เข้าสู่ระบบ“Maaf, kamu menunggu terlalu lama, ya?”Olivia yang baru sampai di hadapan Simon langsung memasang raut wajah memelas dan meminta maaf. Dia benar-benar tidak sengaja membuat pria itu menunggu. Semua karena ulah Sean yang sempat menahannya. Namun, di luar ekspektasi. Simon bahkan tidak terlihat marah sama sekali. Pria itu mengulurkan tangan dan mengelus puncak kepala Olivia sembari menjawab, “Tidak. Aku juga baru datang belum lama ini.”“Kalau begitu, Ayo kita makan. Aku sudah lapar,” kata Olivia. Simon pun menganggukkan kepala. Dia meraih jemari Olivia dan menggenggam erat. Ingin sekali rasanya dia melakukan hal itu tepat di hadapan Sean. Kalau saja Olivia tidak pernah melarangnya, dia ingin melakukan hal itu setiap hari. Setidaknya dia ingin menunjukkan bahwa dia jauh lebih mampu membahagiakan Olivia dibandingkan pria itu. “Kamu mau di sini sampai kapan?” tanya Olivia. “Sampai kamu pulang,” jawab Simon. Olivia yang mendengar mengerutkan kening dalam. Dia langsung menghentikan la
Olivia menguap pelan dan membuka mata secara perlahan. Sebenarnya hari ini dia enggan kemana-mana. Tubuhnya terasa lelah. Ditambah dengan jam tidurnya yang berantakan. Semua itu karena ulah Sean yang entah berada di mana. Beruntung pihak resepsionis memberinya kunci cadangan, membuat Olivia bisa masuk dan beristirahat di dalam.“Dia masih belum kembali?” tanya Olivia dengan diri sendiri. Dia tidak melihat keberadaan Sean di kamarnya. Namun, kepedulian itu hanya berlaku sejenak. Pasalnya, sekarang Olivia terlihat seperti tidak peduli sama sekali. Wanita itu memilih menyingkap selimut dan menuju ke arah jendela. Olivia membuka lebar-lebar jendela kamar yang langsung tertuju dengan lautan lepas. “Benar-benar sejuk,” ucap Olivia. Olivia menarik nafas dalam-dalam dan membuang secara perlahan. Dia melakukan hal itu berulang kali. Rasanya begitu senang karena bisa menghirup udara segar di pagi hari ini. Udara yang tidak pernah dia rasakan ketika berada di rumah. Hingga dering ponsel terde
“Bagaimana perkembangan mereka? Mengapa mereka berpisah kamar?”Gina yang baru saja selesai menghubungi putranya itu pun langsung menatap ke arah suaminya berada. Dengan tenang, dia melangkahkan kaki, mendekat ke arah ranjang dan duduk di sebelah sang suami. Pria itu tidak melihatnya, tetapi Gina yakin Charles masih bisa mengamatinya. “Sean bilang dia dan Olivia tidak tinggal di kamar yang terpisah. Tadi juga Aku sudah menghubungi pihak resepsionis dan tidak ada pesanan lain atas nama mereka,” jawab Gina.Charles yang mendengar jawaban itu pun langsung menganggukan kepala, merasa cukup puas dengan hal itu. Setidaknya kalau Sean menurut, Charles tidak mungkin selalu bertengkar dengan putranya itu. Charles merasa kalau Sean terlalu sulit untuk diatur. “Kamu katakan supaya dia memanfaatkan kesempatan ini baik-baik. Aku mengirim mereka ke sana bukan hanya untuk berjalan-jalan saja, tapi aku mau melihat hasilnya,” ucap Charles dengan serius. Gina hanya menganggukkan kepala. Dia melakuka
Sean terdiam mendengar pesta Elsa kali ini. Dia tidak pernah memikirkan mengenai seorang anak. Lagi pula Elsa juga bukan istrinya. Kalau memiliki anak darinya, akan sulit menyelesaikan masalah dengan sang papa.“Sean, apa setelah semua yang aku berikan kamu tetap tidak mau mengakuiku? Kamu takut kalau aku akan menyusahkanmu? Itu sebabnya kamu menyuruhku untuk meminum pil pencegah kehamilan.”Sean yang melihat kesedihan di wajah Elsa langsung membuang nafas lirih. Sejak Elsa menolongnya beberapa tahun yang lalu, dia sudah bertekad ingin menjaga wanita itu. Sean bahkan pernah berjanji tidak akan menyakiti Elsa dan selalu melindunginya.“Sean, apa kamu takut kalau memiliki anak aku akan mengganggu kehidupanmu?” tanya Elsa lagi. “Bukan karena itu, tetapi aku rasa belum saatnya kita memiliki anak. Aku belum menikahimu secara resmi. Kalau kamu memiliki anak, itu hanya akan menjadi gunjingan orang-orang di sekitar kita. Aku juga tidak mau membuat nama baik keluarga Charles menjadi tercemar.
Elsa menatap pantulan dirinya di depan cermin. Bibirnya tersenyum manis, memperhatikan pakaian dinas yang baru saja dibelinya. Pakaian itu benar-benar menunjukkan lekuk tubuh Elsa dengan belahan dada yang begitu rendah. Elsa yang merasa penampilannya begitu sempurna langsung tersenyum lebar.“Aku yakin malam ini aku bisa membuatmu luluh,” gumam Elsa. Ketukan pintu terdengar. Elsa langsung melangkah ke arah pintu dan membukanya. Tepat di hadapannya sudah ada sang pelayan membawa beberapa menu makanan yang dipesan. Tanpa menunggu lama, Elsa menyuruhnya masuk. Tidak membutuhkan waktu lama, sang pelayan sudah selesai dan Elsa langsung menutup pintu. “Malam ini, aku akan memberikan seperti apa yang papamu, Sean,” ucap Elsa dengan perasaan bangga. Elsa menuju ke arah nakas di sebelah ranjang dan mengambil bungkusan kecil. Serbuk putih itu langsung dituangkan ke dalam jus yang sudah dipesan. Tidak berselang lama, Elsa mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang. Dengan sebelah kaki disil
Simon menatap lautan lepas di depannya dengan sorot mata tajam. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana. Sebelahnya lagi memegang rokok yang masih menyala. Sejak memasuki penginapan dia bahkan tidak beranjak dari tempat itu sama sekali. Sampai dering ponsel terdengar, membuat Simon mengalihkan pandangan. Dia mengambil benda tipis tersebut dan mengangkat panggilan. “Simon, aku dengar kamu sedang di Maldives.”Simon yang ditanya hanya bergumam pelan. Ekspresi wajahnya tidak berubah sama sekali, tetap terlihat datar dan tidak terbaca. Tatapannya tertuju lurus dengan debur ombak yang terus berdatangan. “Kalau begitu, kita bisa bertemu. Aku juga sedang berada di Maldives,” kata Cakra.“Kirim alamatnya dan aku akan ke sana,” sahut Simon. Dia langsung mematikan rokok dan menutup panggilan. Simon membalikkan tubuh dan melangkah lebar. Dia keluar dari penginapan dan segera menuju ke arah mobilnya berada. Sebelum pergi dia menatap arah penginapan di mana Olivia tinggal. Ada perasaan kesa







