Matahari cerah mulai menyinari seisi bumi, sang cahaya menerobos masuk ke segala penjuru ruangan yang memudahkan cahaya terpantul. Begitupun ruangan kamar VIP milik Gina, bunyi riuhan burung serta cuaca yang sejuk membuat keadaan kian tenang.
Sangat kantuk, bahkan manik matanya sulit untuk terbuka. Sambil memaksa akhirnya Gina membuka matanya sambil menatap langit kamar sejuk bercat putih tersebut.
Dimana dia?
Rasa pusing yang masih bergelanyut dikepalanya masih terasa berat namun ia memaksa segera menyadarkan dirinya dan memendarkan pandangan. Berusaha sekali lagi dan ia memposisikan tubuh segera duduk.
Ia menatap sekitar kembali, dimana dia?
Sosok tampan yang ia ketahui telah mengganggu hari-harinya tampak duduk di sofa empuk sambil menatapnya tanpa kedip. Sekali lagi, Gina memperjelas pandangannya menatap sepasang manik mata berwarna biru.
"R-Revan?" Gina
Vero menatap cincin pertunangan mereka sambil tersenyum puas, belum bisa ia melupakan pesta sederhana dengan sang kekasih. Revan adalah pria satu-satunya yang telah merebut hati Vero.Di dalam ruang kerja.Revan duduk di kursi khusus ruang kerjanya sesekali bayang Gina terusan mengisi isi kepala. Perpisahan dengan Gina padahal telah berlalu beberapa hari yang lalu. Ia tidak bisa membayangkan jika Gina tidak mau meluluhkan hati untuk diberi kasih sayang atau sekadar perhatian sederhana dari pria mapan seperti Revan.Vero memarkirkan mobil merahnya di garasi keluarga Djayningrat. Ia tidak sabar bertemu dengan Revan, mengingat waktu pertemuan mereka begitu jarang akhir-akhir ini. Berkunjung ke rumah milik Revan dengan suasana bahagia.Tidak lupa ia membawa beberapa makanan khas kota mereka. Anika pasti akan suka begitu juga dengan calon papa mertuanya, Ari.Ting!
"Sayang ...," Vero mencoba membuyarkan lamunan Revan.Vero menatap tatapn Revan, begitupun Alya mereka menatap Gina bersamaan yang sedang menunduk."Revan, kau ingin memesan brownies bukan?" Vero bertanya kembali.Revan perlahan tersadar dan menatap Vero dengan senyuman sensual namun terlihat sedang berusaha menutupi hasrat terpendamnya pada Gina."Jadi memesan 'kan?" Vero masih memperingatkan."Tolong, berikan dua porsi brownies untukku dan tunanganku."Vero menahan senyum puas ketika Revan mengungkapkan hal sederhana tersebut. Meski tadi ia sempat mencurigai Revan dan Gina, tapi setelah pria itu menyebut sayang seolah dunia kembali milik mereka berdua.Alya langsung sigap menyiapkan dua porsi kue brownies.Revan dan Vero berbincang sesekali memeluk erat pria bertubuh bidang tersebut. Pandangan Gina terganggu,
Minggu pagi yang dingin. Perut bergejolak sakit, tenggorokan terasa sakit merasakan mual menyakitkan. Pagi sekali rasa mual menyerang Gina. Tumbenan ia tidak dapat menahan perasaan mual menyakitkan ini. Kehamilan Gina kini memasuki usia kandungan ke 4 bulan. Tubuh rampingnya mulai memperlihatkan perut membesar. Ia usap lembut sambil tersenyum meski perasaan pusing juga mual masih terus menyerang. Huek! Huek! Ia berlari menuju kamar mandi sambil menahan mualan yang rasanya ingin ia tumpahkan sekarang juga. Gina pun memuntahkan semua isi perut yang ada meski hanya cairan saja yang keluar dari mulutnya. Gejolak yang teramat menyakitkan, hingga perut perih memaksa muntah terusan. Kenapa pagi ini ia begitu mual? Huek! Bruuk! Seseorang mencengkram erat lengannya sambil menggeram marah.
