Home / Romansa / Hasrat Terlarang Paman Suamiku / Bab 2 Di Balik Topeng "Jelek"

Share

Bab 2 Di Balik Topeng "Jelek"

Author: J Shara
last update Huling Na-update: 2025-08-12 18:14:55

Axel segera menoleh, lalu melompat turun dari ranjang dan mengenakan celananya. Sementara perempuan itu buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Dasar perempuan jelek sialan! Ngapain kamu ada di sini?!” bentak Axel.

Lena menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ini… kamarku…”

Axel mendelik. “Aku sudah bilang mau pakai kamar ini! Kamu bego, ya?!”

Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Elizabeth—ibu Axel—muncul bersama suaminya di ambang pintu, wajah mereka penuh amarah. Neil mengikuti tepat di belakang.

“ASTAGA, Axel!” teriak Elizabeth. “Kamu nggak bisa melakukannya di kamar tamu? Atau di hotel, mungkin?!”

“Pa… Ma…” Axel mengangkat bahu santai. “Ini bukan pertama kalinya aku bawa cewek ke kamar ini.”

Wajah Richard memerah. “Kamu nggak punya rasa hormat sama istrimu sendiri! Sudah menikah, masih saja main perempuan?!”

Axel hanya menyeringai. “Mana mungkin aku mau menyentuh perempuan jelek kayak dia.”

Seolah palu menghantam dadanya, Lena terhuyung sedikit, wajahnya pucat. Sebelum ia sempat bicara, Elizabeth menepuk bahunya lembut.

“Nggak apa-apa, Lena. Pindah saja ke kamar sebelah, ya? Nggak masalah, kan?”

Lena menunduk, masih syok. Ia hanya mengangguk kecil, terlalu lelah untuk berdebat.

Saat itu, Neil menatap Lena lebih tajam. Ekspresinya berubah. Lena? gumamnya dalam hati. Nama yang hampir sama… dan tubuhnya… sangat mirip Selena, pemilik karaoke itu…

“Kita pindahkan barang-barang Lena besok pagi,” ujar Elizabeth. “Biar Tante yang bantu.”

Lena tetap diam. Elizabeth lalu menggandeng tangannya dan membawanya keluar dari kamar yang seharusnya menjadi kamar bulan madu—namun kini menjadi saksi pengkhianatan pertama.

Neil berdiri mematung, menatap punggung Lena yang menjauh.

Wajahnya yang biasanya datar perlahan berubah. “Selena…”

---

Malam kembali menyelimuti kota. Kediaman keluarga River tampak tenang, namun di balik kesunyian itu, seseorang tengah menyelinap di balik pagar tinggi bagian belakang.

Lena, masih mengenakan daster mencolok, berjalan jinjit tanpa alas kaki sambil menenteng sepatunya di satu tangan. Wajahnya penuh riasan aneh: alis tebal tak rata, blush on merah berlebihan, dan lipstik belepotan. Ia terlihat seperti karikatur dirinya sendiri.

“Aduh, kalau ada yang lihat aku kayak gini, pasti dikira hantu dari kampung sebelah,” gumamnya sambil mendekati pintu gerbang samping.

Baru saja tangannya menyentuh kait gerbang, suara berat membuatnya terlonjak.

“Nyonya Lena, mau ke mana?”

Lena cepat berbalik. Seorang satpam paruh baya berdiri di pos dengan senter di tangan. Namanya Pak Rudi—satpam malam yang kelewat rajin.

“Oh, eh, Pak Rudi… Saya cuma mau cari udara segar,” jawab Lena, memaksa senyum manis yang justru terlihat menyeramkan dengan make-up itu.

“Udara segar jam segini?” tanya Rudi curiga, kening berkerut.

“Ya… habis makan malam, kepala saya pusing. Udara di dalam sumpek,” jawab Lena cepat.

Ia merogoh kantong bajunya, mengeluarkan beberapa lembar uang merah, lalu menyelipkannya ke tangan Rudi sambil berbisik, “Tolong… jangan bilang siapa-siapa di rumah kalau saya keluar.”

Satpam cepat mengangguk. “Tentu, Nyonya. Bisa dipercaya.”

Lena tersenyum tipis lalu berlari kecil keluar gerbang. Tak jauh dari situ, mobil putih yang sama sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang dan masuk.

“ASTAGA, Lena!” teriak seorang gadis blasteran di kursi pengemudi. “Apa-apaan sih dandananmu itu?!”

“Ssst, jangan teriak,” bisik Lena sambil menarik hoodie dari jok belakang untuk menutupi wajahnya. “Aish, nanti aku jelasin. Sekarang ke Selena’s Dream. Kerjaanku sudah cukup tertunda gara-gara kekacauan ini.”

Susy—sekretaris, sahabat, sekaligus orang paling ia percaya—menggeleng sambil tersenyum geli.

---

Neil duduk diam di kursi bak singgasananya. Kantornya berada di lantai teratas gedung perusahaannya—luas, mewah, dan berjendela kaca yang menampilkan gemerlap malam di kota itu. Namun cahaya kota itu tak mampu menerangi badai di pikirannya.

Ia bersandar, tangan terlipat di dada. Dalam dua minggu terakhir, ia sudah tiga kali mengunjungi Selena’s Dream—dan tidak sekali pun bertemu perempuan itu—Selena.

Selena, pemilik karaoke yang terus menghantui pikirannya. Kadang samar, kadang jelas, seperti bisikan yang tak mau hilang. Dan kini, nama itu muncul lagi: Lena. Istri Axel. Perempuan yang baru menikah dua hari tapi sudah tidur di kamar lain. Perempuan yang pagi tadi ia lihat… punggungnya begitu mirip Selena.

“Apakah ini rindu?” gumamnya pelan. “Atau cuma rasa penasaran karena kemiripan?”

Tok tok tok!

Seseorang mengetuk pintu.

“Masuk,” ujar Neil tanpa menoleh.

Leon, asisten pribadinya, masuk dengan membawa tablet dan sebuah amplop.

“Tuan, mobil sudah siap di bawah. Ini dokumen yang perlu ditandatangani untuk proyek nanti.”

Neil mengangguk pelan, berdiri, lalu mengambil jas dari kursinya sebelum berjalan keluar.

Begitu keluar gedung, angin malam menyambut mereka. Sebuah mobil hitam mewah dengan sopir pribadi sudah menunggu.

“Pulang, Tuan?” tanya Leon.

Neil melirik sekilas. “Kita ke Selena’s Dream.”

Leon berkedip. “Baik, Tuan.”

Sepanjang perjalanan menuju Selena’s Dream, suasana hening. Neil duduk tenang, tatapan lurus ke depan, namun pikirannya kacau. Kata-kata yang ia dengar tentang perempuan itu terus terngiang: Pemilik karaoke, Selena… dan Istri Axel, juga bernama Lena…

Neil menarik napas panjang. “Terlalu banyak Lena di kota ini.”

Setibanya di parkiran Selena’s Dream, sopir mematikan mesin.

Namun sebelum Neil sempat membuka pintu, matanya menangkap sesuatu di luar jendela.

Tepat di saat itu, dua perempuan keluar dari sebuah mobil putih di seberang. Salah satunya memakai hoodie, tapi saat angin malam meniup rambutnya dan ia menoleh, Neil bisa melihat wajahnya—walau hanya sedetik.

Daster kebesaran dengan motif mencolok. Langkah cepat penuh tekad. Dan wajah itu…

“Lena?” bisik Neil. “Itu… Lena?”

Leon menoleh. “Tuan?”

Neil tetap diam. Tapi kini, ia yakin—

Ia mulai percaya siapa sebenarnya Lena.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 7 Suami Palsu

    Ruang tunggu rumah sakit terasa sunyi. Hanya sesekali terdengar suara roda kursi roda atau langkah tergesa para perawat bergema di lorong. Di sudut ruangan, Lena duduk sendirian, memeluk tas kecil di pangkuannya. Penampilannya hari ini jauh dari biasanya. Tak ada lagi daster kebesaran atau riasan aneh untuk menutupi wajah cantiknya. Hari ini, ia adalah Selena — versi dirinya yang memukau, anggun, dan… memikat. Gaun hitam selutut itu membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai rapi di bahu, bibirnya dilapisi warna merah marun yang menggoda, dan tatapannya… kosong. Pikirannya melayang kembali ke malam sebelumnya. Niel. Lelaki itu tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya, dalam keadaan bersimbah darah. Luka di perutnya luamayam parah, dan Lena masih mengingat jelas bagaimana tubuhnya bergetar hebat saat ia membantunya masuk. Dan pagi ini… Dia menghilang. Saat Lena terbangun, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Tak ada darah, tak ada bukti bahwa seseorang semalam sem

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 6 Luka dan Hasrat

    Tamparan keras mendarat di pipi Niel. Pria itu terdiam sejenak, merasakan perih dari tamparan wanita yang baru saja ia cium secara paksa. Niel memegang pipinya, meringis sebentar, lalu tiba-tiba bergerak menahan tubuh Lena dan kembali memaksa mencium bibirnya. Lena berusaha memberontak, kedua tangannya mendorong dada Niel, namun pria itu justru memeluknya semakin erat. Ciuman itu terputus sebentar, hanya cukup untuk mengambil napas, sebelum Niel kembali melanjutkannya dengan gairah yang lebih membara. “Humpf…” Lena mencoba menutup rapat bibirnya, tak ingin memberi ruang bagi Niel untuk mengisapnya lebih dalam. Namun, di luar dugaan, ciumannya justru semakin intens, menjelajahi setiap inci lehernya. “Berhenti!” bentak Lena. “Atau aku akan teriak!” Kini ia mulai berani mengancam. “Teriaklah, nanti kita ditemukan banyak orang dan jadi viral karena melakukan hal yang tak senonoh. Kau mau itu?” tantang Niel. “Lagi pula, di sini sangat sepi… hanya ada kita berdua.” Tangan Niel

