Seiring dengan langkahnya, Venina mengikuti Erlangga menuju pintu masuk kompleks apartemen mewah tempat pria itu tinggal.
“Siang, Pak,” sapu seorang penjaga keamanan sambil menghampiri mereka. Senyum lebar terukir di wajahnya yang ramah.
“Siang, Roy,” jawab Erlangga sambil berhenti sejenak, memperhatikan penjaga tersebut. Venina mengamati dengan seksama interaksi mereka.
Percakapan itu berlangsung hanya beberapa saat sebelum mereka kembali berjalan. Erlangga menatap Venina dengan senyum hangat. “Kamu naik duluan, ya!” serunya ketika mereka tiba di depan lift. “Mandilah dan ganti pakaianmu dengan yang lebih nyaman,” lanjutnya sambil mencium pipi Venina dengan penuh kasih.
“Mas mau ke mana?” tanya Venina, ekspresi
Perjalanan bisnis Erlangga ke Singapura berlangsung lancar. Selesai dengan pertemuan pentingnya, dia langsung kembali ke Jakarta untuk menemui ayahnya, Ernando Krisdiantoro, di ruang kerja pribadinya. Mereka saling berdiskusi. Sebagian besar percakapan mereka didominasi oleh bahasan bisnis yang serius, tentang ekspansi perusahaan dan strategi-strategi yang harus diambil untuk menjaga posisi perusahaan di pasar yang semakin kompetitif. Namun, sebelum pertemuan itu berakhir, Ernando kembali menyinggung tentang hubungan pribadi Erlangga. “Sudah sejauh apa hubungan kalian?” tanya Ernando dengan tajam, tatapannya menusuk lurus ke dalam mata Erlangga. Rahang Erlangga mengeras. Dia merasakan denyutan di lehernya ketika amarah mulai memenuhi pikirannya. "Saya datang ke
Malam itu, Erlangga membawa Venina ke salah satu villa di puncak. Begitu mobil mereka masuk ke dalam garasi, Venina sudah bisa merasakan aura kekosongan dan kesunyian yang menghantui villa itu. Cahaya redup dari lampu yang menyala hanya sebagian membuat suasana semakin mencekam.Venina merapatkan tubuhnya yang terasa dingin ke arah Erlangga. Diikutinya langkah pria itu yang terasa sangat terburu-buru, seperti ada orang yang mengejarnya.“Kenapa kita ke sini, Mas?” tanya Venina dengan gemetar sesaat setelah Erlangga melepaskan genggamannya ketika mereka sudah berada di ruang tengah.Tetapi Erlangga tidak menjawab. Matanya tampak redup, tanpa secercah emosi yang bisa terbaca. Ketidaksabaran Venina semakin bertambah, kecemasannya mulai meluap tak terkendali.
Venina merasa nyeri di setiap bagian tubuhnya saat dia membuka mata, dan langit-langit kamar yang tidak akrab itu hanya menambah rasa kebingungannya. Kenapa dia bisa berada di sini sendiri? Dan di mana Erlangga?Jam di samping ranjang menunjukkan pukul 1 siang, membuat Venina tersentak. Dia tidak memberi kabar pada ibunya. Rasanya jantungnya ingin melompat keluar dari dadanya saat menyadari betapa paniknya ibunya saat ini karena dia tidak ada di rumah.Dengan gerakan tertatih, Venina bangkit dari ranjangnya, meraih jubah tidur dan melangkah keluar. Setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang semakin nyata. Dia memanggil nama Erlangga berulang kali, tetapi tak ada jawaban yang terdengar.“Mas Angga…!” panggil Venina dengan serak. Dia melanjutkan langkahnya sampai ke halaman depan.
