Sebuah sentuhan halus di pipi membuatku terbangun dari tidur. Lelaki bermanik mata cokelat itu tersenyum saat tatapan kami saling beradu. Aku bangkit untuk duduk, terasa begitu ngilu hampir di seluruh tubuh.
“Aku mau berangkat kerja.” Ia berucap dengan begitu lembut.Aku menguap beberapa kali, hanya diam ketika ia pamit.“Kalau butuh apa-apa, minta sama Ruri saja.” Selalu kalimat itu yang ia ucap ketika akan berangkat. Ada banyak pekerja di rumah ini, tapi hanya Ruri yang menjadi kepercayaannya.Aku mengangguk dengan lembut. Mendesis kecil ketika semua tubuh terasa begitu sakit. Terutama bagian selangkangan, dada, dan bahu.“Sakit?” Dewangga bertanya ketika aku mengusap lembut luka terbuka di bahu. Bekas gigitannya yang terasa begitu nyut-nyutan. Aku tidak menjawab, hanya diam karena sudah lelah dengan semua luka yang kudapat darinya setiap kali kami bercinta.Tangan kasar lelaki itu ikut memberikan usapan di bahu. “Aku akan pulang dua atau tiga hari lagi. Ponselmu harus selalu stanby.” Ia memberikan pesan. Jika LDR seperti ini, akan sangat merepotkan. Ia suka meminta foto yang vulgar. Terkadang juga ingin dipuaskan lewat panggilan video. Aku merasa bodoh setiap menerima ajakannya untuk bercinta secara virtual. Sama-sama menyiksa ketika ia ada di sini yang bisa menjamah dan menyentuh secara langsung.Lelaki itu bangkit berdiri setelah memberikan satu kecupan lembut di ubun-ubun. Aku kembali rebahan, menarik selimut hingga leher, menutupi seluruh tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Aku merasa malas untuk melakukan apa pun, sebab terasa ngilu ketika tubuh dipaksa untuk bergerak.Langkah kaki terdengar menjauh dari ranjang, aku berbalik untuk menatap lelaki berpakaian formal itu. “Sayang.” Aku memanggil dengan suara serak. Ia menoleh dan berhenti melangkah. “Besok aku mau kumpul bareng teman. Ada acara reunian.” Aku meminta izin agar kali ini diperbolehkan untuk keluar. Menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya dengan berdiam diri di rumah, membuatku merasa jenuh dan stress.“Kau di rumah saja.” Ia menjawab dengan tegas. Aku sudah menduga jika ia tidak akan memberikan izin sama sekali.“Aku udah janji bakalan datang.” Aku bersikeras.“Aku bilang tidak, ya tidak.” Ia menegaskan.“Aku tetap bakalan pergi walaupun kamu gak ngizinin.”Ia berdecak, tangan yang tadi telah terulur hendak menyentuh gagang pintu, kembali ia tarik setelah mendengar ucapanku. Tatapan yang beberapa saat lalu terlihat penuh cinta, kini berubah nyalang. Terlihat ada api yang membara di sepasang mata tajam itu.Dewangga kembali berjalan menuju arah ranjang. Langkahnya begitu cepat dengan kedua tangan terkepal. “Sudah berani melawan kamu sekarang?” Kedua pipiku dicengkeramnya dengan kuat.Aku menggeleng dengan pelan, hanya bisa mengalah dan menuruti apa yang ia inginkan. Sebab, emosinya yang kian hari tampak tidak bisa ia kontrol dan kendalikan.“Bagus.” Ia memberikan pujian. Pipi kananku dielusnya dengan lembut. Sebuah senyum manis muncul di bibirnya, menit berikutnya ia lekas bergegas keluar dari kamar.Mata terasa memanas, begitu juga dengan dada yang terasa begitu sesak. Aku seolah tahanan dan budak se*s baginya setelah kami menikah. Tidak bisa ke mana-mana tanpa dia, juga tidak bisa menolak saat ia ingin dipuaskan nafsunya.***[Kau di rumah?] Baru beberapa jam yang lalu Dewangga meninggalkan rumah, ia sudah mengirim pesan untuk menanyakan keberadaanku.Aku berdecak kesal, merasa tertekan dengan sikapnya yang terlalu mengekang.“Kenapa lagi?” Ruri yang tengah mengobati lukaku bertanya setelah mendengar decakan dariku.“Aku capek hidup kayak gini. Kebebasanku direnggut sama Dewa.” Aku menjawab dengan kesal.“Bukannya bagus? Banyak loh gadis yang pengen berada di posisi kamu. Punya suami tampan, kaya-raya, perhatian, setia.” Lelaki dengan tubuh gemulai itu mendeskripsikan Dewangga menurut pandangan dia.