Pertama kali melihatnya, aku langsung tertarik. Sepasang manik matanya yang membulat sempurna tatkala mengagumi bangunan kampus, benar-benar mencuri perhatianku. Aku yang saat itu seharusnya segera mengikuti rapat fakultas, terpaksa menghentikan langkah tergesaku.
Cantik dan sederhana.
Dua kata yang teramat umum, tapi gabungan dua kata itu berubah menjadi menarik, indah, dan mempesona karena berasal dari dirinya. Dia tetap terlihat cantik, meskipun penampilannya sangat biasa dan sederhana: kemeja polos warna krim dipadu rok sepanjang lutut dengan motif bunga-bunga kecil berwarna biru. Kesederhanaan yang ia tampilkan benar-benar membuat kecantikannya terekspos dengan sempurna. Dan aku pun menyadari bahwa aku tertarik pada pandangan pertama, dengan gadis yang baru kali ini kulihat berada di kampusku.
Polos.
Melihat penampilan dan sikapnya yang malu-malu, aku sangat yakin bahwa ia adalah gadis yang polos. Polos dalam artian, hati dan tubuhnya belum pernah disentuh pria. Menyebut kata tubuh ketika melihatnya membuat kelelakianku bergolak.
Pintar.
Dua puluh tahun menjadi dosen telah mengajariku banyak hal, salah satunya bagaimana menilai kemampuan mahasiswa dari cerminan penampilan. Meskipun harus kuakui, penilaian berdasarkan penampilan tidaklah sepenuhnya tepat, tapi mahasiswa yang memang serius belajar tidak pernah berperilaku yang aneh-aneh. Mereka yang cenderung pendiam lebih memilih menarik diri dari pergaulan. Dari segi penampilan, mereka cenderung tidak menarik dan tidak mencuri perhatian. Sama persis seperti gadis yang mencuri perhatianku saat ini.
Ah…
Tanpa sadar aku mendesah. Tetiba aku merasakan diriku dilingkupi gairah yang terasa menyenangkan. Apalagi kalau bukan gairah untuk menyentuhnya. Jika ada kesempatan lebih, aku ingin sekali menjamahnya. Dan di puncak dari gairahmu terhadap dirinya, aku ingin menjadikannya milikku. Ya, hanya milikku seorang. Detik berikutnya, kurasakan pusat diriku mengeras. Aku berdecak. Kesal dengan diriku sendiri yang berubah menjadi liar dan… cabul. Aku sempat keheranan bahwa diriku kini berubah menjadi amoral hanya dengan melihatnya. Sosoknya benar-benar telah mengusik fantasiku yang paling liar. Aku menunduk sebentar, memperhatikan milikku yang seolah berontak ingin keluar dari celana. Lagi-lagi aku mendesah sambil merasa beruntung karena hari ini aku memakai baju atasan yang agak panjang, seperti pakaian khas laki-laki Asia Selatan.
*
Aku melihatnya keluar dari ruangan akademik sambil membawa map plastik transparan. Sekilas kulihat kartu anggota klub yoga berada di bagian terluar dari lembaran-lembaran kertas berwarna putih. Bibirku bergerak membentuk senyuman tipis. Apakah aku senang? Apakah aku senang karena melihatnya membawa kartu anggota klub yoga? Tentu saja. Mendapati dia membawa kartu anggota klub yang kuasuh membuatku bergegas memikirkan banyak rencana. Diam-diam, aku berterima kasih pada konselor yang baru saja ditemuinya. Entah apa yang dikatakan konselor itu sehingga dia memilih untuk bergabung dengan klub asuhanku. Aku cukup lama larut dalam kegembiraan, kusanjung semesta yang membuat gadis itu datang padaku lebih mudah dari yang kuduga.
Aku masih sibuk dengan pikiran-pikiranku mengenai gadis itu. Juga mengenai mata kuliah yang akan diambilnya. Aku menduga bahwa gadis itu akan masuk ke kelasku hari ini dan seratus persen dugaanku benar. Rasanya aku ingin melompat dan bersorak tatkala melihatnya berdiri di depan pintu. Memandangku dengan tatapan takut serta sungkan.
"Sorry, Sir. I am late." Ia terlihat mencuri pandang ke arahku. Sorot matanya menunjukkan rasa bersalah. Kupalingkan pandanganku darinya untuk menatap jam dinding yang bertengger di atas papan tulis.
"It's ok. Belum ada sepuluh menit. Take your seat." Aku mempersilakan gadis itu duduk. Gadis itu mengedarkan pandnag ke seluruh penjuru kelas. Tampak mencari-cari, adakah kursi yang masih kosong sehingga bisa ia tempati.
