Ayla mengumpulkan keberaniannya, tubuhnya menggigil entah karena marah, malu, atau karena sesuatu yang lain yang bahkan tak ingin ia akui. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengangkat kedua tangannya dan mendorong dada Victor dengan sekuat tenaga.Namun tangan Victor lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan Ayla, mencengkeramnya dengan lembut namun cukup kuat untuk membuat Ayla tak bisa melawan.“Lepaskan!” desis Ayla, berusaha melepaskan cengkeraman itu, tapi tubuh Victor terlalu dekat.“Aku bilang lepaskan, brengsek!”Bukannya menurut, Victor justru menarik Ayla mendekat.“Ah...”Air di bathtub langsung berombak ketika tubuh Ayla sedikit terangkat dari posisi nyaman sebelumnya. Dada mereka hampir bersentuhan. Nafas mereka bertabrakan. Mata Victor menatap dalam ke iris gelap Ayla yang sekarang terbuka lebar dengan ketegangan dan kemarahan.Namun Victor hanya diam beberapa detik. Mempelajari ekspresi wanita di depannya. Lalu ia mencondongkan wajahnya dan mengecup bibir Ayla dengan ger
“Dasar brengsek mesum!” teriak Ayla, tubuhnya melonjak setengah berdiri dari dalam air.Dengan sekuat tenaga, ia menyambar botol sabun di dekatnya dan melemparkannya ke arah Victor. Botol itu melayang dan nyaris mengenai kepalanya.“Keluar dari sini, brengsek sialan!”Victor hanya terkekeh, menangkis botol sabun itu dengan lengan santainya. “Kenapa? Bukannya kau ingin aku bergabung?” ucapnya tenang, matanya menelusuri tubuh Ayla yang separuh tersembunyi di balik uap air dan busa. “Karena itu kau di sini, kan? Menungguku?”“Jangan kepedean, Victor!” Ayla nyaris berteriak, menggertakkan giginya, wajahnya merah padam.Victor menurunkan bra itu perlahan, menjatuhkannya ke lantai. Matanya tetap tertuju pada Ayla, lekat, tajam seperti elang yang sudah mengunci buruannya.Tanpa berkata-kata, ia mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Gerakannya tenang, seperti tak terganggu oleh kemarahan Ayla. Justru ia seolah menikmati reaksi wanita itu.Satu, dua... tiga kancing terlepas.Hingga akh
Ayla berjalan gontai melewati koridor villa yang senyap, hanya suara langkah hak tingginya yang terdengar mengetuk-ngetuk lantai kayu. Lampu lorong temaram, dan bayangannya mengikuti di dinding, seperti mengingatkannya pada apa yang baru saja ia lakukan.Entah mengapa malam itu terasa lebih sepi dari hari biasanya. Begitu pintu kamarnya terbuka dan tertutup kembali, dia mendesah keras.“Sialan, Ayla…” gumamnya dengan separuh napas. Ia melepaskan clutch kecil dari tangannya dan melemparkannya asal ke atas tempat tidur. “Bagaimana mungkin kau menciumnya!” Kali ini suara gerutunya terdengar lebih keras, nyaris marah. “Brengsek…”Ia menjatuhkan diri duduk di tepi ranjang, kemudian dengan kasar melepaskan sepatunya satu per satu, hingga kedua hak tinggi itu jatuh sembarangan ke lantai. Kakinya berdenyut, tapi bukan itu yang membuat kepalanya pening.Bibirnya masih hangat. Ia bisa mengingat tekanan ciumannya sendiri. Brutal, panas dan tak terkendali.“Ah, Ayla Dewita bodoh! Kau menggali ku
“Brengsek! Mengapa juga aku kesal.”Ayla mendengus seraya melangkah cepat, menuruni anak tangga dengan napas yang tetap teratur, meskipun dadanya sesak seperti dihimpit sesuatu yang tak kasat mata. Lampu-lampu bar yang remang memantulkan bayangannya di trotoar basah. Tidak ada air mata. Tidak ada kata. Hanya dingin. Kosong.Saat ia hampir melewati pintu keluar, sebuah suara memanggil pelan."Ayla."Suara berat itu membuatnya menghentikan langkah. Kenzo berdiri di sisi luar, bersandar di pagar besi dengan tangan dalam saku hoodie hitamnya. Matanya menatap Ayla dengan khawatir, tapi tidak mendesak. Ia tahu, perempuan itu sedang tidak butuh kalimat tanya.Ayla menoleh perlahan. Mata mereka bertemu dalam jarak yang cukup dekat."Apa kau mengikutiku?" tanyanya datar.Kenzo mengangkat bahu sedikit. “Cuma penasaran. Kau terlihat aneh tadi saat keluar dari villa tadi.”Ayla mendekat pelan. Tidak tergesa. Tapi dalam setiap langkahnya ada niat yang tajam. Napasnya masih stabil, wajahnya tetap
Lampu temaram menari-nari di langit-langit bar eksklusif yang terletak tak jauh dari lokasi syuting. Musik berdentum, bass berat bercampur irama elektronik yang menekan dada. Bau alkohol, parfum mahal, dan tubuh yang berkeringat memenuhi udara. Di sudut ruangan, bar panjang dengan kursi tinggi menghadap bartender yang cekatan meracik minuman.Victor duduk sendirian di kursi bar, mengenakan kemeja hitam yang bagian atasnya terbuka sedikit, memperlihatkan kulit lehernya yang kencang dan sebagian tulang selangka. Sebotol whiskey berdiri anggun di hadapannya, gelas kristal di tangan kanannya, dan tatapan kosong yang menembus kaca bar, seolah mencari sesuatu yang tak ada.“Sendirian?”Suara lembut tapi penuh tekanan itu datang dari arah kiri. Seorang wanita dengan rambut cokelat gelap yang diikat tinggi berdiri di sampingnya, kulitnya cokelat keemasan, kakinya panjang dalam balutan sepatu hak tinggi, dan tubuhnya hanya dibalut bikini hitam serta jaring tipis yang berkilau. Seorang penar
“Cut!”Suara lantang dari sutradara membuat seluruh tim produksi seolah menarik napas lega bersamaan. Beberapa detik kemudian, sorak kecil pun terdengar dari arah kru kamera.“Nice banget!” ucap salah satu asisten sutradara sambil mengacungkan jempol. “Great energy, guys!”“Terima kasih semuanya!” tim lighting berseru hampir bersamaan saat mulai mematikan lampu satu per satu.“Good job, Victor, Luna!” seru kru wardrobe sambil melintas membawa tumpukan kostum cadangan.Beberapa kru lain menepuk-nepuk bahu sesama, sebagian bercanda santai saat mulai membongkar peralatan. Suasana sedikit rileks, namun tetap teratur. Seseorang dari tim audio bahkan menyalakan musik ringan dari ponselnya, membuat suasana lebih santai. Beberapa peserta mulai berdiri dari kursi santai mereka, beringsut menuju area kamar untuk mengganti pakaian. Ada yang memesan jus kelapa muda dari kru katering yang baru datang.Victor berdiri perlahan dari kursi rotannya, mengambil sebotol air mineral dari atas meja bunda