Share

Bab 4 Ciuman Mendadak

Author: J Shara
last update Huling Na-update: 2025-08-12 18:32:20

Jam di lorong rumah besar itu menunjukkan pukul 1:34 dini hari. Seluruh rumah sunyi dan gelap, hanya diiringi dengungan lembut pendingin udara pusat. Udara malam di luar menusuk dingin, tapi Lena terus melangkah perlahan, berjinjit melewati pintu depan setelah berhasil membukanya dengan kunci cadangan yang diberikan salah satu pembantu rumah.

“Syukurlah…” bisiknya lega begitu masuk. Ia menutup pintu perlahan, lalu memutar kunci di lubangnya.

Rumah tetap sunyi. Seperti biasa, semua orang sudah tidur sejak pukul sembilan. Lena berjinjit menuju ruang tamu, berniat langsung naik ke atas. Tapi—

“Dari mana saja kamu jam segini?”

Suara itu pelan, dingin, namun bergema di tengah kesunyian. Lena tersentak seperti disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti.

“Ya Tuhan…!” ia terkesiap lirih. Ia refleks berbalik, dan sedetik kemudian, lampu meja di samping sofa menyala.

Neil duduk di sana, bersandar santai, tapi matanya setajam elang, tak melewatkan apa pun. Senyum tipis bermain di bibirnya.

“Uhm… Om…” Lena terbata, melirik jam. “Belum tidur?”

Neil tak langsung menjawab. Ia bangkit perlahan dan berjalan mendekat.

“Kau sendiri?” tanyanya datar, sulit dibaca.

“A-aku cuma keluar sebentar… mau ambil udara segar. Kamar tadi terasa pengap,” jawab Lena cepat, menunduk agar wajahnya tak kena cahaya.

Tapi Neil tidak mudah percaya. Tatapannya menyapu penampilan Lena. Ia tahu ada yang aneh—meski Lena sudah melepas gaun ungu dan berganti daster gombrong, sisa-sisa penampilannya tadi malam masih tersisa.

“Kamu pakai riasan?” tanya Neil, kini hanya berjarak beberapa langkah.

“T-tidak,” Lena menggeleng, sedikit mundur.

Namun Neil terus maju, hingga punggung Lena menempel di dinding. Napasnya tersendat. Udara di antara mereka terasa padat, menekan—nyaris mencekik.

Tiba-tiba, Neil mengangkat tangan dan menyentuh bibir Lena dengan ujung jari. Gerakan itu membuat Lena membeku di tempat.

“H-hey—!” ia terpekik kaget.

Tapi Neil sudah menarik jarinya kembali, memperlihatkan noda merah samar di ujungnya. Ia menatapnya, lalu memandang Lena.

“Ini apa?” tanyanya.

Mata Lena membesar. Sial… Kenapa masih ada sisa lipstik? Padahal tadi sudah aku hapus di kamar mandi!

Ia memaksa tersenyum. “Oh, itu mungkin dari lipstik yang kupakai sebelum makan malam. Kupikir suamiku bakal tergoda.”

Neil terkekeh rendah, suara beratnya bergetar di tengah malam.

“Bagaimana kalau aku yang tergoda?”

Jantung Lena melompat. Ucapannya bukan cuma tak pantas—tapi cukup membuat pikirannya berantakan. Ini paman suamiku…!

“Om... bercanda, kan?” katanya mencoba tertawa, tapi terdengar kaku.

Neil tidak menjawab. Hanya menatapnya—tajam, intens, tak berkedip. Lena merasa seperti terhipnotis. Tapi ia tahu tak boleh berlama-lama di sana.

“Ah… aku ngantuk banget,” ujarnya cepat, mencoba mengakhiri momen itu. “Sudah lewat tengah malam. Aku mau tidur, Om.”

Neil tidak menghalangi. Ia hanya terus memandang dalam diam.

“Aku mau ambil minum di dapur. Haus banget,” tambah Lena, memegang perutnya seperti menahan lapar.

Lalu ia buru-buru pergi—bukan ke dapur, tapi langsung menuju tangga. Langkahnya cepat, nyaris berlari. Satu tangan menggenggam ujung daster agar tidak tersandung saat naik.

Dari bawah, Neil tetap berdiri di tempat, senyum tipis tak lepas dari wajahnya.

Matanya mengikuti punggung Lena sampai ia menghilang di ujung tangga.

Ia bergumam pelan, seolah berbicara pada diri sendiri,

“Menarik… Sepertinya drama sesungguhnya di rumah ini baru saja dimulai.”

Di kamarnya, Lena langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia bersandar di balik pintu, terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Apa dia mencurigai sesuatu… atau hanya main-main denganku? Kenapa dia bersikap seperti ini sekarang?"

Pikirannya kacau. Ia menatap ke cermin, dan di sanalah—noda merah samar masih menempel di bibirnya.

“Bodoh… kenapa tadi nggak dibersihkan lebih tuntas?” gumamnya.

Ia masuk ke kamar mandi, mengambil tisu basah, dan menggosok bibirnya kasar sampai benar-benar bersih.

Lalu ia memandangi bayangannya sendiri.

Apa sebenarnya yang Neil mau? Dan… sampai kapan aku bisa bertahan di permainan berbahaya ini?

Malam itu, Lena tak bisa tidur.

Karena untuk pertama kalinya, ia sadar—

Rumah ini tidak seaman yang ia kira.

---

"Astaga!"

Teriakan Axel menggema dari ruang tamu, membuat seluruh rumah terkejut dan terbangun. Semua mata langsung menoleh ke arahnya. Duduk di meja makan bersama keluarganya, wajah Axel memerah penuh amarah, matanya menatap tajam ke arah wanita yang baru saja mendekat.

Lena tersenyum cerah, mengenakan daster kebesaran warna kuning neon dengan polkadot oranye yang menyilaukan mata. Rambutnya dikepang dua, dan alisnya… entah seperti karya seni abstrak.

"KENAPA ADA CEWEK JELEK DI SINI?!" bentak Axel, matanya hampir melotot.

Lena menahan tawa, berusaha tetap terlihat manis.

"Sayang... aku bangun pagi-pagi buta hari ini. Aku dandan khusus buat kamu—supaya kamu bisa lihat betapa cantiknya aku."

"CANTIK?!" Axel mundur dengan ekspresi jijik. "Ih, menjijikkan! KAMU JELEK!"

Senyum Lena meredup, matanya mulai berkaca-kaca. "Sayang... kenapa kamu kejam banget? Aku cuma mau bikin kamu senang."

"JANGAN PANGGIL AKU SAYANG! Aku jijik!" bentak Axel sambil menepis tangan Lena saat mencoba meraih lengannya.

"AXEL!" suara berat Richard menggelegar dari ujung meja. "Istrimu sudah berusaha. Hormati dia. Lena sudah jauh lebih baik dari sebelumnya."

Elizabeth hanya menggeleng pelan, kecewa melihat ledakan emosi anaknya. Neil, yang duduk santai sambil menyeruput kopi hitam, hanya melirik sekilas ke arah Axel lalu kembali memandang cangkirnya.

Axel mengepalkan tangan. "Kamu bikin selera makan aku hilang, makhluk jelek!"

Ia berjalan pergi dengan langkah panjang, meninggalkan Lena sendirian di tengah ruangan.

"Sayang... maaf... jangan pergi. Kamu belum sarapan," ucap Lena lirih, mencoba meraih tangannya.

Axel mendorongnya kasar lalu menghilang ke lantai atas, membanting pintu kamarnya. Lena terpaku, wajahnya seperti menyimpan kesedihan… atau mungkin sekadar akting yang lihai.

Richard meletakkan sendoknya. "Biarkan saja. Ayo lanjut makan."

Sarapan pun berlanjut dalam keheningan yang tebal. Setelah selesai, Lena berdiri dan pelan-pelan menyiapkan nampan berisi dua roti lapis dan segelas susu.

"Aku bawakan ini untuk Axel," katanya lembut.

"Menantu yang baik dan perhatian," puji Richard sambil tersenyum. Elizabeth mengangguk tipis, meski ada sedikit keraguan di matanya.

Lena naik tangga perlahan sambil menyeimbangkan nampan. Tak ada yang menyadari sorot tajam mata Neil yang mengikuti setiap langkahnya.

---

Di lantai atas…

"NGAPAIN KAMU MASUK KAMAR AKU?!" teriak Axel begitu pintu terbuka.

Lena terkejut tapi tetap tersenyum. "Aku bawain sarapan, sayang."

"Taruh aja di situ! Ih, menjijikkan! SEKARANG KELUAR!"

Tanpa kata lagi, Lena meletakkan nampan di meja lalu berbalik pergi. Axel membanting pintu di belakangnya, membuat Lena terlonjak.

"Wah, segitunya?" gumamnya sambil menuruni tangga.

Begitu sampai di bawah, ia menarik napas panjang… lalu terkekeh kecil.

"Pagi yang penuh drama," bisiknya sambil menaruh nampan. Namun saat berbalik—

"Astaga, Om!" Lena hampir menjatuhkan nampan saat melihat Neil berdiri tepat di belakangnya, terlalu dekat.

"Kagetin aja, kayak hantu."

Neil tersenyum miring di sudut bibirnya. "Bagaimana? Berhasil menggoda suamimu hari ini?"

