"Aku tidak akan ada di kantor sepanjang hari. Tapi nanti saat jam pulang, aku akan menjemputmu. Tetap di kantor dan jangan ke mana-mana! Kau dengar itu?" Oscar menghentikan mobilnya di depan perusahaan dan sebelum Laura keluar, Darren memberinya banyak pesan. Laura yang tadinya canggung sendiri pun langsung mengembuskan napas panjang mendengar nada Darren yang otoriter. "Aku dengar, aku tidak akan ke mana-mana." "Bagus! Kalau ada apa-apa, aku harus menjadi orang pertama yang kau beri tahu, kau mengerti?" Laura menganga sejenak, tapi karena ia tidak ingin ribut, akhirnya ia mengangguk. "Aku mengerti," jawab Laura lagi. Darren memicingkan matanya sejenak, sebelum ia mengulurkan tangannya ke arah Laura. "Berikan ponselmu!" Kali ini, Laura mengernyit. "Untuk apa memberikan ponselku?" "Berikan saja!" Dengan ragu, Laura memberikan ponselnya. Darren segera menerimanya dan menyimpan nomor ponselnya sebagai speed dial agar Laura lebih mudah meneleponnya. "Angka satu adalah nomorku,"
Laura terbangun dari tidurnya malam itu. Hawa dingin menusuk karena angin berembus kencang mengibarkan tirai jendela di kamarnya. Rasanya dingin, sampai Laura memeluk tubuhnya sendiri, mendambakan pelukan yang menghangatkan. Lalu tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Debar jantung Laura memacu kencang melihat Darren masuk mengenakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka di bagian atas. Wajahnya datar, tapi dalam tatapannya ada sesuatu yang membakar.Langkahnya pelan, tapi matanya terkunci pada Laura, seolah tidak ada hal lain yang penting di dunia ini.Darren berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya, mengangkat tangan dan menyentuh pipi Laura dengan punggung jari. Sentuhannya begitu lembut, tapi terasa seperti percikan api yang menyambar kulit Laura."Akhirnya kau mengundangku masuk," ucap Darren dengan suara rendah dan dalam."Aku ... tidak—" bibir Laura bergetar, tapi Darren menempelkan telunjuk di sana, memintanya diam."Sstt, kau sudah terlalu sering berlari, Laura ...." Darr
"Hei, mengapa kau kembali secepat ini, Darren? Bukankah kau mau memberikan permen itu untuk Laura?" Oscar menyambut Darren di ruang kerjanya begitu Darren kembali. "Apa dia tersentuh dan memelukmu, hmm? Bukankah dia sangat menyukai permen itu? Ceritakan padaku apa yang terjadi!" Oscar terus bertanya, tapi ekspresi Darren yang datar dan dingin membuat senyuman Oscar perlahan menghilang. Setiap kali menyangkut Laura, Oscar benar-benar tidak bisa menebak mood Darren. "Err, apa dia sudah tidak menyukai permennya? Dia menolaknya?" tanya Oscar lagi. Brak! Darren menggebrak mejanya sampai Oscar melonjak kaget. "Sial! Entah apa yang dikatakan Yusak saat memberikan permen itu dulu! Laura mengamuk dan menuduhku meniru cara Yusak untuk mendekatinya!" Darren menyatukan kedua tangan di meja dan menempelkannya di dahinya. Ia ingin bersikap lebih lembut pada Laura, tapi istrinya itu sangat pintar menyulut emosinya. "Apa? Dia menuduhmu meniru gaya Yusak? Setelah menuduhmu membunuh Yusak, seka
Darren mengepalkan tangannya geram. Alih-alih tenang, permen susu madu yang seharusnya menjadi favorit Laura malah membuat wanita itu meradang. Bukannya tidak mengijinkan istrinya itu marah, tapi kemarahan itu melecut kemarahan yang lebih besar di dada Darren. "Itukah yang dia katakan padamu, Laura? Hanya dia yang tahu di mana harus membeli permennya? Apa karena pemberian itu, kau jatuh cinta padanya?" Laura yang sudah diliputi rasa sakit hatinya tidak bisa memikirkan apa pun dan hanya menggeleng. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya, tapi ia tidak mau menangis di depan Darren dan membiarkan pria itu melihat kelemahannya. "Tidak usah bicara omong kosong dan segera pergi dari sini, Darren! Aku tidak mau melihatmu!" Buru-buru Laura mendorong pintunya, berniat menutupnya, tapi Darren menahannya dengan tangannya. "Apa yang kau lakukan? Sudah kubilang pergi! Aku tidak mau melihatmu!" Ekspresi Darren mengeras saat ia mendekatkan wajahnya. "Dengarkan aku, Laura! Aku tidak pernah
Darren menyetir pulang dengan kepala penuh oleh satu nama—Laura. Bahkan saat ia berhenti di lampu merah, ia sempat menoleh ke jok samping. Di sana, sebuah paper bag dari kertas daur ulang tergeletak rapi. Isinya sederhana, tapi manis. Darren berharap kali ini suasana hati Laura bisa membaik dengan pemberiannya. Ia pun mempercepat laju mobilnya hingga akhirnya ia tiba di rumah. "Bagaimana Laura?" tanyanya pada Bik Erna yang menyambutnya. "Sudah fit seperti biasanya, Pak. Hanya saja, sejak tadi Bu Laura masih mengurung diri di kamar, tapi dia menghabiskan bubur dan tumis dagingnya." Bik Erna tersenyum saat mengatakannya. Darren pun menghentikan langkahnya sejenak mendengarnya. Ia sudah lama tidak masuk dapur. Tidak ada satu orang pun yang cukup berarti sampai Darren harus masuk ke dapur untuk memasak, kecuali kalau ibunya yang tercinta yang memintanya. Darren mengangguk puas. "Baguslah kalau dia menyukainya," sahutnya datar seperti biasa. Bik Erna hanya mengulum senyum, sebelum ia
"Jadi kau sudah tahu siapa yang mengunci Laura semalam, Oscar?" Darren masuk ke ruang kerjanya pagi itu dan langsung meminta laporan dari Oscar tentang CCTV. "Maafkan, tapi tidak ada yang bisa kita dapatkan. CCTV malah sudah mati duluan sebelum listrik padam dan tidak ada yang bisa kita lihat." Darren menggeram. "Sial! Lalu apa semua sudah diatasi sekarang? CCTV sudah menyala dan tidak ada masalah di listriknya?" "Semua sudah diatasi hari ini." "Aku tidak mau kejadian yang sama terulang lagi, Oscar! Untung saja kejadiannya saat jam pulang. Bagaimana kalau di siang hari saat semua orang masih begitu sibuk atau kita sedang melakukan conference penting. Ini tidak boleh terjadi lagi!" tegas Darren. "Aku tahu, Darren. Aku sudah menyampaikannya pada pihak terkait." "Bagus! Lalu tentang Laura, panggil siapa pun yang ada di lobby waktu itu, aku harus tahu ini sengaja atau tidak!" "Tentang itu ... sebenarnya ada satu orang yang datang ke ruangan CCTV tadi malam." Darren mengernyit me