Home / Rumah Tangga / Hasrat Liar Suamiku / 2. Bukan Budak Seks

Share

2. Bukan Budak Seks

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2024-02-07 14:50:04

Sebuah sentuhan halus di pipi membuatku terbangun dari tidur. Lelaki bermanik mata cokelat itu tersenyum saat tatapan kami saling beradu. Aku bangkit untuk duduk, terasa begitu ngilu hampir di seluruh tubuh.

“Aku mau berangkat kerja.” Ia berucap dengan begitu lembut.

Aku menguap beberapa kali, hanya diam ketika ia pamit.

“Kalau butuh apa-apa, minta sama Ruri saja.” Selalu kalimat itu yang ia ucap ketika akan berangkat. Ada banyak pekerja di rumah ini, tapi hanya Ruri yang menjadi kepercayaannya.

Aku mengangguk dengan lembut. Mendesis kecil ketika semua tubuh terasa begitu sakit. Terutama bagian selangkangan, dada, dan bahu.

“Sakit?” Dewangga bertanya ketika aku mengusap lembut luka terbuka di bahu. Bekas gigitannya yang terasa begitu nyut-nyutan. Aku tidak menjawab, hanya diam karena sudah lelah dengan semua luka yang kudapat darinya setiap kali kami bercinta.

Tangan kasar lelaki itu ikut memberikan usapan di bahu. “Aku akan pulang dua atau tiga hari lagi. Ponselmu harus selalu stanby.” Ia memberikan pesan. Jika LDR seperti ini, akan sangat merepotkan. Ia suka meminta foto yang vulgar. Terkadang juga ingin dipuaskan lewat panggilan video. Aku merasa bodoh setiap menerima ajakannya untuk bercinta secara virtual. Sama-sama menyiksa ketika ia ada di sini yang bisa menjamah dan menyentuh secara langsung.

Lelaki itu bangkit berdiri setelah memberikan satu kecupan lembut di ubun-ubun. Aku kembali rebahan, menarik selimut hingga leher, menutupi seluruh tubuh yang polos tanpa sehelai benang pun. Aku merasa malas untuk melakukan apa pun, sebab terasa ngilu ketika tubuh dipaksa untuk bergerak.

Langkah kaki terdengar menjauh dari ranjang, aku berbalik untuk menatap lelaki berpakaian formal itu. “Sayang.” Aku memanggil dengan suara serak. Ia menoleh dan berhenti melangkah. “Besok aku mau kumpul bareng teman. Ada acara reunian.” Aku meminta izin agar kali ini diperbolehkan untuk keluar. Menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya dengan berdiam diri di rumah, membuatku merasa jenuh dan stress.

“Kau di rumah saja.” Ia menjawab dengan tegas. Aku sudah menduga jika ia tidak akan memberikan izin sama sekali.

“Aku udah janji bakalan datang.” Aku bersikeras.

“Aku bilang tidak, ya tidak.” Ia menegaskan.

“Aku tetap bakalan pergi walaupun kamu gak ngizinin.”

Ia berdecak, tangan yang tadi telah terulur hendak menyentuh gagang pintu, kembali ia tarik setelah mendengar ucapanku. Tatapan yang beberapa saat lalu terlihat penuh cinta, kini berubah nyalang. Terlihat ada api yang membara di sepasang mata tajam itu.

Dewangga kembali berjalan menuju arah ranjang. Langkahnya begitu cepat dengan kedua tangan terkepal. “Sudah berani melawan kamu sekarang?” Kedua pipiku dicengkeramnya dengan kuat.

Aku menggeleng dengan pelan, hanya bisa mengalah dan menuruti apa yang ia inginkan. Sebab, emosinya yang kian hari tampak tidak bisa ia kontrol dan kendalikan.

“Bagus.” Ia memberikan pujian. Pipi kananku dielusnya dengan lembut. Sebuah senyum manis muncul di bibirnya, menit berikutnya ia lekas bergegas keluar dari kamar.

Mata terasa memanas, begitu juga dengan dada yang terasa begitu sesak. Aku seolah tahanan dan budak se*s baginya setelah kami menikah. Tidak bisa ke mana-mana tanpa dia, juga tidak bisa menolak saat ia ingin dipuaskan nafsunya.

