LOGIN“Silahkan, Nona. Tuan Simon sudah menunggu anda.”
Olivia yang baru saja datang ke perusahaan Simon dibuat terpana dengan bangunan tersebut. Semua tersusun dengan rapi dan gaya yang elegan. Baru masuk saja, Olivia sudah disuguhkan dengan desain perusahaan yang berbeda dari perusahaan kebanyakan. Dia menatap sekitar dan menganggukkan kepala. ‘Pantas saja dia sombong. Ternyata memang lebih kaya dari keluarga Sean,’ batin Olivia. “Nona, saya harap anda lebih berhati-hati dan jangan melakukan kesalahan. Tuan Simon tidak suka kalau sekretarisnya ceroboh dan tidak bisa menjaga emosi. Jadi, saya harap apapun yang terjadi nanti, anda bisa mengendalikan emosi,” ucap pria yang membimbing Olivia. Olivia hanya bergumam pelan dan menganggukkan kepala. Seberapa emosian Simon, dia jauh lebih mengerti daripada semua karyawan di perusahaan. Olivia bahkan salud ketika mendengar banyak yang berminat bekerja di perusahaan Simon. Dia pikir, bos jahat tidak akan pernah diperebutkan. “Nona, sudah sampai,” kata Dafa—orang kepercayaan Simon. “Terima kasih, Dafa,” sahut Olivia. Dafa hanya menganggukkan kepala dan pergi. Sedangkan Olivia yang ditinggal sendiri hanya diam. Dia menatap pintu ruangan yang tertutup. Sebelum masuk, Olivia mnarik napas dalam dan membuang perlahan. Beberapa kali dia melakukan hal itu. Rasanya cukup nervous. ‘Tenang, Olivia. Ini hanya Simon,’ batin Olivia menenangkan diri sendiri. Hingga dia yang sudah merasa sedikit tenang pun mengetuk pintu. Sejenak, Olivia menunggu seseorang mengizinkannya masuk. Hingga terdengar suara Simon dari dalam, membuat Olivia membuka pintu secara perlahan. “Masuk, Olivia,” kata Simon tanpa menatap ke arah wanita itu. Olivia menelan saliva pelan ketika melihat Simon yang tampak mendominasi. Dia sedikit gugup, sekaligus takut. Meskipun Simon adalah kakak iparnya, tetap saja Olivia tidak dekat. Bahkan pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari. “Aku rasa Dafa sudah menjelaskan semuanya. Kamu juga bukan pertama kali bekerja, kan? Jadi, aku rasa kamu bisa langsung bekerja. Tidak perlu orang untuk mengajarimu lebih dulu,” kata Simon. Kali ini menatap ke arah Olivia berada. Olivia hanya bergumam pelan dan menganggukkan kepala. Tangannya memegang map dan mengepal perlahan. Di dalam ruangan Simon, dia merasa semuanya menyeramkan. “Ada lagi?” tanya Simon. Olivia sembari melamun, tetapi setelahnya dia menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak. Kalau begitu, aku permisi dulu.” Olivia langsung melangkah lebar. “Tunggu.” Olivia yang baru selangkah itu pun menurut. Dia menatap ke arah Simon berada, memperhatikan setiap gerak pria itu. Melihat Simon yang mendekat ke arahnya, Olivia menelan saliva pelan. Kakinya juga reflek mundur, berusaha menghindari pria itu. Hingga tubuhnya tertabrak pinggiran meja, membuat Olivia tersentak kaget. “Mau kemana, Olivia?” tanya Simon, tepat di depan wajah Olivia. “Mau ... mulai kerja,” jawab Olivia gugup. “Bagaimana kalau sebelum bekerja, kita lakukan sesuatu duu?” tanya Simon. ‘Sesuatu? Apa maksudnya?’ batin Olivia. Sedangkan Simon yang melihat wajah cemas Olivia hanya diam dan tersenyum sinis. Sebelah tangannya mulai terulur, mengusap pipi Olivia secara perlahan. Merasakan kulit Olivia yang begitu lembut, Simon mulai berpikir hal lain. Hingga tiba-tiba, dia menarik Olivia, membuat wanita itu berada dalam dekapannya. “Simon, apa yang kamu lakukan?” tanya Olivia. Namun, Simon tidak menjawab sama sekali. Dia malah semakin mendekat dan menyatukan bibir. Dia melumat secara perlahan, membuat Olivia langsun mematung. Olivia yan tidak pernah mendapat perlakuan semacam itu hanya bisa terdiam, tidak membalas, tetapi tidak menolak karena seketika pikirannya kosong. Hingga Simon yang sudah puas berhenti, mengusap sisa saliva yang tertinggal di bibir Olivia. “Bagaimana rasanya merasakan langsung, Olivia?” tanya Simon setengah berbisik. Olivia yang awalnya melamun pun langsung tersadar. Dengan cepat, dia mendorong tubuh Simon. Sejujurnya dia marah dengan pria itu, tetapi Olivia tidak memiliki keberanian untuk melawannya. Hingga dai memilih membalikkan tubuh dan melangkah lebar. Secepat mungkin, Olivia menjauh dari Simon. Sedangkan Simon yang melihat Olivia salah tingkah tertawa kecil dan bergumam, “Manis.” *** “Selamat bekerjasama,” kata Simon setelah menyelesaikan pertemuan dengan rekan bisnis. “Selamat bekerjasama,” sahut rekan bisnis Simon, “kalau begitu, saya permisi dulu.” Simon hanya menganggukkan kepala, membiarkan rekan bisnisnya pergi. Dia kembali mengemasi berkas di depannya dan menyerahkan ke arah Olivia. Melihat wanita itu hanya diam, Simon kembali tersenyum sinis. “Aku mengajakmu kesini bukan untuk melamun, Olivia,” tegur Simon. “Oh, maaf,” sahut Olivia lesu. “Duduk di depanku,” kata Simon. Olivia yang mendengar pun terdiam sejenak, tidak langsung menurut. Tapi, saat Simon memberikan isyarat, Olivia baru tersadar. Dia langsung menurut, duduk di hadapan pria tersebut. “Makan,” kata Simon. “Terima kasih,” sahut Olivia. Olivia segar menyendok makanan di depannya dan siap menyantap, tepat saat dia mendongakkan kepala, manik matanya menatap seseorang yang sangat dikenalnya. Melihat Sean yang tengah bergandengan mesra dengan wanita lain membuat hatinya memanas. Selama ini dia hanya di rumah, menjadi istri yang baik. Meski Sean selalu mengabaikannya, tetapi Olivia masih berharap pria itu melihat ke arahnya. Namun, mengingat apa yang terjadi di malam pesta pernikahan, Olivia kembali merasa kesal. Kedua tangan yang memegang sendok pun tanpa sadar mengepal, menunjukkan otot tangan yang begitu jelas. Rahangnya juga mengeras, tidak terima dengan balasan yang diberikan. “Sangat romantis,” kata Simon. Sebenarnya dia tidak mengetahui kedatangan Sean, tetapi saat melihat reaksi di wajah Olivia, dia menjadi penasaran. Siapa sangka, dia malah melihat adik tirinya bersama wanita lain. Sedangkan Olivia yang mendengar hanya diam. Dia memilih menghabiskan makanannya, memendam sakit hatinya dalam-dalam. “Kalau gak mau melihat, jangan dipaksa, Olivia. Lebih baik kita pergi. Aku akan mengantarmu pulang,” kata Simon. Olivia hendak menolak, tetapi pria itu sudah lebih dulu bangkit dan melangkahkan kaki. Mau tidak mau, Olivia menurut. Di sini Simon atasannya. Jadi, dia harus menurut. Hingga keduanya sudah sampai di mobil, membuat Olivia membuang napas kasar. “Suamimu selingkuh dan kamu tidak merasa sakit hati, Olivia?” tanya Simon. “Itu bukan urusanmu,” jawab Olivia. “Ah, aku lupa. Aku rasa Sean memang tidak menginginkanmu. Soalnya malam pertama saja aku yang dapat,” kata Simon mengejek. Mendengar hal itu, Olivia berdecak kecil dan memutar bola mata pelan. Dia memilih diam, membiarkan Simon mengemudi. Dia hanya menikmati suasana di jalanan. Hingga dia mrassa aneh, membuatnya menatap ke arah Simon. “Simon, ini bukan jalan ke arah rumahku,” kata Olivia. “Aku memang gak berniat mengantarmu ke rumah, Olivia,” sahut Simon. “Maksudnya?” Olivia mulai menatap lekat. Tanda bahaya dalam otaknya langsung berbunyi, seakan memperingatkan. ‘Sebenarnya dia mau membawaku kemana?’ batin Olivia. Hingga tidak berselang lama, Simon berhenti. “Ini dimana, Simon?” tanya Olivia. “Rumahku,” jawab Simon enteng. Dia langsung turun dan melangkah ke arah pintu di sebelah Olivia. “Kenapa kamu malah membawaku ke rumahmu?” tanya Olivia ketika Simon sudah mengukurkan tangan. “Karena aku mau kamu,” jawab Simon, diikuti senyum sinis setelahnya.“Masuk.”Simon yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan langsung berhenti ketika mendengar seseorang mengetuk pintu. Manik matanya menatap ke arah pintu yang perlahan terbuka. Hingga dia melihat siapa yang masuk, membuatnya langsung mengukir senyum. Perlahan, dia bangkit dan melangkah pelan.“Aku mau memberikan dokumen yang kamu minta,” kata Olivia sembari menyerahkan map berisi dokumen.Namun, Simon tidak langsung menerima. Dia hanya diam, memperhatikan Olivia yang masih berdiri di depannya. Manik matanya mengamati wanita yang saat ini tengah menunggu tindakannya. Hingga Simon mengulurkan tangan dan melingkar di pinggang Olivia. Dengan tenang, dia menarik pelan dan memangkas jarak yang sempat ada.“Simon, ini di kantor,” ujar Olivia mengingatkan.“Ini kantorku, Sayang. Tidak ada yang bisa masuk tanpa seizinku,” sahut Simon dengan enteng.Memang tidak ada, tetapi kalau ada yang melintas di depan ruangan itu, jelas mereka melihat apa yang sedang mereka lakukan. Olivia sendiri merasa tida
“Bagaimana kondisimu sekarang, Elsa? Apa sudah membaik?” tanya Sean dengan sorot mata cemas.Elsa yang saat itu hanya berbaring langsung menganggukkan kepala. Wajahnya tampak pucat dan lemah. Sejak pagi dia hanya berbaring dan tidak melakukan apapun.“Perutmu juga masih sakit?” tanya Sean.“Hanya sedikit. Tiduran sebentar, nanti juga sembuh,” jawab Elsa.Sean membuang napas lirih. Wajahnya menunjukkan simpati dengan kondisi Elsa saat ini. Setiap kali datang bulan, wanita itu pasti merasakan sakit. Hingga dia membantu Elsa berbaring dan menyelimuti.“Kamu istirahat dulu. Aku buatkan makanan untukmu,” kata Sean kembali.Elsa yang sudah bebaring hanya diam, tetapi saat melihat Sean hendak pergi, Elsa menahannya. Dia menggenggam erat dan menggigit bibir bagian bawah. Wajahnya memelas dengan perasaan tidak karuan. Hingga dering ponsel terdengar, membuat keduanya mengalihkan pandangan.“Siapa?” tanya Elsa saat melihat Sean menatap layar ponsel dengan sorot mata meragu.“Papaku,” jawab Sean,
Olivia menuruni satu per satu anak tangga dengan tenang. Manik matanya menatap sekitar. Rumah itu tampak benar-benar sepi. Padahal biasanya banyak sekali pegawai yang bekerja, tetapi hari ini sepertinya semua sedang mengambil cuti.“Olivia.”Olivia yang mendengar panggilan itu pun langsung mengalihkan pandangan. Melihat sang mama mertua ada di ruang makan, Olivia tersenyum lebar. Kakinya melangkah pelan, menuju ke asal suara.“Kamu mau berangkat bekerja?” tanya Gina dengan suara lembut.Olivia sendiri hanya menganggukkan kepala dan bergumam pelan. Manik matanya menatap ke arah sekitar. Tidak ada Sean. Hanya ada kedua mertuanya yang siap untuk sarapan.‘Jangan-jangan dia belum pulang,’ batin Olivia, tetapi sesaat kemudian dia menghilangkan pikiran tersebut. Dia tidak perlu mengurusi Sean lagi. Pria itu sudah dewasa. Jadi, harus mulai bertanggung jawab untuk urusannya sendiri.“Kalau begitu ayo kita sarapan,” ajak Gina.Tidak mungkin rasanya menolak. Mama mertuanya baru saja pulang dar
