Ayla menatap kontrak di hadapannya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mencengkeram sandaran kursi, mencoba menahan gejolak yang berputar di dadanya.
Di seberang meja, Darren dengan santai mendorong berkas itu lebih dekat. Senyum kecilnya menyiratkan kemenangan. “Ini kesepakatannya.” Suara Darren terdengar begitu ringan, seolah yang ditawarkannya bukanlah perangkap yang akan mengikat Ayla. “Gaji tiga kali lipat dari DxD, fasilitas premium, dan kebebasan penuh dalam mengelola klien.” Kedengarannya menggiurkan. Tawaran yang sulit ditolak. Tapi Ayla bukan orang bodoh. Tawaran semewah ini selalu datang dengan harga yang mahal. Dalam hal ini, harganya adalah sesuatu yang paling ia hindari. Tenggorokan Ayla terasa kering. Ia menelan ludah, lalu mendongak, menatap Darren dengan sorot tak percaya sebelum kembali menatap kontrak di hadapannya. Darren mengangkat alis, masih dengan ekspresi percaya diri yang membuat Ayla ingin membalikkan meja. “Kau ragu?” Darren menghela napas dramatis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Dunia hiburan itu kecil, Ayla,” kata Darren. Suaranya terdengar lebih dingin. “Jika kau menolak… aku tidak bisa menjamin tempatmu di dalamnya akan tetap aman. Terutama dengan Ryan yang masih ingin menjatuhkanmu.” Darah Ayla berdesir. Jantungnya seolah berdebar lebih kencang, tetapi wajahnya tetap terjaga tanpa ekspresi. “Lagi pula,” Darren melanjutkan, mempermainkan ujung pena di tangannya, “bukankah ini win-win solution? Aku mendapatkan manajer terbaik untuk Victor. Kau mendapatkan kesempatan untuk membuktikan diri sekaligus gaji yang lebih tinggi. Semua senang.” Ayla mengepalkan tangannya di pangkuan, merasakan kemarahan dan kepahitan berkecamuk di dadanya. Tidak ada pilihan lain. Darren tahu itu. Bahkan Victor yang sejak tadi diam di kursinya juga tahu. Dengan napas berat, Ayla meraih pena. Ujungnya terasa dingin di jemarinya yang berkeringat. Ayla menekan pena itu ke kertas, menuliskan namanya dengan goresan yang tegas namun penuh beban. Darren menyeringai puas. “Selamat bekerja sama, Ayla.” Ayla meletakkan pena dengan kasar, seolah benda itu baru saja membakar jemarinya. Matanya tetap terpaku pada namanya yang kini terukir di atas kertas—simbol resmi bahwa ia baru saja menjual harga dirinya. Semua ini bukan hanya karena uang. Dunia hiburan ini kejam dan penuh intrik. Bianca tidak akan berhenti sampai melihatnya terpuruk. Hal yang paling menyakitkan karena sekarang ia harus berhadapan dengan Victor Noelle. Victor masih diam, mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tidak ada kejutan di matanya. Tidak ada keheranan atau ketidaksetujuan. Hanya ketenangan yang menjengkelkan, seolah sejak awal ia tahu Ayla akan menandatangani kontrak itu. Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menekan gejolak perasaan yang berdesakan di dadanya. “Jadi,” suaranya nyaris seperti desisan, “apa selanjutnya?” Darren tersenyum kecil, lalu menepuk tangan sekali. “Bagus sekali. Aku tahu, kau akan membuat keputusan yang tepat.” Darren menyelipkan kontrak itu ke dalam map dengan gerakan santai, seolah semua ini hanyalah transaksi biasa. “Mulai besok, kau resmi menjadi manajer Victor Noelle. Selamat.” Kata selamat terdengar seperti penghinaan di telinga Ayla. Matanya melirik sekilas ke arah Victor, yang masih belum mengucapkan satu kata pun sejak kontrak itu ditandatangani. “Tidak ada tanggapan?” sindir Ayla dingin. Victor akhirnya bergerak, mendorong tubuhnya dari meja dengan santai sebelum memasukkan tangan ke saku celana. “Aku sudah bilang, aku tidak pernah bercanda.” Suaranya rendah, tajam, dan menyusup ke dalam pikiran Ayla. Ayla mendengus. “Dan aku juga tidak bercanda saat bilang aku benci ini.” Alih-alih tersinggung, Victor justru menyeringai, sorot matanya berkilat dengan sesuatu yang tidak bisa Ayla tafsirkan. “Bagus. Setidaknya, kau