Home / Romansa / Hasrat Terlarang Paman Suamiku / Bab 3 Terjebak Oleh Kekuasaan

Share

Bab 3 Terjebak Oleh Kekuasaan

Author: J Shara
last update Last Updated: 2025-08-12 18:24:07

Lena tampak memukau dalam balutan dress bodycon ungu tua. Gaun itu membalut lekuk tubuhnya dengan anggun, memancarkan aura seorang wanita muda berkuasa di posisi tinggi dunia korporat. Namun, di balik penampilan yang memikat itu, wajahnya tampak berkerut menahan stres akibat tumpukan pekerjaan di mejanya.

“Suzy, tolong cek kontrak dari Glamour Entertainment Corp. Aku rasa ada angka yang salah di Pasal Tiga,” kata Lena sambil cepat membalik halaman dokumen.

“Siap, bos cantik,” jawab Suzy sambil tersenyum menggoda, lalu mengambil dokumen itu dari tangan Lena.

Namun, ketenangan di kantor itu pecah oleh ketukan di pintu.

Tok tok tok!

“Masuk!” sahut Lena tanpa mengangkat kepala.

Pintu terbuka, George—sang manajer—masuk dengan wajah ragu.

“Ada apa, George?” tanya Lena singkat.

“Nona… pria dari Ocean Kingdom Group itu datang lagi. Dia bilang ingin ditemani langsung oleh Anda.”

Lena memejamkan mata sejenak dan menghela napas panjang. “Hhh… Aku sedang dikejar deadline, George. Tolong bilang aku sedang sibuk.”

George menggeleng pelan. “Nona tahu dia itu keras kepala. Dia tidak akan menerima penolakan.”

Lena menggertakkan gigi sambil memijat pelipisnya.

“Baiklah. Pergi dulu. Aku akan menyusul.”

George membungkuk sedikit lalu keluar dengan tenang, menutup pintu.

“Ya Tuhan…” Lena menggerutu. “Kalau aku terus meladeni dia, kapan semua ini selesai?”

Suzy menatap cepat, alisnya terangkat. “Lena… kayaknya pria itu beneran jatuh hati sama kamu.”

“Jangan ngomong begitu,” potong Lena. “Kamu tahu siapa dia?”

“Tentu! Dia salah satu pemilik Ocean King Group. Adik dari salah satu konglomerat besar itu, kan?”

Lena meletakkan dokumen, menatap tajam ke arah Suzy.

“Bukan itu maksudku. Dia… pamannya suamiku.”

Mata Suzy langsung membelalak, hampir menjatuhkan map di tangannya. “Tunggu, apa?! Jadi… kamu menikah dengan cucu pendiri Ocean King?”

Lena mengangguk pelan, pahit.

“Gila, itu seperti dapat jackpot!” seru Suzy, matanya berbinar.

Lena mencibir. “Jackpot apanya? Lebih baik aku nggak pernah menikah daripada terjebak dengan bajingan seperti dia.”

Suzy langsung duduk, ragu antara penasaran dan khawatir. “Tunggu—sebentar. Kamu menyebut suamimu bajingan. Sebenarnya ada apa?”

Lena menatap Suzy, matanya memendam luka yang belum sembuh.

“Aku akan cerita nanti. Sekarang, aku harus berurusan dengan si arogan itu.”

Ia bangkit dari kursinya dan melangkah cepat keluar.

Ruang VIP karaoke itu remang-remang, dipenuhi aroma campuran cologne mahal dan alkohol. Di sudut, Neil duduk di sofa kulit, tangan terlipat di depan dada. Ekspresinya serius—bahkan tegang—seolah pikirannya melayang ke hal lain selain hiburan malam.

Di sebelahnya, asisten pribadinya, Leon, sibuk dengan ponselnya, sesekali melirik bosnya dengan gelisah.

“Tuan Neil,” kata Leon pelan. “Anda yakin dia akan datang sendirian malam ini?”

Neil tak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke depan, seperti menunggu sesuatu yang belum terlihat.

“Dia akan datang,” jawabnya akhirnya. “Dia tahu siapa aku.”

Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka pelan. Seorang wanita masuk dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Dress bodycon ungu tua itu pas sempurna di tubuh rampingnya, setiap lekuknya memancarkan daya tarik. Senyumnya sopan namun berjarak. Itu Lena.

Neil menoleh, menatapnya tanpa bergerak sedikit pun.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Neil?” tanya Lena, suaranya sopan namun datar. Senyum sosial itu ibarat topeng—senjata bertahan hidup di dunia yang kejam.

Neil bersandar santai, tapi matanya tak berhenti mengamati Lena dari ujung kepala hingga kaki.

“Seperti biasa… bosku meminta agar kau menemaninya malam ini,” ujarnya akhirnya.

Lena tersenyum tipis. “Maaf sekali, tapi malam ini saya benar-benar sibuk. Saya sudah pergi lebih dari seminggu, dan ada banyak pekerjaan yang harus aku audit.”

