Mag-log in“Pa, kenapa Papa malah mendukung Olivia kerja di perusahaan Simon? Papa tahu kan dia itu seperti apa? Dia tidak pernah menyukai keluarga kita.”
Sean yang kesal karena sang papa mendukung keinginan Simon pun langsung melayangkan protes. Sejak tadi dia sudah menahan karena sang papa yang memberikan isyarat, tetapi nyatanya, papanya tetap tidak mengatakan apa pun. Bahkan, papanya tampak mendukung sepenuhnya. “Pa, Olivia itu istriku. Dia anggota keluarga kita. Kalau dia bekerja dengan Simon dan menjadi sekretarisnya, dia bisa saja menyiksanya. Selain itu, keluarga kita juga bisa malu karena keluarga kita bekerja dengan orang lain,” kata Sean. Charles yang sejak tadi diam pun menatap ke arah putranya berada. Dia menarik napas dalam dan membuang secara perlahan. Simon dan Sean memang putranya, tetapi keduanya memiliki sifat berbeda. Simon jauh lebih diam dan tenang, tetapi dibalik itu semua, putranya sangatlah mematikan. Sedangkan Sean sendiri sosok yang tidak sabaran dan keras kepala. Hal yang seringkali membuat Charles pusing karena Sean yang sering bertindak gegabah. “Sean, bisa kamu tenang?” tanya Charles. Sean yang ditanya hanya diam. Dia membuang napas kasar dan memilih duduk di bangku tidak jauh dari papanya berada. Dia tampak gusar, merasa kesal karena Simon yang mempekerjakan Olivia. ‘Bukannya itu sama penghinaan,’ batin Sean. “Seharusnya kamu bisa tenang, Sean. Papa melakukan ini juga bukan tanpa alasan. Selama ini Simon tiak pernah mau tinggal di rumah ini. Dia seperti memutus hubungan, tetapi kemarin dia mau menginap dan makan bersama. Bagaimanapun dia itu anak papa. Anak kandung papa dan termasuk kakakmu. Papa ingin melihat kalian akur. Itu sebabnya papa mendukung saat Simon menawarkan pekerjaan untuk Olivia. Papa berharap, melalui cara ini, dia bisa kembali dekat dengan kita,” jelas Charles. “Aku rasa tidak dekat dengannya juga gak akan rugi,” celetuk Sean dengan nada kesal. “Kamu yakin gak rugi?” tanya Charles dengan senyum lebar, “sekarang dia menjadi pimpinan di perusahaan Ginela, perusahaan teknologi terbesar di negara ini. Kalau kita bisa dekat lagi dengannya, akan mudah jalan kita mendapat klien. Selain itu, papa juga akan tenang karena melihat kalian akur.” Mendengar penjelasan sang papa, Sean kembali terdiam. Memang benar apa yang dikatakan papanya. Kalau mereka bisa akur dengan perusahaan Simon, jelas mereka akan mudah mendapatkan proyek manapun. Tapi, sifat gengsinya masih tidak mau mengakuinya. Dia tetap merasa bisa memajukan perusahaan meski tanpa dukungan Simon. “Sudahlah. Jangan banyak pikiran. Lebih baik kamu berangkat ke kantor. Kamu juga gak perlu cemas. Simon hanya membutuhkan sekretaris dan dia tidak akan macam-macam. Papa yakin dengannya,” kata Charles kembali. Sean hendak mengatakan sesuatu, tetapi sang papa sudah pergi lebih dulu. Dia pun hanya bisa diam dengan kedua tangan mengepal. Masih tidak suka dengan sikap Simon yang mulai mendekati keluarganya. *** “Sean. Akhirnya kamu datang.” Sean yang baru memasuki ruang kerja pun hanya diam ketika melihat Elsa menatapnya lekat. Wanita itu sudah menyunggingkan senyum manis dan melangkah pelan, terkesan menggoda ke arah Sean berada. Sayangnya, hari ini Sean masih pusing dan kesal. Dia merasa harga dirinya terinjak karena Olivia yang sekarang bekerja dengan Simon. Selama ini, dia selalu menganggap Simon sebagai saingannya. Itu sebabnya, dia enggan kalau sampai Olivia bersama dengan kakak tirinya itu. ‘Apa aku rekrut Olivia ke sini saja,’ batin Sean. “Sean, kamu kenapa melamun?” tanya Elsa. Dia yang mengenakan pakaian seksi itu langsung duduk d pangkuan Sean dan mengalungkan tangan. Sean yang melihat tingkah Elsa hanya terdiam, mengamati wanita yang saat ini mengelus pipinya secara perlahan. Hingga dia mengalihkan pandangan dan menjawab, “Hari ini Simon menawari Olivia pekerjaan dan