Share

2. Bukan Budak Seks

Sebuah sentuhan halus di pipi membuatku terbangun dari tidur. Lelaki bermanik mata cokelat itu tersenyum saat tatapan kami saling beradu. Aku bangkit untuk duduk, terasa begitu ngilu hampir di seluruh tubuh.

“Aku mau berangkat kerja.” Ia berucap dengan begitu lembut.

Aku menguap beberapa kali, hanya diam ketika ia pamit.

“Kalau butuh apa-apa, minta sama Ruri saja.” Selalu kalimat itu yang ia ucap ketika akan berangkat. Ada banyak pekerja di rumah ini, tapi hanya Ruri yang menjadi kepercayaannya.

Aku mengangguk dengan lembut. Mendesis kecil ketika semua tubuh terasa begitu sakit. Terutama bagian selangkangan, dada, dan bahu.

“Sakit?” Dewangga bertanya ketika aku mengusap lembut luka terbuka di bahu. Bekas gigitannya yang terasa begitu nyut-nyutan. Aku tidak menjawab, hanya diam karena sudah lelah dengan semua luka yang kudapat darinya setiap kali kami bercinta.

Tangan kasar lelaki itu ikut memberikan usapan di bahu. “Aku akan pulang dua atau tiga hari lagi. Ponselmu harus selalu stanby.” Ia memberikan pesan. Jika LDR seperti ini, akan sangat merepotkan. Ia suka meminta foto yang vulgar. Terkadang juga ingin dipuaskan lewat panggilan video. Aku merasa bodoh setiap menerima ajakannya untuk bercinta secara virtual. Sama-sama menyiksa ketika ia ada di sini yang bisa menjamah dan menyentuh secara langsung.

Lelaki itu bangkit berdiri setelah memberikan satu kecupan lembut di ubun-ubun. Aku kembali rebahan, menarik selimut hingga leher, menutupi seluruh tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Aku merasa malas untuk melakukan apa pun, sebab terasa ngilu ketika tubuh dipaksa untuk bergerak.

Langkah kaki terdengar menjauh dari ranjang, aku berbalik untuk menatap lelaki berpakaian formal itu. “Sayang.” Aku memanggil dengan suara serak. Ia menoleh dan berhenti melangkah. “Besok aku mau kumpul bareng teman. Ada acara reunian.” Aku meminta izin agar kali ini diperbolehkan untuk keluar. Menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya dengan berdiam diri di rumah, membuatku merasa jenuh dan stress.

“Kau di rumah saja.” Ia menjawab dengan tegas. Aku sudah menduga jika ia tidak akan memberikan izin sama sekali.

“Aku udah janji bakalan datang.” Aku bersikeras.

“Aku bilang tidak, ya tidak.” Ia menegaskan.

“Aku tetap bakalan pergi walaupun kamu gak ngizinin.”

Ia berdecak, tangan yang tadi telah terulur hendak menyentuh gagang pintu, kembali ia tarik setelah mendengar ucapanku. Tatapan yang beberapa saat lalu terlihat penuh cinta, kini berubah nyalang. Terlihat ada api yang membara di sepasang mata tajam itu.

Dewangga kembali berjalan menuju arah ranjang. Langkahnya begitu cepat dengan kedua tangan terkepal. “Sudah berani melawan kamu sekarang?” Kedua pipiku dicengkeramnya dengan kuat.

Aku menggeleng dengan pelan, hanya bisa mengalah dan menuruti apa yang ia inginkan. Sebab, emosinya yang kian hari tampak tidak bisa ia kontrol dan kendalikan.

“Bagus.” Ia memberikan pujian. Pipi kananku dielusnya dengan lembut. Sebuah senyum manis muncul di bibirnya, menit berikutnya ia lekas bergegas keluar dari kamar.

Mata terasa memanas, begitu juga dengan dada yang terasa begitu sesak. Aku seolah tahanan dan budak se*s baginya setelah kami menikah. Tidak bisa ke mana-mana tanpa dia, juga tidak bisa menolak saat ia ingin dipuaskan nafsunya.

***

[Kau di rumah?] Baru beberapa jam yang lalu Dewangga meninggalkan rumah, ia sudah mengirim pesan untuk menanyakan keberadaanku.

Aku berdecak kesal, merasa tertekan dengan sikapnya yang terlalu mengekang.

“Kenapa lagi?” Ruri yang tengah mengobati lukaku bertanya setelah mendengar decakan dariku.

