Setelah sarapan, suasana vila pun perlahan berganti. Meja-meja sudah dibersihkan, kru kemudian mulai merapikan alat syuting, dan peserta satu per satu menuju kamar masing-masing untuk bersiap. Udara Bali mulai menghangat, tapi angin laut masih membelai lembut dedaunan kelapa.Ayla berdiri di bawah pohon kamboja di tepi halaman, mengecek ulang rundown yang terjepit di clipboard. Matanya menyapu area, melihat beberapa kru sedang menata kamera, lighting sudah mulai dipasang, dan makeup artist terlihat sibuk memoles para peserta di sisi lounge.“Pagi ini kita shoot first impression challenge,” kata Rini, salah satu asisten produser yang menghampirinya sambil membawa walkie-talkie.Ayla mengangguk. “Setting di taman depan vila, ya? Aku mau brief peserta dulu.”Langkahnya terarah, mantap seperti biasa, meski perasaannya belum sepenuhnya tenang.Di sudut taman yang rindang, Ayla memanggil peserta satu per satu. Mereka duduk melingkar di atas alas tikar rotan, mengenakan outfit kasual yang t
Setelah sesi coffee talk yang cukup menguras emosi dan tawa, kru kemudian mengarahkan para peserta ke lokasi berikutnya.Area poolside. Sebuah set telah disiapkan. Payung rotan besar, kursi santai berlapis kain linen, dan minuman tropikal dalam gelas tinggi yang diletakkan di atas meja rotan bundar. Angin laut bertiup ringan, membawa serta aroma asin dan wangi kelapa dari lotion para peserta.Hari sudah condong ke siang, dan sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik awan. Suara ombak tak jauh dari sana menyatu dengan derit kursi, gesekan sandal di lantai kayu, dan tawa ringan beberapa kru yang masih menyelesaikan set up.Luna duduk menyamping di salah satu kursi rotan. Gaun sundress putih tipis membalut tubuhnya dengan lembut, mengikuti lekuk punggung dan paha saat ia menyilangkan kaki dengan elegan. Bagian pundaknya terbuka, sengaja dibiarkan begitu agar kulitnya terkena matahari. Rambut hitam bergelombangnya ia biarkan lepas, dibiarkan tertiup angin tanpa banyak disisir.
“Cut!”Suara lantang dari sutradara membuat seluruh tim produksi seolah menarik napas lega bersamaan. Beberapa detik kemudian, sorak kecil pun terdengar dari arah kru kamera.“Nice banget!” ucap salah satu asisten sutradara sambil mengacungkan jempol. “Great energy, guys!”“Terima kasih semuanya!” tim lighting berseru hampir bersamaan saat mulai mematikan lampu satu per satu.“Good job, Victor, Luna!” seru kru wardrobe sambil melintas membawa tumpukan kostum cadangan.Beberapa kru lain menepuk-nepuk bahu sesama, sebagian bercanda santai saat mulai membongkar peralatan. Suasana sedikit rileks, namun tetap teratur. Seseorang dari tim audio bahkan menyalakan musik ringan dari ponselnya, membuat suasana lebih santai. Beberapa peserta mulai berdiri dari kursi santai mereka, beringsut menuju area kamar untuk mengganti pakaian. Ada yang memesan jus kelapa muda dari kru katering yang baru datang.Victor berdiri perlahan dari kursi rotannya, mengambil sebotol air mineral dari atas meja bunda
