Ayla tidak ingin berlama-lama di ruangan ini. Setelah menyelesaikan tanda tangannya, ia langsung berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah cepat menuju pintu tanpa menoleh ke belakang.
Victor mengangkat alis, sudut bibirnya sedikit terangkat saat melihat sikap Ayla yang begitu ingin kabur darinya. Ia tidak terburu-buru, tapi tatapan matanya tetap tertuju pada sosok wanita itu yang semakin menjauh. Darren mengamati keduanya dengan minat. “Jangan terlalu keras padanya, Victor.” Victor hanya tersenyum miring sebelum beranjak dari kursinya. “Aku tidak perlu berusaha. Dia yang selalu melawan.” Tanpa menunggu lebih lama, ia mengikuti Ayla keluar. Sesampainya di depan lift, Ayla menekan tombol lift berulang kali, berharap pintu besi itu segera terbuka. Ia tahu Victor akan menyusulnya, dan ia tidak ingin satu ruangan dengan pria itu lebih lama lagi. Pintu lift berdenting dan terbuka. Ayla pun langsung melangkah masuk. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, sebuah tangan besar menahannya. Victor. Sial. Ia masuk dengan santai, membiarkan pintu menutup di belakang mereka, mengunci mereka dalam ruang sempit itu. “Kenapa buru-buru?” tanyanya ringan, suaranya rendah dan dalam, tapi ada sesuatu di balik nada itu yang membuat Ayla semakin waspada. Ayla menghembuskan napas tajam. “Aku tidak punya alasan untuk berlama-lama di tempat yang sama denganmu.” Victor tertawa kecil. “Oh? Kupikir kau baru saja menandatangani kontrak untuk selalu ada di dekatku.” Ayla mengeratkan genggamannya pada tali tasnya, menahan dorongan untuk menghantamkan sesuatu ke kepala pria itu. Lift mulai bergerak turun. Suasana sunyi menyelimuti, hanya ada suara pelan dari mesin di atas mereka. Sementara Victor bersandar pada dinding lift, memperhatikannya tanpa malu-malu. “Kau tidak bertanya kenapa aku memilihmu?” Ayla menoleh tajam. “Aku tidak peduli.” Victor tersenyum kecil, matanya berkilat. “Aku tidak percaya itu.” Ayla ingin membalas, tetapi tiba-tiba, lampu lift berkedip. Seketika, lift berguncang keras, membuat Ayla hampir kehilangan keseimbangan. Alarm berbunyi nyaring, lalu— Lift berhenti. Lampu berubah redup, hanya menyisakan cahaya darurat yang berpendar lemah. Dada Ayla mencelos. Ia menekan tombol darurat berulang kali, tapi tidak ada respons. “Jangan panik,” suara Victor terdengar stabil, meskipun ia sendiri kini berdiri tegak, wajahnya lebih serius. Ayla menatapnya tajam. “Jangan panik? Serius? Kita terjebak di lift!” Victor mengangkat bahu. “Kita tidak akan lama di sini.” Ayla menekan tombol interkom, berharap ada teknisi yang merespons. Tetapi sebelum ada jawaban, lift berguncang sekali lagi—lebih keras kali ini. Refleks, Ayla tersandung ke belakang. Dalam sepersekian detik, tangan Victor menangkapnya, menariknya ke dalam genggamannya. Dada Ayla nyaris bertemu dengan dadanya. Jantungnya berdebar lebih cepat—bukan karena lift yang macet, tetapi karena kedekatan ini. Ia segera mendorong Victor menjauh, tetapi pria itu tidak melepaskan tangannya. “Apa yang kau lakukan?” desis Ayla, matanya menyalang. Victor menatapnya, masih menggenggam pergelangan tangannya erat. “Menyelamatkanmu.” Ayla menghela napas kasar, mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Victor terlalu kuat. “Lepaskan.” Victor menatapnya sesaat sebelum akhirnya melepaskan cengkeramannya perlahan. “Kau baik-baik saja?” Ayla mendengus. “Aku akan lebih baik jika kita keluar dari sini.” Lift berguncang lagi, kali ini lebih kecil. Beberapa detik kemudian, suara dari interkom akhirnya terdengar. “Maaf atas gangguannya. Ada sedikit gangguan teknis, tetapi lift akan kembali beroperasi dalam beberapa menit.” Ayla menghembuskan