***

[Kau di rumah?] Baru beberapa jam yang lalu Dewangga meninggalkan rumah, ia sudah mengirim pesan untuk menanyakan keberadaanku.

Aku berdecak kesal, merasa tertekan dengan sikapnya yang terlalu mengekang.

“Kenapa lagi?” Ruri yang tengah mengobati lukaku bertanya setelah mendengar decakan dariku.

“Aku capek hidup kayak gini. Kebebasanku direnggut sama Dewa.” Aku menjawab dengan kesal.

“Bukannya bagus? Banyak loh gadis yang pengen berada di posisi kamu. Punya suami tampan, kaya-raya, perhatian, setia.” Lelaki dengan tubuh gemulai itu mendeskripsikan Dewangga menurut pandangan dia.

[Sya.] Dewangga kembali mengirim pesan karena aku tidak kunjung mengirimkan balasan.

“Semua yang berlebihan itu gak baik.” Aku menjawab dengan kesal.

“Yang dilakukan Tuan Dewa itu udah benar. Dia kayak gitu karena gak mau kehilangan kamu.”

“Burung yang digenggam terlalu kuat juga bisa mati, Ruri.” Aku membantah argumennya dengan kuat.

Ponsel yang berada dalam genggaman berdering. Tertulis nama Dewangga di sana.

“Kamu aja deh yang ngangkat.” Kuberikan ponselku pada Ruri, sebab aku tengah malas untuk berinteraksi dengan lelaki itu.

Ruri mengaktifkan loudspeaker agar aku bisa mendengar percakapan mereka.

“Halo, Tuan.” Lelaki itu menjawab dengan begitu lembut.

“Di mana Nasya? Saya mau bicara dengannya.” Terdengar begitu tegas ketika Dewangga berbicara dengan orang lain.

Aku memberikan isyarat untuk menolak berbicara.

“Nyonya sedang mandi, Tuan.” Ia memberikan alasan.

“Berendam?”

Ruri menoleh padaku.

Aku menggeleng dengan cepat, sebab tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu jika tahu aku tengah berendam di bathub.

“Mandi biasa, Tuan.”

“Berikan ponselnya pada Nasya.” Ia memberikan perintah.

“Tapi--”

“Kau keberatan?”

“Bukan begitu, Tuan. Akan sangat kurang ajar jika saya masuk ke kamar kalian dengan posisi nyonya yang sedang mandi. Saya bisa saja melihat tubuh polosnya, sebab kamar mandi yang hanya disekat oleh dinding kaca.” Ruri memberikan alasan untuk menolak.

Aku tersenyum, memberikan acungan jempol untuk jawaban yang ia berikan. Meskipun ia kepercayaan Dewangga, ternyata ia lebih berat memihak kepadaku.

“Bukankah kau menyukai lelaki?”

Pertanyaan Dewangga membuatku menahan tawa, sebab wajah Ruri berubah memerah saat itu juga.

“Tapi saya lelaki tulen, Tuan.”

“Ya tidak masalah, kau tidak akan bernafsu bukan? Kau sudah terbiasa melihat apa yang tidak seharusnya kau lihat. Kau sudah terbiasa menyentuh daerah terlarangnya untuk memberikan obat. Jadi, apa masalahnya?”

Deg!

Aku sedikit terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Ia tidak keberatan sama sekali ketika tubuhku disentuh dan dilihat oleh Ruri. Sementara ia tetap saja lelaki tulen, meskipun sedikit berbeda karena ia menyukai kaumnya.

“Cepat berikan ponselnya.” Dewangga kembali memberikan perintah.

“Beralih ke video.” Ruri berucap tanpa suara, hanya gerakan mulut yang bisa dibaca.

Sial!

Aku lekas bangkit berdiri, lalu berlari menuju kamar. Mengabaikan semua rasa sakit di badan.

“Iya, Tuan. Saya ke atas sekarang.”

Aku lekas masuk kamar mandi, membuka baju dan menyalakan shower. Terpaksa mandi lagi setelah mandi sejam yang lalu.

“Nyonya, Tuan Dewa ingin bicara.” Ruri berlagak sopan dengan memanggil nyonya, ketika tidak ada Dewangga ia bisa lebih santai dengan menyebut nama.