“Apa-apaan ini, Ryan?!”Ayla mendorong pintu ruang ganti dengan kasar. Engsel pintu berderit keras, hampir copot karena kekuatannya. Suaranya menggema memenuhi ruangan.Di sinilah Ryan Kenzie berada bersama seorang aktris cantik pendatang baru.Pandangan Ayla menatap penampilan Ryan berantakan. Jas hitam Ryan tergeletak di lantai. Kemeja putih yang kusut dan tersingkap, memperlihatkan dada bidang Ryan yang terbuka. Wajahnya tetap santai, seolah tidak melakukan kesalahan apapun.Di pangkuannya, aktris bergaun merah tampak kaget setengah mati. Wajahnya memerah. Ia buru-buru melompat berdiri dan merapikan gaunnya yang jelas berantakan.Ryan menoleh dengan tenang. “Oh? Kau sudah datang?”Suaranya rendah dan malas, penuh percaya diri yang menyebalkan.Ayla hampir kehilangan kata-kata. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.“Kau pikir ini lelucon?!” hardik Ayla. Suaranya bergetar menahan amarah.“Kita punya pemotretan penting dalam 15 menit. Tapi, kau di sini ....” Ayla
"Ugh!"Kepalan tangan Ayla mengeras di atas meja bar yang dingin. Kepalanya terasa berat. Bukan karena alkohol, tapi karena emosi yang berkecamuk di dadanya.Lima tahun Ayla membangun kariernya dari nol. Ia bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. Tapi dalam satu hari, kariernya jatuh karena seorang pria tidak tahu diri. Ryan Kenzie.Bajingan itu bukan hanya menghancurkan kariernya. Tapi juga berhasil menendangnya keluar dari industri entertainment seakan-akan ia tidak pernah ada.Dan Bianca.Ayla meremas gelas bourbon lebih erat. Tangannya sedikit gemetar. Matanya terpaku pada layar ponselnya. Ia melihat foto Ryan dan Bianca berdiri di samping CEO Star Vision.Tentu saja. Mereka sudah merencanakan ini sejak awal.Ayla terkekeh, tapi bukan karena lucu. Lebih seperti tawa getir seseorang yang baru saja menyadari betapa kejamnya dunia yang selama ini dijalaninya.Rambut Ayla berantakan, bahkan beberapa helai jatuh menutupi wajahnya yang lelah. Riasan di matanya sedikit luntur. Bla
"Tenang, Ayla! Kau bukan orang yang mudah kalah."Ayla menatap pantulan dirinya di dinding kaca gedung megah di depannya. Langit biru pagi terpantul di permukaannya, membuatnya tampak semakin tinggi dan berwibawa.MAHA Entertainment.Nama itu terpampang angkuh di atas pintu masuk utama, seperti pengingat bahwa dunia hiburan tidak pernah tidur. Ini bukan sekadar gedung; ini adalah pusat kekuasaan.Ayla menarik napas panjang, menekan perasaan gugup yang merayap di dadanya.Hari ini, Ayla tidak datang sebagai seseorang yang dipermalukan. Tapi, datang untuk membuktikan bahwa dirinya masih layak berada di dunia ini.Tanpa ragu, Ayla melangkah masuk.Begitu melewati pintu kaca otomatis, atmosfer di dalam langsung berbeda. Jika DxD terasa seperti panggung penuh kepalsuan, di mana semua orang berusaha terlihat lebih bersinar daripada yang lain, maka MAHA Entertainment seperti markas para eksekutif.Efisiensi. Disiplin. Tidak ada yang bekerja setengah hati di sini.Meja resepsionis besar dari
Ayla terpaku di tempatnya.Otaknya berusaha menyangkal kenyataan yang ada di depan matanya. Tapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba, pria itu tetap berdiri di sana. Nyata. Dengan tubuh tegap, tangan dimasukkan ke saku celana, dan senyum tipis yang terlihat santai, tetapi justru memancarkan kesombongan.Victor Noelle.Pria yang pernah Ayla cintai lebih dari siapa pun. Namun, meninggalkannya di altar tiga tahun lalu tanpa sepatah kata.Jari-jari Ayla mencengkeram lengan kursi begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Detak jantungnya melonjak liar, tetapi ia menolak membiarkan kegelisahannya terlihat. Ayla menelan ludah. Ia mencoba meredam sensasi aneh di perutnya yaitu perpaduan amarah, sakit hati, dan sesuatu yang ia benci untuk akui… ketakutan.Sementara itu, Victor tetap diam, hanya mengamatinya dengan tatapan tajam yang sulit ditebak. Lalu, dengan gerakan santai, ia menyandarkan diri ke meja Darren, seolah situasi ini tidak lebih dari pertemuan bisnis biasa.“Kau terlihat
