Home / Romansa / Hasrat Terpendam Papa Tiriku / Bab 03. Masih Kehilangan.

Share

Bab 03. Masih Kehilangan.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-03 20:25:22

Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.

Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.

Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan.

"Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca.

"Oke."

"Perlu aku antar?"

Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri."

"Yakin?"

"Iya."

Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."

Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer, membawa luka dan amarah naik bersamanya ke tangga. Adrian menatap punggung gadis itu lama, lalu menghela napas berat dan menyandarkan tubuhnya ke dinding.

"Semoga suatu saat keadaan kita membaik, Via. Sheila pasti sedih melihat kita seperti ini," bisiknya.

Olivia terus berjalan.

Kamar di ujung kiri itu sederhana namun terang. Jendela besar menghadap taman belakang. Sprei bersih, lampu tidur hangat, dan ada bingkai foto kecil yang masih berisi potret Olivia dan Sheila, entah kapan diletakkan Adrian di sana.

Olivia menatap foto itu dalam diam. Wajah ibunya tersenyum lebar. Senyum yang kini hanya bisa ia temui di lembaran kenangan.

Tangannya mengelus permukaan bingkai. "Mama, apa Mama beneran yakin ninggalin aku sama dia?"

Gadis bermata bulat itu menaruh tas dengan tangan gemetar, lalu membuka pintu lemari perlahan. Di balik pintu itu tergantung beberapa baju miliknya—Sheila rupanya sudah memindahkannya lebih dulu sebelum hari pernikahannya dengan Adrian.

Jantung Olivia berdetak tak beraturan. Ia menutup lemari dengan cepat, lalu terjatuh duduk di tepi ranjang. Matanya kosong menatap dinding, bibirnya bergetar, "Ma ... Via masih berharap ini cuma mimpi."

Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh cepat, wajahnya menegang.

"Olivia?" suara Adrian mengalir dari luar dengan nada lembut. "Aku cuma mau kasih teh jahe. Mama kamu biasanya selalu bikinin ini kalau kamu susah tidur."

Keheningan memenuhi ruangan.

Perlahan Olivia membuka pintu sedikit, hanya cukup untuk meraih nampan yang diberikan Adrian. "Makasih," suaranya pendek, dingin. Lalu pintu itu ditutup kembali.

Namun sebelum benar-benar tertutup, Adrian menahan dengan suara lirih, "Aku tahu kamu belum bisa terima aku. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, aku di bawah."

Olivia menghela napas panjang, bahunya merosot. "Om, tolong ... jangan berpura-pura seperti kita ini keluarga. Karena kita bukan. Mama yang bikin aku datang ke sini. Bukan Om. Dan aku nggak janji akan tinggal lama."

Adrian menatap lama wajah Olivia, matanya penuh luka yang tak terucapkan dan kemarahan yang hampir meledak di balik tatapan itu. Namun, ia tetap tenang, suaranya rendah, "Aku nggak minta kamu anggap aku siapa-siapa. Tapi rumah ini tetap rumah kamu, Via. Selama kamu butuh tempat pulang, rumah ini selalu terbuka. Aku sudah janji sama Mama kamu."

Olivia mengangkat dagunya, sudut bibirnya melebar sinis. "Sebenarnya Om baik dengan aku karena sudah ngerasa bersalah, kan? Tapi sayang, rasa bersalah itu nggak akan pernah cukup buat jadi pengganti Mama."

Adrian menunduk, bibirnya bergetar sesaat, seolah menahan kata-kata yang tak pernah bisa keluar. Ia menghela napas panjang. "Selamat malam, Olivia," katanya akhirnya, lalu melangkah pergi perlahan, membiarkan pintu tertutup dengan suara pelan.

Di dalam kamar, Olivia terdiam di tepi ranjang. Matanya menatap cangkir teh di meja kecil, uap tipis mengepul ke udara dengan aroma yang dulu menenangkan, kini malah mengiris hatinya.

Ia menarik napas dalam, lalu membaringkan diri tanpa menyentuh teh itu. Matanya mulai memanas, punggungnya menyentuh kasur, tapi dadanya tetap sesak.

Di luar, rumah itu sunyi. Terlalu besar untuk dua orang yang tak saling bicara.

Dan malam itu, untuk kesekian kalinya, Olivia menangis dalam diam. Tepat di rumah yang seharusnya menjadi awal yang baru, namun baginya hanyalah pengingat akan apa yang telah hilang.

***

Cahaya matahari pagi menelusup masuk lewat jendela kaca besar di ruang makan. Aroma nasi goreng dan telur dadar menyebar dari dapur, bercampur dengan bau seduhan kopi hitam yang menenangkan.

Namun tidak ada yang benar-benar terasa hangat di meja makan itu. Hanya ada keheningan, udara canggung, dan dua orang yang duduk berjauhan seolah sedang memainkan peran yang tidak mereka pilih.

