Share

Bab 5 Malam Mencekam

Author: J Shara
last update Huling Na-update: 2025-08-12 18:41:11

Malam telah menelan kota dalam sunyi yang mencekam. Di balik meja yang penuh tumpukan berkas dan cahaya laptop, Lena duduk menunduk. Matanya menyapu deretan angka di laporan audit—kelelahan jelas tergambar di wajahnya, namun tekad membuatnya terus bertahan.

Ia melirik jam dinding. 22.47.

Hampir pukul sebelas, tetapi tak ada satu pun panggilan dari manajer untuk menemaninya menghadapi tamu tetap mereka yang terkenal arogan.

Malam ini, ponselnya tetap sepi. Tidak ada notifikasi. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar.

Lena menggigit bibir bawahnya, lalu meraih telepon meja.

"Resepsionis?" Suara lembut dan sopan terdengar di ujung sana.

"Ya, Nona?"

"Tuan Niel datang malam ini? Dengan asistennya?" tanya Lena sambil berjalan menuju jendela besar, menatap kota yang gelap gulita.

"Ya, Bu. Sejak sekitar pukul setengah sepuluh beliau sudah memesan ruang VIP, seperti biasa."

"Oh… baik. Terima kasih infonya."

Lena menutup telepon dan menarik napas panjang. Aneh. Biasanya dia selalu memanggilnya untuk menemani. Kenapa malam ini tidak?

Apa dia bersama orang lain—selain asistennya?

Pikiran itu menyusup begitu saja, menusuk benaknya seperti serpihan kaca kecil. Tapi Lena menggeleng cepat. Ia memaksa dirinya kembali duduk, menyelesaikan pekerjaan terakhirnya.

00.03.

Berkas-berkas sudah rapi, laptop ia masukkan ke dalam tas, lalu ia menuju basement untuk mengambil mobilnya. Malam ini ia menyetir sendiri. Suzy memutuskan tinggal, katanya, “Aku cuma mau malam yang tenang, jauh dari semua orang.”

Mobil sedan tua warna perak melaju pelan menembus jalan kota yang sepi. Lampu jalan redup, langit gelap tanpa bintang. Namun di tengah perjalanan, mesin tiba-tiba batuk, tersendat—lalu mati total.

"Ya ampun… jangan sekarang," desis Lena frustasi. Ia memutar kunci, mencoba menyalakan kembali—sia-sia.

Ia keluar, membuka kap mesin, dan menatap kosong ke dalamnya—walau ia nyaris tak paham apa yang ia lihat. Beberapa kabel, uap tipis, dan bau oli membuatnya mengerutkan kening.

"Aduh… kenapa lagi, sih…" bisiknya pada mobil peninggalan orang tuanya itu.

Sekelilingnya hanya pepohonan dan jalan sepi. Tak ada mobil lewat. Tak ada suara manusia. Hanya desir angin di sela daun dan lolongan anjing di kejauhan.

Lena merinding—bukan karena dingin, tapi karena rasa was-was yang tiba-tiba merayap.

Lalu—seberkas cahaya muncul dari kejauhan. Sebuah mobil mendekat, lampu depannya menyorot langsung ke arah Lena dan kendaraannya yang mogok. Nalurinya membuatnya melangkah ke tengah jalan, mengangkat kedua tangan.

Mobil itu melambat, lalu berhenti tepat di depannya. Bodinya hitam legam, berkilau di bawah sinar bulan. BMW. Lena langsung mengenalinya.

Pintu pengemudi terbuka, menampakkan sosok tinggi berjas hitam, sorot matanya tajam dengan sedikit keterkejutan.

Mata Lena membesar.

“Niel?” ujarnya tak percaya.

Udara malam yang dingin merayap masuk, menyusup di balik gaun bodycon panjang yang membalut lekuk tubuhnya. Ia masih berdiri di tengah jalan, tak jauh dari mobil tuanya yang mogok. Niel, tinggi dan selalu tampak mengendalikan keadaan, berdiri beberapa langkah darinya, tatapan tajamnya tak lepas dari wajah Lena.

Sesaat, hanya suara daun berdesir dan angin yang berbisik di antara mereka.

Niel mengalihkan pandangan ke arah mobil Lena. Kapnya masih terbuka, uap tipis mengepul.

“Mobilku mogok,” kata Lena akhirnya, berusaha terdengar santai meski tubuhnya mulai bergetar.

Tanpa banyak bicara, Niel melangkah ke arah mesin, memeriksa bagian dalam. Tangannya bergerak cepat, memeriksa kabel, menekan beberapa bagian, lalu menghela napas panjang.

“Harus dibawa ke bengkel,” ucapnya datar.

Lena melangkah mendekat. “Tapi… ini tengah malam. Mana ada bengkel buka sekarang?”

Niel menutup kap mobil dengan suara pelan, lalu menatapnya.

“Kalau begitu… aku bisa antar kamu pulang.”

