Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.
Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus
BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l
“Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim
Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget
Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya