Jam di lorong rumah besar itu menunjukkan pukul 1:34 dini hari. Seluruh rumah sunyi dan gelap, hanya diiringi dengungan lembut pendingin udara pusat. Udara malam di luar menusuk dingin, tapi Lena terus melangkah perlahan, berjinjit melewati pintu depan setelah berhasil membukanya dengan kunci cadangan yang diberikan salah satu pembantu rumah.
“Syukurlah…” bisiknya lega begitu masuk. Ia menutup pintu perlahan, lalu memutar kunci di lubangnya. Rumah tetap sunyi. Seperti biasa, semua orang sudah tidur sejak pukul sembilan. Lena berjinjit menuju ruang tamu, berniat langsung naik ke atas. Tapi— “Dari mana saja kamu jam segini?” Suara itu pelan, dingin, namun bergema di tengah kesunyian. Lena tersentak seperti disambar petir. Jantungnya nyaris berhenti. “Ya Tuhan…!” ia terkesiap lirih. Ia refleks berbalik, dan sedetik kemudian, lampu meja di samping sofa menyala. Neil duduk di sana, bersandar santai, tapi matanya setajam elang, tak melewatkan apa pun. Senyum tipis bermain di bibirnya. “Uhm… Om…” Lena terbata, melirik jam. “Belum tidur?” Neil tak langsung menjawab. Ia bangkit perlahan dan berjalan mendekat. “Kau sendiri?” tanyanya datar, sulit dibaca. “A-aku cuma keluar sebentar… mau ambil udara segar. Kamar tadi terasa pengap,” jawab Lena cepat, menunduk agar wajahnya tak kena cahaya. Tapi Neil tidak mudah percaya. Tatapannya menyapu penampilan Lena. Ia tahu ada yang aneh—meski Lena sudah melepas gaun ungu dan berganti daster gombrong, sisa-sisa penampilannya tadi malam masih tersisa. “Kamu pakai riasan?” tanya Neil, kini hanya berjarak beberapa langkah. “T-tidak,” Lena menggeleng, sedikit mundur. Namun Neil terus maju, hingga punggung Lena menempel di dinding. Napasnya tersendat. Udara di antara mereka terasa padat, menekan—nyaris mencekik. Tiba-tiba, Neil mengangkat tangan dan menyentuh bibir Lena dengan ujung jari. Gerakan itu membuat Lena membeku di tempat. “H-hey—!” ia terpekik kaget. Tapi Neil sudah menarik jarinya kembali, memperlihatkan noda merah samar di ujungnya. Ia menatapnya, lalu memandang Lena. “Ini apa?” tanyanya. Mata Lena membesar. Sial… Kenapa masih ada sisa lipstik? Padahal tadi sudah aku hapus di kamar mandi! Ia memaksa tersenyum. “Oh, itu mungkin dari lipstik yang kupakai sebelum makan malam. Kupikir suamiku bakal tergoda.” Neil terkekeh rendah, suara beratnya bergetar di tengah malam. “Bagaimana kalau aku yang tergoda?” Jantung Lena melompat. Ucapannya bukan cuma tak pantas—tapi cukup membuat pikirannya berantakan. Ini paman suamiku…! “Om... bercanda, kan?” katanya mencoba tertawa, tapi terdengar kaku. Neil tidak menjawab. Hanya menatapnya—tajam, intens, tak berkedip. Lena merasa seperti terhipnotis. Tapi ia tahu tak boleh berlama-lama di sana. “Ah… aku ngantuk banget,” ujarnya cepat, mencoba mengakhiri momen itu. “Sudah lewat tengah malam. Aku mau tidur, Om.” Neil tidak menghalangi. Ia hanya terus memandang dalam diam. “Aku mau ambil minum di dapur. Haus banget,” tambah Lena, memegang perutnya seperti menahan lapar. Lalu ia buru-buru pergi—bukan ke dapur, tapi langsung menuju tangga. Langkahnya cepat, nyaris berlari. Satu tangan menggenggam ujung daster agar tidak tersandung saat naik. Dari bawah, Neil tetap berdiri di tempat, senyum tipis tak lepas dari wajahnya. Matanya mengikuti punggung Lena sampai ia menghilang di ujung tangga. Ia bergumam pelan, seolah berbicara pada diri sendiri, “Menarik… Sepertinya drama sesungguhnya di rumah ini baru saja dimulai.” Di kamarnya, Lena langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia bersandar di balik pintu, terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Apa dia mencurigai sesuatu… atau hanya main-main denganku? Kenapa dia bersikap seperti ini sekarang?" Pikirannya kacau. Ia menatap ke cermin, dan di sanalah—noda merah samar masih menempel di bibirnya. “Bodoh… kenapa tadi nggak dibersihkan lebih tuntas?” gumamnya. Ia masuk ke kamar mandi, mengambil tisu basah, dan menggosok bibirnya kasar sampai benar-benar bersih. Lalu ia memandangi bayangannya sendiri. Apa sebenarnya yang Neil mau? Dan… sampai kapan aku bisa bertahan di permainan berbahaya ini? Malam itu, Lena tak bisa tidur. