Setelah sampai di Surabaya, Venina langsung menuju ke kantor cabang di sana. Wanita itu diberikan sejumlah tugas yang harus diselesaikan. Dia membenarkan kerah blusnya dan menyusun catatan dengan cermat, mencatat setiap instruksi yang diberikan oleh Alfian.
Sementara itu, Alfian dan rekan kerjanya langsung menuju ke lokasi proyek perumahan yang baru saja dimulai. Venina hanya bisa membayangkan betapa sibuknya mereka dengan berbagai pertemuan dan perencanaan yang harus diselesaikan.
“Saya akan usahakan untuk kembali secepatnya! Saya mohon bantuanmu di sini, Nina,” kata Alfian sebelum pergi.
Saat Alfian kembali ke kantor cabang, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan warna oranye dan merah yang memukau di langit. Namun, bukan itu yang menjadi perhatiannya sekarang.
Selama dalam perjalanan menuju hotel, Venina hanya terdiam. Matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami alasan di balik keputusan Alfian. Di sebelahnya, Surya, sang supir, berkonsentrasi pada jalanan yang mereka lalui, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.Di kursi belakang, Alfian dan Erlangga terlibat dalam pembicaraan bisnis yang serius. Suara-suara rendah mereka menyusup ke telinga Venina, namun isinya hanya hembusan angin yang berlalu begitu saja.Saat mobil berhenti di depan lobi hotel, hanya Venina dan Erlangga yang turun. Venina merasa heran dan bertanya-tanya mengapa Alfian tidak ikut turun. Tapi jawabannya datang sebelum dia sempat bertanya.“Saya akan kembali lebih dulu, Nina. Karena kebetulan urusan Pak Angga sudah selesai, dia bisa melanjutkan pekerjaannya.&rd
Keesokan harinya, Venina tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang belum selesai di kantor cabang. Sementara dia masih belum melihat sosok Erlangga sama sekali. Entah pria itu sedang meninjau lokasi proyek atau melakukan hal lainnya. Dia berusaha untuk tidak mempedulikannya.Saat senja mulai memudar, Venina merenggangkan otot-ototnya yang tegang dari beban pekerjaan. Namun, ketenangannya terusik oleh suara yang tak terduga.“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya suara yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu.Venina hampir terjatuh dari kursinya, dadanya terasa berdebar kencang ketika dia menyadari bahwa itu adalah suara Erlangga. Matanya membelalak, tidak percaya bahwa pria itu muncul begitu tiba-tiba.“Astaga! Pak Angga!” serunya sambil menep
Erlangga langsung memeluk tubuh Venina yang bergetar ke dalam pelukannya. Hatinya terasa berat dengan rasa bersalah yang menghimpit. Meskipun dia mencoba menyangkalnya, tapi perasaan itu tetap menghantuinya. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya telah menempatkan Venina dalam situasi yang sulit.“Maafkan saya karena menempatkanmu di posisi ini, Nina,” katanya dengan suara penuh penyesalan, sambil mencoba meredakan getaran tubuh Venina dalam pelukannya.Venina tidak menjawab. Hanya isak tangisnya saja yang terdengar semakin pilu di dada pria itu. Rasanya begitu lelah, dia ingin terbebas dari segala perasaan yang mengganggunya.“Saya ingin pulang,” bisik Venina setelah beberapa saat, suaranya rapuh karena isak tangis yang belum juga mereda.