Olivia duduk di ujung meja makan. Di hadapannya ada sepiring nasi goreng polos dengan telur ceplok mata sapi di atasnya. Di sisi piring, beberapa kerupuk putih tersusun rapi. Tak jauh dari situ, segelas teh manis hangat masih mengepul pelan. Semuanya tampak rapi, namun tidak menggugah selera.

Di seberangnya, Adrian duduk dengan tenang, mengenakan kemeja putih polos dan celana santai. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi, sementara tangan kanannya menahan diri untuk tidak menyentuh makanannya lebih dulu. Menunggu.

Sunyi itu seperti ruang hampa yang menyiksa, sampai Adrian akhirnya memecahnya dengan suara datar, "Mau kamu diamkan sampai nasi itu dingin?" tanya Adrian.

Olivia hanya menatap piringnya, datar.

Adrian mengernyitkan kening, lalu tersenyum kecil, mencoba melebur suasana kaku. "Aku nggak tahu kamu suka pedas atau nggak, jadi aku minta Bik Surti nggak pakai cabai."

Olivia hanya mengangguk tanpa bersuara.

"Kamu suka kerupuk, kan?" tambah Adrian, menatapnya berharap.

"Om, kalau Om terus ngomong, gimana aku mau makan," sahut Olivia datar, nada suaranya tajam penuh sinisme.

Adrian hanya menoleh pelan, senyumnya tetap terjaga walau matanya memperlihatkan sedikit kecewa. "Oh, baiklah, saya diam. Tapi kamu harus habiskan sarapannya."

Olivia mendengus, sendoknya bergerak pelan mengambil nasi tanpa ada semangat, wajahnya tetap menahan rasa enggan. "Om pasti senang sekarang, ya? Rumahnya jadi ada drama setiap hari. Seru?"

Sebelum Adrian sempat menjawab, suara tumit terdengar dari arah dapur. Seorang wanita berusia empat puluhan datang dengan nampan tambahan berisi buah potong. Namanya Bik Surti, pembantu lama Adrian sejak sebelum ia menikah. Rambutnya lurus sebahu, dan tatapannya tajam meski bibirnya tersenyum tipis.

"Buahnya saya tambah, Pak," ucapnya ramah ke Adrian, lalu menoleh pada Olivia sekilas. "Non Via, apa ingin diambilkan sesuatu?"

"Tidak, Bik."

"Non harus tetap makan dalam kondisi apapun," Bik Surti menambahkan.

Olivia mengangkat alis. "Saya makan, kok. Cuma nggak bisa langsung lahap kalau baru bangun dan masih sedih karena ... ibu saya baru meninggal kemarin. Pernah dengar kalimat itu, Bik?"

Bik Surti tersenyum tipis, kaku. "Oh, saya cuma takut capek-capek masak malah mubazir. Maklum, rumah ini biasanya tenang."

Adrian menghela napas. "Bik Surti, tolong jangan terlalu keras pagi-pagi. Via masih menyesuaikan."

"Maaf, Pak. Cuma jaga suasana rumah seperti biasa aja," katanya, lalu kembali ke dapur sambil berkomat-kamit sendiri.

Olivia menatap Adrian penuh sindiran. "Wah, rumahnya udah punya penjaga kestabilan emosi, ya? Aku makin merasa sangat diterima."

"Bik Surti sudah bantu aku dari dulu," jawab Adrian sabar. "Mungkin dia juga butuh waktu untuk terbiasa kamu ada di sini. Biasanya dia orangnya sabar."

Olivia tertawa pendek. "Lucu. Orang-orang di rumah ini kayaknya semua butuh waktu. Tapi Mama nggak dikasih waktu buat hidup lebih lama, ya?"

Adrian terdiam. Untuk sesaat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Lalu dengan pelan ia menjawab, "Kalau aku bisa tukar waktu itu, aku akan lakukan apa pun, Via. Kembali, ini semua takdir. Kita harus terima kematian seseorang, suka atau tidak."

Olivia menatapnya, matanya mulai panas tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandang. Ia berdiri, mendorong kursinya ke belakang. Entah mengapa ia masih sulit menerima kematian Ibunya. Mungkin karena mereka sudah terlalu lama hidup bersama dan saling bergantung.

"Aku makan bukan karena Om. Tapi karena Mama pasti pengen aku tetap hidup," katanya dingin, lalu berjalan keluar dari ruang makan, meninggalkan Adrian yang masih duduk diam di tempatnya, dengan napas berat dan pandangan hampa.

Dari dapur, Bik Surti mengintip dengan tatapan tidak suka. "Ngapain sih Pak Adrian ngajak gadis tantrum kayak gitu. Cuma ngerepotin aja. Kalau aku jadi Pak Adrian, udah aku usir dia sekarang juga."

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status