“Hey, duduklah di sini karena hanya ini satu-satunya kursi yang belum ditempati.” Aku memanggilnya sambil mengarahkan telunjukku ke kursi yang berada tepat di depanku. Gadis itu melihat ke arah yang kutunjuk.
“Thank you, Sir.” Ucapnya lirih sambil melepas tas ranselnya. Aku tidak menjawab. Hanya anggukan kecil yang kuberikan. Itu pun aku tidak melihatnya.
*
Aku tidak pernah merasa begitu bersemangat dalam mengajar sebelumnya. Materi yang telah kupersiapkan untuk tiga puluh menit pemaparan, nyatanya sudah berakhir sepuluh menit lebih awal. Tidak ada satu pun pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa membuatku bisa mengakhiri kelas lebih cepat.
“Sir, bolehkah saya bertanya beberapa hal?” Gadis itu beranjak dari duduknya.
“Tentu. Setelah ini saya akan menjawab semua pertanyaanmu.” Aku berusaha menyembunyikan luapan rasa senang yang membanjiri hatiku.
“Saya ingin bertanya mengenai penyebaran bahasa Sansekerta di Asia Tenggara.” Gadis itu kembali duduk kemudian mengambil pulpennya. Ia terlihat siap mencatat apa saja yang akan kukatakan. Aku sengaja tidak langsung menjawab pertanyaannya. Sengaja aku menunggu mahasiswa lainnya meninggalkan kelas.
“Kau baru di kampus ini?”
“Benar, Sir.”
“Artinya kau melewatkan sesi perkenalan dirimu.”
“Oh, maaf Sir. Anda tidak memintaku tadi.” Ia gugup ketika mengatakan kalimat keduanya. Aku tahu bahwa ia takut kalimatnya terdengar menyalahkan diriku.
“Ya. Sekarang, silakan perkenalkan dirimu.” Aku memintanya sambil beranjak dari kursiku. Kini aku duduk dengan menopang pada salah satu sudut meja.
“Nama saya Grisse Anggara, Sir. Saya peserta Program Pertukaran Mahasiswa yang diadakan universitas ini.”
“Itu artinya kamu tamuku.” Aku berkata antusias. Gadis itu tersenyum lalu mengangguk.
“Kenapa Bahasa Sansekerta?” Tanyaku. Gadis itu tampak berpikir. Ia terlihat tidak gegabah dalam menjawab pertanyaanku. Pertanyaan klise yang bisa kugunakan untuk mengukur keseriusan mahasiswa pada kuliahku.
“Karena saya mempelajari teks-teks yang ditulis menggunakan aksara Devanagari.”
Aku mengangguk mendengar apa yang dikatakan gadis itu.
“Bukankah aksara Devanagari pertama kali digunakan untuk menulis teks dalam bahasa Sansekerta?” Tambahnya lagi. Aku menatap dalam-dalam wajah cantik di hadapanku. Jujur, aku kagum dengan pengetahuan Grisse.
“Ya, kamu benar. Aku sungguh kagum padamu, Grisse. Kamu masih muda, tapi menunjukkan ketertarikan pada hal-hal yang tidak semua orang mau mempelajarinya.” Aku memujinya tulus.
“Terima kasih, Sir tapi Anda terlalu berlebihan.” Grisse menunduk karena tersipu.
“Terima kasih, Sir.” Gadis itu mengulangi ucapan terima kasihnya. Sungguh gadis yang sopan dan tahu tata krama. Rasa hangat menjalari tubuhku beberapa saat, sebelum akhirnya berganti dengan rasa panas yang sangat kusuka. Aku bernafsu dan bergairah padanya.
“Apakah ada bahan bacaan yang bisa Anda rekomendasikan untukku, Sir? Terkait pertanyaanku tadi, mengenai penyebaran bahasa Sansekerta di Asia Tenggara.”
Aku seperti mendapat durian runtuh setelah mendengar pertanyaan Grisse. Tetiba, sebuah rencana besar membentang di hadapanku. Rencana yang bisa membuat Grisse semakin dekat padaku.
“Ada beberapa buku yang bisa kamu baca. Saya akan meminjamkannya padamu. Kau bisa mengambilnya di apartemenku sore nanti selepas latihan di klub yoga.”
“Klub yoga?” Grisse menatapku penuh tanya.
“Ya, aku adalah pengasuh klub Yoga. Dan, kulihat kau juga memiliki kartu anggota di klub yoga.” Aku menunjuk kartu yang tersimpan di dalam map plastik transparan miliknya.
