“Welcome to the best campus for learning Sanskrit, Grisse.” Aku tersenyum sendiri mendengar kalimat yang kugumamkan lirih. Sepasang mataku tak henti menyapu seluruh objek yang ada di hadapanku. Sebuah bangunan universitas yang bergaya klasik dengan warna terakota mendominasi hampir seluruh bangunan. Indah. Dan keren. Dua kata itu tak henti kukatakan untuk melukiskan kekagumanku. Sambil terus menatap bangunan kampus, ingatanku seolah diputar ke belakang. Ke bagian sebelum aku sampai di sini. Menginjakkan kaki di kampus ternama ini.
Aku masih ingat betul ketika sebuah surel dari grup pencari beasiswa yang kuikuti mengirim rangkuman informasi. Sebuah kampus ternama di luar negeri menawarkan program pertukaran mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan di jurusan bahasa-bahasa kuno. Tentu saja aku sangat tertarik untuk mendaftar program itu. Dalam benakku langsung terbayang bahwa aku akan mempelajari berbagai bahasa kuno dunia yang merupakan akar dari bahasa-bahasa yang digunakan saat ini. Tanpa menunda lagi, aku segera mengecek persyaratan program pertukaran mahasiswa tersebut. Aku bertekad bahwa hari ini juga akan kupenuhi semua persyaratan yang diminta kemudian segera mengirim ke alamat surel yang tertera. Aku tidak ingin menunda lagi pekerjaan ini. Bagiku, menunda sama artinya dengan membuang kesempatan.
Aku harus menunggu dengan sabar selama enam puluh hari sampai akhirnya pengumuman program tersebut masuk ke akun surelku. Dengan hati berdebar, kuklik surel itu dan aku langsung melonjak kegirangan begitu kudapati kata congratulations di bagian awal surat.
“Yeay, aku diterima.” Sorakku dengan suara lantang. Kuabaikan pandangan keheranaan orang-orang di sekitarku.
“Grisse, kalau berisik keluar saja!” Ujar petugas ruang baca ketus. Senyum lebar di wajahku memudar seketika. Ya, aku sama sekali tidak sadar jika sekarang aku tengah berada di ruang baca fakultasku.
“Maaf, Bu.” Ucapku dengan suara lirih. Tanpa melihat lagi ke arah petugas ruang baca, aku pun kembali duduk dan kembali menekuni laptopku.
*
“Hai, ruang akademik di mana ya?” Tanyaku pada seorang gadis berambut pirang. Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya menjawab sambil merentangkan tangan kirinya.
“Oh, kamu lurus saja kemudian belok kanan. Ruang akademik ada di sisi kiri bagian tengah.”
“Terima kasih.” Ujarku sambil mengangguk.
“Oke.” Gadis itu menjawab tanpa melihatku. Ia terlihat begitu asyik dengan ponselnya. Aku pun melangkah menuju arah yang ditunjukkan gadis pirang tadi. Tidak perlu waktu lama, akhirnya aku sampi di depan sepasang pintu yang tertutup. Di bagian atas pintu tersebut terdapat plat dengan tulisan akademik menggunakan huruf kapital seluruhnya. Perlahan kudorong salah satu pegangan pintunya. Tepat ketika pintu yang kudorong terbuka, aku melihat beberapa kubikel rendah yang memisahkan meja demi meja. aku pun menghampiri salah satu meja yang terdekat dengan pintu. Di sana, seorang laki-laki paruh baya menatapku. Ia terlihat ramah dan sepertinya siap untuk mendengarkanku.
“Halo, Pak. Saya peserta program pertukaran mahasiswa. Menurut surat yang saya terima, saya harus melapor ke bagian akademik.”
Laki-laki itu mengangguk tanda mengerti. Tanpa membalas kalimatku, dengan cekatan laki-laki itu mengetikkan sesuatu. Setelah mengetukkan telunjuknya pada tombol enter satu kali, laki-laki itu kembali mengalihkan pandangannya padaku.