“Sean, bisa hari ini kamu jangan pulang? Aku takut kalau perutku sakit lagi. Kamu juga tahu sendiri, kan? Aku tidak memiliki keluarga di sini. Jadi, aku tidak tahu harus minta tolong dengan siapa. Sahabatku juga lagi gak di sini,” kata Elsa dengan wajah memelas.Sean terdiam, tidak langsung menjawab ucapan Elsa. Dia sedang mempertimbangkan keputusannya. Sean tidak mau kalau masalahnya dengan Elsa hari ini sampai ke telinga sang papa. Dia tahu, selama ini papanya sedang mengawasi. Hanya saja, akhir-akhir ini sang papa jauh lebih ketat dari sebelumnya.‘Kalau sampai kau ketahuan ke rumah Elsa, apa ini tidak akan jadi masalah?’ batin Sean dengan meragu.“Sean, kenapa diam saja?” tanya Elsa karena tidak juga mendapat jawaban. Dia pun memegang lengan baju Sean dan menarik pelan.Sean yang awalnya melamun langsung tersadar. Dia menatap ke arah Elsa yang tampak begitu pucat. Ada perasaan tidak tega, tetapi dia juga tidak mungkin melawan sang papa. Dirinya belum sepenuhnya menjadi pewaris. K
“Elsa.”Elsa yang saat itu tengah duduk langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara. Mendapati Sean sudah berada di depannya, Elsa langsung memasang wajah penuh kesakitan. Tangannya terus memegangi perut, sesekali mendesis pelan.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Sean dengan wajah cemas. Dia mengalihkan pandangan, menatap sekitar yang tampak berantakan. Di sana ada pecahan gelas juga, membuatnya semakin khawatir.“Sebenarnya ini kenapa?” tanya Sean kembali. Dia memegang jemari Elsa dan mengelus secara perlahan.“Perutku tiba-tiba saja sakit, Sean. Mungkin karena mau datang bulan,” jawab Elsa.“Terus kenapa gak hubungi aku dari pagi?” tanya Sean lagi.“Aku pikir Cuma masalah sepele saja. Minum obat juga bakal sembuh, tapi ternyata aku salah. Sakitnya malah semakin terasa,” jawab Elsa dengan wajah memelas dan menunjukkan penyesalan.Sean yang mendengar hal itu membuang napas kasar. Dia menarik Elsa dan mendekap lembut. Sebelah tangannya mengelus pelan sembari berkata, “Lain kal
“Jangan kamu kira perkataan ku tadi karena aku menyukaimu, Olivia. Ingat, aku tidak akan menyukai wanita licik sepertimu. Aku melakukan itu hanya karena malas mendengar ocehan Papa.”Olivia yang mendengar ucapan Sean hanya diam dan tersenyum sinis. Dia sendiri malas meladeni Sean. Perlakuan pria itu juga tidak bisa membuat hatinya luluh. Sekarang Olivia bahkan sudah memiliki rasa apapun dengan Sean, yang ada malah muak setiap kali melihat wajah munafik Sean.“Sekarang kamu bisa mengendalikan Papa. Entah apa yang kamu katakan, tetapi Papa selalu membelamu. Apa kamu puas?” Sean menatap ke arah Olivia dengan sorot mata merendahkan.Namun, Olivia hanya diam. Dia sempat menatap sekilas dan kembali mengalihkan pandangan. Rasanya jalanan jauh lebih indah daripada menatap waja Sean yang memuakkan. Sayangnya Sean berpikir lain. Pria itu langsung berhenti, membuat Olivia tersentak kaget.“Apa-apaan kamu, Sean?” tanya Olivia, kesal karena Sean yang berhenti mendadak.“Seharusnya aku yang bertany







