“Jadi, mereka benar-benar ingin menguasai seluruh harta Papa?” Faleesha sedang berbicara dengan seseorang di telepon. “Baiklah, aku akan segera susun rencana,” lanjut dia. “Tapi-” “Sepertinya sulit mengingat Papa sudah kembali sehat. Bukan aku tidak senang, tapi pasti mereka akan gencar pengaruhi Papa.” Terdengar helaan napas berat dari mulut mungilnya. “Ya sudah, nanti aku pikirkan. Makasih banyak, Bi.” Panggilan terputus. Pagi ini, Faleesha mendapat informasi dari salah satu art-nya mengenai rencana busuk ibu dan saudara tirinya. Dia tidak akan tinggal diam. Gadis itu segera menghubungi bawahan ayahnya di perusahaan. Faleesha memiliki kontak orang-orang penting yang berjasa atas kemajuan perusahaan. Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya terhubung. “Halo, Nona?” suara di seberang sana. “Ya, halo. Ini Pak Wisnu ‘kan?” tanya dia langsung. “Saya Faleesha.” “Iya, Nona. Saya sudah menyimpan nomor ponsel anda. Direktur yang memberinya-” “Dari awal Direktur berpesan, ka
“Eric kecelakaan?” ulang Faleesha. Kini dia sudah terduduk di lantai. Seluruh organ tubuhnya seakan mati rasa. Kenapa dia bisa kecelakaan setelah dari mansion ini? Apa Eric tidak hati-hati atau sedang melamun? “Fal? Kamu baik-baik saja?” tanya Amber. Tidak ada jawaban darinya sejak tadi. Mungkin sahabatnya itu syok. “Aku baik-baik saja, Am. Aku hanya tidak menyangka,” lirihnya. “Kamu sudah lihat kondisinya?” Terdengar suara Faleesha begitu penasaran. Antara cemas, khawatir dan merasa bersalah. “Dia sudah baikan, mungkin hari ini bisa pulang. Tapi-” “Tapi apa?” sela Faleesha. “Kayaknya dia masih berharap kamu datang dan menjenguknya,” tambah Amber. Gadis itu kembali terdiam. “Faleesha?” “Aku tidak bisa, Am. Aku akan menikah dengan pria pilihanku, dia melarangku bertemu Eric,” ucapnya lirih. “Apa! Aku tidak salah dengar? Kenapa, Fal? Jadi benar yang dikatakan Eric?” Kini Amber seolah ikut menyalahkannya, juga kecewa padanya. “Aku tahu kalian sangat mencintai, apa yang
“Cara lain itu gimana, Angel? Bisa rugi kita nggak dapet bonus dari Nona Jinny,” keluh sang mami. “Sini, Mi. Angel bisikin.” Gadis itu memberitahukan suatu hal yang membuat netra Ervina membulat seketika. “Kamu serius? Gimana kalau Sanders tahu? Bisa mati kita,” balasnya. “Karena itu, Mi. Kita harus kurung Faleesha di sana seterusnya, kalau bisa buat dia terikat selamanya, tanpa pulang ke rumah-” “Dengan begitu, Papa pasti akan semakin terpuruk memikirkan anak sialan itu, lama-lama penyakitnya bakalan kambuh dan pikir sendiri apa yang terjadi selanjutnya.” Alis Angela naik turun membayangkan rencananya akan berjalan lancar dan dia mendapat bonus besar. “Bagus ide kamu, Sayang. Tapi kamu tahu sendiri ‘kan, Sanders itu orang yang berkuasa, mudah bagi dia melacak Faleesha nantinya,” sanggah Ervina. “Pria mana yang sudi kalau tahu wanitanya menjual diri, Mi? Lagi pula, tempat itu tersembunyi. Bahkan pemiliknya juga punya kuasa penuh, anak buahnya banyak-” “Dalam artian, dia lawa
Semua mengucap syukur saat pendeta telah selesai memberkati. Sanders mendaratkan kecupan ringan di kening FaleeshaKini mereka telah sah menjadi sepasang suami istri. Setelah itu, ada dia orang paruh baya yang usianya sepertinya lebih tua dari papa Faleesha, mendekat padanya. “Selamat ya, Sayang. Terima kasih telah menerima putra Mama,” ucapnya lembut. Deg. Putra? Jadi, wanita cantik ini adalah ibu Sanders. Dan seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan suaminya, pasti papanya. “I-iya, Tante,” jawab Faleesha kikuk. Tampilan mama Sanders begitu berkelas. Menunjukkan jika dia seorang sosialita. “Loh, jangan panggil Tante, Mama dong. Kan sekarang kamu sudah menjadi menantuku,” sahut wanita itu. “Oh iya. Baik, Ma,” balas gadis itu. Dia masih malu-malu, sebelumnya dia tidak pernah bertemu dengan keluarga Sanders satu pun. “Dan karenamu, perjalanan kami kembali ke indonesia tidak sia-sia.” Faleesha mengalihkan pandang ke arah pria paruh baya yang rambutnya hampir seluruhnya