[Sya.] Dewangga kembali mengirim pesan karena aku tidak kunjung mengirimkan balasan.“Semua yang berlebihan itu gak baik.” Aku menjawab dengan kesal.“Yang dilakukan Tuan Dewa itu udah benar. Dia kayak gitu karena gak mau kehilangan kamu.”“Burung yang digenggam terlalu kuat juga bisa mati, Ruri.” Aku membantah argumennya dengan kuat.Ponsel yang berada dalam genggaman berdering. Tertulis nama Dewangga di sana.“Kamu aja deh yang ngangkat.” Kuberikan ponselku pada Ruri, sebab aku tengah malas untuk berinteraksi dengan lelaki itu.Ruri mengaktifkan loudspeaker agar aku bisa mendengar percakapan mereka.“Halo, Tuan.” Lelaki itu menjawab dengan begitu lembut.“Di mana Nasya? Saya mau bicara dengannya.” Terdengar begitu tegas ketika Dewangga berbicara dengan orang lain.Aku memberikan isyarat untuk menolak berbicara.“Nyonya sedang mandi, Tuan.” Ia memberikan alasan.“Berendam?”Ruri menoleh padaku.Aku menggeleng dengan cepat, sebab tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu jika tahu aku tengah berendam di bathub.“Mandi biasa, Tuan.”“Berikan ponselnya pada Nasya.” Ia memberikan perintah.“Tapi--”“Kau keberatan?”“Bukan begitu, Tuan. Akan sangat kurang ajar jika saya masuk ke kamar kalian dengan posisi nyonya yang sedang mandi. Saya bisa saja melihat tubuh polosnya, sebab kamar mandi yang hanya disekat oleh dinding kaca.” Ruri memberikan alasan untuk menolak.Aku tersenyum, memberikan acungan jempol untuk jawaban yang ia berikan. Meskipun ia kepercayaan Dewangga, ternyata ia lebih berat memihak kepadaku.“Bukankah kau menyukai lelaki?”Pertanyaan Dewangga membuatku menahan tawa, sebab wajah Ruri berubah memerah saat itu juga.“Tapi saya lelaki tulen, Tuan.”“Ya tidak masalah, kau tidak akan bernafsu bukan? Kau sudah terbiasa melihat apa yang tidak seharusnya kau lihat. Kau sudah terbiasa menyentuh daerah terlarangnya untuk memberikan obat. Jadi, apa masalahnya?”Deg!
Aku sedikit terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Ia tidak keberatan sama sekali ketika tubuhku disentuh dan dilihat oleh Ruri. Sementara ia tetap saja lelaki tulen, meskipun sedikit berbeda karena ia menyukai kaumnya.“Cepat berikan ponselnya.” Dewangga kembali memberikan perintah.“Beralih ke video.” Ruri berucap tanpa suara, hanya gerakan mulut yang bisa dibaca.Sial!Aku lekas bangkit berdiri, lalu berlari menuju kamar. Mengabaikan semua rasa sakit di badan.“Iya, Tuan. Saya ke atas sekarang.”Aku lekas masuk kamar mandi, membuka baju dan menyalakan shower. Terpaksa mandi lagi setelah mandi sejam yang lalu.“Nyonya, Tuan Dewa ingin bicara.” Ruri berlagak sopan dengan memanggil nyonya, ketika tidak ada Dewangga ia bisa lebih santai dengan menyebut nama.Aku melilitkan handuk ke dada, lalu membuka pintu kamar mandi dengan tubuh dan rambut yang basah. Wajah Dewangga langsung menyambut setelah ponsel kuterima.Ruri lekas pergi setelah ponsel beralih tangan.“Lanjut mandi, Yank. Aku mau lihat.” Dewangga berucap dengan senyum mesumnya.“Udah kelar.” Aku berasalan.“Ayolah.” Ia sedikit memaksa.Jika sudah begini, aku tidak bisa menolak. Terpaksa kembali masuk kamar mandi dengan melepas handuk, lalu menuruti apa yang ia minta....'Kamu harus kuat, Sya,' batinku pedih.“Jangan, Sya, nanti Tuan Dewa marah.” Ruri memberikan peringatan agar aku tidak menghadiri acara reuni yang sudah kujanjikan. Namun, rasa memberontak sudah terlalu di puncak kepalaku.“Kalau gak ada yang ngasih tau, dia gak bakalan tau.” Aku membantah. Tidak ingin mengikuti perintahnya, juga melanggar larangan Dewangga agar tidak keluar rumah.“Aku gak mau tanggung jawab ya kalau ada apa-apa.” Ia mengancam, berkata lepas tangan jika seandainya nanti terjadi masalah setelah aku keluar rumah.“Kamu kan punya power di rumah ini, jadi kamu handle yang lainnya biar gak ada yang berani buka suara.” Aku memberikan saran.“Tuan Dewa itu udah percaya banget sama aku, masa aku khianati kepercayaannya.” Ia terlihat berat untuk melakukan.“Ayolah, kita bestie kan?” Aku terus merayu agar diberi akses untuk keluar hari ini.Ruri berdecak kesal, meski ia terlihat enggan untuk mengizinkan, tetap saja ia memberi jalan agar aku bisa keluar. Seluruh pekerja ia panggil untuk berkumpul. Diberinya mereka
