เข้าสู่ระบบ"Terima kasih untuk malam ini. Kau tidurlah, istirahat."
Keheningan rumah kembali menyelimuti setelah pintu gudang tua tertutup dengan suara yang nyaris tak terdengar. Andra pergi ke kamarnya, tersenyum puas, meninggalkan Sri sendirian di lorong yang dingin setelah mengecup keningnya sekilas. Sri berdiri mematung sejenak, menahan perih yang menyengat di bagian bawah tubuhnya. Tidak ada gairah, tidak ada kenikmatan, hanya rasa sakit fisik dan jijik yang merayap di kulitnya. Ia memaksakan langkahnya, berjalan perlahan menuju kamar pelayan di bagian belakang rumah. Setiap sentuhan pakaiannya pada kulitnya yang sensitif terasa menyiksa. Sesampainya di kamar kecilnya, yang gelap dan sempit, Sri segera mengunci pintu. Ia bergegas masuk ke kamar mandi. Dalam remang-remang lampu 5 watt, ia menanggalkan pakaiannya yang kusut dan berdebu, seolah pakaian itu adalah kulit dosa yang harus segera dilepas. Sri menyalakan shower. Ia membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya yang masih terasa panas karena sentuhan Andra. Air dingin itu seharusnya menenangkan, tetapi hanya berfungsi sebagai pengingat pahit atas pengorbanan yang baru saja ia lakukan. Wajah Sri di bawah guyuran air kini tidak lagi menyunggingkan senyum manja. Matanya terpejam rapat, bibirnya menipis. Perasaan jijik menjalari setiap inci kulitnya, seolah ia ingin mengikis setiap jejak sentuhan, setiap ciuman, dan setiap napas Andra yang menempel di tubuhnya. Yang ada hanyalah kebencian murni, mengalahkan rasa sakit fisik yang ia rasakan sebagai wanita yang baru pertama kali disentuh. Saat air mulai mendingin, Sri membuka matanya dan menatap pantulannya di cermin buram. Sekilas, terlintas bayangan wajah sang kakak, Myla, yang cantik dan polos. Sosok yang kini telah direnggut dari dunia ini oleh keangkuhan seorang pria. Sri mendekat ke cermin, menahan napas. Ia menyentuh pantulannya sendiri, mengusap bekas air mata yang kini bercampur dengan air shower. "Kak..." bisiknya, suaranya parau dan penuh janji yang bergetar. "Aku akan membalaskan semuanya. Membalas setiap rasa sakit yang lelaki itu lakukan padamu." Sri datang ke rumah megah ini bukan tanpa tujuan. Ia datang dengan dendam yang membara, membalut rasa sakitnya sendiri setelah menyaksikan kehancuran Myla. Kematian tragis sang kakak, yang disebabkan oleh keengganan Andra Pratama bertanggung jawab atas benih yang ia tanam. Momen kelam itu, telah mengubah Sri menjadi sosok yang dingin dan penuh perhitungan. Dunia melihat Andra sebagai pengusaha sukses yang menikah dengan wanita pilihan terbaik, Sarah. Tetapi bagi Sri, Andra hanyalah seorang pengecut yang layak menderita. Pengorbanan dirinya di gudang tua tadi bukanlah tanda penyerahan, melainkan langkah pertama dari sebuah penghancuran total. Sri mengorbankan kehormatannya, menukar rasa sakitnya dengan akses tak terbatas ke kelemahan Andra. Sri mematikan air. Ia mengeringkan tubuhnya. Gadis desa yang baru saja kehilangan mahkotanya ini kini menatap masa depannya dengan mata yang tajam dan dingin. Ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia harus menggunakan hasrat Andra sebagai tali pengikat untuk menariknya keluar dari pernikahan itu, menjauh dari bisnisnya, dan akhirnya, menjatuhkannya ke jurang penderitaan yang sama seperti yang dialami Myla. Andra Pratama boleh merasa menang dan bangga malam ini. Tetapi ia tidak tahu, ia baru saja menyerahkan kunci kehancurannya sendiri ke tangan wanita yang paling ia inginkan. "Kau boleh merasa puas sekarang, Andra.." ucapnya pelan. "Tapi lihat saja nanti, bagaimana aku menghancurkan hidupmu!" Sementara di bagian belakang rumah Sri dicuci oleh air dingin dan kebencian, di kamar utama, Andra menikmati sisa-sisa malam dengan perasaan penuh kemenangan. Ia duduk di balkon, diselimuti kegelapan dan aroma tembakau. Asap rokoknya melayang perlahan, sama seperti benaknya yang kini dipenuhi gambaran Sri. Ia mengingat rona merah yang menjalar di pipi Sri, ringisan tertahan di bibir gadis itu, dan pengakuan polosnya bahwa Andra adalah yang pertama. Sensasi itu... Luar biasa. Sebuah gejolak hasrat tiba-tiba menyerang. Bagian intimnya kembali berdenyut, menuntut lebih dari kenikmatan yang baru saja ia rasakan. Kebanggaan Andra meluap, ia berhasil mendapatkan yang