Home / Rumah Tangga / Hasrat Liar Suamiku / 1. Kepuasan Suamiku

Share

Hasrat Liar Suamiku
Hasrat Liar Suamiku
Author: Rich Ghali

1. Kepuasan Suamiku

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2024-02-07 14:46:38

“Arght! Pelan-pelan!”

Gerakan kasar yang dilakukan oleh Dewangga membuatku merasa sakit di beberapa titik bagian tubuh.

Namun seakan tuli, suamiku itu terus saja melanjutkannya. Aku bahkan bisa merasakan beberapa helai rambut tercabut dari tempatnya menancap, sebab ia menjambak rambutku dengan begitu kuat. Entah sadar atau tidak, ia selalu saja menyiksa ketika kami tengah bercinta.

Ia selalu menggila jika sudah di atas ranjang seperti ini. Hanya kepuasan dirinya sendiri yang ia pikirkan, tanpa peduli dengan kepuasan dan kondisi kesehatan pasangan.

Kini Dewangga memintaku untuk mengubah posisi. Melihat wajahnya yang tampak memerah dan penuh dengan keringat, sepertinya ia akan segera mencapai puncak.

“Yank.” Aku memanggil dengan sisa tenaga. Berharap agar pertempuran ini lekas berakhir. Sebab, tidak ada kenikmatan sama sekali yang aku dapatkan. Hanya ada rasa sakit dan nyeri di setiap hentakan yang ia berikan.

Dewangga seketika bertumpu pada leherku. Sedikit mencekik ketika ia kembali bergerak dengan begitu cepat. Napasnya terdengar ngos-ngosan. Seakan beradu cepat dengan gerakan maju mundur yang tengah ia lakukan.

Perlahan cekikan itu kian menguat, membuatku begitu sulit untuk bernapas. Beberapa kali aku terbatuk hingga cengkeraman di leher ia lepas.

Aku pikir aku akan mati beberapa saat yang lalu.....

Untungnya, aku masih punya kesempatan.

Aku lantas bangkit untuk duduk ketika ia menjatuhkan diri ke ranjang. Menghirup oksigen dengan brutal, sebab kekurangan stock setelah kesulitan bernapas selama beberapa saat.

Entah sejak kapan aku tidak lagi merasakan apa pun saat kami bercinta di atas peraduan. Aku merasa sudah lupa bagaimana rasanya disentuh dengan penuh cinta. Yang bisa aku lihat hanya nafsu di manik matanya, tidak lagi cinta saat pertama kali kami melakukan itu hampir setahun yang lalu.

“Sya.” Dewangga memanggil dengan napasnya yang masih terdengar begitu ngos-ngosan.

Aku menoleh, menatap tanpa bersuara.

“Lagi, ya.” Ia meminta. Namun, aku tahu jika permintaan itu adalah sebuah perintah yang haram hukumnya jika mendapatkan penolakan.

“Kamu belum puas?” Aku bertanya dengan suara serak, juga bergetar. Sebab, tubuhku sudah tidak sanggup lagi jika terus dipaksa.

Ia hanya diam, tidak ada jawaban sama sekali. Lalu, kembali bangkit untuk duduk.

“Aku gak kuat, Yank. Udah kram. Kasih aku waktu buat istirahat.” Aku menolak dengan lembut. Menatap dengan memelas, berharap agar ia tersentuh dan memutuskan untuk berhenti sampai di situ.

Lelaki dengan dagu terbelah itu menarik napas kasar, binar di manik matanya mulai berubah. Pertanda bahwa ia tidak suka dengan jawabanku barusan.

“Kamu bisa istirahat lima belas menit.” Ia memberi waktu.

Kini giliran aku yang menarik napas dengan kasar. Merasa terbebani jika ia meminta untuk dilayani. Sementara awal pernikahan dulu, aku yang terlalu menggebu-gebu.

“Kamu gak suka?” Ia bertanya setelah mendengar helaan napas kasar dariku.

Aku hanya diam, menunduk. Sebab, akan menancing pertengkaran jika pertanyaan itu kujawab. Lalu, ia akan main tangan. Melayangkan pukulan dan tamparan agar aku kembali ingin melayani.

“Kamu bisa nikah lagi kalau kamu mau.” Aku mencoba untuk memberikan peluang pada diriku sendiri. Agar sedikit lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Tidak merasa tersiksa seperti ini.

“Kamu bilang apa barusan?” Ia bertanya seakan tidak mendengar dengan jelas.

Aku terdiam, tidak berani mengulangi kalimat yang sama. Sebab, takut jika ia akan terpancing amarahnya.