Malam itu, Venina tidak bisa tidur karena terus memikirkan keseriusan perkataan Erlangga padanya. Bahkan, makanan yang dia pesan pun sampai dingin karena tiba-tiba selera makannya hilang begitu saja.Saat dia baru saja mencoba memejamkan matanya, terdengar suara alarm kebakaran yang berbunyi nyaring. Venina tersentak dan tanpa pikir panjang dia segera bangkit, mengambil kacamata, ponsel dan tasnya dengan gerakan refleks, lalu bergerak cepat keluar dari kamarnya.Di koridor, suasana menjadi hiruk-pikuk. Orang-orang bergerak dengan tergesa-gesa, berusaha menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancam.“Ayo cepat turun, Mbak. Ada kebakaran di lantai bawah,” seru seorang tamu yang lewat, menambah ketegangan di dalam diri Venina. Tanpa banyak bicara, Venina hanya mengangguk cepat, hatinya berdegup kencang dala
Kedua mata Venina terbelalak dalam kebingungan saat mendengar pengakuan Erlangga. Dia tak pernah membayangkan bahwa di balik segala kesuksesan yang dimiliki pria itu, tersimpan kisah percintaan yang rumit.“Mungkin sejak awal rumah tangga saya memang sudah hancur, Nina!” ujar Erlangga dengan suara yang penuh penyesalan, meremas tangan Venina dalam genggaman eratnya. Tatapannya menusuk tajam, mencari pemahaman di dalam mata wanita di hadapannya.Venina masih terdiam, mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Erlangga. Benaknya berputar cepat, mencoba memahami kompleksitas hubungan di antara mereka. Apakah semua yang dia ketahui selama ini hanyalah permukaan dari kebenaran yang jauh lebih dalam?“Dan kamu bukanlah penyebab dari semua itu,” lanjut Erlangga dengan suara yang mengal
Venina duduk di depan layar komputernya dengan tatapan kosong. Beberapa hari setelah kembali dari Surabaya, dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Seringkali dia membuat kesalahan.Tiba-tiba, suara Alfian mengagetkannya. "Ada apa, Nina? Apa kamu sakit?"Venina tersentak, matanya terbelalak saat menyadari kehadiran Alfian di hadapannya. "Ti-tidak, Pak," jawabnya dengan gugup, mencoba menutupi kegelisahannya.“Sejak tadi saya perhatikan kamu tidak fokus? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Alfian lagi, ekspresinya penuh perhatian.“Sebenarnya… saya… saya hanya sedikit lelah, Pak,” jawab Venina dengan ragu, meremas jari-jemarinya dengan gelisah.“Kalau memang kamu butuh is
“Nina…!” panggil Nadia sambil memperhatikan putrinya dari ambang pintu kamarnya. Namun Venina tidak mendengarnya karena terlalu fokus pada urusannya.Venina tengah duduk di tepi ranjangnya, mencoba merapikan rambutnya yang sedikit kusut karena terlalu terburu-buru untuk bersiap. Tak lama kemudian, suara langkah ringan mendekat dari arah pintu. Nadia muncul di hadapannya dengan tatapan tajam yang terasa menembus ruangan.“Mau pergi lagi, Nina?” desak Nadia dengan suara yang penuh kekhawatiran. Matanya menatap tajam putrinya, mencari tanda-tanda kelelahan yang mungkin tersembunyi di balik ekspresi wajahnya.Venina tersentak, memasukkan ponselnya ke dalam tas dengan terburu-buru. “Iya, Bu. Mas Angga minta ketemu sebelum besok dia harus berangkat ke Singapura,” jawabnya sambil
Ketika Venina tiba di tempat yang telah diatur oleh Erlangga, dia langsung disambut oleh senyum hangat pria itu yang tampaknya sudah menunggu dengan sabar.“Akhirnya kamu sampai juga,” kata Erlangga sambil tersenyum, membuat raut wajahnya semakin memesona di bawah sinar matahari yang bercahaya.Venina membalas senyumnya. “Iya, Maaf ya, Mas. Saya agak terlambat sedikit.”“Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah di sini,” ujar Erlangga sambil menggenggam tangan Venina dengan lembut.“Saya pikir kita mau nonton,” ujar Venina sambil melihat sekeliling lapangan golf yang terbentang luas. Matanya terpaku pada Erlangga yang tampak gagah dengan pakaian olahraganya. Meskipun hatinya berkecamuk, Venina tidak bisa membantah betapa mena