diterima” “Simon? Maksudmu anak papamu dari istri pertama?” tanya Elsa memastikan dan mendapat gumaman sebagai jawabannya. “Terus, kenapa kamu tampak murung?” “Aku kesal karena Olivia menerima. Papa juga mendukung,” jawab Sean. “Kamu peduli dengannya?” Elsa mulai menatap curiga. Selama bersama dengannya, dia tidak pernah melihat Sean memikirkan mengenai Olivia. ‘Jadi, apa sekarang dia sudah memiliki rasa,’ batin Elsa. “Aku tidak peduli. Aku hanya merasa kalau tawaran ini untuk menginjak harga diriku. Kamu tahukan kalau sejak dulu aku selalu bersaing dengan Simon dan hari ini dia menawari Olivia pekerjaan. Kamu tahu apa maksudnya? Dia ingin mengejekku,” ucap Sean. Mendengar itu, Elsa cukup lega. Setidaknya kemarahan Sean bukan karena pria itu perhatian. Hingga dia kembali berkata, “Kamu jangan berpikir begitu. Kamu tahu sendirikan seperti apa Olivia? Dia itu suka cari simpati dengan orang disekitarnya. Jadi, mungkin bukan keinginan Simon, tetapi memang keinginan Olivia. Jadi, kamu jangan salah paham.” Elsa mengelus rambut Sean lembut. Sean yang mendengar pun diam dengan wajah berpikir. Sedangkan Elsa yang melihat kembali merasa tidak tenang. Kalau Sean terus memikirkan Olivia, bisa-bisa dia kehilangan tempat. Hingga dia mendekat, menyatukan bibir dan menyesap pelan. “Sean, daripada kamu memikirkan mengenai Olivia. Bagaimana kalau kita ....” Elsa menghentikan ucapan, menggigit bibir bagian bawah. Melihat Elsa yang malu-malu, Sean langsung tersenyum lebar. Tanpa aba-aba, dia mendorong tengkuk Elsa dan menyatukan bibir. Dia melumat kasar, membuat Elsa yang kembali menguasai Sean pun tersenyum riang. ‘Aku tidak akan membiarkan dia memikirkanmu, Olivia,’ batin Elsa.“Masuk.”Simon yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan langsung berhenti ketika mendengar seseorang mengetuk pintu. Manik matanya menatap ke arah pintu yang perlahan terbuka. Hingga dia melihat siapa yang masuk, membuatnya langsung mengukir senyum. Perlahan, dia bangkit dan melangkah pelan.“Aku mau memberikan dokumen yang kamu minta,” kata Olivia sembari menyerahkan map berisi dokumen.Namun, Simon tidak langsung menerima. Dia hanya diam, memperhatikan Olivia yang masih berdiri di depannya. Manik matanya mengamati wanita yang saat ini tengah menunggu tindakannya. Hingga Simon mengulurkan tangan dan melingkar di pinggang Olivia. Dengan tenang, dia menarik pelan dan memangkas jarak yang sempat ada.“Simon, ini di kantor,” ujar Olivia mengingatkan.“Ini kantorku, Sayang. Tidak ada yang bisa masuk tanpa seizinku,” sahut Simon dengan enteng.Memang tidak ada, tetapi kalau ada yang melintas di depan ruangan itu, jelas mereka melihat apa yang sedang mereka lakukan. Olivia sendiri merasa tida
“Bagaimana kondisimu sekarang, Elsa? Apa sudah membaik?” tanya Sean dengan sorot mata cemas.Elsa yang saat itu hanya berbaring langsung menganggukkan kepala. Wajahnya tampak pucat dan lemah. Sejak pagi dia hanya berbaring dan tidak melakukan apapun.“Perutmu juga masih sakit?” tanya Sean.“Hanya sedikit. Tiduran sebentar, nanti juga sembuh,” jawab Elsa.Sean membuang napas lirih. Wajahnya menunjukkan simpati dengan kondisi Elsa saat ini. Setiap kali datang bulan, wanita itu pasti merasakan sakit. Hingga dia membantu Elsa berbaring dan menyelimuti.“Kamu istirahat dulu. Aku buatkan makanan untukmu,” kata Sean kembali.Elsa yang sudah bebaring hanya diam, tetapi saat melihat Sean hendak pergi, Elsa menahannya. Dia menggenggam erat dan menggigit bibir bagian bawah. Wajahnya memelas dengan perasaan tidak karuan. Hingga dering ponsel terdengar, membuat keduanya mengalihkan pandangan.“Siapa?” tanya Elsa saat melihat Sean menatap layar ponsel dengan sorot mata meragu.“Papaku,” jawab Sean,
