Share

Luka Lecet

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-11-19 19:17:06

"Sri... dimana kau?!"

Matahari pagi menyusup malu-malu melalui jendela kaca kamar utama, menerangi kemewahan yang sunyi. Suasana di sana kontras dengan kegelapan gairah yang terjadi di gudang semalam.

Sarah duduk angkuh di depan meja riasnya yang besar, rambutnya yang basah tertutup handuk. Ia baru saja memanggil Sri untuk membantunya mengeringkan dan menyisir rambut.

Sri berdiri di belakang Sarah, memegang hair dryer. Meskipun semalam baru saja merelakan segalanya di atas meja berdebu, ia menampilkan profesionalisme yang sempurna. Wajahnya cantik natural seperti biasa, dan kepangan rambutnya sudah rapi kembali. Hanya saja, tubuhnya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa sakit.

Saat Sri bergerak mengitari kursi rias untuk mengambil sisir, langkahnya terlihat aneh dan terlalu hati-hati, seolah ia menahan sesuatu.

Sarah, yang mata dan pikirannya selalu fokus pada citra diri yang sempurna, segera menyadarinya. Ia menurunkan cermin kecilnya dan menatap tajam ke arah Sri melalui pantulan. Ada nada angkuh dan sedikit jijik dalam suaranya.

"Kau itu kenapa?" tanya Sarah, tanpa basa-basi. "Jalanmu aneh sekali. Kakimu terkilir?"

Sri yang sedang memegang sisir, sedikit terkejut, namun ia segera menyunggingkan senyum malu-malu yang dibuat-buat. Senyum yang dirancang untuk membangkitkan asumsi bahwa ia baru saja berbuat kenakalan remaja yang polos.

"Tidak, Nyonya," jawab Sri pelan, suaranya terdengar lembut seperti biasa. "Hanya lecet sedikit."

Kata ‘lecet’ itu membuat Sarah mengerutkan alisnya. Lecet? Apa maksud wanita ini? Sarah menatap tubuh Sri dengan tatapan merendahkan, seolah membayangkan lelaki miskin mana yang mau meniduri pembantunya dan menyebabkannya berjalan pincang seperti itu.

Ia tertawa geli, tawa sinis yang hanya ia keluarkan saat merasa dirinya jauh di atas segalanya.

Sungguh ironi. Sarah sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat pelayan di depannya itu kesakitan hingga berjalan aneh bukanlah pacar miskin, melainkan suaminya sendiri Andra, di atas meja kotor di gudang.

Sarah kembali fokus pada cermin, mengabaikan Sri. "Dengar," katanya dingin, "Aku tidak melarangmu berpacaran, itu urusanmu. Tapi jangan sampai kau tinggalkan pekerjaanmu atau kau membuat dapur kotor karena pacaranmu itu. Mengerti?"

Sri mengangguk hormat, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya memancarkan nyala api yang dingin.

"Tentu, Nyonya," jawab Sri. Ia lantas mengangkat sisir itu, mulai menyisir rambut Sarah yang panjang dan tebal.

Saat tangannya bergerak perlahan menyentuh rambut Sarah, Sri menatap lurus ke pantulan mata wanita itu di cermin. Di dalam hati, ia berjanji bahwa 'lecet' yang ia rasakan hari ini akan dibayar dengan kehancuran total bagi keangkuhan Sarah dan kebanggaan suaminya.

"Nyonya saya permisi..."

Setelah membantu Nyonya Sarah bersolek, Sri segera kembali ke meja makan. Di sana, Andra sudah menunggunya. Sri harus bergerak cepat, menyajikan sarapan seolah tidak ada yang terjadi antara mereka beberapa jam yang lalu di gudang tua.

Lengan mungilnya bergerak cekatan, mengambil piring di samping. Wajahnya yang lembut menatap ke arah tuannya.

"Tuan mau makan nasi atau sepotong roti?" tanyanya, suaranya terdengar lembut dan profesional seperti biasa. Sebuah suara yang kini menjadi racun candu bagi telinga Andra.

Andra tersenyum kecil, senyum yang hangat namun penuh rahasia. "Aku mau makan roti saja," jawab Andra, matanya tidak lepas dari gerakan Sri.

Sri menyimpan piring, lalu mengambilkan sepotong roti yang sudah diolesi selai manis kesukaan tuannya. Ia meletakkannya di piring Andra dengan hati-hati.

"Silakan, Tuan. Selamat menikmati."

Namun saat Sri hendak menarik tangannya, Andra dengan cepat memegang pergelangan tangan wanita itu. Andra menahan tangannya, menatap Sri dengan tatapan hangat namun penuh hasrat yang tak terpuaskan.

"Kau baik-baik saja?" bisik Andra, nadanya berubah penuh perhatian. "Sepertinya kau kesulitan berjalan hari ini."

Sri terkejut, pipinya merona, tetapi ini adalah bagian dari sandiwara. Ia tersenyum malu, sembari berusaha menarik tangannya dari genggaman Andra.