“Iya, Sir. Konselor menyarankan saya untuk bergabung dengan klub yoga sebagai ganti mata kuliah Bahasa Tamil yang tidak ditawarkan semester ini.”
“Kau bisa berkunjung ke apartemenku setelah latihan yoga.” ulangku. Grisse terdiam sejenak. Ia terlihat hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu.
“Kenapa?”
“Apa aku tidak mengganggu Anda, Sir? Kulihat, latihan yoga berlangsung selama dua jam. Itu artinya latihan baru selesai pukul dua puluh. Mungkin saya akan berkunjung di lain hari ketika tidak ada jadwal latihan, Sir.”
“Aku tidak terganggu, Grisse. Kita bisa pergi ke apartemenku bersama-sama. Tenang saja, apartemenku masih berada di lingkungan kampus.” Aku berusaha meyakinkan Grisse bahwa aku tidak keberatan dengan kunjungannya. Kulihat Grisse masih ragu sehingga aku kembali meyakinkan dirinya untuk tetap pergi.
“Tidak apa-apa. Percayalah. Kamu tidak akan menggangguku.” Aku menepuk bahu Grisse pelan. Gadis itu tersenyum lalu mengangguk.
“Terima kasih, Sir.”
“Sama-sama. By the way, kamu tinggal di mana?”
“Asrama mahasiswa, Sir.”
“Syukurlah.” Aku menunjukkan kelegaan.
“Kenapa, Sir?”
Aku diam sejenak. Grisse menatapku tanpa berkedip.
“Kau bisa menginap atau aku akan mengantarmu pulang.”
***
Latihan akan dimulai lima menit lagi, tapi Vidwan belum juga bersiap. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakainya mengajar. Kaos beserta celana pendeknya masih terlipat rapi dan tergeletak di atas meja. Matras yoganya juga masih tergulung, belum dibentangkan. Ia menolak ketika Grace menawarkan diri untuk menyiapkan matras miliknya.Beberapa peserta yang sudah datang dan siap mengikuti latihan memandanginya heran. Tidak biasanya sang guru belum siap. Vidwan tidak peduli dengan pandangan penuh tanya seluruh peserta yang hadir. Banyak dari anggota Klubnya berasal dari luar kampus. Mereka mengikuti sesi latihan bersama Vidwan karena kagum dengan sosoknya.Vidwan gelisah seperti ini karena sedang menunggu Grisse. Ia sangat khawatir Grisse urung hadir latihan sehingga kunjungan gadis itu ke apartemen miliknya juga batal. Kini, Vidwan menyadari bahwa ia te
Aku dan Guru Vidwan hendak keluar dari ruangan pelatih. Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk keluar ruangan, Vidwan memintaku untuk memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel guru. Aku mengangguk tanda setuju, tapi nyatanya beberapa kali aku masih saja memanggilnya Guru Vidwan."Guru, kumohon biarkan aku memanggil Anda seperti itu khususnya bila kita di keramaian."Vidwan melangkah mendekatiku, "Oke, tapi ketika kita hanya berdua kamu harus memanggilku Vidwan."Aku tersenyum sambil mengangkat tangan dengan dua jemari teracung membentuk huruf V, “Janji!”Vidwan terkekeh perlahan kemudian menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung jemariku yang teracung.“Cup!” Bunyi kecupan singkatny
"Grisse!" Suara Vidwan yang memanggil dari arah kamar membuat Grisse terlonjak. Refleks gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat. Ia benar-benar terkejut mendengar panggilan Vidwan yang tiba-tiba. Tak berselang lama, Vidwan mengulangi panggilannya sekali lagi. Kali ini Grisse segera beranjak dari duduknya. Dengan sedikit bergegas, Grisse melangkah menuju kamar Vidwan. Diketuknya pintu kamar satu kali dan segera Grisse mendengar suara Vidwan dari dalam untuk menyuruhnya masuk."Sir." Panggil Grisse sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu."Masuklah!" Suara Vidwan terdengar dari sudut yang dekat dengan pintu kamar. Sepertinya di balik pintu itu kamar mandi karena Grisse bisa mendengar suara gemericik air yang perlahan menghilang. Grisse menurut. Ia melangkah masuk kemudian menutup pintu kamar perlahan. Grisse memilih diam mematung di temp
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga.Kehormatannya.Kesuciannya.Mahkotanya.Kegadisannya.Ya Tuhan….Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu
Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi. Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse. Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidw
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."