Olivia menuruni satu per satu anak tangga dengan tenang. Manik matanya menatap sekitar. Rumah itu tampak benar-benar sepi. Padahal biasanya banyak sekali pegawai yang bekerja, tetapi hari ini sepertinya semua sedang mengambil cuti.“Olivia.”Olivia yang mendengar panggilan itu pun langsung mengalihkan pandangan. Melihat sang mama mertua ada di ruang makan, Olivia tersenyum lebar. Kakinya melangkah pelan, menuju ke asal suara.“Kamu mau berangkat bekerja?” tanya Gina dengan suara lembut.Olivia sendiri hanya menganggukkan kepala dan bergumam pelan. Manik matanya menatap ke arah sekitar. Tidak ada Sean. Hanya ada kedua mertuanya yang siap untuk sarapan.‘Jangan-jangan dia belum pulang,’ batin Olivia, tetapi sesaat kemudian dia menghilangkan pikiran tersebut. Dia tidak perlu mengurusi Sean lagi. Pria itu sudah dewasa. Jadi, harus mulai bertanggung jawab untuk urusannya sendiri.“Kalau begitu ayo kita sarapan,” ajak Gina.Tidak mungkin rasanya menolak. Mama mertuanya baru saja pulang dar
“Sean, bisa hari ini kamu jangan pulang? Aku takut kalau perutku sakit lagi. Kamu juga tahu sendiri, kan? Aku tidak memiliki keluarga di sini. Jadi, aku tidak tahu harus minta tolong dengan siapa. Sahabatku juga lagi gak di sini,” kata Elsa dengan wajah memelas.Sean terdiam, tidak langsung menjawab ucapan Elsa. Dia sedang mempertimbangkan keputusannya. Sean tidak mau kalau masalahnya dengan Elsa hari ini sampai ke telinga sang papa. Dia tahu, selama ini papanya sedang mengawasi. Hanya saja, akhir-akhir ini sang papa jauh lebih ketat dari sebelumnya.‘Kalau sampai kau ketahuan ke rumah Elsa, apa ini tidak akan jadi masalah?’ batin Sean dengan meragu.“Sean, kenapa diam saja?” tanya Elsa karena tidak juga mendapat jawaban. Dia pun memegang lengan baju Sean dan menarik pelan.Sean yang awalnya melamun langsung tersadar. Dia menatap ke arah Elsa yang tampak begitu pucat. Ada perasaan tidak tega, tetapi dia juga tidak mungkin melawan sang papa. Dirinya belum sepenuhnya menjadi pewaris. K
“Elsa.”Elsa yang saat itu tengah duduk langsung mengalihkan pandangan. Dia menatap ke asal suara. Mendapati Sean sudah berada di depannya, Elsa langsung memasang wajah penuh kesakitan. Tangannya terus memegangi perut, sesekali mendesis pelan.“Sayang, kamu kenapa?” tanya Sean dengan wajah cemas. Dia mengalihkan pandangan, menatap sekitar yang tampak berantakan. Di sana ada pecahan gelas juga, membuatnya semakin khawatir.“Sebenarnya ini kenapa?” tanya Sean kembali. Dia memegang jemari Elsa dan mengelus secara perlahan.“Perutku tiba-tiba saja sakit, Sean. Mungkin karena mau datang bulan,” jawab Elsa.“Terus kenapa gak hubungi aku dari pagi?” tanya Sean lagi.“Aku pikir Cuma masalah sepele saja. Minum obat juga bakal sembuh, tapi ternyata aku salah. Sakitnya malah semakin terasa,” jawab Elsa dengan wajah memelas dan menunjukkan penyesalan.Sean yang mendengar hal itu membuang napas kasar. Dia menarik Elsa dan mendekap lembut. Sebelah tangannya mengelus pelan sembari berkata, “Lain kal
“Jangan kamu kira perkataan ku tadi karena aku menyukaimu, Olivia. Ingat, aku tidak akan menyukai wanita licik sepertimu. Aku melakukan itu hanya karena malas mendengar ocehan Papa.”Olivia yang mendengar ucapan Sean hanya diam dan tersenyum sinis. Dia sendiri malas meladeni Sean. Perlakuan pria itu juga tidak bisa membuat hatinya luluh. Sekarang Olivia bahkan sudah memiliki rasa apapun dengan Sean, yang ada malah muak setiap kali melihat wajah munafik Sean.“Sekarang kamu bisa mengendalikan Papa. Entah apa yang kamu katakan, tetapi Papa selalu membelamu. Apa kamu puas?” Sean menatap ke arah Olivia dengan sorot mata merendahkan.Namun, Olivia hanya diam. Dia sempat menatap sekilas dan kembali mengalihkan pandangan. Rasanya jalanan jauh lebih indah daripada menatap waja Sean yang memuakkan. Sayangnya Sean berpikir lain. Pria itu langsung berhenti, membuat Olivia tersentak kaget.“Apa-apaan kamu, Sean?” tanya Olivia, kesal karena Sean yang berhenti mendadak.“Seharusnya aku yang bertany