Lena manyun manja. "Nggak, Om. Aku udah dandan dari subuh. Tapi suamiku… malah jijik sama aku."

Neil menatapnya dalam, tajam. "Kalau begitu… bagaimana kalau aku yang tergoda?"

Lena membeku. Matanya membesar, lalu tertawa gugup. "Om… becanda, kan?"

"Kenapa? Nggak percaya?"

Tatapan Neil tak goyah—serius, menusuk. Ada sesuatu di matanya yang membuat jantung Lena berdetak kacau. Nalurinya berteriak agar ia pergi.

"Ehm… aku ke kamar dulu ya, Om." Lena berbalik cepat, tapi—

Neil tiba-tiba menangkap pergelangan tangannya. Dalam satu gerakan cepat, ia memutarnya hingga Lena menghadapnya. Tangan satunya terangkat, mengangkat dagu Lena dengan lembut—dan kemudian ia menciumnya.

Mata Lena terbelalak. Semuanya terjadi begitu cepat—Neil mencium dirinya dan itu tepat di bibir. Ia mendorongnya spontan, memutus ciuman itu.

Menatap Neil dengan terkejut, ia melihat mata pria itu gelap, penuh nafsu, seperti hendak melahapnya.

"Ini… nggak seharusnya terjadi…" bisiknya, mengusap bibir dengan punggung tangan sebelum berlari ke lantai atas.

Neil hanya berdiri menatapnya pergi. Tangannya menyentuh bibirnya, lalu tersenyum tipis.

Sementara itu, Lena membanting pintu kamarnya, bersandar pada daun pintu dengan kedua tangan menutup mulut, masih syok.

"Ya Tuhan… kenapa dia menciumnya seperti itu?" bisiknya. "Dia gila? Aku ini istri keponakannya! Kenapa dia berani… Dia benar-benar sinting!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 142 Kabar Baru dan Kedatangan Tak Terduga

    Udara sore di halaman rumah Nenek Vero terasa hangat, dengan aroma bunga kamboja yang tertiup angin. Lena dan Neil berjalan berdampingan menuju teras, dan sebelum mereka sempat mengetuk, pintu sudah terbuka.“Lena! Neil! Masuk, masuk!” seru Nenek Vero dengan suara riang. Raut wajahnya yang penuh keriput tampak lebih cerah dari biasanya.Lena tersenyum lalu mendekat, memeluk wanita tua itu.“Kami merindukan Nenek,” katanya lembut.“Astaga, kalian makin glowing saja. Apa kabar? Ayo duduk dulu,” ujar Nenek Vero sambil menggandeng lengan Lena dan menuntunnya masuk.Mereka duduk di ruang tamu yang hangat, dengan secangkir teh melati mengepul di meja.Setelah obrolan ringan, Nenek Vero tiba-tiba menghela napas bahagia.“Ada kabar besar… Selena hamil!”Lena membelalakkan mata, tetapi senyumnya mengembang.“Benarkah, Nek? Wah, kabar bagus.”Nenek Vero mengangguk heboh.“Iya! Dia baru bilang semalam. Nenek hampir menangis saking bahagianya. Ah… keluarga kita tambah besar.”Lena saling pandang

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 141 Kabar Bahagia

    Pagi itu, aroma tumisan bawang yang biasanya memenuhi dapur apartemen mereka terasa berbeda bagi Lena. Begitu uap panas itu menyentuh hidungnya, perutnya langsung bergejolak. Ia menutup mulut, menahan rasa mual yang datang tiba-tiba, namun tak tertahankan—hingga akhirnya ia berlari menuju wastafel.“Ugh…” Lena membungkuk sambil memegangi pinggiran wastafel, pundaknya bergetar saat ia memuntahkan isi perutnya yang nyaris kosong.Suara langkah cepat terdengar di belakangnya. “Lena? Lena, kamu sakit?” Neil langsung menghampirinya dan berdiri di sisinya, menepuk punggungnya pelan.Lena menggeleng perlahan, meski matanya berkaca-kaca. “Aku cuma mual… setiap cium bau tumisan. Aku baik-baik saja kok,” katanya dengan suara lemah, masih berusaha berdiri tegak.Neil meraih beberapa tisu dan mengelap wajah Lena yang basah. “Kalau begitu tiduran saja dulu. Jangan dipaksakan.”“Tapi… sarapanmu—”“Sudah,” potong Neil sambil tersenyum tipis. “Jangan memaksakan diri. Kalau kamu nggak tahan dengan wan

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 140 Kedatangan Tak Diundang

