LOGINLaura tidak mau mengingat malam itu, malam kelam yang tidak seharusnya terjadi antara dirinya dan sahabat suaminya.
Mereka sedang ada di pesta perusahaan malam itu. Laura bersumpah tidak minum alkohol, hanya segelas jus jeruk. Tapi tidak lama setelahnya, ia merasakan pusing dan rasa aneh di tubuhnya.
Saat ia bangun keesokan harinya, ia menemukan dirinya berada di ranjang yang sama dengan Darren. Dan kejadian itu terjadi tepat di malam Yusak mengembuskan napas terakhirnya.
Tubuh Laura gemetar mengingat dosa terlarang yang ia sembunyikan sampai detik ini.
"Apa itu alasannya? Kau mau bertanggung jawab sampai akhirnya menikahiku karena kejadian malam itu kan?" ulang Laura.
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Jangan berpura-pura, Darren! Kita melakukannya malam itu!" Suara Laura meninggi. "Aku tidak sadar waktu itu, kepalaku pusing dan tubuhku panas! Aku pikir kau adalah Yusak. Tapi kau sendiri tahu aku ini istri sahabatmu, mengapa kau tidak menolakku dan malah melanjutkan semuanya?"
Darren memicingkan matanya. "Apa kau sedang menyalahkan aku sekarang, Laura? Malam itu kau terus menyerangku dan aku pria normal. Semua pria normal tidak akan sanggup bertahan dengan godaan tanpa henti."
"Tapi aku ini istri orang!"
"Sekarang sudah menjadi istriku."
Laura tertawa getir. "Bagaimana kau bisa mengatakannya segampang itu, hah? Apa kau sudah merencanakan ini? Atau mungkin kau juga yang memasukkan sesuatu ke dalam minumanku sampai aku berakhir denganmu?"
"Pikiranmu sudah terlalu jauh, Laura!" Suara Darren tetap tenang, walaupun kali ini terdengar muak. "Seperti yang kubilang, kau harus istirahat. Dan demi ketenangan kita bersama, jangan ke mana-mana sampai aku kembali nanti!"
Darren menatap Laura sedikit lebih lama, sebelum ia memutuskan keluar dari kamar itu.
Laura yang ditinggalkan sendirian pun mendadak tertawa frustasi.
"Mengapa aku tidak boleh ke mana-mana? Aku ini istri atau tahanan?"
Kepala Laura berdenyut. Ia terlalu lelah menangis sejak Yusak meninggal, ia susah tidur, dan tubuhnya lelah. Ditambah rasa frustasi dan bersalah yang terus melingkupi dirinya mengingat malam itu.
"Bagaimana bisa kau masih perawan, Laura?"
Bisikan parau itu terngiang di telinganya, menusuk hingga ke dasar jiwanya. Dua tahun menikah dengan Yusak, belum pernah sekalipun ia disentuh sebagai seorang istri. Tapi malam itu—malam sialan itu—Darren menyentuh setiap inchi tubuhnya.
Pria itu merenggut kesuciannya yang seharusnya hak Yusak. Laura masih mengingat rasa perih yang membelah tubuhnya, napas memburu, desahan yang tidak seharusnya keluar.
"Aku pikir itu kau, Yusak! Maafkan aku! Aku pikir itu kau …," bisiknya putus asa.
Sementara itu, di luar kamar, Darren berjalan menuju ruang kerjanya. Oscar, asisten sekaligus sahabatnya sudah menunggu di sana, berdiri tegak sambil membawa berkas-berkas penting.
"Kau sudah datang, Oscar!" ujar Darren yang duduk di kursinya sambil memijat pelipisnya.
Oscar meletakkan map di atas meja. "Aku tidak suka suasana kantor hari ini. Semua orang membicarakan Yusak. Kematian mendadak, pesta kantor, sampai dugaan overdosis."
Yusak memang ditemukan meninggal di kamar hotel setelah menghadiri pesta perusahaan dan gosip-gosip makin liar dengan menuduh ada pesta obat terlarang saat itu.
"Siapkan konferensi pers besok, katakan Yusak meninggal karena serangan jantung. Kita harus menyelesaikan semuanya, sebelum berita ini berimbas pada proyek kita!"
Oscar mengangkat bahunya. "Sayangnya ini sudah berimbas, Darren. Pihak Aurora Hotel menunda pertemuan sampai berita negatif tentang perusahaan mereda." Oscar menunjukkan pesannya pada Darren.
"Sial!" Darren mengepalkan tangannya.
Oscar mengembuskan napas panjangnya. "Ini baru berita kematian, bagaimana kalau mereka tahu tentang kau yang menikahi janda Yusak, hah? Aku bahkan tidak tahu harus mengucapkan selamat padamu atau tidak!"