jujur.” Ayla mengeraskan rahangnya. Ia harus keluar dari ruangan ini sebelum pikirannya benar-benar meledak. Sebelum Ayla sempat berdiri, Darren berbicara lagi. “Ada satu hal lagi. Kalian harus menghadiri acara publik bersama dalam waktu dekat.” Ayla menoleh tajam. “Apa?!” Darren mengangguk, masih dengan senyum santainya. “Ada gala dinner untuk brand ambassador MAHA Entertainment minggu depan. Victor harus datang, dan sebagai manajernya, kau juga harus hadir.” Ayla menatap Darren dengan tajam. “Aku baru menandatangani kontrak. Kenapa aku harus langsung terjun ke acara publik?” Darren mengangkat bahu. “Karena dunia ingin melihat Victor kembali. Dan kau… adalah bagian dari kebangkitan itu.” Ayla ingin memprotes dan menolak, tapi percuma. Kontrak sudah ditandatangani. Haknya untuk berkata tidak sudah hilang sejak tinta itu menyentuh kertas. "Oke."Victor menatapnya lekat-lekat. “Kamu masih memikirkannya?”Ayla mengerjap, jantungnya menghantam tulang rusuk. “Apa maksudmu?”“Mimpi itu,” bisik Victor. “Yang kamu alami semalam. Aku tahu kamu belum lupa.”Ayla membeku.“Bajingan,” gumamnya. “Kau!”“Kau memerah sekarang,” potong Victor, senyumnya melebar sedikit. “Bukan karena dingin. Tapi karena kau takut aku benar.”Ayla mendorong dadanya, tapi Victor tetap tak bergeming. Satu tangannya naik, menyentuh pipi Ayla dengan punggung jemarinya gerakan yang lembut tapi mengancam.“Kau bilang aku egois,” ucap Victor pelan. “Tapi kali ini aku akan berikan kau pilihan.”Ayla menatapnya curiga. “Pilihan?”Victor menunduk sedikit, bibirnya hampir menyentuh telinga Ayla saat berbisik, “Tinggal malam ini di sini dengan aku.”Ayla mendorong dada Victor sekuat tenaga, hingga ia bisa bangkit dari pangkuannya. Wajahnya merah, bukan lagi karena malu tapi karena marah. Matanya menyala, rahangnya mengeras.“Kau gila!” teriaknya tajam. “Kau pikir aku si
Malam terasa tenang dengan angin semilir menyapu permukaan air kolam yang memantulkan cahaya bulan. Di kejauhan, para kru sudah mulai berkemas, sebagian kembali ke kamar, sementara yang lain memilih berkumpul di area makan, merayakan akhir syuting dengan obrolan ringan dan tawa pelan.Tapi tidak dengan Ayla.Ia duduk di kursi rotan menghadap kolam renang, dengan segelas teh dingin yang mulai mencair dalam genggamannya. Malam itu terasa sunyi di sekitar kolam. Hanya suara dedaunan dan riak air yang mengisi ruang kosong di antara pikiran-pikirannya.“Sendiri, manajer?”Suara berat itu membuat Ayla menoleh.Victor berdiri di sana, mengenakan kaos tipis berwarna gelap dan celana training. Sepatu ketsnya dibiarkan terbuka talinya, dan rambutnya sedikit berantakan seolah ia baru saja mengacaknya sendiri. Tapi ekspresi wajahnya datar.Ayla mengangkat alis, tampak tak suka dengan kehadiran Victor. Setelah berusaha menghindari pria itu seharian, tiba-tiba mereka malah bertemu di sini. “Kau ta
Jantung Ayla masih berdegup tak karuan. Ia sempat mengutuk dirinya sendiri karena mimpi panas tentang Victor, tubuhnya, dan bisikan-bisikan menggoda yang terasa terlalu nyata.Begitu pintu tertutup, Ayla menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Sial, apa karena aku mabuk makanya aku bisa mimpi kayak gitu? Astaga Ayla, kau pantas mati," desisnya pelan.Ia menyentuh wajahnya yang masih panas. Bayangan tubuh Victor dalam mimpi itu kembali hadir. Kulitnya, otot perutnya, dan cara pria itu menyuruhnya menyentuhnya.“Arght!” Ayla memekik kecil dan menepuk wajahnya sendiri."Ah, kau masih membayangkan pria brengsek itu, Ayla? Kau memang pantas mati!"Dengan gerakan cepat, Ayla melepas jubahnya, berganti pakaian dengan kaos crew hitam dan celana panjang senada. Rambutnya dikuncir seadanya, lalu ia keluar dari kamar sambil menggantungkan ID card di leher.Lorong villa masih sepi, tapi di ruang belakang, tempat setting taman, suara-suara mulai terdengar. Ayla melangkah cepat ke arah tenda logistik.
