로그인Arloji Greg yang diletakkan di atas nakas menunjukkan pukul 03.32. Notting Hill belum menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Cahaya lampu dari balkon kamar Tara menyelinap melalui celah tirai linen, membentuk siluet di ruang yang temaram. Aroma hujan pun merambat masuk, menyamarkan sisa pergumulan semalam. Bunyi gemerisik dari dedaunan pohon maple yang dihembus angin membangunkan Greg. Pria itu mengerjap sebelum membuka matanya lebih lebar. Berat tubuh seseorang yang menghimpit lengannya membuatnya menoleh. Senyum samar terbit saat penglihatannya mendapati Tara yang terlelap di dada telanjangnya. Napas wanita itu halus dan teratur. Tanpa tanda serangan panik. Wajahnya letih, tetapi puas. Seolah-olah malam tadi menjadi pelepasan dari beban mental, alih-alih hukuman. Pemikiran itu sempat menenangkan Greg. Bukan membuatnya merasa kehilangan kendali atas alur yang ingin dia ciptakan. Namun, pemahaman lain menyusul datang. Bagaimana jika yang mereka lakukan tidak menyembuhkan, jus
Pukul 03.14 pagi di sebuah apartemen mewah di kawasan Canary Wharf, seorang pria berusia akhir empat puluh tahun duduk menghadap meja besar. Punggungnya membelakangi jendela yang terbuka lebar. Piyama sutra berwarna gelap yang dipakainya basah dan menempel di dada. Angin kencang, yang membersamai gerimis kecil, meniup jauh tirai panjang dari floor-to-ceiling window. Menampar-nampar daun jendela ke kanan dan ke kiri, menimbulkan bunyi derit dan tumbukan. Juga menerbangkan lembaran kertas yang semula diletakkan di sudut meja hingga jatuh ke karpet kasmir. Ian Locke, nama pria tadi, tidak bereaksi. Tidak beranjak. Tidak bergerak sedikitpun. Seperti terlalu dalam tenggelam pada naskah fiksi yang harus diselesaikannya. Di ruangan sebelah, di atas ranjang king size, Lana, istrinya, baru saja terjaga dari tidur. Wanita itu mengerjap, bergelung, tetapi tidak langsung beranjak. Pemberitaan dan pembicaraan mengenai Clarissa Maynard pelan menyusup lagi. Membawa perasaan ngeri yang sulit
Perpaduan asing antara derap menyenangkan dan berbahaya kian menyesaki ruang dadanya. Napas Tara memendek. Matanya bergerak cepat, berkaca-kaca, mencari kemarahan di mata Greg. Sesuatu yang mungkin bisa menghancurkannya detik ini juga. Dan… yang Tara takutkan, sekaligus anehnya dia harapkan, terjadi. Ditemukannya bara itu menatap di balik gairah yang tak mungkin bisa dipalsukan. Sebuah kebenaran yang membuat Tara meneguk ludah. Bibirnya, yang membengkak karena kelakuan Greg, bergetar saat mencoba mengeluarkan suara. “Aku… Aku lebih suka… ini… Sir…” Kata-kata itu meluncur begitu saja, mengkhianatinya, sebelum Tara sempat mempertimbangkannya. Tara bisa saja menganggap bahwa dirinya tengah dijebak. Ditarik ke dalam interogasi di luar aturan tanpa persetujuan penuh. Akan tetapi, wanita itu memilih bersandar pada harapan bahwa sensasi yang mereka bagi adalah kebenaran yang lebih nyata. Dengan putus asa, Tara memajukan wajahnya. Mencium bibir Greg. Mencoba menyeret sang detektif kelu
Malam makin larut ketika hujan melambat. Bunyi ritmis yang membentur jalanan di luar apartemen selaras dengan gemercik air di kamar mandi Tara. Uap panas mengepul memenuhi penglihatan di bawah cahaya putih lampu. Menyelimuti dua tubuh yang saling melekat dihujani titik air dari pancuran. Niat membersihkan diri setelah sempat tertidur mengabu oleh bara yang belum padam sepenuhnya. Punggung Tara menempel di permukaan dinginnya dinding keramik. Wajahnya terangkat. Matanya terpejam. Jantungnya berdetak liar hingga napasnya tersengal. Suara patah-patah mengalun dari mulutnya yang membuka. Bukan karena deraan air, melainkan… karena terjangan ekstasi yang berpusat di sentuhan Greg. Pria itu masih berlutut di hadapannya. Menerobos semua batasan. Menguasai. Mengendalikan. Menyiksa Tara dengan sapuan yang basah, dalam, dan penuh determinasi tanpa ampun. Jerit tak tertahan terurai dari mulut Tara. Sengatan memabukkan merayap naik dari bawah perut, sebelum meledak dan merepih di puncak kep
Hujan belum berhenti ketika mereka sampai di depan gedung apartemen Tara. Lampu jalan memantulkan cahaya ke permukaan basah trotoar, menciptakan gemerlap redup seperti pecahan kaca. Sebelum Greg sempat turun, Tara sudah lebih dulu membuka pintu dan melangkah keluar. Gerakannya cepat. Nyaris berlari. Seperti tergesa mencari pasokan oksigen yang sudah menipis di dalam mobil. Greg mengikutinya tanpa mengatakan apapun. Hanya langkah sepatu mereka di tangga sempit yang bergema di antara dinding lembap. Di tiap anak tangga, Tara merasakan kehadiran Greg di belakangnya. Panas. Berat. Seperti bayangan api yang enggan berpisah darinya. Setiap langkah terasa bagaikan pertarungan. Sebagian dirinya ingin Greg berhenti di bawah, membiarkan jarak menjadi pelindung. Akan tetapi, sebagian lainnya, yang lebih dalam, lebih jujur, justru berharap Greg menyusul, meniadakan jarak itu sepenuhnya. Di depan pintu apartemennya, Tara berhenti. Jemarinya gemetar pelan saat mencari kunci di dalam tas. Hujan
Rintik yang berjatuhan di atap mobil mendatangkan bunyi riuh yang berat. Seakan ingin menyamarkan dua detak jantung yang sama-sama ricuh. Sementara itu, udara di kabin terasa seperti uap tebal yang panas. Dua napas di dalamnya tertahan lebih dari seharusnya. Bukan karena sisa tembakau atau aroma hujan yang melayang-layang di penciuman. Melainkan karena sesuatu yang lain. Greg merogoh saku bagian belakang celana jeans-nya, mengambil dompet untuk menaruh kartu identitas yang tadi sempat dia keluarkan di perpustakaan. Gerakannya tenang tetapi cukup membuat Tara menoleh. Mengikuti arah gerakan tangan Greg, wanita itu memindai ke bawah. Pandangannya tanpa sengaja terjatuh pada sebilah logam hitam yang terselip di pinggang pria itu. Lalu, ketika dompet kulit Greg terbuka di pangkuan, perhatiannya tertahan lebih lama. Selembar kemasan tipis berwarna keperakan mengintip di sela sekatnya. Seketika darah Tara berdesir. Dua benda itu adalah hal lumrah bagi seorang polisi sekaligus seorang







