Home / Romansa / Hasrat Terpendam Papa Tiriku / Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

Share

Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-03 20:10:53

Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara.

Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan.

Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya.

Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu.

Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir dengan langkah pelan namun penuh penghormatan.

Jenazah mulai diturunkan. Adrian membaringkan tubuh Sheila miring ke kanan menghadap kiblat, sesuai syariat.

Di samping sana, Olivia menatap jenazah ibunya dengan mata penuh kesedihan. Bibirnya bergerak lirih, "Mama ... Mama tega banget ninggalin aku duluan." Air matanya mengalir deras, membasahi pipi tanpa henti.

Tiba-tiba, suara lembut seorang wanita paruh baya terdengar, "Via, saya turut berduka."

Olivia menoleh, memaksakan senyum tipis. "Makasih, Bu Erika," jawabnya singkat, masih menyeka air mata dengan tisu.

"Ibumu orang baik. Walau saya baru kenal sebentar, dia tetap akan jadi menantu saya, meski pernikahan dengan Adrian sangat singkat," kata Erika dengan tulus.

Olivia hanya mengangguk pelan, hatinya berat menerima kenyataan ini.

Saat Adrian mengumandangkan adzan di dalam sana, Olivia diam saja. Matanya menatap nisan kayu yang tergeletak di samping gundukan tanah. Wajahnya keras, rahangnya mengatup kaku.

Setelah liang lahat tertutup tanah dan doa selesai, para pelayat mulai berpamitan satu per satu meninggalkan tempat itu. Hanya Olivia dan Adrian yang masih berdiri terpaku di tepi makam, bunga warna-warni dan beberapa tangkai bunga lily, menyelimuti gundukan tanah basah.

Sunyi menyergap. Dingin menusuk kulit. Suasana terasa tegang di antara mereka.

"Kenapa Mama bisa sampai turun dari mobil?" suara Olivia pelan, tapi tajam seperti silet.

Adrian menoleh perlahan, wajahnya tampak kusut dan pandangan gelisah. "Aku nggak tahu Sheila keluar. Aku ti—"

"Apa Om nggak nyuruh Mama tunggu di mobil? Om terlalu sibuk ganti ban sampai nggak sadar Mama turun sendirian. Om suaminya, kan? Tugas Om itu jagain Mama." Olivia langsung memotong dengan suara yang lebih tegas, tatapan menyiratkan sakit hati yang dalam.

"Aku..."

"Ucapan Om di depan penghulu kemarin pagi terasa main-main!"

Rahang Adrian mengeras, ia menggertakkan gigi tapi tetap diam. Matanya mulai memerah, berusaha menahan perasaan yang menumpuk.

Olivia melangkah mendekat, wajahnya basah oleh gerimis yang enggan berhenti, ditambah air mata yang mengalir. "Kalau Om nggak ajak Mama nikah hari itu, Mama nggak akan pakai gaun pengantin. Mama nggak akan ada di jalan tol. Mama nggak akan kena truk! Dan aku nggak akan melihat Mama dikubur!"

"Via..." Adrian akhirnya buka suara, lirih, "Aku ... aku juga kehilangan. Aku mencintai Mama kamu. Kamu pikir aku nggak terpukul dengan kejadian ini? Ini su—"

"Tapi Om penyebab Mama aku pergi!" Olivia membentak kali ini, suaranya pecah. "Om cuma kenal Mama selama satu tahun! Aku hidup bareng Mama selama 24 tahun. Kami cuma punya satu sama lain. Lalu Om datang, terus ... Mama meninggal."

Tubuh Adrian membeku, mulutnya terbuka, tapi tak mampu mengeluarkan kata apa pun.

Olivia menghembuskan napas panjang, mundur satu langkah dengan dagu terangkat, tatapannya penuh perlawanan. "Mulai sekarang, meskipun Om sudah menikah dengan Mama, Om bukan siapa-siapa buat aku."

"Tapi Mama kamu sendiri meminta aku menjaga kamu, Via. Kamu sendirian sekarang."

Olivia menyilangkan tangan, nada bicaranya dingin, "Aku sudah besar, Om. Aku nggak perlu dijaga. Lagipula, masih ada Tante Ruby. Dia pasti bersedia menampung aku."

"Via, dengarkan dulu. Mama kamu berpesan untuk menjaga kamu sebelum pergi. Hubungan Tante Ruby dan Mama kamu juga nggak baik. Aku akan te—"

"Aku nggak peduli!" potong Olivia tajam, matanya menyorot seperti ingin membakar.

Adrian terdiam. Sunyi menyelimuti mereka.

"Om itu bikin Mama pergi. Ini semua salah Om. Harusnya Om jangan pernah masuk ke dalam hidup kami. Kami lebih bahagia tanpa Om!" seru Olivia memecah keheningan.

Adrian hanya bisa menatap tanah basah di bawah kakinya. Kata-kata Olivia menghujam lebih dalam daripada suara tangisan di pemakaman mana pun.

