Suara ketukan pintu terdengar pelan, menyusul keheningan yang menggantung setelah Darren pergi. Seorang pelayan wanita paruh baya masuk dengan hati-hati, membawa nampan berisi makanan.
Langkahnya terhenti begitu melihat lampu meja yang pecah di lantai. Namun, wajahnya tetap tenang, dan ia berusaha tersenyum.
"Selamat siang, Bu Laura," sapanya lembut. "Aku Bik Erna, pelayan pribadi Anda. Aku membawakan makan siang untuk Anda. Apa Anda mau makan di sini atau di ruang makan saja?"
Laura hanya meliriknya sekilas tanpa minat. "Letakkan saja di meja, aku tidak lapar."
"Tapi Anda belum makan apa-apa sejak pagi, Bu."
Laura berdiri menatap jendela, masih membelakangi Bik Erna. Namun, alih-alih menjawab, ia malah bertanya hal lain.
"Apa pembunuh itu sudah pergi?"
"Eh, siapa maksudnya, Bu?"
"Darren! Siapa lagi? Di mana dia sekarang?"
"Ah, Pak Darren baru saja kembali ke kantornya. Tapi apa ada pesan untuk Pak Darren? Anda mau aku meneleponnya?"
"Tidak! Jangan!"
Laura berbalik cepat, suaranya meninggi. Perlahan, ia menenangkan dirinya dan kembali bertanya.
"Oh ya, ada berapa pintu di rumah ini?"
"Iya?"
"Bukan apa-apa. Aku hanya … misalnya, kalau aku bosan, aku bisa jalan-jalan sendiri," dusta Laura.
"Ah, itu ... ada pintu utama, pintu samping, dan satu lagi yang ke taman belakang. Tapi jangan khawatir, rumah ini aman, Bu."
Laura mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi. Namun di kepalanya, mendadak tersusun rencana melarikan diri dari sana.
Di sisi lain, Darren baru saja tiba di kantornya, Luxterra Developments, salah satu perusahaan properti dan konstruksi yang sedang sangat berkembang.
Darren baru saja turun dari mobilnya ketika beberapa wartawan menyerbunya. Mikrofon dan kamera nyaris menabrak wajahnya.
"Pak Darren, benarkah karyawan yang meninggal itu karena dibunuh?"
"Ada desas-desus bahwa pesta Luxterra malam itu diisi obat-obatan terlarang, komentar Anda?"
Darren mengatup rahangnya. Matanya tajam menyapu kerumunan itu, tapi ia tidak bicara satu patah kata pun.
Oscar, asisten sekaligus sahabat Darren buru-buru membuka jalan dan menyelamatkan Darren.
"Maaf, tolong mundur! Tidak ada wawancara hari ini!"
Mereka pun melangkah cepat ke lift dan begitu pintu lift tertutup, Darren langsung memijit pelipisnya keras.
"Sial! ini belum selesai rupanya!"
"Aku sudah meminta bagian legal untuk menyiapkan pernyataan pers dan menyelesaikan semuanya," sahut Oscar.
"Ini harus segera selesai sebelum berimbas pada proyek kita, Oscar!"
Oscar mengangguk. Belum sempat ia menyahut, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari salah satu klien proyek high-rise terbaru mereka masuk.
"Kami ingin menunda pertemuan sampai isu kematian karyawan dan pemberitaan negatif perusahaan Anda mereda."
Oscar menahan napasnya sejenak. "Kurasa ini sudah berimbas, Darren. Pihak Aurora Hotel menunda pertemuan." Oscar menunjukkan pesannya pada Darren.
"Sial!" Darren mengepalkan tangannya geram.
"Ini baru berita kematian, bagaimana kalau mereka tahu tentang kau yang menikahi janda Yusak, hah? Aku bahkan tidak tahu harus mengucapkan selamat padamu atau tidak!"
"Kau pikir aku tidak terkejut, hah? Aku juga tidak punya pilihan!"
"Lalu kau sudah memberitahu orang tuamu?"
"Belum."
"Kau gila, Darren!"
"Aku akan memberitahu mereka saat aku sudah bisa mengendalikan Laura! Dia sedang sangat liar sekarang dan terus menuduhku membunuh Yusak. Dia memberontak saat kudekati dan dia tidak mau menerima apa pun yang aku berikan."
"Asal jangan sampai mendadak dia keluar dan membuat berita makin heboh di luar sana dengan menuduhmu membunuh Yusak!"
"Jangan sampai, Oscar! Karena itu, aku harus menahannya di rumah juga! Tapi siapkan rapat dadakan untuk membicarakan konferensi pers dulu sore ini!"