napas lega, tetapi ketika ia melirik ke samping, ia mendapati Victor masih menatapnya. “Kenapa menatapku seperti itu?” geramnya. Victor menurunkan suaranya, nyaris seperti bisikan. “Tidak, hanya kau masih terlihat sama.” Sebuah ketegangan baru mengisi ruang sempit di antara mereka, lebih pekat daripada sekadar lift yang rusak. Dan Ayla sadar, terjebak dalam lift ini bersama Victor adalah awal dari masalah yang lebih besar. “Tentang tiga tahun lalu, aku—” “Stop!” Ayla langsung memotong sebelum Victor sempat menyelesaikan kalimatnya. Tatapannya tajam, penuh ketegasan. “Apa pun yang ingin kau katakan, aku tidak tertarik. Itu masa lalu.” Ayla menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Sekarang, kau dan aku tidak ada hubungan apa pun selain manajer dan talent.” Victor menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit ditebak. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia menipiskan bibir, matanya berkilat samar—entah karena frustrasi atau sesuatu yang lain.Keheningan di dalam lift begitu pekat hingga Ayla bisa mendengar detak jantungnya sendiri, keras dan tidak beraturan. Napasnya pendek, tersengal, seakan oksigen di dalam ruangan sempit itu menghilang begitu saja.Ia berdiri kaku, punggung menempel pada dinding logam dingin, kedua tangan mengepal erat di sisi tubuhnya.'Tidak, tidak, tidak... Kenapa harus sekarang?'Matanya melirik sekilas ke arah Victor melalui sudut mata. Pria itu berdiri tak jauh darinya, begitu dekat hingga keberadaannya terasa menyesakkan.Aroma kayu cendana bercampur mint dari tubuh Victor menyerbu indranya—aroma yang dulu selalu membuatnya tenang, tetapi kini justru mengaduk-aduk perasaannya. Tangannya mencengkeram ponsel erat, seolah benda kecil itu bisa menjadi jangkar yang menahannya tetap waras.Tiba-tiba, lampu lift berkedip satu kali—sebentar, tetapi cukup membuat jantung Ayla melompat panik. Ia menahan napas, merasa sesak oleh bayangan masa lalu yang berputar tanpa ampun di kepalanya.'Kumohon!'Suara mek
Ayla memacu mobilnya tanpa arah yang jelas. Hujan rintik mulai turun, membasahi kaca depan mobilnya, menciptakan pola acak yang segera dihapus oleh sapuan wiper. Napasnya masih belum stabil, pikirannya masih dipenuhi kekacauan setelah pertemuannya dengan Victor.Ia mengeraskan genggaman pada kemudi, berusaha mengabaikan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Hanya satu tempat yang terpikir olehnya.Panti Asuhan Melati.Tempat yang dulu selalu menjadi pelariannya. Tempat yang dulu menjadi rumahnya sebelum ia diadopsi oleh pasangan suami istri yang penuh kasih sayang. Orang tua angkatnya telah lama tiada, dan sejak itu, ia jarang kembali ke panti. Namun, malam ini... ia ingin kembali.Ayla menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Namun sebelum menuju ke sana, ia membelokkan mobilnya ke sebuah toko roti di pinggir jalan. Tangannya meraih payung yang tergeletak di kursi penumpang, lalu keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju toko.Bau roti yang baru dipanggang langsung meny
Ayla tiba di apartemennya tepat pukul sepuluh malam. Begitu ia membuka pintu, lampu otomatis menyala, menerangi ruangan dengan cahaya putih lembut. Kilatan sinarnya memantul di lantai marmer yang dingin, sementara bayangannya sendiri tampak samar di dinding. Suasana apartemen terasa sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar menggema di dalam ruangan.Tangannya terangkat ke leher, memijat pelan titik-titik tegang yang terasa kaku. Tanpa melepas mantel, ia berjalan menuju pantry. Kulkas terbuka dengan suara desisan halus saat ia menarik pegangan pintunya. Udara dingin menyentuh wajahnya, sementara matanya mencari sesuatu yang bisa sedikit menenangkan pikirannya.Susu vanila.Ayla mengambil botol kaca itu dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Aroma manisnya samar-samar menguar, tetapi tidak cukup untuk meredakan gejolak yang masih berkecamuk di dalam dadanya. Ia menghela napas, menatap cairan putih itu sesaat sebelum menggenggam gelas dengan lebih erat.Besok, ia akan bertemu dengan