"Tuan jangan begini, nanti ada yang melihat," bisik Sri kembali, memberi isyarat ke arah dapur, seolah takut ketahuan.

Alih-alih takut, Andra justru semakin tertantang. Ia melepaskan tangan Sri, hanya untuk dengan cepat memegang pinggang wanita itu, menarik tubuh Sri sedikit lebih dekat ke meja makan.

"Istriku masih di kamar. Siapa yang akan melihat?" goda Andra, suaranya rendah dan penuh keyakinan.

Andra kemudian mengambil beberapa lembar uang kertas dari saku celana tidurnya, menyelipkannya cepat di tangan Sri.

"Belilah salep untuk lukamu itu," katanya, matanya kembali menatap lurus ke mata Sri. "Karena aku tidak tahu kapan aku akan membuatmu merasakan sakit lagi."

Sri tertawa pelan, tawa yang penuh rahasia dan menggoda, seolah mereka benar-benar adalah sepasang kekasih yang sedang berbagi lelucon mesra. Keintiman mereka terasa begitu nyata, begitu berbahaya.

Tepat pada saat itu, langkah kaki berat terdengar dari arah dapur. Bi Minah, pelayan senior yang telah mengabdi di rumah itu sejak Andra masih kanak-kanak, muncul membawa keranjang cucian.

Bi Minah berhenti melangkah. Ia melihat tuannya Andra, yang sedang berdiri terlalu dekat dengan si pelahan baru, Sri. Ia melihat bagaimana Andra menatap Sri, tatapan yang tidak seperti majikan ke pelayan, melainkan tatapan yang terlalu hangat, terlalu intim.

"Sri, apa yang kau lakukan?" tegur Bi Minah, suaranya tegas. "Cucian di dapur sudah menumpuk. Cepat selesaikan tugasmu!"

Andra dan Sri segera melepaskan diri, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Sri menunduk hormat, menyembunyikan uang di tangannya.

"Baik, Bi," jawab Sri, lantas buru-buru melangkah ke dapur, meski langkahnya masih terlihat sedikit tertatih.

Bi Minah berdiri di sana, dengan keranjang cucian di tangannya, matanya yang tajam terus memperhatikan kedua orang itu. Ia merasakan ada sesuatu yang salah di udara. Bi Minah tahu betul bagaimana Andra saat kecil, dan ia tahu bagaimana Andra saat ini. Dan ia tahu, kehadiran gadis desa baru itu adalah masalah besar yang bersembunyi di balik senyum dan tatapan yang tidak biasa.

"Jangan sampai aku menyesal membawa Sri ke rumah ini, ya Tuhan..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Kecemburuan Andra

    Tepat pukul tujuh malam, suasana pinggir jalan di pusat kota dipenuhi hiruk pikuk penjual makanan dan lampu-lampu neon yang berwarna-warni. Sri dan Bambang sedang asyik menikmati bakso di sebuah warung sederhana. Sri sengaja tampil berbeda malam ini. Rambutnya tidak lagi dikepang dua, melainkan terurai indah dengan sedikit gelombang. Wajahnya dipoles make-up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya, dan ia mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya. Di sampingnya, Bambang terlihat bahagia. Ia menikmati tawa renyah Sri dan keakraban yang sederhana. Tiba-tiba, ponsel Bambang bergetar hebat. Nama Tuan Andra Pratama terpampang di layar. "Iya, Tuan?" jawab Bambang sigap. Suara Andra dari seberang terdengar panik dan marah. "Bambang, di mana kau?! Mobil yang aku bawa mati! Jemput aku sekarang juga di pertigaan dekat Monumen Kuda!" Sri yang duduk di seberang Bambang, sudah mendengarkan setiap kata. Ia tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Sebab ia tahu, panggilan mendadak i

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Kecurigaan Sarah

    Rumah megah itu terasa dingin dan sunyi bagi Sarah. Pagi telah berganti sore, dan Sarah menghabiskan waktunya dalam kamar, gelisah. Pikirannya dipenuhi adegan slow motion suaminya tersenyum pada Sri saat menerima bekal, dan rasa perih dari bekas cakaran yang ia lihat di punggung Andra. Ia mencoba menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin. Ia adalah Sarah, wanita sempurna dengan latar belakang terpandang, yang dinikahi Andra untuk menjaga citra bisnis keluarga. "Tidak mungkin Andra berselingkuh dengan wanita rendahan itu. Sri hanyalah pembantu, dengan bau minyak kayu putih dan bumbu dapur," batin Sarah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin Andra tidur dengan karyawan kantor? Atau mungkin teman masa lalunya yang dulu kulaporkan pada Ibu mertua?! Sarah mondar-mandir di ruang makan. Ia mengacak-acak makan siangnya di atas piring. Nafsu makannya hilang digantikan oleh api kecurigaan. Bi Minah, yang sedang merapikan meja, memperhatikan kegelisahan majikannya. Wanita paruh baya itu