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 5 Malam Mencekam

    Malam telah menelan kota dalam sunyi yang mencekam. Di balik meja yang penuh tumpukan berkas dan cahaya laptop, Lena duduk menunduk. Matanya menyapu deretan angka di laporan audit—kelelahan jelas tergambar di wajahnya, namun tekad membuatnya terus bertahan. Ia melirik jam dinding. 22.47. Hampir pukul sebelas, tetapi tak ada satu pun panggilan dari manajer untuk menemaninya menghadapi tamu tetap mereka yang terkenal arogan. Malam ini, ponselnya tetap sepi. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Lena menggigit bibir bawahnya, lalu meraih telepon meja. "Resepsionis?" Suara lembut dan sopan terdengar di ujung sana. "Ya, Nona?" "Tuan Niel datang malam ini? Dengan asistennya?" tanya Lena sambil berjalan menuju jendela besar, menatap kota yang gelap gulita. "Ya, Bu. Sejak sekitar pukul setengah sepuluh beliau sudah memesan ruang VIP, seperti biasa." "Oh… baik. Terima kasih infonya." Lena menutup telepon dan menarik napas panjang. Aneh. Biasanya dia selalu memanggi

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 4 Ciuman Mendadak

    Jam di lorong rumah besar itu menunjukkan pukul 1:34 dini hari. Seluruh rumah sunyi dan gelap, hanya diiringi dengungan lembut pendingin udara pusat. Udara malam di luar menusuk dingin, tapi Lena terus melangkah perlahan, berjinjit melewati pintu depan setelah berhasil membukanya dengan kunci cadangan yang diberikan salah satu pembantu rumah. “Syukurlah…” bisiknya lega begitu masuk. Ia menutup pintu perlahan, lalu memutar kunci di lubangnya. Rumah tetap sunyi. Seperti biasa, semua orang sudah tidur sejak pukul sembilan. Lena berjinjit menuju ruang tamu, berniat langsung naik ke atas. Tapi— “Dari mana saja kamu jam segini?” Suara itu pelan, dingin, namun bergema di tengah kesunyian. Lena tersentak seperti disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti. “Ya Tuhan…!” ia terkesiap lirih. Ia refleks berbalik, dan sedetik kemudian, lampu meja di samping sofa menyala. Neil duduk di sana, bersandar santai, tapi matanya setajam elang, tak melewatkan apa pun. Senyum tipis bermain di bib

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 3 Terjebak Oleh Kekuasaan

    Lena tampak memukau dalam balutan dress bodycon ungu tua. Gaun itu membalut lekuk tubuhnya dengan anggun, memancarkan aura seorang wanita muda berkuasa di posisi tinggi dunia korporat. Namun, di balik penampilan yang memikat itu, wajahnya tampak berkerut menahan stres akibat tumpukan pekerjaan di mejanya. “Suzy, tolong cek kontrak dari Glamour Entertainment Corp. Aku rasa ada angka yang salah di Pasal Tiga,” kata Lena sambil cepat membalik halaman dokumen. “Siap, bos cantik,” jawab Suzy sambil tersenyum menggoda, lalu mengambil dokumen itu dari tangan Lena. Namun, ketenangan di kantor itu pecah oleh ketukan di pintu. Tok tok tok! “Masuk!” sahut Lena tanpa mengangkat kepala. Pintu terbuka, George—sang manajer—masuk dengan wajah ragu. “Ada apa, George?” tanya Lena singkat. “Nona… pria dari Ocean Kingdom Group itu datang lagi. Dia bilang ingin ditemani langsung oleh Anda.” Lena memejamkan mata sejenak dan menghela napas panjang. “Hhh… Aku sedang dikejar deadline, George. Tolong

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 2 Di Balik Topeng "Jelek"

    Axel segera menoleh, lalu melompat turun dari ranjang dan mengenakan celananya. Sementara perempuan itu buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “Dasar perempuan jelek sialan! Ngapain kamu ada di sini?!” bentak Axel. Lena menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ini… kamarku…” Axel mendelik. “Aku sudah bilang mau pakai kamar ini! Kamu bego, ya?!” Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Elizabeth—ibu Axel—muncul bersama suaminya di ambang pintu, wajah mereka penuh amarah. Neil mengikuti tepat di belakang. “ASTAGA, Axel!” teriak Elizabeth. “Kamu nggak bisa melakukannya di kamar tamu? Atau di hotel, mungkin?!” “Pa… Ma…” Axel mengangkat bahu santai. “Ini bukan pertama kalinya aku bawa cewek ke kamar ini.” Wajah Richard memerah. “Kamu nggak punya rasa hormat sama istrimu sendiri! Sudah menikah, masih saja main perempuan?!” Axel hanya menyeringai. “Mana mungkin aku mau menyentuh perempuan jelek kayak dia.” Seolah palu menghantam dadanya, Le

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status