Ayla mengenakan handuk kimono, sementara rambutnya yang masih basah tergulung rapi di balik handuk yang dililit di kepalanya. Ia berjalan keluar dari kamar mandi, udara dingin menyentuh kulitnya, namun ia justru merasa lebih ringan.“Ah, berendam benar-benar efektif,” gumamnya seraya meregangkan tubuh, lalu bersenandung kecil saat langkahnya menuju pantry.Namun, begitu sampai, perutnya tiba-tiba terasa sedikit ngilu. Barulah ia teringat sejak pulang dari panti asuhan sore tadi, ia belum memasukkan apa pun ke dalam perutnya.Ayla membuka kulkas, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Tapi, yang ada hanya botol air mineral, satu kotak susu, dan beberapa bahan makanan yang bahkan ia malas untuk mengolahnya.Ia mendesah pelan. ‘Kenapa aku tidak membeli sesuatu tadi?’“Ah, sudahlah!”Alih-alih memasak, ia mengambil sepotong pizza sisa kemarin, malas untuk repot-repot memanaskannya. Dengan satu tangan membawa pizza dan tangan lainnya menggenggam segelas susu dingin, Ayla du
Tiiit! Tiiit! Tiiit!Bunyi alarm bergema tajam, menembus keheningan pagi dengan irama yang memekakkan telinga. Suara itu menusuk kesadarannya, semakin lama semakin nyaring, memaksa Ayla untuk bangun dari alam mimpinya.Ayla tersentak, terduduk dengan napas memburu dan jantung berdegup tak karuan. Tubuhnya terasa panas, keringat dingin mengalir di pelipis dan tengkuknya. Tangannya mengepal erat seprai, mencoba menenangkan diri dari debaran yang masih tersisa."Apa itu tadi?" gumamnya, suaranya terdengar serak dan penuh ketidakpercayaan.Seketika, ingatan dari mimpinya menyeruak ke permukaan. Gambaran bibir yang menyatu, desakan tubuh, napas yang memburu, semuanya terasa begitu nyata.Mata Ayla membulat sempurna. "Aku mimpi berciuman panas dengan Victor?!" serunya.Setengah berbisik, setengah berteriak, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah ilusi tidur. Tangannya langsung menampar pipinya sendiri, mencoba mengusir efek mimpi aneh yang baru saja dialaminya. "Astaga,
“Fokus, Ayla!” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.Ia menarik napas panjang, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan sempurna, Ayla tidak langsung turun. Jemarinya mencengkeram kemudi dengan kuat, matanya terpejam beberapa detik, mencoba menenangkan debaran jantung yang terasa sedikit tidak normal akibat mimpi semalam. Setelah merasa cukup siap, barulah ia keluar.Namun, alih-alih berjalan santai seperti biasa, Ayla malah mengendap-endap bak maling yang takut ketahuan."Aman," bisiknya pelan.Baru saja ia hendak berlari kecil menuju lift basement, suara seseorang tiba-tiba menyapanya."Selamat pagi, manajer baru."Ayla hampir berteriak, tetapi refleksnya lebih cepat. Ia langsung menutup mulut dengan kedua tangan, matanya membelalak kaget.Victor, yang berdiri tidak jauh darinya, menaikkan sebelah alis. Melihat reaksi aneh itu, ia malah semakin mendekat, menundukkan sedikit badannya hingga sejajar dengan wajah Ayla. Tata