"Kau pikir aku tidak terkejut? Aku juga tidak punya pilihan!"
"Lalu kau sudah memberitahu orang tuamu?"
"Belum."
"Kau gila, Darren!"
"Kau tahu sendiri mereka sudah punya kandidat wanita untukku kan? Lagipula Laura belum stabil sekarang, aku tidak bisa memperkenalkannya pada orang tuaku."
Oscar langsung terdiam sejenak dan ia tahu Darren tidak bisa dibantah lagi.
"Baiklah, aku bisa memahaminya. Semua memang terlalu mendadak untuknya dan untukmu juga. Tapi bukankah kau sempat bertemu dengan Yusak malam itu, sebelum dia meninggal? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Darren melirik tajam. "Aku tidak mau membahasnya, Oscar!"
"Well, aku tahu kau bertengkar dengannya dan ...."
"Sudah kubilang, aku tidak mau membahasnya, Oscar!" Darren menggeram marah sampai Oscar tidak berani bicara lagi.
Darren menarik napas pelan, lalu menatap temannya dengan sorot dingin seperti biasa. Tapi kali ini, matanya tampak lelah. "Sial! Ya, kami bertengkar hebat malam itu! Dia memukulku dan aku ... Yusak meninggal karena aku."
Tanpa mereka sadari, Laura berdiri di sana. Tadinya ia ingin keluar untuk mengambil air minum, tapi pintu ruang kerja Darren tidak tertutup rapat.
Ia tidak bermaksud menguping, tapi nama yang disebut setelahnya membuat tubuhnya membeku.
Jantungnya berdetak kencang. Laura menutup mulut dengan tangannya yang gemetar, mencegah suara tangisannya keluar.
"Yusak memukul Darren malam itu! Lalu apa yang pria itu lakukan sampai membuat Yusak meninggal? Apa kematian Yusak bukan serangan jantung biasa?"
Laura mundur perlahan. Kepalanya berputar. Ia tidak bisa bernapas.
Rasa takut menjalari setiap ujung sarafnya. Tubuhnya lemas, dan pikiran di kepalanya hanya satu—
Ia menikah dengan pria yang membunuh suaminya sendiri.
**Takdir tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan. Kadang ia menyamar sebagai ujian, kehilangan, atau air mata. Namun, Tuhan tidak pernah salah menulis kisah. Ia hanya menunda bahagia, sampai hati kita cukup kuat untuk benar-benar menerima dan bersyukur atas setiap momennya. Seperti kisah hidup Laura. Begitu banyak hal yang sudah ia lalui sejak awal. Ditinggalkan ibunya, tidak diinginkan keluarganya, diperlakukan tidak baik oleh suaminya, diwariskan, mendapati pria yang menjadi suami barunya punya banyak rahasia yang terus menyiksa batinnya. Semuanya sakit sampai Laura ingin melarikan diri dari semuanya. Tapi Tuhan tidak pernah ingkar janji. Tuhan selalu menjanjikan pelangi setelah hujan badai, begitu juga dengan akhir kisah Laura. Laura belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari hidup yang sempurna, melainkan dari hati yang memilih untuk tetap sabar di tengah ketidaksempurnaan. Dan hadiah untuk kesabaran itu sangat luar biasa. "Selamat satu bulan, Carlo Pratama!" Suara se
"Welcome Home, Carlo!" Sebuah spanduk dan hiasan-hiasan sudah terpasang penuh di rumah Darren dari pintu masuk sampai ke kamar bayi hari itu. Setelah menginap di rumah sakit selama dua hari, akhirnya Laura dan si kecil Carlo pun diijinkan pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat sehat. Semua anggota keluarga pun begitu antusias menyambut anggota baru di keluarga mereka itu. "Selamat datang di rumah, Carlo Sayang!" seru Laura sambil menggendong anaknya itu. "Cia mau lihat! Cia mau!" Cia sudah berloncatan ingin memeluk adiknya. Laura pun membungkuk agar Cia bisa melihat adiknya itu dan Cia pun tertawa begitu cantik melihat bayi tampan di gendongan Laura itu. "Ih, adik Carlo gemas. Cia mau gendong!" "Belum bisa, Sayang. Cia masih belum kuat, tapi Carlo lucu sekali, Darren, Laura!" seru Winda yang ikut gemas melihat Carlo. "Wajahnya mirip dengan Laura," seru Harry juga. "Tapi ada miripnya dengan Darren. Dia benar-benar perpaduan Darren dan Laura, tampan sekali," timpal Winda.