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar— Rumah ini tidak seaman yang ia kira. --- "Astaga!" Teriakan Axel menggema dari ruang tamu, membuat seluruh rumah terkejut dan terbangun. Semua mata langsung menoleh ke arahnya. Duduk di meja makan bersama keluarganya, wajah Axel memerah penuh amarah, matanya menatap tajam ke arah wanita yang baru saja mendekat. Lena tersenyum cerah, mengenakan daster kebesaran warna kuning neon dengan polkadot oranye yang menyilaukan mata. Rambutnya dikepang dua, dan alisnya… entah seperti karya seni abstrak. "KENAPA ADA CEWEK JELEK DI SINI?!" bentak Axel, matanya hampir melotot. Lena menahan tawa, berusaha tetap terlihat manis. "Sayang... aku bangun pagi-pagi buta hari ini. Aku dandan khusus buat kamu—supaya kamu bisa lihat betapa cantiknya aku." "CANTIK?!" Axel mundur dengan ekspresi jijik. "Ih, menjijikkan! KAMU JELEK!" Senyum Lena meredup, matanya mulai berkaca-kaca. "Sayang... kenapa kamu kejam banget? Aku cuma mau bikin kamu senang." "JANGAN PANGGIL AKU SAYANG! Aku jijik!" bentak Axel sambil menepis tangan Lena saat mencoba meraih lengannya. "AXEL!" suara berat Richard menggelegar dari ujung meja. "Istrimu sudah berusaha. Hormati dia. Lena sudah jauh lebih baik dari sebelumnya." Elizabeth hanya menggeleng pelan, kecewa melihat ledakan emosi anaknya. Neil, yang duduk santai sambil menyeruput kopi hitam, hanya melirik sekilas ke arah Axel lalu kembali memandang cangkirnya. Axel mengepalkan tangan. "Kamu bikin selera makan aku hilang, makhluk jelek!" Ia berjalan pergi dengan langkah panjang, meninggalkan Lena sendirian di tengah ruangan. "Sayang... maaf... jangan pergi. Kamu belum sarapan," ucap Lena lirih, mencoba meraih tangannya. Axel mendorongnya kasar lalu menghilang ke lantai atas, membanting pintu kamarnya. Lena terpaku, wajahnya seperti menyimpan kesedihan… atau mungkin sekadar akting yang lihai. Richard meletakkan sendoknya. "Biarkan saja. Ayo lanjut makan." Sarapan pun berlanjut dalam keheningan yang tebal. Setelah selesai, Lena berdiri dan pelan-pelan menyiapkan nampan berisi dua roti lapis dan segelas susu. "Aku bawakan ini untuk Axel," katanya lembut. "Menantu yang baik dan perhatian," puji Richard sambil tersenyum. Elizabeth mengangguk tipis, meski ada sedikit keraguan di matanya. Lena naik tangga perlahan sambil menyeimbangkan nampan. Tak ada yang menyadari sorot tajam mata Neil yang mengikuti setiap langkahnya. --- Di lantai atas… "NGAPAIN KAMU MASUK KAMAR AKU?!" teriak Axel begitu pintu terbuka. Lena terkejut tapi tetap tersenyum. "Aku bawain sarapan, sayang." "Taruh aja di situ! Ih, menjijikkan! SEKARANG KELUAR!" Tanpa kata lagi, Lena meletakkan nampan di meja lalu berbalik pergi. Axel membanting pintu di belakangnya, membuat Lena terlonjak. "Wah, segitunya?" gumamnya sambil menuruni tangga. Begitu sampai di bawah, ia menarik napas panjang… lalu terkekeh kecil. "Pagi yang penuh drama," bisiknya sambil menaruh nampan. Namun saat berbalik— "Astaga, Om!" Lena hampir menjatuhkan nampan saat melihat Neil berdiri tepat di belakangnya, terlalu dekat. "Kagetin aja, kayak hantu." Neil tersenyum miring di sudut bibirnya. "Bagaimana? Berhasil menggoda suamimu hari ini?" Lena manyun manja. "Nggak, Om. Aku