Setelah memastikan semua jadwal berjalan sesuai rencana, Ayla kemudian membawa Victor ke studio rekaman untuk latihan dan rekaman OST drama barunya. Studio itu terletak di gedung yang cukup besar, dengan ruang kedap suara yang dilengkapi peralatan canggih. Begitu mereka tiba, seorang produser musik menyambut mereka dengan ramah. "Victor, kau akhirnya datang! Kami sudah menunggu."Victor tersenyum santai. "Tentu saja, aku selalu tepat waktu," ujarnya, melirik sekilas Ayla yang hanya melipat tangan di dada."Ayo, kita langsung mulai. Kau sudah dengar demonya, kan? Ini lagu utama untuk dramamu yang berjudul Falling Into You," jelas sang produser sambil menyodorkan headphone ke Victor.Victor mengambilnya dan melirik Ayla sebelum masuk ke ruang rekaman. "Dengar baik-baik, Manager. Kau akan terpukau dengan suaraku."Ayla hanya menghela napas. "Cepat masuk dan jangan banyak bicara."Victor masuk ke dalam booth rekaman, mengenakan headphone, dan berdiri di depan mikrofon besar. Di depannya
Ayla membawa Victor ke ruang latihan untuk sesi reading script film terbarunya. Ruangan itu cukup luas dengan meja panjang di tengah, dikelilingi beberapa kursi. Sejumlah naskah tertumpuk rapi di meja, sementara beberapa kru sibuk berdiskusi.Begitu Victor dan Ayla tiba, seorang pria paruh baya dengan kemeja kasual langsung menyambut mereka."Victor! Bagus, kau datang tepat waktu. Kita akan mulai dalam beberapa menit."Victor tersenyum santai. "Tentu saja, aku profesional."Ayla hanya mendengus pelan, sementara pria itu—sutradara film ini—menoleh ke arahnya."Kau pasti Ayla, manajer barunya. Aku Edo, sutradara proyek ini. Senang bertemu denganmu."Ayla menjabat tangan pria itu dengan sopan. "Senang bertemu dengan Anda juga, Pak Edo."Belum sempat mereka lanjut berbincang, pintu ruangan kembali terbuka, dan seorang gadis muda melangkah masuk.Dia adalah Reina Callista, aktris pendatang baru yang sedang naik daun. Usianya sekitar 22 tahun, dengan rambut panjang bergelombang berwarna co
“Cut!”Suara lantang dari sutradara membuat seluruh tim produksi seolah menarik napas lega bersamaan. Beberapa detik kemudian, sorak kecil pun terdengar dari arah kru kamera.“Nice banget!” ucap salah satu asisten sutradara sambil mengacungkan jempol. “Great energy, guys!”“Terima kasih semuanya!” tim lighting berseru hampir bersamaan saat mulai mematikan lampu satu per satu.“Good job, Victor, Luna!” seru kru wardrobe sambil melintas membawa tumpukan kostum cadangan.Beberapa kru lain menepuk-nepuk bahu sesama, sebagian bercanda santai saat mulai membongkar peralatan. Suasana sedikit rileks, namun tetap teratur. Seseorang dari tim audio bahkan menyalakan musik ringan dari ponselnya, membuat suasana lebih santai. Beberapa peserta mulai berdiri dari kursi santai mereka, beringsut menuju area kamar untuk mengganti pakaian. Ada yang memesan jus kelapa muda dari kru katering yang baru datang.Victor berdiri perlahan dari kursi rotannya, mengambil sebotol air mineral dari atas meja bunda
Setelah sesi coffee talk yang cukup menguras emosi dan tawa, kru kemudian mengarahkan para peserta ke lokasi berikutnya.Area poolside. Sebuah set telah disiapkan. Payung rotan besar, kursi santai berlapis kain linen, dan minuman tropikal dalam gelas tinggi yang diletakkan di atas meja rotan bundar. Angin laut bertiup ringan, membawa serta aroma asin dan wangi kelapa dari lotion para peserta.Hari sudah condong ke siang, dan sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik awan. Suara ombak tak jauh dari sana menyatu dengan derit kursi, gesekan sandal di lantai kayu, dan tawa ringan beberapa kru yang masih menyelesaikan set up.Luna duduk menyamping di salah satu kursi rotan. Gaun sundress putih tipis membalut tubuhnya dengan lembut, mengikuti lekuk punggung dan paha saat ia menyilangkan kaki dengan elegan. Bagian pundaknya terbuka, sengaja dibiarkan begitu agar kulitnya terkena matahari. Rambut hitam bergelombangnya ia biarkan lepas, dibiarkan tertiup angin tanpa banyak disisir.