Neil menyipitkan mata, satu alisnya terangkat. “Kau menolakku?”

Suasana ruangan langsung berubah—dingin, berat.

“Bukan begitu, maksud saya, Tuan… hanya saja—”

“Kupikir kau mengerti bisnis, Nona Selena,” potong Neil dengan suara rendah yang penuh tekanan. “Dalam bisnis seperti ini, kepuasan tamu adalah yang utama. Kalau kau terus bersikap begini, bisnismu bisa runtuh sebelum kau sadari.”

Ya Tuhan… mulai lagi, pikir Lena getir. Selalu membungkus ancaman dengan kata-kata manis.

Ia menarik napas pelan, lalu memaksakan senyum kecil—yang mungkin sudah tak tulus.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Aku akan menemani Anda malam ini.”

Leon melirik Neil dengan ekspresi puas, seolah baru memenangkan sesuatu.

Selena melangkah anggun dan duduk di samping Neil, menjaga jarak yang cukup agar tak menyinggung, namun jelas menunjukkan batasannya. Musik mulai terdengar. Leon bangkit mengambil mikrofon, salah satu LC ikut menari bersamanya. Musik menggelegar dari sound system.

“Ayo, Tuan Neil! Lagu favorit Anda!” teriak Leon sambil menggoyang badan, disambut tawa hostess.

Neil hanya tersenyum tipis, menyesap minumannya, sambil melirik Lena. Wajahnya tenang, tapi matanya terus melirik jam di dinding.

Lena memaksa senyum lagi. Waktu berjalan lambat. Ia melihat lagi—hampir pukul 11 malam. Rasa khawatir mulai menggelayut. Bagaimana kalau keluarga mertuanya—atau lebih buruk, dia—tahu ia belum pulang?

“Kau terlihat gelisah,” ujar Neil, mengangkat gelas ke bibirnya.

Lena terhenti sejenak, kaget dengan pertanyaan tiba-tiba itu.

Ia menoleh sedikit dan tersenyum lembut. “Tidak, hanya sedikit pusing. Musiknya cukup keras.”

Neil menyipitkan mata. “Aneh. Kau punya bisnis karaoke, tapi pusing karena nyanyian?”

Lena hampir mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia tak pernah menyukai tempat ini, bahwa semua ini bukan pilihannya. Bisnis ini adalah paksaan keluarga suaminya. Namun ia menelan kata-kata itu.

“Aku jarang berada di ruangan seperti ini, Tuan. Biasanya aku di kantor atau mengurus operasional.”

Neil terkekeh tipis. “Jawaban yang diplomatis. Kau benar-benar tahu cara bermain, ya?”

Lena tak yakin apa maksudnya, tapi ia kembali tersenyum—meski jantungnya berdegup kencang, berharap malam segera berakhir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 71 Bayangan yang Kembali

    Suara detak jam di ruangan kerja Lena terdengar jelas di antara keheningan yang tegang. Ia masih terpaku di tempat, menatap sosok yang berdiri beberapa meter darinya—sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam mimpinya yang paling dalam.“Se–Selena…?” suara Lena bergetar, nyaris tak percaya.Perempuan di hadapannya tersenyum lembut. Wajahnya sama persis, hanya saja rambutnya lebih pendek, dipotong seleher dengan poni tipis yang membuatnya terlihat lebih segar dan muda.“Elena,” ucapnya pelan, “kenapa? Kau tidak senang melihat aku?”Lena menitikkan air mata. Tubuhnya gemetar, dadanya terasa sesak oleh rindu yang menahun.Tanpa menjawab, ia langsung berlari memeluk saudara kembarnya itu erat-erat.Tangisnya pecah, sesenggukan memenuhi ruangan.“Selena… Tuhan… aku pikir kau sudah—”“Ssst…” Selena mengusap punggung Lena lembut, “aku tahu. Aku tahu semua orang pikir aku sudah mati. Tapi aku di sini, Lena. Aku hidup.”Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka me

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 70 Dua Wajah, Satu Bayangan

    Siang itu, denting sendok bertemu dinding cangkir jadi latar kecil yang tak putus-putus. Lena—dengan wig cokelat madu dan kacamata tipis yang membuatnya tampak seperti “Selena”—mengetuk-ngetukkan jari ke meja marmer, mengukur detik dengan sabarnya. Aroma kopi panggang memenuhi ruang; lampu gantung kristal menumpahkan cahaya hangat ke sofa beludru. Di balik senyum yang ia latih, dadanya tetap berdegup lebih cepat dari biasanya. Pintu kaca berdering pelan. Axel menjejak masuk, tergesa, napasnya sedikit memburu. Jasnya kebesaran setengah nomor, mungkin dipinjam dari kursi kantor, bukan dari hanger. Ia melihat sekeliling, menemukan Lena, dan melangkah cepat. “Selena, sayang… maafkan aku telat,” katanya, langsung duduk di hadapannya. “Ada rapat dadakan. Aku—” Lena mengangkat tangan, senyum manis di bibirnya. “Tidak begitu lama, kok. Aku mengerti.” Seorang barista datang dengan buku menu, menunduk sopan. “Selamat siang. Bolehkah saya ambil pesanan minumannya?” “Americano panas,” ujar A