Aku melilitkan handuk ke dada, lalu membuka pintu kamar mandi dengan tubuh dan rambut yang basah. Wajah Dewangga langsung menyambut setelah ponsel kuterima.

Ruri lekas pergi setelah ponsel beralih tangan.

“Lanjut mandi, Yank. Aku mau lihat.” Dewangga berucap dengan senyum mesumnya.

“Udah kelar.” Aku berasalan.

“Ayolah.” Ia sedikit memaksa.

Jika sudah begini, aku tidak bisa menolak. Terpaksa kembali masuk kamar mandi dengan melepas handuk, lalu menuruti apa yang ia minta....

'Kamu harus kuat, Sya,' batinku pedih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Liar Suamiku    74. Tamat

    Robin jadi jarang di rumah setelah ia menikah. Ia lebih sering tinggal di apartemen bersama Karin. Hanya akhir pekan mereka habiskan waktu di rumah bersamaku. Karin kini telah hamil besar, tinggal menunggu waktu untuk lahiran. Jadi, perhatian Robin terpusat padanya sepenuhnya.Okta sudah mulai bisa duduk, tulangnya sudah terlihat kuat.Dari kabar yang kudengar, Dewa sudah keluar seminggu yang lalu. Namun, ia belum menemuiku seperti janjinya waktu itu. Aku tidak ingin terlalu berharap dengan mengunjungi ia di rumahnya. Biarkan saja waktu yang akan menjawab. Ia akan datang atau tidak untuk kembali melamar.Aku mengajak Okta untuk bersantai di depan teras. Berjemur seraya bermain bersama. Sebuah mobil memasuki halaman. Terparkir di tempat biasanya.Karin dan Robin turun dari mobil. Mereka selalu membawa sesuatu untuk Okta setiap kali mereka berkunjung ke sini. Okta sudah hapal akan itu. Ia selalu girang saat om dan tantenya datang. Ketiaknya selalu ia buka lebar, sebagai pertanda ingin d

  • Hasrat Liar Suamiku    73. Lekas Pulang dan Jemput Aku

    “Dia kena typus.” Dokter berucap setelah memeriksa kondisiku.“Kok bisa?” Robin langsung bertanya dengan nada penuh khawatir.“Sebelumnya aku memang sudah kena typus sehabis melahirkan, kupikir tidak akan kambuh lagi, soalnya sudah diberi suntikan vaksin buat melawan virus typus.” Aku menjelaskan.“Jangan banyak pikiran, tidur yang cukup, makan yang teratur. Biar typusnya tidak kambuh-kambuh lagi.” Lelaki bercoat putih itu memberikan nasihat.“Kamu banyak pikiran karena apa, Sya? Karena Dewa?” Robin langsung bertanya seolah menghakimi.Aku terdiam, dia pikir setelah apa yang terjadi aku tidak ada pikiran sama sekali? Apalagi setelah bertemu dengan Dewa di lapas, aku semakin kepikiran tentangnya. Kurasa tidak ada salahnya jika memberikan lelaki itu satu kesempatan lagi.“Jangan dimarahi, Pak. Nasya itu sedang sakit, biarkan dia istirahat.”Ruri selalu saja menjadi penengah setiap kali aku tengah dimarahi oleh Robin, bahkan ketika dulu masih bersama Dewa, ia selalu menjadi air yang mend

  • Hasrat Liar Suamiku    72. Aku Ingin Rujuk

    “Tunggu sebentar, Saudara Dewa sedang sholat.” Ucapan lelaki berseragam polisi itu membuatku tersentak. Sholat katanya? Sejak kapan Dewa ingat Tuhan? Selama kami menikah, tidak pernah sekali pun aku melihatnya melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.Dadaku terasa menghangat. Aku lupa kapan terakhir kali aku sholat. Entah aku masih ingat setiap bacaan sholat. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menunaikan kewajiban.Kutatap wajah Okta lamat-lamat. Aku tidak ingin ia hidup sepertiku yang lupa akan Tuhannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak yang berbakti, tahu tata krama dan budi pekerti. Juga tahu kewajibannya sebagai umat beragama.Okta tersenyum menatap, senyumnya sangat manis meskipun giginya belum ada yang tumbuh. Ia berusaha menggapai-gapai wajahku. Aku ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu.“Nasya.” Panggilan lembut itu membuatku menoleh pada sumber suara. Aku mematung menatap ia yang tengah mengenakan sarung dan juga kopiah putih penutup kepala. Tern

