LOGINLagi-lagi pertanyaan Amanda itu membuatku terdiam. Bukan karena aku tak tahu harus menjawab apa, tapi karena aku takut. Ya… takut kalau satu kata yang salah bisa menyalakan api cemburu. Meskipun dia meminta fantasi itu, tapi bukan berarti dia ingin aku pacaran dengan wanita lain.Dia menatapku tanpa berkedip, dengan ekspresi datar tapi tajam seperti sedang membaca isi hatiku.Aku menelan ludah, mencoba memaksa bibirku untuk bergerak.“Iya... ini dari Bu Livia,” jawabku akhirnya, jujur tapi dengan nada hati-hati. “Dia cuma nanya, aku masih bangun atau udah tidur.”“Katanya tadi pesan kerjaan?” suaranya pelan, tapi dingin.“Ya, kan ini dari Bu Livia. Pasti, nanti juga akan bahas tentang kerjaan,” jawabku.Alis Amanda naik sedikit. “Dia cuma nanya itu aja?”“Iya,” jawabku cepat. “Mungkin mau bahas soal kerjaan, atau urusan kerajaan. Nggak ada apa-apa.”Amanda menunduk sejenak, lalu berbalik menuju lemari pakaian.Aku sempat menghela napas lega, tapi belum sempat benar-benar tenang, ponse
Pertanyaan Amanda barusan seperti pisau yang menggores pelan tapi dalam.“Apa kamu pengen karena membayangkan tubuh Livia… atau karena tadi lihat Mama cuma pakai handuk?”Aku terdiam.Sumpah, aku ingin membantah, tapi lidahku seperti terikat. Gambar Lydia dengan handuk yang menempel di kulitnya masih berputar di kepala—begitu pula bayangan samar tentang Livia, dengan senyum tenangnya yang kadang bisa membuat siapa pun kehilangan arah.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan bara yang sudah naik ke dada.“Amanda,” kataku akhirnya, nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud, “kamu jangan mikir yang aneh-aneh! Nggak ada hubungannya sama mereka!”Amanda menatapku lekat-lekat, tidak mundur sedikit pun. “Lantas?” tanyanya dingin.“Kalau bukan karena mereka, lalu karena apa kamu bilang lagi pengen?”Aku mendesah pelan, lalu melangkah setengah mendekat.“Aku tergoda karena kamu, Amanda. Mana ada cowok waras yang nggak tergoda ngelihat tubuhmu kayak gini?”Senyum samar terbit
Amanda menatapku lama, seolah ingin membaca isi kepalaku. Tatapan itu tajam tapi lembut, seperti pisau yang dibalut sutra.Dia mengangkat alis, lalu tersenyum samar. “Iya, Livia memang cantik,” katanya akhirnya. “Kenapa? Kamu menyukainya?”Aku menatapnya balik. “Ini bukan masalah suka atau nggak suka,” ujarku pelan. “Tapi ini tentang keinginanmu itu.”Senyumnya menipis, tapi matanya justru berkilat. “Jadi… kamu sudah mulai memikirkannya?” tanyanya, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan, tapi ada gairah terselubung di baliknya.Aku menghela napas. “Tentu saja. Kamu yang memaksaku memikirkan hal itu. Bahkan sampai mengancam segala. Mana mungkin aku nggak kepikiran?”Amanda terkekeh kecil. “Ancaman itu berhasil rupanya,” katanya sambil melangkah mendekat. Jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal sekarang. “Jadi, maksudmu… kamu mau mengajak Livia untuk melakukan itu?”Aku menatap matanya, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Rencananya sih seperti itu. Tapi hanya kalau kamu setuju.”Dia me
Suara langkah kaki Amanda terdengar jelas dari ruang tamu — cepat, mantap, seperti biasa. Aku berdiri di dekat pintu kamar Mama, masih mencoba menormalkan napas yang tak beraturan. Di balik daun pintu itu, Lydia mungkin sedang berusaha menenangkan diri seperti aku.Kupaksakan senyum saat Amanda muncul di ujung lorong. Rambutnya sedikit berantakan, tapi wajahnya cerah, tampak senang akhirnya pulang lebih awal.“Rey, kamu baru sampai? Kenapa masih di sini? Nggak ganti baju?” tanyanya.“Iya, ini baru mau ke kamar,” jawabku.Amanda tersenyum kecil, lalu menatap ke arah kamar ibunya. “Mama masih bangun?”Aku sempat ragu sebelum menjawab. “Iya, tadi aku bantu Mama buat jalan. Kayaknya kakinya masih agak sakit, jadi dia tadi mau jatuh gitu.”“Oh, ya ampun… mama mau jatuh?” Amanda bertanya sambil berjalan pelan ke arah kamar Lydia, tapi langkahnya berhenti di tengah.“Iya, makanya aku bantu,” kataku, mencoba terdengar biasa.Amanda hanya mengangguk. “Baiklah.”Dia kemudian mengetuk pelan pint
Aku berdiri di ambang pintu kamar mama mertua, terdiam beberapa detik, menatap punggungnya yang menghadap ke arah kasur. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, tubuhnya hanya dililit handuk putih yang menutupi sebagian kulitnya. Air masih menetes dari ujung rambutnya, membasahi pundak dan turun ke sepanjang garis punggungnya yang tampak… terlalu mulus untuk seorang wanita seusianya.Aku menelan ludah, reflek ingin berbalik dan pergi. Tapi kakiku seperti menolak.“Mama…” panggilku pelan, hampir tak terdengar.Dia terkejut, menoleh cepat. Tatapan kami bertemu.“Oh, Rey?” suaranya lembut, tapi ada sedikit getar di sana. “Kamu sudah pulang?”Aku mengangguk canggung, “I-iya, Ma. Maaf… aku nggak sengaja liat.”Aku buru-buru menunduk, tapi dari ekor mataku masih terlihat kilau air di kulitnya yang basah.Lydia tersenyum samar, entah canggung atau justru… tenang.“Nggak apa-apa,” katanya, lalu menoleh sedikit sambil memperbaiki lilitan handuknya. “Mama kira kamu belum pulang.”Aku ingin langs
Aku menatap wajah Amanda, lalu mengalihkan pandanganku ke arah Livia. Anehnya, tidak ada sedikit pun canggung di antara mereka. Mereka berbicara seperti dua teman lama yang baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah.“Apakah perasaan mereka langsung klik begitu saja?” pikirku dalam hati. “Atau mungkin… mereka berdua sama-sama memiliki sesuatu yang aneh di dalam diri mereka?”Livia menoleh ke arahku, tersenyum lembut. “Kamu kenapa nggak pernah cerita kalau punya istri secantik ini, Rey?” katanya, nada suaranya seperti setengah menggoda.Amanda cepat-cepat menimpali sambil tersipu. “Eh, jangan ngomong gitu. Aku nggak secantik itu, kok.”Tangan Amanda naik, dan kini memegang lengan Livia dengan ringan. “Kalau dibandingkan dengan Bu Livia aja, aku udah kebanting jauh cantiknya.”Livia tertawa kecil dan menggeleng. “Nggak, justru kamu yang lebih cantik, Amanda.”Aku hanya tersenyum kecil, lalu berkata santai, “Kalau suaminya kayak saya, yang ganteng ini, bukankah sudah jelas