Ayla menatap kontrak di hadapannya dengan rahang mengeras. Jari-jarinya mencengkeram sandaran kursi, mencoba menahan gejolak yang berputar di dadanya.Di seberang meja, Darren dengan santai mendorong berkas itu lebih dekat. Senyum kecilnya menyiratkan kemenangan.“Ini kesepakatannya.”Suara Darren terdengar begitu ringan, seolah yang ditawarkannya bukanlah perangkap yang akan mengikat Ayla. “Gaji tiga kali lipat dari DxD, fasilitas premium, dan kebebasan penuh dalam mengelola klien.”Kedengarannya menggiurkan. Tawaran yang sulit ditolak. Tapi Ayla bukan orang bodoh. Tawaran semewah ini selalu datang dengan harga yang mahal. Dalam hal ini, harganya adalah sesuatu yang paling ia hindari.Tenggorokan Ayla terasa kering. Ia menelan ludah, lalu mendongak, menatap Darren dengan sorot tak percaya sebelum kembali menatap kontrak di hadapannya.Darren mengangkat alis, masih dengan ekspresi percaya diri yang membuat Ayla ingin membalikkan meja.“Kau ragu?”Darren menghela napas dramatis, lalu
“Cut!”Suara lantang dari sutradara membuat seluruh tim produksi seolah menarik napas lega bersamaan. Beberapa detik kemudian, sorak kecil pun terdengar dari arah kru kamera.“Nice banget!” ucap salah satu asisten sutradara sambil mengacungkan jempol. “Great energy, guys!”“Terima kasih semuanya!” tim lighting berseru hampir bersamaan saat mulai mematikan lampu satu per satu.“Good job, Victor, Luna!” seru kru wardrobe sambil melintas membawa tumpukan kostum cadangan.Beberapa kru lain menepuk-nepuk bahu sesama, sebagian bercanda santai saat mulai membongkar peralatan. Suasana sedikit rileks, namun tetap teratur. Seseorang dari tim audio bahkan menyalakan musik ringan dari ponselnya, membuat suasana lebih santai. Beberapa peserta mulai berdiri dari kursi santai mereka, beringsut menuju area kamar untuk mengganti pakaian. Ada yang memesan jus kelapa muda dari kru katering yang baru datang.Victor berdiri perlahan dari kursi rotannya, mengambil sebotol air mineral dari atas meja bunda
Setelah sesi coffee talk yang cukup menguras emosi dan tawa, kru kemudian mengarahkan para peserta ke lokasi berikutnya.Area poolside. Sebuah set telah disiapkan. Payung rotan besar, kursi santai berlapis kain linen, dan minuman tropikal dalam gelas tinggi yang diletakkan di atas meja rotan bundar. Angin laut bertiup ringan, membawa serta aroma asin dan wangi kelapa dari lotion para peserta.Hari sudah condong ke siang, dan sinar matahari mulai mengintip malu-malu dari balik awan. Suara ombak tak jauh dari sana menyatu dengan derit kursi, gesekan sandal di lantai kayu, dan tawa ringan beberapa kru yang masih menyelesaikan set up.Luna duduk menyamping di salah satu kursi rotan. Gaun sundress putih tipis membalut tubuhnya dengan lembut, mengikuti lekuk punggung dan paha saat ia menyilangkan kaki dengan elegan. Bagian pundaknya terbuka, sengaja dibiarkan begitu agar kulitnya terkena matahari. Rambut hitam bergelombangnya ia biarkan lepas, dibiarkan tertiup angin tanpa banyak disisir.