Alis Lena terangkat, sedikit lega. “Serius? Kalau begitu… terima kasih.”

Niel tak menjawab. Ia hanya berjalan kembali ke BMW-nya. Lena mengikutinya dan duduk di kursi penumpang depan. Interior mobil hangat, nyaman, dengan aroma kayu manis yang khas. Tapi malam ini, ada sesuatu di udara yang terasa lebih tegang dari biasanya.

Niel masih memegang kemudi, tapi belum menyalakan mesin. Lena meliriknya.

“Apa kita… lagi nunggu sesuatu?” tanyanya setengah bercanda, setengah gugup.

Niel menyunggingkan senyum tipis—samar, licin, dan sulit dibaca. “Sayang sekali, Nona Selena,” ujarnya pelan. “Ini tidak gratis.”

Kening Lena berkerut. “Maksud kamu?”

“Kamu harus membayarnya,” jawab Niel, matanya menembus tenang Lena seperti pisau. “Tapi dengan cara yang bisa memuaskanku.”

Jantung Lena berdegup kencang. Ia duduk tegak, mencoba menebak nada di balik ucapannya. “Tuan Niel… kamu ngomong apa sih?”

Sebelum ia sempat menuntaskan kalimatnya, Niel bergerak cepat. Tangannya mencengkeram tengkuk Lena, menariknya mendekat—dan bibirnya menempel pada bibirnya.

Ciuman itu bukan salam. Bukan rindu. Itu sebuah klaim. Menuntut. Memaksa.

Lena membeku, tubuhnya kaku beberapa detik, sebelum tangannya mendorong dada Niel sekuat tenaga.

“Niel!” serunya terengah. “Kamu ngapain?!”

Niel menatapnya—tajam, tapi tetap tenang. “Membuatmu mengerti.”

Tubuh Lena bergetar. “Apa kau pikir aku perempuan yang bisa kamu perlakukan seperti itu—”

“Kamu bukan perempuan biasa,” potong Niel dengan suara setajam silet. “Itu justru yang membuatmu berbahaya. Dan aku penasaran untuk mencicipimu.”

Plak!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 142 Kabar Baru dan Kedatangan Tak Terduga

    Udara sore di halaman rumah Nenek Vero terasa hangat, dengan aroma bunga kamboja yang tertiup angin. Lena dan Neil berjalan berdampingan menuju teras, dan sebelum mereka sempat mengetuk, pintu sudah terbuka.“Lena! Neil! Masuk, masuk!” seru Nenek Vero dengan suara riang. Raut wajahnya yang penuh keriput tampak lebih cerah dari biasanya.Lena tersenyum lalu mendekat, memeluk wanita tua itu.“Kami merindukan Nenek,” katanya lembut.“Astaga, kalian makin glowing saja. Apa kabar? Ayo duduk dulu,” ujar Nenek Vero sambil menggandeng lengan Lena dan menuntunnya masuk.Mereka duduk di ruang tamu yang hangat, dengan secangkir teh melati mengepul di meja.Setelah obrolan ringan, Nenek Vero tiba-tiba menghela napas bahagia.“Ada kabar besar… Selena hamil!”Lena membelalakkan mata, tetapi senyumnya mengembang.“Benarkah, Nek? Wah, kabar bagus.”Nenek Vero mengangguk heboh.“Iya! Dia baru bilang semalam. Nenek hampir menangis saking bahagianya. Ah… keluarga kita tambah besar.”Lena saling pandang

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 141 Kabar Bahagia

    Pagi itu, aroma tumisan bawang yang biasanya memenuhi dapur apartemen mereka terasa berbeda bagi Lena. Begitu uap panas itu menyentuh hidungnya, perutnya langsung bergejolak. Ia menutup mulut, menahan rasa mual yang datang tiba-tiba, namun tak tertahankan—hingga akhirnya ia berlari menuju wastafel.“Ugh…” Lena membungkuk sambil memegangi pinggiran wastafel, pundaknya bergetar saat ia memuntahkan isi perutnya yang nyaris kosong.Suara langkah cepat terdengar di belakangnya. “Lena? Lena, kamu sakit?” Neil langsung menghampirinya dan berdiri di sisinya, menepuk punggungnya pelan.Lena menggeleng perlahan, meski matanya berkaca-kaca. “Aku cuma mual… setiap cium bau tumisan. Aku baik-baik saja kok,” katanya dengan suara lemah, masih berusaha berdiri tegak.Neil meraih beberapa tisu dan mengelap wajah Lena yang basah. “Kalau begitu tiduran saja dulu. Jangan dipaksakan.”“Tapi… sarapanmu—”“Sudah,” potong Neil sambil tersenyum tipis. “Jangan memaksakan diri. Kalau kamu nggak tahan dengan wan

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 140 Kedatangan Tak Diundang