Untuk pertama kali dalam hidup Gina, ia di dalam mobil bersama Revan tak lain pria asing yang baru saja ia kenal. Hatinya bergemuruh antara takut, nyaman, tidak enak hati dan juga debaran jantung tidak stabil.Jangan sebut namanya Revan Alexander jika ia tidak mampu menundukkan semua karakter wanita termasuk Gina Syakilla.Sepanjang perjalanan Revan memasang senyum penuh kemenangan atas keberhasilannya. Pada akhirnya, ia berhasil meluluhkan keras hati Gina yang terusan menolak Revan."Revan, apakah yang kau lakukan ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Gina pelan."Gina ... kita berteman dan aku hanya mengajakmu ke perayaan saja. Ada masalah? Aku pikir itu bukanlah masalah yang serius.""Tap-tapi aku ...," Gina berhenti, tidak melanjutkan kata.Revan menatap Gina sekilas lalu menyetir santai, "Aku tidak akan menyakitimu Gina, kau percaya denganku 'kan? Aku tid
Chenni melepas pelukan itu lalu menatap kembali luka memar pada dada Gina."Apa kau tidak merasakan sakit pada tubuhmu?" Tanya Chenni merasakan dadanya kian sesak.Gina mengepalkan tangan, tidak ingin membuat siapapun melihat ia merasa kasihan atas nasib menimpanya saat ini. Chenni menunduk lalu ia menangis sesunggukan membuat Gina kaget dan tak henti menatap Chenni."Mba Chenni, m-maaf?! Apa aku melakukan hal yang salah? Maaf Mba ...," ucap Gina tidak enak hati.Chenni mengusap air mata yang membasahi pipi, lalu tersenyum kecut."Bagaimana mungkin ada orang yang tega melakukan kekerasan pada wanita hamil sepertimu?" Tanya Chenni bernada serak.Gina memelow, "Aku merasa ini tidak sakit kok."Chenni menarik napas panjang lalu menatap kembali kehamilan Gina, "Berapa usia kandunganmu?""4 bulan, Mba Chenni." 
"Oke, baiklah ... mari kita pergi?!" Revan membuyarkan lamunan.Gina tersenyum kecil, "Baiklah."Revan kembali menatap Gina lalu menatapn Chenni, wanita itu mengangguk seolah kini telah menyadari jika hidup Gina memang pantas diperlakukan berbeda."Mba Chenni, terimakasih sudah memolesku dengan jemari luar biasanya."Chenni tersenyum, "Kalau kau mau, datang saja aku akan memberikanmu potongan harga terbaik dari rumah kecantikanku."Gina mengangguk sambil tertawa kecil."Ingat! Jangan terlalu kecapaian. Kau sedang hamil, pikirkan kehamilanmu.""Iya, terimakasih."Chenni mengangguk. Gina dan Revan pun segera bergegas dan pergi meninggalkan rumah kecantikan Chenni.Gina begitu berbahagia atas kebaikan orang sekitarnya. Walaupun baru mengenal namun Chenni memahami kehidupan Gina, dia sangat baik
Mobil pun melaju semakin menjauhi lokasi butik Gewa. Gina masih tidak menyangka wajah polos tanpa pernah polesan make up akan terlihat begitu sempurna bahkan sepanjang perjalanan Gina hanya bisa meremat tangan gugup."R-Revan, bagaimana dengan pakaian dan sepatuku?" Tanya Gina pelan."Tenang saja, serahkan urusan itu pada Gewa. Dia akan menyimpan dengan baik.""Terimakasih, Revan."Revan menatap Gina sekilas lalu kembali fokus menyetir.Hingga akhirnya, mereka telah sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah gedung pencakar langit menjulang tinggi, Gina menatap dari dalam mobil sambil bibirnya terkatup ragu."A-apakah ini?" Tanya Gina.Apartemen Pranaja, tertulis pamplet nama tersebut."Ya, sesuai namanya.""Ini besar sekali, aku pikir aku tidak akan cocok Revan berada di perayaan itu."&
"Ayo?" Revan mengajak kembali."K-kemana? Apa kita akan pulang?" Tanya Gina ragu."Ikut saja denganku."Gina menurutinya, kali ini Revan tidak sungkan menggenggam erat tangan Gina. Seolah tidak memerdulikan pandangan orang terhadap mereka lagi.Mereka kembali memasuki apartemen, Rey menatap aneh masih dengan kernyitan. Apa yang terjadi dengan mereka saat ini? Revan melepaskan tangan Gina sejenak lalu ia menuju Rey."Kau bisa memberikan kunci kamarmu?"Rey menatap semakin bingung, "Kau mau berbuat apa?""Jangan banyak tanya Rey! Kau pasti paham."Rey sedikit mengatupkan bibir lalu ia merogoh kantong celana memberikan kunci kamar pribadinya."Kau sudah gila!" Tekan Rey pelan dan sarkas.Rey semakin mempertajam pandangannya, sangat serius bahkan tatapan Rey seolah memperingatkan