung mengikuti langkah pria itu. Tapi Darren tidak melambat dan malah mendorong Laura masuk ke mobil
Ayudia, wanita paruh baya dengan dandanan menor berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Tatapannya menusuk, menatap Laura seolah ia adalah beban dunia. Di sampingnya, Claudia, juga berdiri menyilangkan tangan, senyum sinis terlukis di bibirnya.Laura membalas tatapan itu dengan kebencian yang sama. Ayudia, selingkuhan ayahnya yang akhirnya dinikahi adalah sumber kehancuran keluarganya. Sejak wanita itu datang, ayah Laura berubah, memperlakukan istri serta anak kandungnya sendiri seperti sampah. Claudia, anak Ayudia dari pernikahan sebelumnya, tidak berbeda dengan ibunya yang jalang. Mereka hanya menjadikan Laura sebagai ATM berjalan yang harus selalu menyediakan uang setiap kali mereka butuh. Kalau Laura tidak mau memberi uang, ayahnya akan turun tangan, memukul dan memaki Laura tanpa perasaan. Itulah alasan utama mengapa Laura begitu cepat menerima lamaran Yusak saat umurnya masih 21 tahun waktu itu, karena Laura ingin pergi dari keluarga toxicnya. Dan kini, disambut den
Suara ketukan pintu terdengar pelan, menyusul keheningan yang menggantung setelah Darren pergi. Seorang pelayan wanita paruh baya masuk dengan hati-hati, membawa nampan berisi makanan.Langkahnya terhenti begitu melihat lampu meja yang pecah di lantai. Namun, wajahnya tetap tenang, dan ia berusaha tersenyum."Selamat siang, Bu Laura," sapanya lembut. "Aku Bik Erna, pelayan pribadi Anda. Aku membawakan makan siang untuk Anda. Apa Anda mau makan di sini atau di ruang makan saja?" Laura hanya meliriknya sekilas tanpa minat. "Letakkan saja di meja, aku tidak lapar.""Tapi Anda belum makan apa-apa sejak pagi, Bu."Laura berdiri menatap jendela, masih membelakangi Bik Erna. Namun, alih-alih menjawab, ia malah bertanya hal lain. "Apa pembunuh itu sudah pergi?" "Eh, siapa maksudnya, Bu?" "Darren! Siapa lagi? Di mana dia sekarang?" "Ah, Pak Darren baru saja kembali ke kantornya. Tapi apa ada pesan untuk Pak Darren? Anda mau aku meneleponnya?" "Tidak! Jangan!"Laura berbalik cepat, suaran