tak terjamah, sebuah harta karun tersembunyi. "Sialan," desis Andra, suaranya parau. Ia membuang puntung rokoknya ke asbak dengan gerakan frustrasi. "Aku menginginkan wanita itu lagi." Hasratnya pada Sri begitu kuat, menenggelamkan semua perasaan bersalah yang seharusnya ia rasakan sebagai suami. Andra berbalik, melangkah memasuki kamar yang luas. Matanya tertuju pada Sarah, istrinya, yang tertidur pulas di ranjang king size. Tubuh Sarah kurus, kulitnya tampak pucat karena gaya hidupnya yang terlalu fokus pada diet dan perawatan mahal. Di mata Andra, Sarah sangatlah angkuh dan keras kepala, sifat yang awalnya ia kagumi sebagai daya tarik, mini terasa membosankan. Ia sama sekali tidak semenarik tubuh Sri yang seksi alami, apalagi kenikmatan yang ia dapatkan di gudang tadi. Andra mendesah pelan, menatap wanita yang ia nikahi karena paksaan ibunya itu. "Jika saja Ibu tidak memaksaku menikahimu, mungkin aku akan menikahi Sri malam ini juga," gumamnya pelan, sebuah penyesalan yang terlontar hanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Ada sekelebat rasa bersalah, sebuah bisikan kecil di hati nuraninya, karena telah mengkhianati istri yang selama ini menemaninya. Namun hasrat Andra yang terlalu besar, hasrat pada Sri yang kini terasa begitu nyata dan panas, terlalu kuat untuk mengakui semua itu. Andra memilih untuk membenarkan nafsunya, mungkin untuk saat ini. Ia berjalan menuju kamar mandi utama. Setelah menutup pintu, Andra menurunkan celananya. Ia menatap pantulannya di cermin. Dengan tangan yang gemetar, ia mulai menyentuh bagian miliknya, memejamkan mata erat-erat. "Sri..." Di dalam benaknya, bukan wajah Sarah, melainkan wajah cantik polos Sri yang terlukis jelas. Ia membayangkan lagi rambut kepang dua yang terurai, mata menantang yang pura-pura takut, dan suara parau Sri yang mengaku bahwa ia adalah yang pertama. "Akh! Kau cantik sekali, Sri..." Andra mengulang kembali setiap sentuhan dan desahan Sri dalam pikirannya, membiarkan dirinya tenggelam dalam fantasi cabul bersama pelayannya sendiri. "Ah! Sial..." Puas dengan pelepasan hasratnya, Andra tersenyum penuh dosa. Sri telah menjadi obsesi barunya. Ia tidak tahu, bahwa obsesi itu adalah umpan yang disiapkan oleh wanita pembawa dendam. Tapi yang ia tahu sekarang, ia ingin wanita itu lagi. Dan ia akan mendapatkannya, tak peduli apa pun konsekuensinya. "Kau akan menjadi milikku, Sri. Kita lihat saja..."Tepat pukul tujuh malam, suasana pinggir jalan di pusat kota dipenuhi hiruk pikuk penjual makanan dan lampu-lampu neon yang berwarna-warni. Sri dan Bambang sedang asyik menikmati bakso di sebuah warung sederhana. Sri sengaja tampil berbeda malam ini. Rambutnya tidak lagi dikepang dua, melainkan terurai indah dengan sedikit gelombang. Wajahnya dipoles make-up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya, dan ia mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya. Di sampingnya, Bambang terlihat bahagia. Ia menikmati tawa renyah Sri dan keakraban yang sederhana. Tiba-tiba, ponsel Bambang bergetar hebat. Nama Tuan Andra Pratama terpampang di layar. "Iya, Tuan?" jawab Bambang sigap. Suara Andra dari seberang terdengar panik dan marah. "Bambang, di mana kau?! Mobil yang aku bawa mati! Jemput aku sekarang juga di pertigaan dekat Monumen Kuda!" Sri yang duduk di seberang Bambang, sudah mendengarkan setiap kata. Ia tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Sebab ia tahu, panggilan mendadak i
Rumah megah itu terasa dingin dan sunyi bagi Sarah. Pagi telah berganti sore, dan Sarah menghabiskan waktunya dalam kamar, gelisah. Pikirannya dipenuhi adegan slow motion suaminya tersenyum pada Sri saat menerima bekal, dan rasa perih dari bekas cakaran yang ia lihat di punggung Andra. Ia mencoba menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin. Ia adalah Sarah, wanita sempurna dengan latar belakang terpandang, yang dinikahi Andra untuk menjaga citra bisnis keluarga. "Tidak mungkin Andra berselingkuh dengan wanita rendahan itu. Sri hanyalah pembantu, dengan bau minyak kayu putih dan bumbu dapur," batin Sarah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin Andra tidur dengan karyawan kantor? Atau mungkin teman masa lalunya yang dulu kulaporkan pada Ibu mertua?! Sarah mondar-mandir di ruang makan. Ia mengacak-acak makan siangnya di atas piring. Nafsu makannya hilang digantikan oleh api kecurigaan. Bi Minah, yang sedang merapikan meja, memperhatikan kegelisahan majikannya. Wanita paruh baya itu
