Share

Tak Bisa Dipahami

“Jadi, kau akan meninggalkanku di sini?” Laura menatap tak percaya pada suaminya. “Aku adalah istrimu. Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku?” 

“Aku bisa melakukan apa pun, Laura!” balas Christian. Suaranya tiba-tiba meninggi. Membuat Laura seketika mundur beberapa langkah. “Kau tidak kuberi wewenang untuk melayangkan protes! Bukankah dirimu sudah tahu siapa Christian Lynch? Akulah bosnya, Nona Pearson,” ucap si pemilik rambut gelap itu penuh penekanan. 

“Tapi, aku adalah wanita yang telah kau ikat dengan sumpah di hadapan Tuhan, Christian!” Laura terus melayangkan protes. 

“Wanita sepertimu tidak pantas menyebut nama Tuhan!” balas Christian. “Sudahlah. Aku tidak mau terlalu banyak membuang waktu di sini.” Christian membuka pintu. Sebelum keluar dari kamar, dia kembali menatap Laura. “Ingat satu hal. Jangan pernah berpikir bahwa kau bisa melarikan diri dari sini. Bila kau berulah macam-macam, aku akan langsung bertindak. Tuan James Pearson ada dalam genggamanku saat ini. Aku bisa melakukan apa pun terhadapnya. Sesuatu yang mungkin tak pernah terpikirkan olehmu,” ancam pengusaha muda asal London tersebut. 

“Kau sudah bertindak tidak adil!” sentak Laura.

“Kau tidak berhak bicara tentang keadilan, Laura!” balas Christian. Telunjuk pria tampan berkumis tipis itu tertuju lurus pada sang istri. “Kau tidak kuizinkan untuk bertindak semaumu di sini. Ingat apa yang kukatakan tadi.” Nada bicara Christian berangsur pelan. 

“Kau melakukan ini tanpa alasan yang jelas!” Laura tetap melayangkan protes keras, atas sikap semena-mena suaminya. Dia mengikuti Christian yang melangkah tegap menuju tangga. 

“Jangan bertanya tentang alasan karena kau pasti sudah mengetahuinya. Daripada banyak bertanya, kenapa tidak mencoba untuk introspeksi diri? Berapa banyak kesalahan yang sudah kau lakukan? Anggap saja ini sebagai hukuman dari banyaknya hati yang tersakiti.” 

Christian menoleh sekilas pada Laura yang berdiri terpaku di tempatnya. Dia tak memedulikan raut penasaran wanita itu. Pengusaha muda tadi berjalan menuruni undakan anak tangga sambil menenteng jas.

Sementara itu, Laura makin tak mengerti. Dia tak tahu ada masalah apa dengan Christian. Wanita bergaun pengantin tersebut setengah berlari menuju pagar pembatas kayu dekat tangga. Dari sana, Laura melihat Christian bicara pada Delila. Entah apa yang mereka perbincangkan. Beberapa saat kemudian, Christian keluar dari rumah. Pria itu pergi meninggalkan Laura di sana, tanpa memberikan penjelasan apa-apa. 

“Apakah aku menikahi seorang psikopat?” tanya Laura pada diri sendiri. Tanpa terasa, air mata menetes di sudut bibir. Saudara kembar Emma tersebut tak pernah menyangka, bahwa nasibnya akan seburuk ini. 

Laura melangkah gontai kembali ke kamar. Dia duduk di tepian tempat tidur. Putri James Pearson itu menangis tersedu-sedu, memikirkan dirinya yang kini berada di tempat asing. Laura juga teringat pada sang ayah serta ancaman yang diberikan Christian. 

Sesaat kemudian, terdengar ketukan di pintu yang masih terbuka lebar. Laura segera menyeka air mata, lalu menoleh. Dia melihat Delila sudah berdiri di depan kamar. “Bolehkah aku masuk, Nyonya?” tanyanya sopan. 

Laura mengangguk, sambil terus memperhatikan Delila yang berjalan masuk. Wanita paruh baya itu berdiri beberapa langkah darinya. 

“Tuan Lynch menyuruhku untuk melayani Anda di sini. Pakaian serta perlengkapan yang Anda butuhkan sudah tersedia di dalam lemari,” jelasnya, seraya mengarahkan tangan pada lemari kayu di sudut ruangan. “Begitu juga dengan peralatan kecantikan yang mungkin Anda perlukan.” 

“Terima kasih,” sahut Laura. “Siapa namamu tadi?” 