Ayla menggigit bibir bawahnya kuat, hingga nyaris meninggalkan bekas. Matanya menyala, sayu tapi tajam, seperti api kecil yang diam-diam menyambar. Nafasnya mulai tidak beraturan, tapi ia tidak bergeming. Ia hanya terbaring di sana, membiarkan jubahnya terbuka separuh, memperlihatkan kulit pucat yang menggoda dalam pantulan lampu temaram.Tatapannya tak lepas dari Victor, seolah menantang pria itu untuk segera membuka satu-satunya penutup di tubuhnya. Tanpa kata, tangan Ayla mulai bergerak, tidak gemetar, tidak ragu. Ia menyentuh dada Victor sekali lagi, menyusuri otot yang menegang di bawah kulitnya. Tidak seperti di awal yang terpaksa, kali ini Ayla benar-benar menikmatinya. Sentuhan itu bukan sekadar menyentuh biasa. Dia seolah mengklaim tubuh Victor. Ayla tak ingat jika Victor memiliki tubuh seseksi ini. “Lepas itu,” bisik Ayla akhirnya. Suaranya serak, rendah, penuh amarah yang dibungkus hasrat. “Buat aku lupa bahwa kau adalah si brengsek,” tambahnya, nyaris tak terdengar.V
BLAMMM!!!Pintu terbanting keras. Gagangnya bergetar hebat saat Ayla mendorongnya dengan kasar, lalu menguncinya rapat dari dalam. Suara hentakan tumitnya terdengar lantang di lantai kayu saat ia masuk, napasnya memburu.Pipinya merah padam, bukan hanya karena udara malam yang dingin, tapi karena malu, marah, dan kesal yang bercampur aduk dalam dada. Sementara jantungnya? Berdebar tak karuan. Seolah ingin memecah tulang rusuk dan kabur dari tubuhnya sendiri.“Apa karena aku mabuk?” gumamnya seraya menggigit kukunya. “Makanya aku bisa secara tak sadar masuk ke kamarnya?” lanjut Ayla menambahkan.Dia berjalan mondar-mandir, sebelum memejamkan mata dan menahan napas untuk sesaat, menahan rasa ingin memukul dirinya sendiri.“Astaga, Ayla, kau benar-benar pantas mati!”Dengan langkah gusar, dia melempar sepatunya ke sudut ruangan, menjatuhkan tas ke lantai, lalu menghempaskan diri duduk di pinggir ranjang.Namun otaknya tak bisa diam.Gambaran dada bidang Victor muncul begitu saja dalam b
Ayla mengumpulkan keberaniannya, tubuhnya menggigil entah karena marah, malu, atau karena sesuatu yang lain yang bahkan tak ingin ia akui. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengangkat kedua tangannya dan mendorong dada Victor dengan sekuat tenaga.Namun tangan Victor lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan Ayla, mencengkeramnya dengan lembut namun cukup kuat untuk membuat Ayla tak bisa melawan.“Lepaskan!” desis Ayla, berusaha melepaskan cengkeraman itu, tapi tubuh Victor terlalu dekat.“Aku bilang lepaskan, brengsek!”Bukannya menurut, Victor justru menarik Ayla mendekat.“Ah...”Air di bathtub langsung berombak ketika tubuh Ayla sedikit terangkat dari posisi nyaman sebelumnya. Dada mereka hampir bersentuhan. Nafas mereka bertabrakan. Mata Victor menatap dalam ke iris gelap Ayla yang sekarang terbuka lebar dengan ketegangan dan kemarahan.Namun Victor hanya diam beberapa detik. Mempelajari ekspresi wanita di depannya. Lalu ia mencondongkan wajahnya dan mengecup bibir Ayla dengan ger