“Anda Grisse Anggara?” Tanyanya yakin. Refleks, aku mengangguk sebagai jawaban.
“Jangan heran. Anda adalah orang terakhir program pertukaran mahasiswa yang melapor ke sini.”
Aku kembali mengangguk. Laki-laki ini bisa membaca pikiranku.
“Di sini tertulis Anda memilih mata kuliah Bahasa Sansekerta dan Tamil.”
“Benar, Pak.”
“Sayang Mata kuliah Bahasa Tamil tidak ditawarkan semester ini.”
Aku melongo mendengar penjelasan laki-laki di hadapanku.
“Kalau memang tidak ditawarkan, kenapa ditulis dalam program itu, Pak?” Aku berusaha menyembunyikan kekesalanku. Rasannya aneh saja, untuk kampus yang katanya terbaik, mereka bisa melakukan kesalahan yang bagiku sangat merugikan.
“Pengajarnya sedang melakukan penelitian di kampung halamannya selama satu tahun.” Jawab laki-laki itu santai. Aku hanya merespons kalimatnya dengan oh yang sukar ditafsirkan. Namun, kemudian aku berkata pada diriku sendiri: tidak ada gunanya marah, toh kemarahanku tidak akan membuat pengajar Bahasa Tamil itu segera kembali.
“Jadi, saya hanya akan mengikuti mata kuliah Bahasa Sansekerta saja, Pak?”
“Iya, tapi tenang saja. Kami tetap akan membayarkan beasiswamu secara penuh. Sebagai gantinya, kamu bisa mengikuti klub yoga yang diasuh oleh dosen pengajar Bahasa Sansekerta.”
“Baiklah. Terima kasih informasinya, Pak.” Aku sudah bersiap untuk beranjak dari hadapan laki-laki itu, tapi suaranya kembali menahanku.
“Tunggu. Hari ini pukul 15.00 ada jadwal kelas Bahasa Sansekerta. Dan pukul 18.00 klub yoga akan mulai latihan.” Ujarnya sambil menyodorkan map transparan padaku.
“Di dalamnya terdapat lembar jadwal kuliah, jadwal klub, dan kontak pengajarnya. Untuk mendaftar di klub yoga, kamu datang saja ke gedung C yang ada di bagian belakang bangunan kampus ini. Itu adalah gedung khusus untuk kegiatan semua klub yang ada di sini.”
“Baik. Terima kasih, Pak.” Jawabku setelah menerima map transparan tersebut. Laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban. Aku kemudian keluar dari ruang akademik dan memilih berdiri di seberang pintu ruang akademik untuk mengecek isi map transparan yang baru kuterima. Aku mencari lembar berisi jadwal kuliah karena petugas itu mengatakan bahwa hari ini ada jadwal kuliah Bahasa Sansekerta. Setelah melihat kolom yang memuat keterangan ruang kelas, aku pun melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Sepasang jarum pada jam tanganku menunjuk angka tiga dan satu. Ah sial, aku terlambat. Kelas telah dimulai lima menit yang lalu. Aku pun bergegas mencari papan berisi penunjuk arah ruang kelas. Setelah menemukannya, aku pun mempercepat langkahku. Sesekali aku berlari agar bisa segera sampai ke ruang kelas yang menjadi tujuanku.
*
“Sorry, I am late.” Ujarku setelah membuka pintu ruang kelas.
“It’s ok.” Jawab dosen pengajar itu lembut. Bukannya segera mengambil tempat duduk, aku justru mematung di tempatku. Aku terkesima dengan dosen pengajarku. Ya Tuhan, kenapa dia begitu tampan. Keluhku dalam hati. Ya, dosen pengajar Bahasa Sansekerta ini begitu tampan. Selain tampan, aku juga bisa merasakan karismanya yang kuat.