“Argth! Lebih cepat, Sayang, lebih cepat!” Dewangga mendesah dengan wajah memerah.Kugigit bibir bawah untuk menikmati aktivitas yang tengah kami lakukan sekarang. Mencari kepuasan dengan tangan masing-masing, sebab ia yang masih berada jauh di sana ingin melampiaskan nafsunya.“Yeah, faster Baby, faster.” Ceracauannya terus terdengar dari dalam ponsel.Tidak bisa dipungkiri jika aku lebih suka seperti ini daripada disentuh secara langsung olehnya. Aku lebih bisa menikmati setiap gerakan jari yang menggesek area terlarang. Meningkatkan adrenalin, membuat darah putih naik ke puncak kepala.Aku hampir mencapai puncak ketika ia lebih dulu melakukan pelepasan. Desahannya terdengar penuh kepuasan.Aku menyusul kemudian, merasa seluruh sendi terlepas karena mencapai orgasme yang sudah lama tidak kurasakan. Aku tumbang, mengatur napas yang ngos-ngosan. Merasa panas dengan tubuh bugil, sementara AC tetap menyala sedari tadi.“Kau puas?” Suamiku itu bertanya dengan loadspeaker ponsel yang meny
Aku tengah asyik menonton DVD bersama Ruri saat salah satu pelayan berkata bahwa ibu mertuaku telah tiba. Hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini adalah saat harus berurusan dengannya. Jangankan bertemu secara langsung dengannya, mendengar namanya saja sudah membuatku begitu muak. Ternyata tidak semua orang kaya itu memiliki attitude yang baik. Tidak semua orang yang berpendidikan itu tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain.“Bawa santai saja, kalau dikatain gak usah dimasukin ke hati.” Ruri berkata seolah ia bisa membaca pikiranku.Aku hanya berdehem kecil, bangkit berdiri dan meminta lelaki itu untuk mematikan DVD.Wanita dengan pakaian serba branded itu telah duduk di sofa saat aku turun dari kamar. Wajah angkuhnya langsung menyambut kedatanganku. Kipas putih dengan bulu-bulu angsa itu tidak pernah lepas dari tangannya. Ia mengibas-ngibaskan kipas saat menatapku dari atas hingga bawah. Menatap secara saksama, seolah tengah menilai penampilan menantunya.Aku tidak in
“Sya, ada paket.” Ruri berkata seraya menyerahkan sebuah paket yang dibungkus dengan kotak berukuran sedang. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar.“Dari siapa?” Aku mengerutkan kening menerima kotak yang ia sodorkan.“Dari Tuan Dewa kayaknya.” Lelaki gemulai itu mengambil posisi tepat di sisi kananku saat aku mulai membuka kotak yang dibungkus dengan plastik dan bubble wrap.Sekarang aku baru ingat dengan ucapannya waktu itu. Tertarik dengan kostum cosplay dan membelinya untuk kukenakan saat ia pulang nanti. Malam nanti ia akan tiba, otomatis barang yang baru kupegang ini harus kukenakan.“Minta dibawa ke loundry, pilih yang kilat. Soalnya Dewa minta aku make ini pas dia pulang nanti.” Aku memberikan perintah pada Ruri.“Apa ini?” Lelaki itu membentangkan gaun mini kostum kucing dengan warna putih hitam. Tanpa lengan, juga panjang hanya sejengkal di bawah pangkal paha. Ada bendo menyerupai telinga kucing, juga ekor yang cukup panjang. Gaun, bendo, dan ekor semuanya senada, ta