  • Hasrat Liar Suamiku    71. Bertengkar Dengan Robin

    Pernikahan Robin dan Karin tinggal seminggu lagi. Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Mereka sudah fitting baju, undangan sudah dicetak, juga sudah bayar uang catering.Beberapa hari ini Ruri selalu datang ke rumah karena permintaan Robin. Katanya ingin membantu mempersiapkan semua keperluan yang masih kurang. Terasa sedikit canggung ketika kami melakukan hal secara bersama-sama.“Okta sudah semakin pintar sekarang.” Ia berucap menatap Okat yang suda belajar tengkurap.Aku hanya tersenyum menatap.“Surat cerai kamu sama Dewa sudah keluar?” Ia menatapku dengan serius.Aku menghela napas dengan berat, “Sudah.”“Nikah yuk, Sya.” Tatapannya semakin serius menatap.Lagi, aku menghela napas dengan berat.“Aku belum siap untuk itu. Kurasa aku tidak akan menikah lagi, mungkin.” Aku menjawab dengan ragu. Memulai hubungan dengan orang baru setelah gagal di hubungan sebelumnya rasanya akan sangat sulit. Aku tidak ingin gagal untuk yang kedua kali.“Aku akan tunggu sampai kamu siap.

  • Hasrat Liar Suamiku    70. Meminta Restu

    “Sya!” Terdengar suara Robin yang memanggil dari arah bawah sana.Aku bangkit berdiri seraya membawa Okta ke dalam gendongan. Beranjak untuk menghampiri sumber suara.Aku berhenti melangkah, terdiam di tempat saat melihat ia membawa Karin ke rumah. Memang, ini rumah miliknya. Terserah ia membawa siapa pun ke sini, itu hak dia. Aku tidak bisa melarang, apalagi hidupku ditanggung oleh dia sepenuhnya.Robin tersenyum menatapku yang berhenti di pertengahan anak tangga. Ia melambaikan tangan agar aku menghampiri mereka di sofa sana. Karin ikut melempar senyuman. Ini pertama kali wanita itu tersenyum padaku. Entah terpaksa atau memang senyum tulus yang ia berikan.“Ayo sini!” Robin kembali memanggil karena aku hanya diam.Aku menghela napas dengan dalam, lalu kembali melangkah menuju mereka. Duduk di sofa berseberangan, berhadap-hadapan dengan mereka berdua.“Aku minta maaf karena sudah salah paham sama kamu selama ini. Aku benar-benar tidak tahu jika kau adiknya Robin. Andai aku tahu lebih

  • Hasrat Liar Suamiku    69. Dia Sedang Hamil

    POV NasyaRobin pulang menjelang sore, tampaknya ia ke kantor terlebih dahulu setelah dari pengadilan negeri. Ia membawa kantung belanjaan di tangannya saat ia kembali.“Dia dihukum setahun, sama denda cuma 50 juta.” Robin memberitahu tanpa kutanya sama sekali.Aku menghela napas dengan berat. Cukup kecewa karena hukumannya sangat singkat. Mengira ia akan dikurung minimal belasan tahun atas apa yang sudah ia perbuat.Robin menghempaskan tubuh di sisi kananku. Ia mulai membuka kantung yang ia bawa.“Tadi di jalan aku nemu ini.” Ia mengeluarkan sepasang sepatu bayi berwarna cokelat dengan corak abu muda. “Pas macet, ngeliat ke jalan nemu orang jualan.” Ia menjelaskan.Aku menarik napas berat. Meski sudah sesayang ini pada Okta, tetap saja aku belum bisa lupa pada Bara. Apalagi Robin sering kali pulang dengan membawa barang bayi.“Di mana Okta?” Ia bertanya seraya menatapku. Seketika raut wajah itu berubah, ia melipat jidat dengan sorot penuh tanya.“Di kamar, lagi tidur.” Aku menjawab s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status