“Silakan duduk.” Ujarnya sambil tersenyum. Duh, senyumnya manis sekali. Aku kembali mengeluh dalam hati.
“Eh, iya Pak. Maaf.” Dengan tersipu aku melangkah perlahan sambil mengedarkan pandang. Mencari kursi yang belum ditempati.
“Nona, silakan duduk di sini.” Suara dosen itu kembali terdengar. Refleks, aku menoleh ke arahnya. Kemudian dengan cepat aku melihat ke arah telunjuknya.
“Oh, ok. Thank you, Sir.”
Duh, kenapa aku harus duduk tepat di hadapannya sih? Keluhku lagi setelah mengempaskan bokongku ke atas permukaan kursi.
“Well, sebelum memulai perkuliahan, saya akan memperkenalkan diri dulu. Nama saya Vidwan Surya. Saya akan memberi kuliah Bahasa Sansekerta. Selain itu, jika kalian berminat silakan bergabung dengan klub yoga karena saya merupakan instruktur di klub tersebut.”
Aku tertegun mendengar perkataan dosen itu. Apa? Dia juga menjadi instruktur klub yoga? Duh!
***
Pertama kali melihatnya, aku langsung tertarik. Sepasang manik matanya yang membulat sempurna tatkala mengagumi bangunan kampus, benar-benar mencuri perhatianku. Aku yang saat itu seharusnya segera mengikuti rapat fakultas, terpaksa menghentikan langkah tergesaku.Cantik dan sederhana.Dua kata yang teramat umum, tapi gabungan dua kata itu berubah menjadi menarik, indah, dan mempesona karena berasal dari dirinya. Dia tetap terlihat cantik, meskipun penampilannya sangat biasa dan sederhana: kemeja polos warna krim dipadu rok sepanjang lutut dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru. Kesederhanaan yang ia tampilkan benar-benar membuat kecantikannya terekspos dengan sempurna. Dan aku pun menyadari bahwa aku tertarik pada pandangan pertama, dengan gadis yang baru kali ini kulihat berada di kampusku.Polos
Latihan akan dimulai lima menit lagi, tapi Vidwan belum juga bersiap. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya mengajar. Kaos beserta celana pendeknya masih terlipat rapi dan tergeletak di atas meja. Matras yoganya juga masih tergulung, belum dibentangkan. Ia menolak ketika Grace menawarkan diri untuk menyiapkan matras miliknya.Beberapa peserta yang sudah datang dan siap mengikuti latihan memandanginya heran. Tidak biasanya sang guru belum siap. Vidwan tidak peduli dengan pandangan penuh tanya seluruh peserta yang hadir. Banyak dari anggota Klubnya berasal dari luar kampus. Mereka mengikuti sesi latihan bersama Vidwan karena kagum dengan sosoknya.Vidwan gelisah seperti ini karena sedang menunggu Grisse. Ia sangat khawatir Grisse urung hadir latihan sehingga kunjungan gadis itu ke apartemen miliknya juga batal. Kini, Vidwan menyadari bahwa ia te
Aku dan Guru Vidwan hendak keluar dari ruangan pelatih. Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk keluar ruangan, Vidwan memintaku untuk memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel guru. Aku mengangguk tanda setuju, tapi nyatanya beberapa kali aku masih saja memanggilnya Guru Vidwan."Guru, kumohon biarkan aku memanggil Anda seperti itu khususnya bila kita di keramaian."Vidwan melangkah mendekatiku, "Oke, tapi ketika kita hanya berdua kamu harus memanggilku Vidwan."Aku tersenyum sambil mengangkat tangan dengan dua jemari teracung membentuk huruf V, “Janji!”Vidwan terkekeh perlahan kemudian menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung jemariku yang teracung.“Cup!” Bunyi kecupan singkatny
"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk."Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu."Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di temp
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.Kehormatannya.Kesuciannya.Mahkotanya.Kegadisannya.Ya Tuhan….Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t