Aku tidak pernah tahu jika Ruri memiliki tenaga sebesar itu. Sering memang ia menunjukkan sisi kelakian saat di hadapan para pekerja lainnya. Namun, jarang sekali ia menunjukkan kekuatan yang ia punya. Aku speechless dibuatnya.“Gimana?” Aku masih menunggu jawaban dari Ruri.“Aman, orang cuma dipukul pelan kok.” Ia mulai lebih santai dari sebelumnya setelah ia tahu kondisi wanita itu.Syukurlah, aku membatin. Sebab takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.Ruri membawa Viona ke dalam gendongan, kemudian melangkah menuju keluar ruangan. Aku mengekor di belakang. Para pekerja lain yang melihat, bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.Viona dibaringkan di atas sofa. Kami duduk menunggu di sofa yang lain. Menanti sambil mengamati, barangkali ia hanya pura-pura pingsan. Sebab, aku yakin fisiknya tidak selemah itu. Meskipun bekas hantaman Ruri masih meninggalkan jejak di wajahnya.Terdengar suara ponsel dari atas meja. Aku meraih, berpikir jika itu adalah ponselku. Barangkali De
Aku merasakan ciuman di kening, juga elusan lembut di ubun-ubun. Dengan malas kubuka mata yang terasa berat. Ada Dewangga yang tengah duduk di tepian ranjang. Ia tersenyum saat aku menatap. Ternyata ia telah pulang, pertanda jika hari telah malam. Aku tidak sadar ketika terjatuh dalam dunia mimpi saat menangis tadi siang. Bahkan aku telah melewatkan dua kali jadwal makan.“Kau menangis karena masalah tadi siang? Matamu terlihat bengkak, kau bahkan tidak mengganti pakaianmu.” Lelaki itu memberikan komentar.Aku hanya diam dengan wajah datar, masih kesal padanya karena ia menolak untuk percaya. Aku berbalik setelah menyingkirkan tangannya dari kepala.“Maafkan aku.” Ia naik ke atas ranjang, ikut rebahan dengan posisi tanpa jarak. Tangan kanannya melingkar di atas perutku.Lagi, aku menjauh dengan melepaskan pelukannya. Ia kembali melakukan hal yang sama. Aku kembali menjauh, hal itu berulang hingga beberapa kali.“Jangan buat aku marah, Sya.” Ia memberikan peringatan. Aku tidak ingin me
“Perih, Yank.” Aku berkomentar ketika Dewangga menggigit dan menarik bagian puting buah dadaku. Kurasakan ia telah membuat lecet di area itu. Namun, lelaki berstatus suamiku itu seolah tidak ingin mendengar keluhan sama sekali. Ia tetap saja melakukan itu. Bahkan mulai memompa dengan kecepatan penuh seraya giginya terus menancap di dadaku.Kuremas kuat-kuat rambut Dewangga, bahkan menjambak dengan sadar. Berharap jambakan itu akan sedikit mengurangi kebrutalannya di saat bercinta. Ternyata salah, semakin aku membalas dengan kasar, semakin ia terlihat begitu menikmati.Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan tubuhku mulai mati rasa. Hal yang kini menjadi hal lumrah ketika kami tengah mengadu kasih di atas peraduan. Dewangga melepas gigitan di dada, ia menatap dengan sorot penuh nafsu ketika kami saling membalas pandang. Sementara pinggangnya terus bergerak. Sesekali maju-mundur, sesekali ia berikan gerakan menggoyang.Segurat senyum terukir di bibir manisnya, detik berikutnya ia memej
Aku beranjak menuju lemari untuk memilih baju dengan asal, yang terpenting bisa menutupi seluruh badan. Sementara Dewangga masih terbaring dengan lelah di lantai. Kedua matanya tengah terpejam, mungkin ia telah tertidur karena kelelahan.Sesaat setelah aku berpakaian, terdengar ketukan di pintu kamar dengan suara Ruri yang memanggil dengan pelan. Aku segera beranjak untuk membukakan.“Ada apa?” Ia bertanya dengan mata yang masih tampak mengantuk. Suaranya juga terdengar serak, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya.“Bawa aku ke rumah sakit sekarang, cari dokter obgyn terbaik.” Aku memberikan perintah.“Loh, kamu hamil?” Suaranya terdengar setengah berbisik seraya melongok menatap ke dalam. Menatap Dewangga yang tengah terbaring lelah di lantai kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian.Aku menggeleng dengan pelan.“Dia semakin brutal dan aneh, aku takut.” Aku berucap dengan suara sedikit bergetar. Sebab aku benar-benar merasa takut sekarang.“Aku gak bisa bawa kamu keluar kalau