“Aku capek hidup kayak gini. Kebebasanku direnggut sama Dewa.” Aku menjawab dengan kesal.

“Bukannya bagus? Banyak loh gadis yang pengen berada di posisi kamu. Punya suami tampan, kaya-raya, perhatian, setia.” Lelaki dengan tubuh gemulai itu mendeskripsikan Dewangga menurut pandangan dia.

[Sya.] Dewangga kembali mengirim pesan karena aku tidak kunjung mengirimkan balasan.

“Semua yang berlebihan itu gak baik.” Aku menjawab dengan kesal.

“Yang dilakukan Tuan Dewa itu udah benar. Dia kayak gitu karena gak mau kehilangan kamu.”

“Burung yang digenggam terlalu kuat juga bisa mati, Ruri.” Aku membantah argumennya dengan kuat.

Ponsel yang berada dalam genggaman berdering. Tertulis nama Dewangga di sana.

“Kamu aja deh yang ngangkat.” Kuberikan ponselku pada Ruri, sebab aku tengah malas untuk berinteraksi dengan lelaki itu.

Ruri mengaktifkan loudspeaker agar aku bisa mendengar percakapan mereka.

“Halo, Tuan.” Lelaki itu menjawab dengan begitu lembut.

“Di mana Nasya? Saya mau bicara dengannya.” Terdengar begitu tegas ketika Dewangga berbicara dengan orang lain.

Aku memberikan isyarat untuk menolak berbicara.

“Nyonya sedang mandi, Tuan.” Ia memberikan alasan.

“Berendam?”

Ruri menoleh padaku.

Aku menggeleng dengan cepat, sebab tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu jika tahu aku tengah berendam di bathub.

“Mandi biasa, Tuan.”

“Berikan ponselnya pada Nasya.” Ia memberikan perintah.

“Tapi--”

“Kau keberatan?”

“Bukan begitu, Tuan. Akan sangat kurang ajar jika saya masuk ke kamar kalian dengan posisi nyonya yang sedang mandi. Saya bisa saja melihat tubuh polosnya, sebab kamar mandi yang hanya disekat oleh dinding kaca.” Ruri memberikan alasan untuk menolak.

Aku tersenyum, memberikan acungan jempol untuk jawaban yang ia berikan. Meskipun ia kepercayaan Dewangga, ternyata ia lebih berat memihak kepadaku.

“Bukankah kau menyukai lelaki?”

Pertanyaan Dewangga membuatku menahan tawa, sebab wajah Ruri berubah memerah saat itu juga.

“Tapi saya lelaki tulen, Tuan.”

“Ya tidak masalah, kau tidak akan bernafsu bukan? Kau sudah terbiasa melihat apa yang tidak seharusnya kau lihat. Kau sudah terbiasa menyentuh daerah terlarangnya untuk memberikan obat. Jadi, apa masalahnya?”

Deg!

Aku sedikit terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Ia tidak keberatan sama sekali ketika tubuhku disentuh dan dilihat oleh Ruri. Sementara ia tetap saja lelaki tulen, meskipun sedikit berbeda karena ia menyukai kaumnya.

“Cepat berikan ponselnya.” Dewangga kembali memberikan perintah.

“Beralih ke video.” Ruri berucap tanpa suara, hanya gerakan mulut yang bisa dibaca.

Sial!

Aku lekas bangkit berdiri, lalu berlari menuju kamar. Mengabaikan semua rasa sakit di badan.

“Iya, Tuan. Saya ke atas sekarang.”

Aku lekas masuk kamar mandi, membuka baju dan menyalakan shower. Terpaksa mandi lagi setelah mandi sejam yang lalu.

“Nyonya, Tuan Dewa ingin bicara.” Ruri berlagak sopan dengan memanggil nyonya, ketika tidak ada Dewangga ia bisa lebih santai dengan menyebut nama.

Aku melilitkan handuk ke dada, lalu membuka pintu kamar mandi dengan tubuh dan rambut yang basah. Wajah Dewangga langsung menyambut setelah ponsel kuterima.

Ruri lekas pergi setelah ponsel beralih tangan.

“Lanjut mandi, Yank. Aku mau lihat.” Dewangga berucap dengan senyum mesumnya.

“Udah kelar.” Aku berasalan.

“Ayolah.” Ia sedikit memaksa.

Jika sudah begini, aku tidak bisa menolak. Terpaksa kembali masuk kamar mandi dengan melepas handuk, lalu menuruti apa yang ia minta....

'Kamu harus kuat, Sya,' batinku pedih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status