Setelah sarapan, suasana vila pun perlahan berganti. Meja-meja sudah dibersihkan, kru kemudian mulai merapikan alat syuting, dan peserta satu per satu menuju kamar masing-masing untuk bersiap. Udara Bali mulai menghangat, tapi angin laut masih membelai lembut dedaunan kelapa.Ayla berdiri di bawah pohon kamboja di tepi halaman, mengecek ulang rundown yang terjepit di clipboard. Matanya menyapu area, melihat beberapa kru sedang menata kamera, lighting sudah mulai dipasang, dan makeup artist terlihat sibuk memoles para peserta di sisi lounge.“Pagi ini kita shoot first impression challenge,” kata Rini, salah satu asisten produser yang menghampirinya sambil membawa walkie-talkie.Ayla mengangguk. “Setting di taman depan vila, ya? Aku mau brief peserta dulu.”Langkahnya terarah, mantap seperti biasa, meski perasaannya belum sepenuhnya tenang.Di sudut taman yang rindang, Ayla memanggil peserta satu per satu. Mereka duduk melingkar di atas alas tikar rotan, mengenakan outfit kasual yang t
Pagi terasa tiba lebih cepat. Angin laut yang lembut menerpa tirai jendela kamar Ayla. Matahari belum tinggi, tapi hiruk pikuk sudah mulai terdengar dari dapur vila utama. Ayla berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang digelung sederhana. Rona merah tipis masih tertinggal di pipinya, bekas malam sebelumnya yang tak kunjung benar-benar menghilang dari benaknya.Ayla menarik nafas berulangkali, “Ayla, kau hanya perlu bersikap biasa. Ya, bersikap biasa,” kata Ayla mengulang perkataannya seperti tengah membaca mantra. “Semalam, aku sedikit mabuk. Itu bukan apa-apa. Hanya insiden kecil biasa karena terbawa suasana. Ya, seperti itu.”Ayla menatap wajahnya di cermin dan meyakinkan diri sekali lagi. “Pun, itu hanya sekedar kecupan. Ayolah Ayla, kau tak mungkin seperti ini hanya karena sebuah kecupan bukan? Tidak seperti dirimu saja!”“Ya, apa salahnya dengan kecupan? Aku bahkan pernah menghabiskan satu malam dengan pria random di bar,” kata Ayla lagi. Setelah menarik nafas panjang
Malam semakin larut. Langit di atas taman kecil itu dihiasi kerlip bintang yang berserakan seperti pecahan perak. Lampu-lampu taman remang, menyisakan siluet lembut wajah Ayla yang disinari cahaya hangat dari dapur belakang.Kenzo duduk menemani di samping Ayla, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk merasakan hawa tubuh Ayla yang perlahan mulai rileks. Kaleng soda di tangannya sudah tinggal setengah, tetapi tak satu pun dari mereka berbicara lagi. Hening yang nyaman menggantikan semua kegaduhan hari itu.Ayla memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menyapu rambutnya. Kenzo mengamatinya diam-diam, garis rahang yang tegas namun lembut, bibir yang sedikit basah oleh soda, dan mata yang sendu. Seolah menyimpan terlalu banyak luka.“Lucu, ya...” suara Kenzo pelan, seperti bisikan. “Kita berdua duduk di sini, padahal tadi siang hampir gak saling bicara.”Ayla membuka mata. Menoleh perlahan.“Lucu?” tanyanya balik.“Iya,” Kenzo tersenyum tipis. “Kadang kamu gak perlu waktu lama buat tahu