Oscar kembali mengangguk dan langsung menyiapkan rapat. Semua orang di kantor sangat sibuk sampai rapat diundur menjadi malam hari.
Baru saja Darren masuk ke ruang rapat malam itu saat ponselnya berdering. Nama Bik Erna muncul di layar dan Darren segera mengangkatnya.
"Halo? Ada apa, Bik?"
"Pak, maaf, tapi … Bu Laura tidak ada di kamarnya."
Darren langsung menegang. "Tidak ada bagaimana maksudmu, Bik?"
"Itu ... Bu Laura tidak keluar kamar sejak siang dan kami tidak berani mengganggunya, tapi saat aku mengetuk pintu kamarnya barusan, dia sudah tidak ada. CCTV menunjukkan Bu Laura keluar melalui pintu belakang, Pak."
Darren mengumpat pelan, wajahnya berubah serius. "Pimpin rapatnya, Oscar! Aku harus mencari Laura sekarang!"
Tanpa ia ketahui, Laura sudah tiba di sebuah rumah yang sebenarnya tidak ingin ia datangi lagi, tapi ia tidak punya pilihan.
Ia tidak punya rumah lagi setelah diusir dari rumah Wanda. Ia juga tidak punya cukup uang untuk tinggal di hotel dan pilihan terakhirnya adalah pulang ke rumah keluarganya sendiri.
Jantung Laura masih berdebar kencang setelah melarikan diri dari rumah Darren. Beberapa kali Laura menoleh ke belakang saat ia naik taksi tadi dan untungnya, tidak ada yang menyadari kepergiannya. Semoga Darren juga tidak bisa menemukannya.
Sungguh, Laura berharap ia bisa pulang ke rumahnya dengan damai. Walaupun mungkin ia tidak akan disambut dengan hangat, ia berharap keluarganya masih bersimpati padanya yang baru saja menjadi janda.
Namun, alih-alih simpati, Laura malah disambut oleh bentakan sinis.
"Mau apa kau kembali ke sini? Kau bawa uang atau tidak, hah? Apa gunanya menjadi istri orang kaya selama dua tahun kalau kau tidak mendapat apa-apa setelah dia meninggal?"
**Brak!Suara pintu tertutup membuat Darren dan Oscar menoleh ke atas. Mereka hanya tinggal berdua setelah anak buah pergi bersama koruptor yang berani menggelapkan dana proyek. "Apa itu Laura? Dia mau keluar tapi tidak jadi?" Oscar menatap penuh tanya pada balkon di depan kamar Laura. Darren ikut menatap pintu kamar Laura yang tertutup sambil mengembuskan napas panjangnya. "Biarkan saja, Oscar! Aku akan mengatasinya nanti. Tapi semua masalah ini membuat kepalaku berdenyut. Untung saja kita sudah berhasil menyingkirkan koruptor itu, jadi kita bisa fokus meredam gosip." "Ya, akhir-akhir ini banyak masalah di perusahaan, tapi ada baiknya kau menyelesaikan urusan istrimu, sebelum dia menambah deretan masalah kita, Darren!" "Aku tahu apa yang harus kulakukan, Oscar!" sahut Darren tajam. Oscar mengangkat bahunya. "Baiklah, aku tidak bicara lagi! Tapi kalau tidak ada hal lain, aku pulang duluan!"Oscar segera berpamitan dan pergi dari sana, sementara Darren menatap pintu kamar Laura sed
"Dia pasti menjual dirinya, Ibu! Bukankah Pak Darren itu bosnya Yusak juga? Aku masuk ke perusahaan itu juga karena rekomendasi Yusak. Ya, Laura pasti menjual dirinya pada Pak Darren!" Claudia menatap jijik pada rumah mewah Darren seolah ia sedang menatap Laura sekarang. "Oh, kau benar juga, Claudia! Dasar wanita murahan! Mungkin dia tidak mau dengan Pak Bono yang gendut dan jelek, tapi dia maunya sekelas Pak Darren yang masih muda dan gagah." "Tapi bukankah itu mustahil Pak Darren mau padanya?" "Ah, kau benar juga, Sayang! Kalau Pak Darren mau wanita, pastilah dia mencari yang cantik sepertimu, bukan yang jelek dan bekas seperti Laura. Tapi ini masih tidak masuk akal. Kalau memang dia tinggal di rumah mewah seperti ini, untuk apa lagi dia pulang ke rumah kita?" Claudia mengerjapkan mata mendengarnya. "Ibu benar juga. Ini masih aneh sekali." "Ck, tapi sudahlah, ayo kita pulang dulu dan tanyakan lagi dengan jelas!" Ayudia dan Claudia pun akhirnya pulang dan langsung mencari tahu