Setelah meninggalkan kamar kecil Sri dengan napas memburu dan hasrat yang sedikit terpuaskan, Andra kembali ke kamar utamanya. Ia menyelinap di bawah selimut, berbaring di samping Sarah yang sudah terlelap. Namun, tidurnya jauh dari ketenangan. Kalimat Sri masih terngiang-ngiang di telinganya: "Tuan... saya tidak mau hanya dijadikan pelampiasan hasrat saja, loh." Andra memiringkan tubuhnya, menatap Sarah. Wajah istrinya terlihat tenang dalam tidur, tetapi bagi Andra, wajah itu terasa dingin, mewakili sebuah kewajiban dan penjara yang tak bisa ia tinggalkan. Sri menuntut kepastian. Wanita itu, yang baru dua kali ia sentuh, telah berhasil merenggut seluruh fokus dan kendalinya. Andra memang menginginkan Sri seutuhnya. Kecantikannya yang seksi alami, kelembutannya, dan gairah tak terduga yang ia berikan. Andra ingin memiliki gadis itu sebagai selirnya, atau bahkan sebagai istrinya jika ia bisa. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia terikat oleh nama keluarga, bisnis, dan janji pada ibuny
"Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!" Sri menatap dengan ekspresi yang membuat lelaki muda itu menehan ludah. Namun, Bambang tersenyum canggung dan menggeleng. Ia memegang pinggiran topinya. "Tidak usah, Sri. Sudah malam. Aku cuma mau bilang," ujar Bambang, suaranya pelan dan jujur. "Aku mau ngajak Sri keluar besok. Jajan jalan ka pusat kota. Nanti Aa yang traktir deh." Jantung Sri berdetak kencang, bukan karena tawaran Bambang, melainkan karena ia tahu Andra yang terperangkap di dalam lemari kecil itu, sedang mendengarkan setiap kata. Sri tahu persis apa yang harus ia lakukan. "Jalan-jalan?" Sri memiringkan kepala, memasang ekspresi malu-malu. "Iya deh, nanti Sri pikir-pikir lagi. Takutnya banyak kerjaan besok." "Oh... Jadi malu nih, Aa asa ditolak mentah-mentah," balas Bambang, tersenyum kecut. Sri tertawa pelan, tawa yang renyah dan tulus, suara yang sangat ingin didengar Andra. Ia lantas maju selangkah, menepuk pundak Bambang denga
"Kau itu lambat sekali akhir-akhir ini. Awas saja jika kau sampai membuat masalah di eapat penting kita!" Pagi itu, mobil mewah Andra melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Di sampingnya, Sarah terus mengomel tentang keterlambatan mereka dan jadwal rapat yang harus direvisi."Hei, Andra! Bantu aku merevisi semuanya!" Namun, pikiran Andra Pratama sama sekali tidak berada di jalanan, atau di ruang rapat. Obsesinya terpaku pada bayangan seorang pelayan dengan rambut dikepang dua. Ia terus-menerus mengingat sentuhan singkat di kamar utama tadi. Kehangatan, gairah, dan bahaya yang ia rasakan dalam pelukan Sri di pagi hari jauh lebih nyata daripada angka-angka dan proyek yang akan ia bahas di kantor. Di tengah rapat penting, Andra terlihat lesu dan tidak fokus. Ia menjawab pertanyaan rekan kerjanya dengan jawaban yang melantur, matanya sering kali menatap kosong ke arah jendela. "Andra, fokus!" tegur Sarah, suaranya tajam dan penuh ketidaksenangan. Ia menendang kaki Andra di bawah m
"Sri, bawa ksdie eta cucianna!" "Enya, sakedap Bi Minah." Di dapur belakang, aroma sabun cuci bercampur dengan kehangatan uap dari air panas. Sri dan Bi Minah bekerja berdampingan, menyiapkan cucian untuk dijemur. Mereka berasal dari desa yang sama di Jawa Barat, sehingga saat hanya berdua, percakapan mereka mengalir santai dalam dialek kampung halaman. Bi Minah, dengan wajahnya yang serius, mengulurkan pakaian basah kepada Sri. Ada beban pikiran yang tak bisa ia sembunyikan setelah melihat keintiman yang tidak wajar antara tuannya dan pembantu baru itu di meja makan. "Sri, ulah caket teing sareng Tuan Andra. Engke lamun Nyonya tahu, bisi jadi masalah," tegur Bi Minah, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran seorang ibu. (Sri, jangan terlalu dekat dengan Tuan Andra. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa jadi masalah). Sri yang sedang mengambil piring cucian, memutar matanya seolah kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu. Ekspresi yang ia tampilkan adalah rasa tidak suka yang wajar dari