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Dilema Di Tengah Malam

    Setelah meninggalkan kamar kecil Sri dengan napas memburu dan hasrat yang sedikit terpuaskan, Andra kembali ke kamar utamanya. Ia menyelinap di bawah selimut, berbaring di samping Sarah yang sudah terlelap. Namun, tidurnya jauh dari ketenangan. Kalimat Sri masih terngiang-ngiang di telinganya: "Tuan... saya tidak mau hanya dijadikan pelampiasan hasrat saja, loh." Andra memiringkan tubuhnya, menatap Sarah. Wajah istrinya terlihat tenang dalam tidur, tetapi bagi Andra, wajah itu terasa dingin, mewakili sebuah kewajiban dan penjara yang tak bisa ia tinggalkan. Sri menuntut kepastian. Wanita itu, yang baru dua kali ia sentuh, telah berhasil merenggut seluruh fokus dan kendalinya. Andra memang menginginkan Sri seutuhnya. Kecantikannya yang seksi alami, kelembutannya, dan gairah tak terduga yang ia berikan. Andra ingin memiliki gadis itu sebagai selirnya, atau bahkan sebagai istrinya jika ia bisa. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia terikat oleh nama keluarga, bisnis, dan janji pada ibuny

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Hukuman

    "Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!" Sri menatap dengan ekspresi yang membuat lelaki muda itu menehan ludah. Namun, Bambang tersenyum canggung dan menggeleng. Ia memegang pinggiran topinya. ​"Tidak usah, Sri. Sudah malam. Aku cuma mau bilang," ujar Bambang, suaranya pelan dan jujur. "Aku mau ngajak Sri keluar besok. Jajan jalan ka pusat kota. Nanti Aa yang traktir deh." ​Jantung Sri berdetak kencang, bukan karena tawaran Bambang, melainkan karena ia tahu Andra yang terperangkap di dalam lemari kecil itu, sedang mendengarkan setiap kata. Sri tahu persis apa yang harus ia lakukan. ​"Jalan-jalan?" Sri memiringkan kepala, memasang ekspresi malu-malu. "Iya deh, nanti Sri pikir-pikir lagi. Takutnya banyak kerjaan besok." ​"Oh... Jadi malu nih, Aa asa ditolak mentah-mentah," balas Bambang, tersenyum kecut. ​Sri tertawa pelan, tawa yang renyah dan tulus, suara yang sangat ingin didengar Andra. Ia lantas maju selangkah, menepuk pundak Bambang denga

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Obsesi dan Cemburu

    "Kau itu lambat sekali akhir-akhir ini. Awas saja jika kau sampai membuat masalah di eapat penting kita!" Pagi itu, mobil mewah Andra melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Di sampingnya, Sarah terus mengomel tentang keterlambatan mereka dan jadwal rapat yang harus direvisi."Hei, Andra! Bantu aku merevisi semuanya!" Namun, pikiran Andra Pratama sama sekali tidak berada di jalanan, atau di ruang rapat. Obsesinya terpaku pada bayangan seorang pelayan dengan rambut dikepang dua. Ia terus-menerus mengingat sentuhan singkat di kamar utama tadi. Kehangatan, gairah, dan bahaya yang ia rasakan dalam pelukan Sri di pagi hari jauh lebih nyata daripada angka-angka dan proyek yang akan ia bahas di kantor. Di tengah rapat penting, Andra terlihat lesu dan tidak fokus. Ia menjawab pertanyaan rekan kerjanya dengan jawaban yang melantur, matanya sering kali menatap kosong ke arah jendela. "Andra, fokus!" tegur Sarah, suaranya tajam dan penuh ketidaksenangan. Ia menendang kaki Andra di bawah m

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Aku Memang PELAKOR

    "Sri, bawa ksdie eta cucianna!" "Enya, sakedap Bi Minah." Di dapur belakang, aroma sabun cuci bercampur dengan kehangatan uap dari air panas. Sri dan Bi Minah bekerja berdampingan, menyiapkan cucian untuk dijemur. Mereka berasal dari desa yang sama di Jawa Barat, sehingga saat hanya berdua, percakapan mereka mengalir santai dalam dialek kampung halaman. Bi Minah, dengan wajahnya yang serius, mengulurkan pakaian basah kepada Sri. Ada beban pikiran yang tak bisa ia sembunyikan setelah melihat keintiman yang tidak wajar antara tuannya dan pembantu baru itu di meja makan. "Sri, ulah caket teing sareng Tuan Andra. Engke lamun Nyonya tahu, bisi jadi masalah," tegur Bi Minah, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran seorang ibu. (Sri, jangan terlalu dekat dengan Tuan Andra. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa jadi masalah). Sri yang sedang mengambil piring cucian, memutar matanya seolah kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu. Ekspresi yang ia tampilkan adalah rasa tidak suka yang wajar dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status