udah dandan dari subuh. Tapi suamiku… malah jijik sama aku." Neil menatapnya dalam, tajam. "Kalau begitu… bagaimana kalau aku yang tergoda?" Lena membeku. Matanya membesar, lalu tertawa gugup. "Om… becanda, kan?" "Kenapa? Nggak percaya?" Tatapan Neil tak goyah—serius, menusuk. Ada sesuatu di matanya yang membuat jantung Lena berdetak kacau. Nalurinya berteriak agar ia pergi. "Ehm… aku ke kamar dulu ya, Om." Lena berbalik cepat, tapi— Neil tiba-tiba menangkap pergelangan tangannya. Dalam satu gerakan cepat, ia memutarnya hingga Lena menghadapnya. Tangan satunya terangkat, mengangkat dagu Lena dengan lembut—dan kemudian ia menciumnya. Mata Lena terbelalak. Semuanya terjadi begitu cepat—Neil mencium dirinya dan itu tepat di bibir. Ia mendorongnya spontan, memutus ciuman itu. Menatap Neil dengan terkejut, ia melihat mata pria itu gelap, penuh nafsu, seperti hendak melahapnya. "Ini… nggak seharusnya terjadi…" bisiknya, mengusap bibir dengan punggung tangan sebelum berlari ke lantai atas. Neil hanya berdiri menatapnya pergi. Tangannya menyentuh bibirnya, lalu tersenyum tipis. Sementara itu, Lena membanting pintu kamarnya, bersandar pada daun pintu dengan kedua tangan menutup mulut, masih syok. "Ya Tuhan… kenapa dia menciumnya seperti itu?" bisiknya. "Dia gila? Aku ini istri keponakannya! Kenapa dia berani… Dia benar-benar sinting!"Suara detak jam di ruangan kerja Lena terdengar jelas di antara keheningan yang tegang. Ia masih terpaku di tempat, menatap sosok yang berdiri beberapa meter darinya—sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam mimpinya yang paling dalam.“Se–Selena…?” suara Lena bergetar, nyaris tak percaya.Perempuan di hadapannya tersenyum lembut. Wajahnya sama persis, hanya saja rambutnya lebih pendek, dipotong seleher dengan poni tipis yang membuatnya terlihat lebih segar dan muda.“Elena,” ucapnya pelan, “kenapa? Kau tidak senang melihat aku?”Lena menitikkan air mata. Tubuhnya gemetar, dadanya terasa sesak oleh rindu yang menahun.Tanpa menjawab, ia langsung berlari memeluk saudara kembarnya itu erat-erat.Tangisnya pecah, sesenggukan memenuhi ruangan.“Selena… Tuhan… aku pikir kau sudah—”“Ssst…” Selena mengusap punggung Lena lembut, “aku tahu. Aku tahu semua orang pikir aku sudah mati. Tapi aku di sini, Lena. Aku hidup.”Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka me
Siang itu, denting sendok bertemu dinding cangkir jadi latar kecil yang tak putus-putus. Lena—dengan wig cokelat madu dan kacamata tipis yang membuatnya tampak seperti “Selena”—mengetuk-ngetukkan jari ke meja marmer, mengukur detik dengan sabarnya. Aroma kopi panggang memenuhi ruang; lampu gantung kristal menumpahkan cahaya hangat ke sofa beludru. Di balik senyum yang ia latih, dadanya tetap berdegup lebih cepat dari biasanya. Pintu kaca berdering pelan. Axel menjejak masuk, tergesa, napasnya sedikit memburu. Jasnya kebesaran setengah nomor, mungkin dipinjam dari kursi kantor, bukan dari hanger. Ia melihat sekeliling, menemukan Lena, dan melangkah cepat. “Selena, sayang… maafkan aku telat,” katanya, langsung duduk di hadapannya. “Ada rapat dadakan. Aku—” Lena mengangkat tangan, senyum manis di bibirnya. “Tidak begitu lama, kok. Aku mengerti.” Seorang barista datang dengan buku menu, menunduk sopan. “Selamat siang. Bolehkah saya ambil pesanan minumannya?” “Americano panas,” ujar A