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 69 Antara Aku, Kau, dan Rahasia Itu

    Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang. Namun suasana meja makan keluarga itu justru penuh ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau.Cahaya matahari masuk dari jendela besar ruang makan, menimpa meja panjang berlapis taplak putih. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar, tapi tidak ada yang menyentuhnya dengan riang seperti biasanya.Axel duduk di ujung meja, menunduk pada piringnya. Sendok di tangannya hanya berputar tanpa arah di dalam sup yang sudah hampir dingin.Neil duduk di seberangnya, membaca koran tanpa benar-benar membacanya. Matanya tajam, tapi kosong.Lena duduk di antara mereka berdua, matanya berpindah-pindah seperti bola pingpong, menatap Axel lalu Neil, berharap salah satu dari mereka berbicara.Namun tak ada yang membuka mulut.“Ehm...” Elizabeth berdehem pelan, mencoba memecah suasana. “Supnya hari ini agak asin ya, mungkin aku kebanyakan garam.”Tak ada respons. Hanya dentingan sendok Axel yang pelan menabrak mangkuk, dan suara Neil melipat koran

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 68 Malam yang Retak

    Lampu-lampu kristal di lobi hotel masih berpendar lembut, memantulkan cahaya dari gaun-gaun mewah yang lewat. Musik pesta yang tadinya hingar bingar kini tinggal gema samar. Lena berdiri anggun di depan pintu kaca besar yang terbuka otomatis setiap kali tamu lewat. Senyumnya masih tersisa, lembut dan tenang — seolah pesta belum benar-benar berakhir baginya. “Sayang, kau tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran.” Suara Axel terdengar di telinganya, penuh kasih dan sedikit lelah. Lena mengangguk sambil tersenyum. “Oke, jangan lama-lama, ya. Tumitku sudah menjerit.” Axel terkekeh kecil. “Sepatu itu terlalu tinggi, aku sudah bilang.” “Dan kau juga yang bilang, aku tampak cantik dengan sepatu ini.” “Ya, memang begitu,” ucap Axel sebelum berlari kecil menuju lift. Senyum Lena melebar melihatnya, pria itu selalu punya cara membuatnya merasa istimewa. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya dari sisi kanan. Lena nyaris kehila

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 67 Degub Saat Memandangmu

    Aroma kopi baru diseduh menari dari ujung meja. Sinar matahari menyusup lewat tirai tipis, memecah warna di atas piring porselen yang berkilau. Di meja makan keluarga itu, percakapan dimulai oleh satu suara yang paling percaya diri. “Aku bilang apa? Akhirnya mereka luluh,” ujar Axel seraya menepuk ringan ponsel di meja, dagunya terangkat. “Klien New York itu keras kepala, tapi aku bikin mereka lihat nilai jangka panjang. Closing. Hitam di atas putih.” Richard melirik istrinya, Elizabeth, lalu mengangguk bangga. “Kerja bagus, Nak. Kau menepati target.” Elizabeth tersenyum lembut. “Mamanya bangga. Kau tumbuh jadi pria yang tahu peluang.” Axel menyandar, menatap seluruh meja. “Kelak, aku akan jadi pewaris Ayah. Aku ini hebat, kan?” Di ujung meja, Lena menunduk, memecah roti panggangnya kecil-kecil. Ia tidak menanggapi. Pipinya hangat—bukan karena bangga pada suaminya, melainkan karena tatapan seorang pria di seberang: Neil. Setiap kali Lena tanpa sengaja melirik, Neil sudah lebih

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 66 Pelepasan Nikmat

    Neil terdiam, menatap miliknya yang “terbangun”. Sementara Lena menelan ludahnya memandang “barang” yang masih tertutupi celana itu.Astaga.. besar sekali, dalam hati Lena berkata takjub. “Neil.. kau tidak apa-apa?” tanya Lena.Neil menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, biarkan saja.” Neil lalu kembali berbaring di samping Lena dan memandang Lena dengan penuh arti.“Ta-tapi… itu…” Lena menunjuk milik Neil lagi.Neil terkekeh pelan. “Sudah, biarkan saja!” lalu lelucon gila terlintas di otaknya, “atau kau mau membantuku?” godanya sambil tersenyum jahil. Lena terdiam sejenak hingga ia berkata. “Kau sudah melakukannya padaku, dan aku merasa harus membalasnya.”Wajah Neil mendadak menjadi serius. Ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Kau jangan merasa terpaksa begitu! Lebih baik tidak usah,” ucapnya.“Tapi… aku… tak ingin puas sendiri. Aku akan merasa bersalah jika tak membuatmu “keluar”. Lagipula.. aku hanya memegangnya, kan?Neil terhenyak sejenak hingga ia mengerti seperti apa p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status