Setelah sarapan, suasana vila pun perlahan berganti. Meja-meja sudah dibersihkan, kru kemudian mulai merapikan alat syuting, dan peserta satu per satu menuju kamar masing-masing untuk bersiap. Udara Bali mulai menghangat, tapi angin laut masih membelai lembut dedaunan kelapa.Ayla berdiri di bawah pohon kamboja di tepi halaman, mengecek ulang rundown yang terjepit di clipboard. Matanya menyapu area, melihat beberapa kru sedang menata kamera, lighting sudah mulai dipasang, dan makeup artist terlihat sibuk memoles para peserta di sisi lounge.“Pagi ini kita shoot first impression challenge,” kata Rini, salah satu asisten produser yang menghampirinya sambil membawa walkie-talkie.Ayla mengangguk. “Setting di taman depan vila, ya? Aku mau brief peserta dulu.”Langkahnya terarah, mantap seperti biasa, meski perasaannya belum sepenuhnya tenang.Di sudut taman yang rindang, Ayla memanggil peserta satu per satu. Mereka duduk melingkar di atas alas tikar rotan, mengenakan outfit kasual yang t
Pagi terasa tiba lebih cepat. Angin laut yang lembut menerpa tirai jendela kamar Ayla. Matahari belum tinggi, tapi hiruk pikuk sudah mulai terdengar dari dapur vila utama. Ayla berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang digelung sederhana. Rona merah tipis masih tertinggal di pipinya, bekas malam sebelumnya yang tak kunjung benar-benar menghilang dari benaknya.Ayla menarik nafas berulangkali, “Ayla, kau hanya perlu bersikap biasa. Ya, bersikap biasa,” kata Ayla mengulang perkataannya seperti tengah membaca mantra. “Semalam, aku sedikit mabuk. Itu bukan apa-apa. Hanya insiden kecil biasa karena terbawa suasana. Ya, seperti itu.”Ayla menatap wajahnya di cermin dan meyakinkan diri sekali lagi. “Pun, itu hanya sekedar kecupan. Ayolah Ayla, kau tak mungkin seperti ini hanya karena sebuah kecupan bukan? Tidak seperti dirimu saja!”“Ya, apa salahnya dengan kecupan? Aku bahkan pernah menghabiskan satu malam dengan pria random di bar,” kata Ayla lagi. Setelah menarik nafas panjang
Malam semakin larut. Langit di atas taman kecil itu dihiasi kerlip bintang yang berserakan seperti pecahan perak. Lampu-lampu taman remang, menyisakan siluet lembut wajah Ayla yang disinari cahaya hangat dari dapur belakang.Kenzo duduk menemani di samping Ayla, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk merasakan hawa tubuh Ayla yang perlahan mulai rileks. Kaleng soda di tangannya sudah tinggal setengah, tetapi tak satu pun dari mereka berbicara lagi. Hening yang nyaman menggantikan semua kegaduhan hari itu.Ayla memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menyapu rambutnya. Kenzo mengamatinya diam-diam, garis rahang yang tegas namun lembut, bibir yang sedikit basah oleh soda, dan mata yang sendu. Seolah menyimpan terlalu banyak luka.“Lucu, ya...” suara Kenzo pelan, seperti bisikan. “Kita berdua duduk di sini, padahal tadi siang hampir gak saling bicara.”Ayla membuka mata. Menoleh perlahan.“Lucu?” tanyanya balik.“Iya,” Kenzo tersenyum tipis. “Kadang kamu gak perlu waktu lama buat tahu
Langit Bali diselimuti bintang, angin laut berhembus lembut ke arah lounge rooftop tempat para peserta dan kru bersantai. Musik dari speaker kecil mengalun pelan, diselingi tawa-tawa ringan dan bunyi gelas bersentuhan. Beberapa minuman beralkohol beredar di meja, tidak banyak, hanya sekadar pemecah dingin malam.Ayla baru saja menyelesaikan review rekaman hari itu ketika ia naik ke atas untuk mengecek keadaan. Rambutnya diikat setengah, mata lelah tapi tetap awas. Ia tidak berniat tinggal lama, hanya memastikan semuanya terkendali, lalu kembali ke kamarnya.Tapi seseorang memanggilnya.“Ey, Ayla.”Suara itu serak. Dalam.Victor.Ia duduk sendirian di ujung sofa, satu botol bir setengah kosong di tangan. Tatapannya kosong menatap lautan malam, tapi ketika Ayla menoleh, sorot itu langsung menancap padanya.“Kau ngapain masih di sini?” tanya Ayla, berdiri agak jauh, menjaga jarak.Victor tersenyum miring, lalu meneguk minumannya. “Mungkin... menunggu kau datang.”Ayla menghela napas. “V