Langit Bali diselimuti bintang, angin laut berhembus lembut ke arah lounge rooftop tempat para peserta dan kru bersantai. Musik dari speaker kecil mengalun pelan, diselingi tawa-tawa ringan dan bunyi gelas bersentuhan. Beberapa minuman beralkohol beredar di meja, tidak banyak, hanya sekadar pemecah dingin malam.Ayla baru saja menyelesaikan review rekaman hari itu ketika ia naik ke atas untuk mengecek keadaan. Rambutnya diikat setengah, mata lelah tapi tetap awas. Ia tidak berniat tinggal lama, hanya memastikan semuanya terkendali, lalu kembali ke kamarnya.Tapi seseorang memanggilnya.“Ey, Ayla.”Suara itu serak. Dalam.Victor.Ia duduk sendirian di ujung sofa, satu botol bir setengah kosong di tangan. Tatapannya kosong menatap lautan malam, tapi ketika Ayla menoleh, sorot itu langsung menancap padanya.“Kau ngapain masih di sini?” tanya Ayla, berdiri agak jauh, menjaga jarak.Victor tersenyum miring, lalu meneguk minumannya. “Mungkin... menunggu kau datang.”Ayla menghela napas. “V
Setelah sesi di api unggun selesai dan para peserta satu per satu kembali ke vila, Ayla memilih untuk tetap tinggal di pantai. Cahaya bulan memantul di permukaan laut, menciptakan riak berkilauan yang indah dan sendu. Sepi perlahan menyelimuti, hanya suara ombak dan desir angin yang menemani. Ia berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku sweater, memandang ke cakrawala seolah mencari sesuatu yang tak akan pernah benar-benar bisa ia temukan.Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Ayla menoleh perlahan.Kenzo.Ia datang tanpa suara, mengenakan jaket parasut tipis dan celana santai, rambutnya sedikit acak karena angin, wajahnya separuh gelap karena cahaya bulan yang tidak merata. Ia berhenti di samping Ayla, tak terlalu dekat, tapi cukup untuk membiarkan keheningan tumbuh nyaman di antara mereka.“Aku nggak nyangka kamu beneran jawab pertanyaanku tadi,” ujar Kenzo, suaranya pelan, seolah takut mengusik malam.Ayla tidak langsung membalas. Ia hanya menarik napas dalam dan membia
Malam ketiga di vila pinggir pantai Bali terasa hangat meski angin berembus kencang dari laut. Api unggun menyala tenang di tengah lingkaran kursi rotan yang disusun setengah melingkar, memantulkan cahaya oranye ke wajah-wajah yang berseri karena lelah dan tawa. Di sekeliling, lampu-lampu gantung dari bohlam kecil berkedip lembut, menciptakan suasana seperti pesta kecil yang intim.Ayla duduk di antara dua peserta pria, masih mengenakan sweater abu oversized yang menutupi separuh lengannya, dipadukan dengan celana jeans longgar dan sandal rumah. Rambutnya dibiarkan tergerai, beberapa helaian terbang ditiup angin malam, dan matanya yang tajam tak berhenti mengamati sekeliling—kebiasaan seorang produser yang tak bisa diam.Padahal, awalnya ia tak berniat duduk di sana.Namun, karena salah satu peserta perempuan mendadak sakit, produser memintanya untuk bergabung demi meramaikan sesi behind-the-scenes ini. Ice breaking, katanya. Konten lucu-lucuan. Ayla menolak halus, tapi sorotan kamer
Senja mulai turun perlahan, mewarnai langit Bali dengan semburat oranye dan ungu yang indah. Cahaya matahari terakhir jatuh tepat di permukaan kolam infinity, memantulkan warna emas yang hangat. Di rooftop vila, makan malam pertama sudah disiapkan. Meja panjang dari kayu jati dihiasi lampu gantung bohemian dan lilin-lilin kecil dalam toples kaca. Aroma ayam bakar, udang panggang, dan sambal matah menyeruak memikat indra.Para peserta mulai mengambil tempat duduk. Tertawa, bersenda gurau, dan sesekali melempar candaan tentang siapa yang bakal dekat dengan siapa. Semua terdengar natural, seperti yang diharapkan kru produksi.Victor duduk di ujung kanan meja, berseberangan dengan Luna yang tampak tak berhenti menatapnya sambil sesekali memulai obrolan ringan. Di sisi kiri Victor, ada kursi kosong.Ayla datang beberapa menit kemudian, membawa tablet kecil dan earpiece yang tergantung di telinganya. Ia tidak berniat ikut makan malam, hanya ingin memastikan bahwa audio dan angle kamera be