    Pagi berikutnya, udara masih dingin saat Lena bangun lebih awal. Neil masih tertidur di sampingnya, napasnya tenang, lengan hangatnya memeluknya semalaman seolah takut kehilangan.Lena perlahan bangkit, tidak ingin membangunkannya. Ia membuat sarapan sederhana—roti panggang, telur mata sapi, dan kopi hitam kesukaan Neil. Wangi kopi memenuhi apartemen, menenangkan kegelisahan yang sempat mengisi malam sebelumnya.Namun kedamaian itu hanya bertahan sampai bel apartemen berbunyi keras.DING-DONG — DING-DONG — DING-DONG.Seakan seseorang memencetnya tidak sabar.Lena menoleh cepat ke arah pintu. Suara itu kasar, jauh berbeda dengan ketukan Elizabeth yang lembut kemarin.Neil terbangun, meraih kaus di sisi ranjang dan berdiri.“Siapa pagi-pagi begini?”Lena menggeleng.“Aku juga tidak tahu.”Neil berjalan ke pintu dengan raut wajah serius. Ia membuka—dan tubuhnya menegang.Richard.Pria itu berdiri dengan jas rapi, wajahnya penuh percaya diri, namun mata tajamnya membawa aura ancaman.“Pag

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 139 Bersamamu

    Apartemen terasa jauh lebih sunyi ketika Lena menutup pintu terakhir kali. Langkah Elizabeth perlahan hilang di balik lorong apartemen, menyisakan ruang tamu yang kini terasa dingin.Lena masih berdiri di sana beberapa detik, menenangkan diri, sebelum akhirnya ia beranjak merapikan cangkir teh yang masih hangat.Beberapa jam kemudian, pintu apartemen kembali terdengar terbuka. Lena menoleh.Neil masuk sambil menggosok lehernya yang pegal. Jaketnya setengah terbuka, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Namun begitu melihat Lena, laki-laki itu tersenyum kecil.“Hai, sayang.”Ia mendekat mencium kening Lena ringan.Lena membalas senyum, tapi bukan senyum penuh seperti biasanya.Neil langsung menyadarinya.Mata itu—selalu bisa membaca Lena tanpa kata.“Ada apa?”Suara Neil merendah. Serius.Lena menghela napas. Ia meletakkan gelas-gelas di meja, lalu menatap Neil dengan hati-hati.“Mama datang tadi.”Neil terdiam.Sedetik. Dua detik. Tiga.Sorot matanya berubah. Hangat yang t

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 138 Permintaan Mantan Mertua

    Cahaya jingga sore menerobos melalui tirai apartemen, menebarkan bayangan hangat di lantai kayu. Lena baru saja selesai menyiram tanaman balkon ketika bel apartemen berbunyi.Ding-dong.Ia mengecek melalui lubang intip, dan napasnya terhenti sesaat.Elizabeth.Mantan mertuanya. Seseorang yang dulu begitu ia hormati dan cintai layaknya ibu kandung sendiri—dan hingga kini, ia masih sulit menghapus perasaan hormat itu.Lena merapikan rambutnya cepat, kemudian membuka pintu dengan senyum tipis.“Mama…?”Elizabeth berdiri anggun, mengenakan mantel cokelat yang serasi dengan scarf lembut di lehernya. Senyum ramah terbit di bibirnya, meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak dapat langsung Lena baca.“Hai sayang.”Lena mempersilakan masuk tanpa ragu. Aroma parfum Elizabeth mengisi ruang tamu bersamaan dengan kehadirannya, membawa sedikit memori lama yang pernah begitu berarti.“Duduk Ma… aku siapkan minuman dulu ya.”“Terima kasih, Lena.”Lena bergerak ke dapur kecil. Ia menyiapkan teh

  • Hasrat Terlarang Paman Suamiku   Bab 137 Percikan Luka Lama

    Aroma kopi dan wangi parfum mahal bercampur di lobby perusahaan itu saat jam makan siang usai. Suasana sibuk, namun terasa hangat ketika Neil dan Lena berjalan berdampingan keluar lift. Senyum Lena masih tersisa setelah makan siang barusan—momen sederhana yang terasa seperti jeda damai dari hidupnya yang berantakan belakangan ini.Neil menyadari senyum itu, lalu bertanya pelan,“Yakin tidak mau aku antar pulang?”Lena menggeleng sambil memeluk tas di lengannya.“Tidak usah, aku bawa mobil sendiri kok.”Nada suaranya lembut, namun tegas. Ia tidak ingin merepotkan Neil, meski jauh di dalam hatinya, ia selalu merasa aman saat pria itu berada di dekatnya.Neil mengangguk. Tatapannya penuh sayang—yang selalu membuat Lena merasa salah karena pernah menjadi bagian keluarga yang kini membencinya.Tiba-tiba sebuah suara memecah ketenangan.“Neil!”Mereka serempak menoleh.Dan di sana berdiri seseorang yang membuat kaki Lena terasa lemas—Richard River, mantan mertua Lena, sekaligus kakak dari N

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status