    Pagi berikutnya, udara masih dingin saat Lena bangun lebih awal. Neil masih tertidur di sampingnya, napasnya tenang, lengan hangatnya memeluknya semalaman seolah takut kehilangan.Lena perlahan bangkit, tidak ingin membangunkannya. Ia membuat sarapan sederhana—roti panggang, telur mata sapi, dan kopi hitam kesukaan Neil. Wangi kopi memenuhi apartemen, menenangkan kegelisahan yang sempat mengisi malam sebelumnya.Namun kedamaian itu hanya bertahan sampai bel apartemen berbunyi keras.DING-DONG — DING-DONG — DING-DONG.Seakan seseorang memencetnya tidak sabar.Lena menoleh cepat ke arah pintu. Suara itu kasar, jauh berbeda dengan ketukan Elizabeth yang lembut kemarin.Neil terbangun, meraih kaus di sisi ranjang dan berdiri.“Siapa pagi-pagi begini?”Lena menggeleng.“Aku juga tidak tahu.”Neil berjalan ke pintu dengan raut wajah serius. Ia membuka—dan tubuhnya menegang.Richard.Pria itu berdiri dengan jas rapi, wajahnya penuh percaya diri, namun mata tajamnya membawa aura ancaman.“Pag

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 139 Bersamamu

    Apartemen terasa jauh lebih sunyi ketika Lena menutup pintu terakhir kali. Langkah Elizabeth perlahan hilang di balik lorong apartemen, menyisakan ruang tamu yang kini terasa dingin.Lena masih berdiri di sana beberapa detik, menenangkan diri, sebelum akhirnya ia beranjak merapikan cangkir teh yang masih hangat.Beberapa jam kemudian, pintu apartemen kembali terdengar terbuka. Lena menoleh.Neil masuk sambil menggosok lehernya yang pegal. Jaketnya setengah terbuka, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Namun begitu melihat Lena, laki-laki itu tersenyum kecil.“Hai, sayang.”Ia mendekat mencium kening Lena ringan.Lena membalas senyum, tapi bukan senyum penuh seperti biasanya.Neil langsung menyadarinya.Mata itu—selalu bisa membaca Lena tanpa kata.“Ada apa?”Suara Neil merendah. Serius.Lena menghela napas. Ia meletakkan gelas-gelas di meja, lalu menatap Neil dengan hati-hati.“Mama datang tadi.”Neil terdiam.Sedetik. Dua detik. Tiga.Sorot matanya berubah. Hangat yang t

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 138 Permintaan Mantan Mertua

    Cahaya jingga sore menerobos melalui tirai apartemen, menebarkan bayangan hangat di lantai kayu. Lena baru saja selesai menyiram tanaman balkon ketika bel apartemen berbunyi.Ding-dong.Ia mengecek melalui lubang intip, dan napasnya terhenti sesaat.Elizabeth.Mantan mertuanya. Seseorang yang dulu begitu ia hormati dan cintai layaknya ibu kandung sendiri—dan hingga kini, ia masih sulit menghapus perasaan hormat itu.Lena merapikan rambutnya cepat, kemudian membuka pintu dengan senyum tipis.“Mama…?”Elizabeth berdiri anggun, mengenakan mantel cokelat yang serasi dengan scarf lembut di lehernya. Senyum ramah terbit di bibirnya, meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak dapat langsung Lena baca.“Hai sayang.”Lena mempersilakan masuk tanpa ragu. Aroma parfum Elizabeth mengisi ruang tamu bersamaan dengan kehadirannya, membawa sedikit memori lama yang pernah begitu berarti.“Duduk Ma… aku siapkan minuman dulu ya.”“Terima kasih, Lena.”Lena bergerak ke dapur kecil. Ia menyiapkan teh

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 137 Percikan Luka Lama

    Aroma kopi dan wangi parfum mahal bercampur di lobby perusahaan itu saat jam makan siang usai. Suasana sibuk, namun terasa hangat ketika Neil dan Lena berjalan berdampingan keluar lift. Senyum Lena masih tersisa setelah makan siang barusan—momen sederhana yang terasa seperti jeda damai dari hidupnya yang berantakan belakangan ini.Neil menyadari senyum itu, lalu bertanya pelan,“Yakin tidak mau aku antar pulang?”Lena menggeleng sambil memeluk tas di lengannya.“Tidak usah, aku bawa mobil sendiri kok.”Nada suaranya lembut, namun tegas. Ia tidak ingin merepotkan Neil, meski jauh di dalam hatinya, ia selalu merasa aman saat pria itu berada di dekatnya.Neil mengangguk. Tatapannya penuh sayang—yang selalu membuat Lena merasa salah karena pernah menjadi bagian keluarga yang kini membencinya.Tiba-tiba sebuah suara memecah ketenangan.“Neil!”Mereka serempak menoleh.Dan di sana berdiri seseorang yang membuat kaki Lena terasa lemas—Richard River, mantan mertua Lena, sekaligus kakak dari N

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status