Bab: Lampu yang Menyala Terlambat Ruang tamu itu gelap ketika Lena mengendap-endap masuk, berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya meraba-raba dinding. “Sial… di mana sih tombolnya? Nggak kelihatan lagi… ah, ketemu juga,” gumamnya. Klik. Cahaya kuning temaram menyiram ruangan. Lena berbalik—dan terlonjak. “Astaga!” serunya. “Bikin kaget saja!” Axel duduk santai di sofa, satu kaki naik ke meja, tangan menyilang di dada. Tatapannya tajam. “Heh, jelek… ngapain baru pulang malam-malam begini?” Lena mengerjapkan mata, menelan jantungnya yang nyaris copot. Ia menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Aku…,” ia pura-pura berpikir. “Memangnya kenapa? Tumben kamu mau tahu tentang aku.” Axel terkekeh jijik. “Kalau saja bukan karena orang tuaku, mana peduli aku sama cewek sejelek kau.” “Oh?” Lena mendongak. “Kalau begitu, nggak usah tahu aku ke mana. Aku pulang jam berapa juga nggak ada hubungannya sama kamu, kan?” Axel terhenyak sepersekian detik, lalu mengangkat alis. “Oh… berani juga
Setelah Axel dan Rachel pergi meninggalkan rumah itu, Lena berdiri lama di depan cermin. Dengan perasaan campur aduk, ia mulai menghapus “penyamaran jeleknya”. Bekas jerawat buatan ia hapus, daster lusuh ia ganti dengan gaun sederhana yang anggun. Rambut yang dikepang ia lepaskan, lalu ia tata indah, wajahnya ia poles sedikit riasan tipis—dan seketika, sosok wanita cantik memandang balik dari bayangan kaca.“Aku harus menemuinya… Neil pasti butuh aku,” gumamnya lirih sambil menggenggam sebuah kotak makanan yang sudah ia siapkan untuk sarapan Neil.Ia pun berangkat ke apartemen Neil. Namun begitu tiba di sana, ia merasa hampa. Ruangan itu sunyi. Lena mencari ke kamar mandi, ke dapur, bahkan membuka pintu balkon. “Neil?” panggilnya beberapa kali, tapi tak ada jawaban.Ia menghela napas panjang, menatap kotak makanan di tangannya. “Padahal… aku sudah bawakan sarapan untukmu,” bisiknya kecewa.---Malam datang. Lena duduk termenung di ruangannya di Selena’s Dream. Lampu neon warna-warni d
Wajah Lena merona hebat, pipinya panas seolah terbakar. Ia begitu malu sampai-sampai tanpa sadar mendorong dada Neil yang masih berbaring di ranjang. “Aduh…” Neil meringis kecil, tangannya refleks menyentuh dadanya. “Ma-maaf… aku tidak sengaja,” ucap Lena terbata-bata, wajahnya menunduk dalam-dalam. Neil terkekeh pelan, matanya menatap Lena dengan penuh godaan. “Iya, aku tahu. Kau bahkan terlihat makin manis saat gugup begitu.” “Jangan bercanda, Neil.” Lena mencoba mengalihkan tatapannya, namun semakin ia menghindar, semakin Neil tersenyum geli. Tiba-tiba pikiran Lena tersentak. Axel. Suaminya. Ia harus segera pulang. Jantungnya berdegup semakin cepat. “Neil, aku harus mengobatimu cepat-cepat. Aku harus segera pulang sebelum suamiku curiga,” kata Lena tergesa, suaranya bergetar. Neil menarik napas panjang, kali ini wajahnya terlihat lebih tenang. “Baiklah, aku mengerti. Aku tidak akan macam-macam lagi.” Dengan cekatan, Lena kembali fokus mengoleskan obat pada luka Neil. Tanga
“Halo? Apakah Tuan Neil River datang memesan room?” tanya Lena melalui telepon, suaranya terdengar cemas sekaligus berharap. “Tidak, Nona. Beliau belum datang.” jawab resepsionis sopan. “Oh… baiklah.” Lena menutup teleponnya dengan wajah lesu. Ia menunduk, jemarinya meremas ujung roknya. Kenapa ya dia tidak datang malam ini? pikirnya. Sepanjang malam Lena tidak beranjak dari ruang tunggu. Sesekali ia menoleh ke pintu, menunggu pintu terbuka dengan sosok yang ia harapkan muncul. Berkali-kali ia menelepon resepsionis hanya untuk memastikan. “Permisi, apakah Neil River sudah datang?” “Belum juga, Nona.” Wajah Lena makin muram. Hingga jarum jam menunjuk pukul dua belas malam, Neil tak kunjung datang. Dengan langkah gontai, Lena memutuskan pulang. Di parkiran, ia menekan kunci mobilnya. Mobil bututnya langsung menyala, lampu depan berkedip, dan suara klakson pendek terdengar dari kejauhan. Ia berjalan mendekat, tapi langkahnya mendadak terhenti. “Astaga… Neil!” teriaknya panik.
Sore itu, ruang keluarga rumah besar keluarga Richard terasa hangat. Karpet tebal membentang, aroma teh melati yang diseduh Elizabeth memenuhi udara. Lena duduk di sofa dengan penampilan sederhananya: kaos lusuh, celana longgar, rambut hanya diikat seadanya. Ia berusaha menunduk, tak ingin menatap Axel yang duduk di sampingnya dengan ekspresi malas.Richard membuka percakapan dengan nada serius namun penuh kehangatan.“Axel, Lena… ayah dan mama sudah memikirkan sesuatu untuk kalian.”Axel mengangkat alis, malas. “Apa lagi, Yah? Jangan bilang mau atur-atur hidupku lagi?”Elizabeth menepuk tangan Axel lembut. “Bukan begitu, sayang. Kami sudah menyiapkan rumah untuk kalian berdua. Supaya bisa tinggal mandiri.”Lena mendongak terkejut. “Ayah… mama… jangan repot-repot. Aku nyaman kok tinggal bersama kalian,” ucapnya pelan.Axel langsung menyeringai sinis. “Ya, lagian… siapa yang mau tinggal berdua dengan istri sejelek ini?”“Axel!” Richard membentak tajam. Suaranya membuat ruangan mendadak
Kamar itu sunyi. Hanya bunyi detik jam yang terdengar samar di antara kegelapan. Tirai menutup rapat, lampu hanya menyisakan cahaya temaram di sudut ruangan. Lena berbaring membelakangi Neil. Tubuhnya gelisah, tak karuan, menarik selimut lalu melemparkannya lagi. Nafasnya berat, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak. Neil membuka matanya, memperhatikan punggung Lena yang bergerak resah. Perlahan ia menggeser tubuhnya, lalu tiba-tiba merangkul Lena dari belakang. “Neil… apa yang kau lakukan?” Lena langsung bangkit, menepis tangan Neil. Wajahnya tegang. Neil mengangkat alis, tetap tenang. “Kenapa? Kau dari tadi gelisah begitu.” “Tidak sadarkah kau kalau kau yang membuatku gelisah begini?” Sergah Lena, matanya menatap Neil penuh emosi. Neil menghela nafas. “Lalu bagaimana? Kau mau aku tidur di luar dan Nenekmu melihatnya?” Lena terdiam. Kata-kata Neil ada benarnya. Ia hanya menggigit bibir, tak tahu harus menjawab apa. “Tidak bisakah kau bersikap biasa saja?” tanya Lena liri