Nadia merasa seperti dunia ini runtuh di hadapannya saat dia melihat banyaknya tanda percintaan di tubuh putrinya. Dengan perasaan yang hancur, dia menyiram seluruh tubuh Venina, mencoba membersihkan setiap jejak dari pria yang telah mencoreng kehormatan putrinya. Hatinya terasa begitu sakit. Dia tidak pernah membayangkan putri yang dijaganya dengan penuh kasih sayang akan menghancurkan kepercayaannya seperti ini. “Kenapa, Nina? Kenapa kamu melakukannya?” gumam Nadia lagi dengan suara penuh kesedihan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya telah memberikan segalanya pada pria yang tidak pantas bersamanya. Venina hanya bisa menundukkan kepala, tak sanggup bertatapan dengan ibunya. Air matanya mengalir deras, mengungkapkan betapa dalamnya penyesalan yang dia rasakan. “Kalau kamu masih benar-benar menyayangi Ibu, akhiri hubunganmu dengannya,” pintanya dengan suara pilu. Dia merasa begitu kecewa dan terluka melihat putrinya terjerumus begitu dalam dalam kesalahannya. Namun,
Ketika Erlangga pergi, kesunyian terasa semakin menusuk hati Venina. Dia duduk di tepi sofa dengan tubuh yang lemas, menyimpan kekecewaan dan penyesalan yang begitu dalam. Air matanya sudah habis, tapi rasa sakit di hatinya masih begitu terasa.Sementara ibunya berdiri di depannya dengan tatapan yang penuh dengan campuran emosi: kekecewaan, kemarahan, dan kepedihan.“Sekarang kamu lihat sendiri kan, Nina? Kamu hanya membuang-buang waktumu untuk mencintai pria yang hanya memanfaatkan tubuhmu,” ujar Nadia dengan suara yang penuh dengan kepedihan. Kata-katanya menusuk hati Venina seperti belati yang tajam.“Nina capek, Bu. Tolong jangan sekarang,” kata Venina dengan suara lemah, mencoba menahan rasa sakit dan keputusasaan yang menghimpitnya.&l
Setelah seminggu tidak bertemu dan menjalin kontak, Venina akhirnya kembali ke kantor. Wajahnya terlihat tegang ketika dia melangkah menuju ruangannya. Selama ini dia menghabiskan waktunya untuk menenangkan diri dan mencoba meredakan kekhawatirannya yang semakin memuncak. Erlangga, yang sejak hari itu tidak pernah berhasil menghubunginya, tampak sudah menunggu di depan mejanya. Ekspresinya tegang, memperlihatkan betapa gelisahnya pria itu selama seminggu ini. "Kita perlu bicara, Nina!" seru Erlangga dengan nada yang tegas, tanpa menyisakan ruang untuk penolakan. Namun, Venina tidak langsung menanggapi ucapan Erlangga. Dia memilih untuk melewatinya dan bergerak menuju ke tempatnya. Hatinya masih terluka oleh semua yang terjadi, dan dia belum siap untuk berbicara dengan Erlangga. “Maaf, Pak. Ada hal yang lebih penting yang harus saya kerjakan,” kata Venina dengan sopan, mencoba menghindari pertemuan dengan Erlangga. “Kamu tidak bisa menghindar terus seperti ini, Nina!” sergah Erlang
“Hari ini katanya Rio mau datang, Nina. Lebih baik sekarang kamu mandi dan berhias yang cantik,” ujar Nadia dengan semangat yang menggelora. Matanya bersinar cerah saat menyebut nama Rio, seolah-olah menyiratkan harapan besar dalam kehadiran pria itu.Venina memandang ibunya dengan keraguan yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya. Dia tak bisa menghindari kecemasan yang merayap di dadanya. Setelah putus dengan Erlangga, dia merasa belum siap untuk membuka hatinya kepada orang lain. Tetapi, melihat betapa bahagianya ibunya, Venina tak kuasa menolak permintaannya. Meski enggan, dia akhirnya menerima saja semua yang diinginkan ibunya.“Kenapa malah bengong? Sudah sana mandi!” perintah Nadia lagi sambil menepuk pundak putrinya, mengalihkan perhatian Venina dari lamunan yang merajai pikirannya.“Iya, Bu,” jawab Venina singkat sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama kemudian, Venina keluar dari kamar mandi dan melihat beberapa gaun berjejer rapi di atas ranjangnya. Matanya memand
Rio duduk di sofa, matanya melintas dari Venina ke gadis yang berdiri di dekatnya yang terlihat sedang asyik dengan dunianya sendiri. "Aku tidak tahu kamu punya adik," ujarnya, sedikit terkejut.Venina menatap adiknya dengan tatapan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tersembunyi di balik senyumnya. "Ibu sedang mengandung Gina saat kita pindah," jelasnya dengan suara pelan, namun kata-katanya menggambarkan betapa sulitnya momen itu baginya."Aku kaget sekali saat tahu kamu dan ibumu pergi. Tidak menyangka kita akan berpisah begitu saja," ujar Rio sambil memandang wajah Venina.Venina mencoba tersenyum, mencoba mengubah suasana menjadi lebih ringan. "Aku pikir kamu senang kalau aku pindah," candanya, mencoba menyembunyikan perasaan sedihnya di balik senyumnya.