“Delila Spencer, Nyonya. Aku adalah istri Alfred Spencer. Tangan kanan Tuan Christian Lynch yang tadi ikut mengantar Anda kemari,” jelas wanita paruh baya dengan midi dress katun tersebut. 

“Oh.” Laura mengangguk samar, lalu mengarahkan pandangan ke lantai. Wanita muda itu terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Apakah Christian sering datang kemari?” tanyanya. 

“Dulu, Tuan Lynch kerap datang kemari. Namun, dalam beberapa waktu terakhir tidak lagi,” jawab Delila. 

“Kenapa begitu?” Laura kembali bertanya. 

Delila tak segera memberikan jawaban. Wanita paruh baya itu tampak berpikir. Dia mungkin tengah merangkai kata-kata. “Apakah Anda ingin berganti pakaian dulu, Nyonya?” Bukannya memberi jawaban, Delila justru mengalihkan topik pembicaraan. 

Laura mengangguk, kemudian berdiri. Dia memang sudah tak nyaman memakai gaun pengantin sejak tadi. Putri James Pearson tersebut melangkah ke hadapan Delila yang terlihat sedikit gugup. “Kenapa, Delila? Apa yang kau tutupi dariku?” tanya Laura, berusaha memancing wanita paruh baya berambut cokelat itu. 

“Tidak ada, Nyonya,” jawab Delila pelan. “Apakah Anda ingin mandi dulu? Setelah ini, akan kusiapkan makan malam untuk ….” 

“Aku hanya ingin tahu ada apa dengan Christian Lynch?” Suara Laura tiba-tiba meninggi. Namun, sesaat kemudian wanita muda itu tersadar. Laura mengembuskan napas dalam-dalam. “Maafkan aku. Maaf,” ucapnya menyesal. Dia berjalan cepat ke dekat lemari, lalu membukanya. 

Di dalam benda yang terbuat dari kayu tadi, terdapat beberapa potong pakaian berderet rapi serta perlengkapan pribadi khusus wanita. Laura menatap beberapa saat, lalu mengalihkan perhatian pada lemari kaca berisi beberapa pasang sepatu. 

“Aku tidak yakin Christian menyiapkan semua ini untukku,” ucap Laura pelan sambil menutup kembali pintu lemari. 

“Beberapa dari pakaian serta sepatu itu masih baru, Nyonya. Tuan Lynch sudah menyiapkannya sejak lama,” jelas Delila hati-hati. 

Laura tersenyum getir, lalu menoleh pada Delila. “Jadi, dia sudah merencanakan untuk membawaku kemari sejak dulu?” Wanita muda itu menautkan alis. Laura makin tak bisa memahami apa yang tengah terjadi pada dirinya. 

“Tidak. Bukan begitu, Nyonya,” bantah Delila. Bahasa tubuh istri Alfred tersebut tampak gelisah. “Semua pakaian serta barang-barang yang ada di kamar ini bukan dimaksudkan untuk Anda,” jelasnya. 

Mendengar pernyataan Delila, Laura menjadi begitu tertarik untuk mengorek lebih banyak informasi dari wanita paruh baya tadi. Dia kembali ke hadapan Delila yang memilih menundukkan wajah. “Bukan untukku? Lalu, untuk siapa? Apakah Christian terbiasa membawa wanita kemari dan melakukan hal yang sama seperti yang diperbuatnya padaku?” desak Laura, seakan sudah tak tahan untuk segera menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi menggelayuti pikirannya. 

Delila menggeleng, sebagai pertanda bahwa dia membantah semua ucapan Laura. “Setahuku tidak, Nyonya,” ucapnya. “Tuan Lynch sengaja menyiapkan semua itu untuk adik perempuannya, yang pernah tinggal di sini selama beberapa waktu,” jelas wanita dengan pantofel hitam itu. 

“Adik perempuan?” ulang Laura. “Christian punya adik perempuan?” gumamnya. 

“Ya, Nyonya. Wanita muda seusia Anda.” Delila membenarkan. “Nona Maria dibawa kemari untuk menenangkan diri. Aku yang menemaninya selama dia berada di sini sampai ….” Delila tak melanjutkan kata-katanya. Dia menatap ragu pada Laura. 

“Sampai apa?” tanya Laura kian penasaran. 

Delila menggeleng. “Maaf, Nyonya. Aku tidak bisa ....”

“Katakan,” desak Laura. 

“Nyonya Maria bunuh diri di kamar ini.” 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status