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang. Namun suasana meja makan keluarga itu justru penuh ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau.Cahaya matahari masuk dari jendela besar ruang makan, menimpa meja panjang berlapis taplak putih. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar, tapi tidak ada yang menyentuhnya dengan riang seperti biasanya.Axel duduk di ujung meja, menunduk pada piringnya. Sendok di tangannya hanya berputar tanpa arah di dalam sup yang sudah hampir dingin.Neil duduk di seberangnya, membaca koran tanpa benar-benar membacanya. Matanya tajam, tapi kosong.Lena duduk di antara mereka berdua, matanya berpindah-pindah seperti bola pingpong, menatap Axel lalu Neil, berharap salah satu dari mereka berbicara.Namun tak ada yang membuka mulut.“Ehm...” Elizabeth berdehem pelan, mencoba memecah suasana. “Supnya hari ini agak asin ya, mungkin aku kebanyakan garam.”Tak ada respons. Hanya dentingan sendok Axel yang pelan menabrak mangkuk, dan suara Neil melipat koran
Lampu-lampu kristal di lobi hotel masih berpendar lembut, memantulkan cahaya dari gaun-gaun mewah yang lewat. Musik pesta yang tadinya hingar bingar kini tinggal gema samar. Lena berdiri anggun di depan pintu kaca besar yang terbuka otomatis setiap kali tamu lewat. Senyumnya masih tersisa, lembut dan tenang — seolah pesta belum benar-benar berakhir baginya. “Sayang, kau tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran.” Suara Axel terdengar di telinganya, penuh kasih dan sedikit lelah. Lena mengangguk sambil tersenyum. “Oke, jangan lama-lama, ya. Tumitku sudah menjerit.” Axel terkekeh kecil. “Sepatu itu terlalu tinggi, aku sudah bilang.” “Dan kau juga yang bilang, aku tampak cantik dengan sepatu ini.” “Ya, memang begitu,” ucap Axel sebelum berlari kecil menuju lift. Senyum Lena melebar melihatnya, pria itu selalu punya cara membuatnya merasa istimewa. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya dari sisi kanan. Lena nyaris kehila
Aroma kopi baru diseduh menari dari ujung meja. Sinar matahari menyusup lewat tirai tipis, memecah warna di atas piring porselen yang berkilau. Di meja makan keluarga itu, percakapan dimulai oleh satu suara yang paling percaya diri. “Aku bilang apa? Akhirnya mereka luluh,” ujar Axel seraya menepuk ringan ponsel di meja, dagunya terangkat. “Klien New York itu keras kepala, tapi aku bikin mereka lihat nilai jangka panjang. Closing. Hitam di atas putih.” Richard melirik istrinya, Elizabeth, lalu mengangguk bangga. “Kerja bagus, Nak. Kau menepati target.” Elizabeth tersenyum lembut. “Mamanya bangga. Kau tumbuh jadi pria yang tahu peluang.” Axel menyandar, menatap seluruh meja. “Kelak, aku akan jadi pewaris Ayah. Aku ini hebat, kan?” Di ujung meja, Lena menunduk, memecah roti panggangnya kecil-kecil. Ia tidak menanggapi. Pipinya hangat—bukan karena bangga pada suaminya, melainkan karena tatapan seorang pria di seberang: Neil. Setiap kali Lena tanpa sengaja melirik, Neil sudah lebih
Neil terdiam, menatap miliknya yang “terbangun”. Sementara Lena menelan ludahnya memandang “barang” yang masih tertutupi celana itu.Astaga.. besar sekali, dalam hati Lena berkata takjub. “Neil.. kau tidak apa-apa?” tanya Lena.Neil menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, biarkan saja.” Neil lalu kembali berbaring di samping Lena dan memandang Lena dengan penuh arti.“Ta-tapi… itu…” Lena menunjuk milik Neil lagi.Neil terkekeh pelan. “Sudah, biarkan saja!” lalu lelucon gila terlintas di otaknya, “atau kau mau membantuku?” godanya sambil tersenyum jahil. Lena terdiam sejenak hingga ia berkata. “Kau sudah melakukannya padaku, dan aku merasa harus membalasnya.”Wajah Neil mendadak menjadi serius. Ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Kau jangan merasa terpaksa begitu! Lebih baik tidak usah,” ucapnya.“Tapi… aku… tak ingin puas sendiri. Aku akan merasa bersalah jika tak membuatmu “keluar”. Lagipula.. aku hanya memegangnya, kan?Neil terhenyak sejenak hingga ia mengerti seperti apa p