Darren tidak memberi ruang untuk Laura membantah lagi. Tangannya menyusup lebih dalam, menyentuh bagian paling pribadi dari tubuh Laura, menggerayangi dengan penuh kuasa. Tubuh Laura menegang, mulutnya mengumpat, tapi suara yang keluar justru berupa desahan tertahan."Ah ... tidak ... Darren ... jangan!"Namun, tubuhnya mengkhianatinya. Tangan Darren terus bermain, menguasai kelembutan wanita itu dengan intensitas yang membuat Laura menggigil. Tubuhnya mulai bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena gelombang kenikmatan yang menyerbu bertubi-tubi—dan ia membencinya. Ia membenci tubuhnya sendiri yang menyambut sentuhan Darren.Darren mendekatkan wajahnya, matanya menatap Laura dalam-dalam. "Aku tahu kau sedang berduka, tapi ini mengejutkan bagaimana kau tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini padahal kau sudah menikah, Laura." "Kau ... brengsek, Darren ...." Laura mengumpat, tapi tidak menghentikan apa yang Darren lakukan lagi. Tangan pria itu terus menyiksa Laura, seme
Semua orang tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan Laura. Entah Laura harus lega atau malah takut melihat pria itu di sana. Darren, suaminya ada di sana dengan tatapan tajam dan aura dinginnya. "Siapa kau? Berani sekali mendobrak pintu dan menganggu kesenanganku!" geram Pak Bono yang langsung memberi kode anak buahnya untuk maju. Tanpa menjawab, Darren melangkah cepat. Dua anak buah Pak Bono maju menyerang, namun dalam hitungan detik, tubuh mereka terpelanting ke sisi ruangan. Tatapan Darren beralih pada Pak Bono dan langsung menyerangnya."Berani sekali kau menyentuhnya!" Buk!Tinju Darren menghantam rahang Pak Bono. Pria gempal itu jatuh terhempas dan tidak mampu berdiri lagi.Dengan cepat, Darren pun menarik tangan Laura, menyeretnya keluar dari klub itu."Apa ini, Darren? Lepaskan aku!" pekik Laura tidak terima. Laura sampai berkali-kali tersandung mengikuti langkah pria itu. Tapi Darren tidak melambat dan malah mendorong Laura masuk ke mobil
Ayudia, wanita paruh baya dengan dandanan menor berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Tatapannya menusuk, menatap Laura seolah ia adalah beban dunia. Di sampingnya, Claudia, juga berdiri menyilangkan tangan, senyum sinis terlukis di bibirnya.Laura membalas tatapan itu dengan kebencian yang sama. Ayudia, selingkuhan ayahnya yang akhirnya dinikahi adalah sumber kehancuran keluarganya. Sejak wanita itu datang, ayah Laura berubah, memperlakukan istri serta anak kandungnya sendiri seperti sampah. Claudia, anak Ayudia dari pernikahan sebelumnya, tidak berbeda dengan ibunya yang jalang. Mereka hanya menjadikan Laura sebagai ATM berjalan yang harus selalu menyediakan uang setiap kali mereka butuh. Kalau Laura tidak mau memberi uang, ayahnya akan turun tangan, memukul dan memaki Laura tanpa perasaan. Itulah alasan utama mengapa Laura begitu cepat menerima lamaran Yusak saat umurnya masih 21 tahun waktu itu, karena Laura ingin pergi dari keluarga toxicnya. Dan kini, disambut den
Suara ketukan pintu terdengar pelan, menyusul keheningan yang menggantung setelah Darren pergi. Seorang pelayan wanita paruh baya masuk dengan hati-hati, membawa nampan berisi makanan.Langkahnya terhenti begitu melihat lampu meja yang pecah di lantai. Namun, wajahnya tetap tenang, dan ia berusaha tersenyum."Selamat siang, Bu Laura," sapanya lembut. "Aku Bik Erna, pelayan pribadi Anda. Aku membawakan makan siang untuk Anda. Apa Anda mau makan di sini atau di ruang makan saja?" Laura hanya meliriknya sekilas tanpa minat. "Letakkan saja di meja, aku tidak lapar.""Tapi Anda belum makan apa-apa sejak pagi, Bu."Laura berdiri menatap jendela, masih membelakangi Bik Erna. Namun, alih-alih menjawab, ia malah bertanya hal lain. "Apa pembunuh itu sudah pergi?" "Eh, siapa maksudnya, Bu?" "Darren! Siapa lagi? Di mana dia sekarang?" "Ah, Pak Darren baru saja kembali ke kantornya. Tapi apa ada pesan untuk Pak Darren? Anda mau aku meneleponnya?" "Tidak! Jangan!"Laura berbalik cepat, suaran