Ponsel yang berada di atas nakas berdering. Tidak ada respons dari Dewangga sama sekali. Ia biarkan benda pipih itu berbunyi hingga mati sendiri.

“Kenapa gak diangkat?” Aku bertanya menatap.

Lelaki dengan dada bidang itu hanya membalas tatapanku dengan tajam, seolah aku salah karena telah bertanya.

Aku mengalihkan pandang karena rasa takut mulai menelusup. Tatapanku terfokus pada jendela yang tertutup dengan rapat. Juga tirai yang memblokir semua cahaya menuju kamar mewah ini. Aku hanya bisa menerka kesibukan para manusia di luar sana. Juga hanya bisa menerka kini sudah pukul berapa. Sebab, kami memulai setelah makan siang tadi. Jarang-jarang ia bisa senggang di waktu libur seperti ini.

“Sudah lima belas menit.” Kalimat itu membuat jantungku kembali terpacu dengan begitu cepat.

Aku menoleh, menatap sepasang mata tajam itu yang kini tengah menatap dengan nyalang.

Entah sudah berapa jam kami beradu kekuatan di atas ranjang. Aku sudah ingin menyerah, tapi ia seakan tidak kunjung puas.

Aku hanya diam di tempat saat ia bergerak mendekat. Mengalihkan pandang, berusaha menolak dengan halus saat bibirnya hendak mendarat di bibirku.

Terdengar decakan halus darinya.

“Kau menolak?” Di nada bicara lelaki itu terselip amarah.

“Aku capek, Wa.” Akhirnya aku beranikan diri untuk protes.

Lelaki berhidung bangir itu tertawa tipis. “Wa? Kau pikir aku siapa? Temanmu?” Ia protes sebab kupanggil nama.

Aku terdiam, mulai takut saat wajah tampan itu terlihat memerah. Kali ini sudah jelas jika memerah di wahahnya karena menahan amarah, bukan karena nafsu yang memuncak.

Ia memang tampan. Terlewat tampan. Sejalan dengan namanya, ia bak dewa yang menjelma bagai seorang manusia. Fisiknya sempurna tanpa cela.

“Kau memanggil namaku?!” Nada bicaranya mulai meninggi.

“Aku teman bagimu?”

Aku tetap diam. Mulai gemetar saat hawa panas napasnya menampar lembut wajahku ketika ia berucap tepat di depan wajahku.

Kugigit bibir bawah untuk meredam rasa takut. Kian hari, sikapnya kian bertambah kasar.

“Lihat aku!” Ia mencengkeram erat rahangku, memaksa agar aku menatap kedua bola matanya.

“Kau masih mencintaiku?” Ia bertanya dengan serius.

Aku hanya diam, berusaha untuk tidak membalas tatapannya.

“Jawab, Nasya!” Suaranya kian meninggi.

Aku tidak berani berucap sama sekali. Sebab, rasa takut yang kian menguasai. Segera kupeluk ia agar emosinya mereda.

Pelukanku langsung dibalas olehnya. Ia mengusap lembut punggung polosku dengan tangan kanannya. Sementara tangan yang lain mulai meraba.

Napas Dewangga mulai memburu saat tangannya semakin liar bergerilya. Aku didorong dengan sedikit kasar, lalu ia naiki dengan napas yang semakin terdengar memburu.

Aku hanya bisa pasrah saat mulut manisnya kembali melumat dengan brutal bibirku. Sementara kedua tangannya semakin buas meraba.

Teriakan berupa desahan keluar secara spontan saat ia kembali melakukan penyatuan. Ciuman ia lepaskan, sebab meminta agar aku mengeluarkan bunyian.

Aku mendesis dan mendesah berkali-kali, bertingkah seolah aku menikmati, sementara hanya rasa sakit yang ia beri.

Semakin aku mendesah, semakin gerakannya terpacu dengan cepat.

Pundakku ia gigit saat ia mulai bergerak dengan cepat. Aku merasa perih, tapi berusaha untuk terus bertahan. Sebab, merasa bahwa ia akan mendapatkan pelepasan.

Benar saja, beberapa saat kemudian ia melepas penyatuan, lalu menyemprotkan cairan cinta beberapa kali di atas perutku. Setelahnya ia kembali tumbang.

“Sudah?” Aku bertanya dengan lemah.

Ia hanya mengangguk lembut dengan napas ngos-ngosan. "Thanks, Sayang."

Hanya saja, aku justru ketakutan. Sampai kapan aku akan meladeni hasrat liar suamiku yang selalu menolak memiliki anak ini? Padahal, mertuaku sudah terus menagih kehadiran cucu.....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Selvinah
sangat menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status