Mobil hitam melaju kencang membelah jalan sempit berbatu, seperti ular hitam melata di antara hutan bambu dan ilalang tinggi yang bergoyang ditiup angin sore. Suara gesekan ban dengan kerikil tajam bersahutan dengan desingan angin yang menambah kesan mencekam. Seakan alam pun ikut membungkam, menutup mata atas apa yang terjadi.Di dalam mobil, tubuh Nayya terguncang pelan seiring kecepatan mobil. Ia masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat dan terlihat kontras dengan darah kering di sudut bibirnya. Rambutnya berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang sayu.“Cek belakang. Ada yang ikutin kita atau tidak?” tanya si botak tanpa menoleh.Pria kurus menengok lewat kaca spion, matanya waspada. “Aman. Tapi kita harus cepet. Bos nggak suka kalau sampai ada yang ngendus jejak kita.”Tak lama, mobil berbelok tajam, masuk ke lorong tersembunyi di antara semak-semak. Gerbang besi tua menyambut mereka, bergemeretak saat terbuka, seperti menyambut iblis yang pulang ke rumah.Di balik gerbang, berdi
Nayya membuka sedikit kaca jendela, lalu memanggil Galen yang sedang sibuk di dekat ban mobil.“Galen, mobilnya kenapa?” tanyanya dari dalam mobil. Suaranya sedikit cemas.Galen menoleh, menyeka keringat dari pelipisnya. “Ban depan kita pecah, kayaknya kena sesuatu tadi di jalan.”Nayya membuka pintu, tapi belum sempat turun, Galen sudah menghampirinya dan mengangkat tangan memberi isyarat agar ia tetap di tempat.“Gak usah turun! Kamu tunggu aja di dalam, ya! Aku mau cek, siapa tahu ada bengkel deket sini. Gak jauh kok,” jelas Galen sambil memastikan semua aman.Nayya mengangguk pelan. “Terus... kamu tinggalin aku sendiri?”Galen tersenyum, meski wajahnya mulai terlihat sedikit tegang. “Enggak lama. Aku cuma jalan sebentar ke ujung sana. Kayaknya ada warung, mungkin mereka tahu bengkel sekitar sini. Kalau ada apa-apa kamu langsung telfon aku aja! Okey!"“Kalau ada orang asing yang dekati mobil, jangan buka kaca! Jangan buka pintu! Tunggu aku balik, ya!" Galen kembali menasehati, tapi
Di dalam mobil, Galen melirik sekilas ke arah Nayya yang sibuk memeriksa hasil print USG-nya. "Bagaimana kalau kita ke mall sebenta?" tanya Galen ringan. "Aku butuh beberapa bahan makanan. Stok sudah hampir habis soalnya." Nayya menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Boleh. Aku juga pengin beli bantal tidur ibu hamil." Galen mengangguk. "Kamu mau makan sesuatu?" Nayya mengerutkan keningnya. Akhir-akhir ini dia tidak begitu tertarik dengan makan-makanan berat. "Tomyum, mungkin enak." “Tentu, Chef Galen siap melayani,” jawab Galen dengan gaya sok serius yang membuat Nayya tertawa kecil. Mereka pun mampir ke minimarket besar di dalam mall. Keduanya berjalan berdampingan menyusuri lorong demi lorong. Galen mendorong keranjang belanjaan sambil sesekali menunjuk beberapa bahan makanan dan bertanya, “Ini kamu bisa makan gak? Atau malah bikin enek?” “Hmm... kayaknya oke,” jawab Nayya, mengambil satu bungkus oatmeal instan. “Kita coba beli ini deh.” Galen juga mengambil buah-buahan dan
"Semuanya baik, ya, Dok?” tanya Nayya hati-hati. Dokter tersenyum. “Iya, sejauh ini janinnya sehat. Cuma... berat badannya agak di bawah rata-rata. Sekarang masuk minggu ke-12, ya?” Nayya mengangguk. “Iya, dok. Tapi... saya memang makannya agak susah belakangan ini. Mual terus. Kadang udah masak, tapi pas mau makan malah enek sendiri.” Dokter mengangguk maklum. “Itu wajar, kok. Trimester pertama memang biasanya seperti itu. Perubahan hormon bisa bikin selera makan turun, apalagi kalau sensitif sama bau atau tekstur makanan tertentu.” “Terus... apa bisa dikejar BB-nya, dok?” Galen ikut bicara, nada suaranya sedikit cemas. “Bisa banget,” jawab dokter dengan tenang. “Biasanya mulai trimester kedua, mual-mualnya berkurang, dan nafsu makan mulai naik. Tapi untuk sementara, coba konsumsi makanan yang ringan tapi bergizi.” “Contohnya, dok?” tanya Nayya. “Kalau kamu nggak bisa makan nasi, bisa diganti kentang, roti gandum, atau bubur. Coba juga smoothies buah segar, yoghurt, atau
“Kalau dia masih di sini... aku harap dia tahu, betapa berharganya dia buatku.”Tatapan Galen masih mengunci wajah Nayya yang memerah, entah karena apa. Mungkin— kesal. Dan meskipun sadar kalau dia bisa saja membuat Nayya marah, Galen tampaknya tidak berniat untuk berhenti menggoda Nayya.Senyumnya melebar, kali ini lebih nakal. “Dia itu cinta pertamaku, Nay. Dia cantik, lucu, dan sangat menggemaskan.""Oh."Respon singkat Nayya semakin membuat Galen tak kuasa menahan senyumnya. "Kamu gak cemburu kan kalau puji dia terus-menerus?"Nayya mengerjap, lalu dengan cepat memalingkan wajah. “Hah? Cemburu? Nggak tuh. Lagian terserah kamu mau puji-puji dia atau gimana. Aku sih bodoamat.”Galen menyandarkan dagunya di tangan, ekspresinya penuh selidik. “Tapi bahasa tubuh kamu sangat menjelaskan kalau kamu cemburu."“Galen,” potong Nayya, suaranya mulai terdengar jengah, “Jangan mulai, deh.”“Kenapa?” Galen terkekeh pelan.
Rico mendengus pelan, namun kali ini tak ada ejekan di wajahnya—hanya ketulusan. "Kamu bener-bener..."Galen hanya menatap lawan bicaranya dalam diam. “Kamu bisa nutupin identitas sebagai anak konglomerat, nutupin luka kamu karena ditinggal, dan nutupin perasaan kamu selama bertahun-tahun.” Rico menggeleng pelan. “Aku salut, serius.”Galen menatap jendela kafe yang memantulkan bayangannya sendiri. “Tapi gak selamanya bisa aku seperti ini Rico. Akan ada waktunya. Dan ketika waktunya datang... Aku harap Nayya mau menerimaku."“Dan kalau dia gak bisa nerima?”Galen terdiam sesaat, lalu menarik napas panjang.“Mungkin memang kita gak berjodoh di urusan asmara, dan siapa tau jodoh kita di pekerjaan. Ya kan?”Rico terdiam. Untuk pertama kalinya, dia kehabisan kata-kata.Galen melihat jam tangannya, lalu berdiri. “Aku balik dulu. Aku tidak mau Nayya curiga.”Rico ikut berdiri. “Terus Papa gimana? Aku harus bilang apa ke dia?"“Untuk sekarang, coba cari alasan lain yang lebih tepat," jawab G