Beberapa bulan berlalu dan waktu melahirkan pun sudah semakin dekat. Saat kandungannya mulai besar, Laura makin aktif, bahkan Laura kembali bekerja di perusahaan, tentunya dengan status yang baru. Semua orang menghormati Laura dan Laura merasakan hari-harinya yang jauh lebih bahagia. Persahabatannya dengan Nada tetap sama, malahan Laura tidak mau dipanggil Bu dan ingin tetap dipanggil nama oleh sahabatnya itu. Bukan hanya Nada, tapi Marlin juga sudah menjadi sahabat Laura juga sekarang. "Aku saja yang membawa ini, Laura. Perutmu sudah terlalu besar, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Lalu yang ini, biar aku saja yang mengerjakannya. Ada hal lain yang kau butuhkan? Apa pun yang kau perlu, panggil aku saja ya!" Setiap harinya, Marlin selalu sibuk melayani Laura, padahal pekerjaan wanita itu sendiri sudah begitu sibuk. Sejak Darwis resmi dipecat, akhirnya Marlin diangkat menjadi manager keuangan. Di bawah kepemimpinan Marlin, keuangan menjadi lebih kokoh dan solid. Marlin
"Aku mau mie ayam dan permen susu madu." "Cia juga mau permen susu madu sama kue strawberry." "Oh, kue strawberry. Mama juga mau. Ayo kita minta Papa pergi membelinya." Cia mengangguk bersemangat dan langsung berteriak memanggil Papanya. "Papa!" Suara anak itu pun begitu ribut di rumah dan membuat rumah Darren semakin berwarna. Cia, anak yang dulunya lebih banyak diam dan hanya berteriak sesekali, sekarang menjadi anak yang luar biasa ceria. Tidak ada orang yang mengekang teriakannya, tidak ada orang yang mengekang tawanya, Cia sangat bahagia. "Papa!" "Iya, Papa datang, Sayang. Ada apa? Papa sedang bersiap ke kantor." "Tapi Mama sama Cia mau banyak makanan, Papa." Cia memasang ekspresi memelasnya. Tidak hanya Cia, karena sekarang Laura pun menatap Darren dengan penuh harap dan Darren selalu tidak tahan melihat tatapan itu. "Ya ampun, apa yang kalian mau, hah? Beritahu Papa!" Darren langsung memeluk sandaran kursi Laura dan Cia yang saat ini duduk berjejer di meja makan. "M
"Sampai jumpa lagi, Cucu Grandma! Kalau Cia merindukan Grandma dan Grandpa, telepon kami!" Setelah semua acara duka Winny berakhir, Harry dan Winda memutuskan untuk kembali ke Amerika dan menetap di sana. Perpisahan di bandara dengan Cia benar-benar membuat mereka menangis. Mereka sudah menyayangi cucu mereka sekarang, tapi mereka tahu bersama Darren dan Laura, Cia akan lebih bahagia. Tidak ada yang tahu siapa ayah Cia yang sesungguhnya karena Winny sering berpesta liar sebelumnya, tapi tidak ada yang berniat mencari tahu tentang itu. Biarlah dunia tahu bahwa Cia adalah anak Darren dan Laura. "Dah, Grandma, Grandpa!" Cia memeluk Harry dan Winda lalu mencium mereka. Tangan kecil itu menangkup pipi Winda dan rasanya hangat sekali. "Sekali lagi maafkan kami atas semuanya dan terima kasih, Darren, Laura." Darren dan Laura ikut mengantar kepulangan Harry dan Winda. "Bolehkah aku juga menelepon Om dan Tante kalau aku rindu?" tanya Laura yang membuat tangisan Winda makin deras. "Te
Winny tidak bisa meminta lebih. Tuhan sudah memberinya lebih dari sekedar bonus. Ia sudah bahagia sekarang. Melihat bagaimana Darren dan Laura bahagia, membuatnya ikut bahagia. Cia sendiri akhirnya ikut naik ke panggung dan memeluk kedua orang tuanya di sana. Pemandangan yang indah. Winny menghela napas dalam, air matanya terus mengalir, tapi bukan karena sedih."Aku baru saja merasakan bahagia yang sesungguhnya di akhir hidupku, Karina," ucap Winny lirih pada Karina yang selalu setia menemaninya dan mendorong kursi rodanya. "Akhir hidup apa? Jangan bicara begitu, Winny!" "Jangan mencoba menghiburku lagi! Aku sudah menerimanya. Kalian juga harus menerimanya." "Winny ...." "Perpisahan tidak akan terasa menyakitkan kalau yang kita tinggalkan adalah kebahagiaan, Karina." Winny tersenyum dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Carilah sahabat baru yang bisa membawamu ke jalan yang tetap lurus, ke jalan yang lebih baik, jangan seperti saat kau bersamaku." "Tidak akan ada sahabat te