Kali ini Ervina ikut mengompori suaminya. Kerja sama yang kompak antara ibu dan anak. Tangan sang istri terulur, semakin merapatkan tubuhnya ke punggung Fahaz kemudian memeluknya dari belakang. “Iya, Papa percaya. Bukannya aku meragukan kalian, Papa hanya perlu meneliti, barang kali ada yang salah,” jawab pria itu. “Ya sudah sebentar ya, Papa ambil kaca mata dulu.” “Papa jahat!” Angela serta merta berseru. “Sampai hati Papa buat Angel kecewa,” ujar gadis itu berkaca-kaca. “Kan aku sudah bilang tidak ada kesalahan.” Setelah mengatakan hal itu Angela melempar berkas itu ke meja dan berlalu meninggalkan Ervina dan Fahaz. Pria paruh baya itu hendak mengambil surat yang berserakan namun … “Nggak usah, Pa.” Secepat kilat sang istri merapikan dan mengambilnya. “Kalau Papa nggak yakin, nggak perlu tanda tangani, lebih baik minta laporan yang baru saja sama Wisnu. Papa sudah buat anak kita bersedih karena ego kamu.” Tanpa pikir panjang, Ervina menghentakkan kakinya kesal. “Bukan
“Memangnya kenapa? dia bunuh diri atau tidak itu bukan urusanku,” balasnya santai. Benar-benar pria dingin. Dia tidak sepeduli itu dengan wanita lain. “Bukan begitu, Tuan. Masalahnya Nona Jinny terus memanggil nama anda, dan lagi-” Nick menggantungkan kalimatnya. “Kenapa?” tanya Sanders. “Ponsel anda tidak aktif sejak semalam. Tuan William menghubungi saya karena beliau ingin anda ke rumah sakit sebentar,” jelas Nick. Sanders baru ingat. Dia memang sengaja menonaktifkan ponselnya seharian kemarin karena tidak ingin hari sakralnya terganggu dengan urusan pekerjaan. “Apa hubungannya dengan kamu, Sans?” tanya Ella. “Biasalah, Ma. Dia suka cari perhatian. Terakhir aku melarangnya untuk bermanja-manja denganku,” sahutnya datar. Ella memijit keningnya. “Kamu mungkin kurang tegas padanya.” “Tapi aku tidak pernah ada perasaan apa pun padanya, aku hanya anggap dia rekan kerja, itu saja,” sanggah Sanders. “Ya, tapi dia berharap lebih. Lelaki itu ‘kan mikirnya selalu pakai logika, s
“Jadi, kamu kemari karena terpaksa? Bukan karena khawatir padaku?” ulang Jinny. “Tapi, tetap saja aku bahagia kamu kemari, apa aku harus menyakiti diriku terlebih dahulu-” “Baru kemudian bisa mendapat perhatianmu?” tanya dia. Pria itu berdecak keras. “Jinny, sudahi aktingmu, aku tidak akan terpengaruh,” jawab Sanders. “Sampai kapan kau akan terus memaksa orang lain untuk menuruti semua keinginanmu?” Jinny tampak kecewa dengan penuturan Sanders. “Perlu aku tegaskan sekali lagi, ini kedua kalinya. Jika kau terus bersikap seperti anak kecil, terpaksa aku mengambil langkah tegas-” “Lebih baik kau resign dari perusahaan. Aku yakin sebenarnya kau tidak butuh pekerjaanmu itu.”“Kau hanya beralasan agar bisa dekat denganku,” lanjutnya. Memang benar kata Sanders, Jinny bertahan hanya karena ingin mengambil hatinya. Sebenarnya kalau untuk kecukupan materi, dia sudah lebih dari cukup. Toh orang tuanya kaya raya. “Jangan menyalah artikan kebaikanku, aku tidak ada perasaan sedikitpun pa
“Tuan, barusan Papa telfon, aku diminta pulang ke rumah,” ujar Faleesha saat sang suami telah sampai mansion. Gadis itu mengulurkan air putih hangat untuk diminumnya. “Aku sudah jadi suamimu sekarang. Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan lain?” tanya Sanders malas. Dia tidak suka sang istri memanggilnya Tuan. Sanders juga heran, Faleesha tidak penasaran sedikit pun perihal dirinya menjenguk Jinny. “Terus, aku harus manggil apa?” Faleesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Panggil sayang, atau babe juga boleh,” jawabnya asal. Seketika Faleesha menjulurkan lidahnya pertanda mual. “Kenapa begitu?” sengit Sanders. “Oh tidak apa-apa.” Dia berusaha tersenyum semanis mungkin supaya sang suami tidak tahu jika dirinya ingin muntah mendengar sebutan itu. “Aku belum terbiasa,” balasnya beralasan. “Ya sudahlah terserah kamu saja,” tukas pria itu. Faleesha bernapas lega. Sanders tidak mempermasalahkan. “Diminum dulu air putihnya.” Wajah Sanders mengernyit. “Aku tidak suka