Setelah sesi di api unggun selesai dan para peserta satu per satu kembali ke vila, Ayla memilih untuk tetap tinggal di pantai. Cahaya bulan memantul di permukaan laut, menciptakan riak berkilauan yang indah dan sendu. Sepi perlahan menyelimuti, hanya suara ombak dan desir angin yang menemani. Ia berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku sweater, memandang ke cakrawala seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah benar-benar bisa ia temukan.Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Ayla menoleh perlahan.Kenzo.Ia datang tanpa suara, mengenakan jaket parasut tipis dan celana santai, rambutnya sedikit acak karena angin, wajahnya separuh gelap karena cahaya bulan yang tidak merata. Ia berhenti di samping Ayla, tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membiarkan keheningan tumbuh nyaman di antara mereka.“Aku nggak nyangka kamu beneran jawab pertanyaanku tadi,” ujar Kenzo, suaranya pelan, seolah takut mengusik malam.Ayla tidak langsung membalas. Ia hanya menarik napas dalam dan membia
Malam ketiga di vila pinggir pantai Bali terasa hangat meski angin berembus kencang dari laut. Api unggun menyala tenang di tengah lingkaran kursi rotan yang disusun setengah melingkar, memantulkan cahaya oranye ke wajah-wajah yang berseri karena lelah dan tawa. Di sekeliling, lampu-lampu gantung dari bohlam kecil berkedip lembut, menciptakan suasana seperti pesta kecil yang intim.Ayla duduk di antara dua peserta pria, masih mengenakan sweater abu oversized yang menutupi separuh lengannya, dipadukan dengan celana jeans longgar dan sandal rumah. Rambutnya dibiarkan tergerai, beberapa helaian terbang ditiup angin malam, dan matanya yang tajam tak berhenti mengamati sekeliling—kebiasaan seorang produser yang tak bisa diam.Padahal, awalnya ia tak berniat duduk di sana.Namun, karena salah satu peserta perempuan mendadak sakit, produser memintanya untuk bergabung demi meramaikan sesi behind-the-scenes ini. Ice breaking, katanya. Konten lucu-lucuan. Ayla menolak halus, tapi sorotan kamer
Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Bali dengan semburat oranye dan ungu yang indah. Cahaya matahari terakhir jatuh tepat di permukaan kolam infinity, memantulkan warna emas yang hangat. Di rooftop vila, makan malam pertama sudah disiapkan. Meja panjang dari kayu jati dihiasi lampu gantung bohemian dan lilin-lilin kecil dalam toples kaca. Aroma ayam bakar, udang panggang, dan sambal matah menyeruak memikat indra.Para peserta mulai mengambil tempat duduk. Tertawa, bersenda gurau, dan sesekali melempar candaan tentang siapa yang bakal dekat dengan siapa. Semua terdengar natural, seperti yang diharapkan kru produksi.Victor duduk di ujung kanan meja, berseberangan dengan Luna yang tampak tak berhenti menatapnya sambil sesekali memulai obrolan ringan. Di sisi kiri Victor, ada kursi kosong.Ayla datang beberapa menit kemudian, membawa tablet kecil dan earpiece yang tergantung di telinganya. Ia tidak berniat ikut makan malam, hanya ingin memastikan bahwa audio dan angle kamera be