Sore hari, hanya mereka berdua yang tersisa. Hujan turun semakin deras, tapi tak ada yang berusaha berteduh.

Di depan pusara Sheila, Olivia berbisik, "Ma ... Via pulang dulu. Mama tidur sendirian di sini ya mulai malam ini. Mama harus tau, Via sayang banget sama Mama."

Lalu ia melangkah pergi, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adrian.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Adrian berdiri sendirian, di hadapan istri yang baru dikuburkan, dan anak tirinya yang menolak seluruh keberadaannya. Tapi Adrian akan tetap menjaga Olivia, apapun kondisinya.

***

Matahari sore merayap perlahan di balik langit kelabu saat Olivia turun dari mobil online yang membawanya pulang dari pemakaman. Ia berdiri terpaku di depan pagar besi rumah tua bercat putih gading itu. Tempat yang selama lima belas tahun hanya dihuni oleh dirinya dan sang ibu, Sheila.

Rumah itu sekarang sudah dijual.

Sebelum pernikahan, mereka memang telah sepakat pindah ke rumah Adrian minggu depan. Tapi seolah-olah takdir sedang menertawakan rencana mereka.

"Mama, semoga aku kuat tanpa Mama di dunia ini," bisiknya lirih sambil menggenggam gerbang yang mulai berderit, langkahnya berat dan perih.

Kunci rumah masih tergantung di tasnya. Ia membuka pintu depan. Sunyi menyambutnya seperti pelukan dingin yang tak diinginkan.

"Baru sebentar, Via sudah rindu banget sama Mama. Mama jahat!" suaranya pecah di ambang pintu.

Tidak ada suara langkah kaki Sheila. Tidak ada aroma khas parfum vanilla favorit sang Ibu atau hangatnya bau kopi sore yang biasa menyelimuti rumah.

Hanya kosong.

Ruangan itu sebagian besar sudah dikemasi. Beberapa kardus ditumpuk di sudut ruang tamu. Lukisan bunga di dinding sudah dilepas. Tirai sudah dilipat. Hanya sofa kecil berwarna krem dan meja bundar di tengah ruangan yang masih bertahan di tempatnya, seolah menolak diusir dari rumah yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka.

Olivia menjatuhkan diri ke sofa. Tubuhnya lelah, tapi jiwanya lebih hancur.

"Mama ... tolong Ma. Ini semua hanya mimpi, kan? Via lagi mimpi kalau Mama tadi dikubur. Pasti habis ini Mama muncul dari dalam kamar, ganggu Via kalau Via baru pulang. Via bahkan baru lulus kuliah, Ma. Via belum bisa kasih Mama gaji pertama," lirih Olivia, menangis dengan menangkup wajahnya.

Ia menatap ke langit-langit putih yang dulu sering mereka pandangi sambil tertawa-tawa membahas hal konyol, mulai dari sinetron sampai mantan gebetan yang tak kunjung serius.

Kini, hanya gema sepi yang menjawab lamunannya.

Tangannya mengusap pelan permukaan sofa. Ia bisa membayangkan Sheila duduk di situ, menyisir rambutnya, atau sekadar mengobrol sambil merajut sesuatu yang tak pernah selesai.

Olivia menoleh ke arah dapur. Di sana masih tergantung catatan kecil dari ibunya. Tulisan tangan, tertempel magnet kulkas berbentuk semangka.

Ingat sarapan. Jangan ke kampus tanpa makan. ♥ – Mama.

Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Ia bangkit, berjalan ke kulkas, mencabut kertas itu, lalu memeluknya erat-erat seakan dari situ ia bisa menarik kembali Sheila ke dalam pelukannya.

"Aku belum siap tinggal di rumah orang lain, Ma," bisiknya. "Aku bahkan belum siap tinggal tanpa Mama…"

Malam pun turun. Lampu tak ia nyalakan. Hanya cahaya lampu jalan menembus tirai yang tak tertutup sempurna. Rumah itu dingin, bukan karena cuaca, tapi karena tak ada jiwa yang menghangatkannya lagi.

Di tempat lain, Adrian duduk sendiri di teras rumahnya. Jas hitamnya sudah tergantung, tapi wajahnya tetap tegang. Ia memandangi ponselnya dengan tatapan hampa, tidak ada pesan masuk dari Olivia.

Ia tahu gadis itu memilih kembali ke rumah lamanya.

Adrian menarik napas panjang. "Aku harus jemput kamu, Via. Aku harus menepati janjiku pada Sheila. Sekeras apapun kamu menolak. Aku harus bisa membujuk gadis itu."

Pria tampan itu meraih kunci mobilnya dan menuju garasi. Malam ini, dia harus bisa membawa Olivia bersedia tinggal di rumahnya. Harus!

***

Senja telah berlalu. Malam turun pelan di atas rumah tua itu, namun tak sedikit pun lampu menyala dari dalamnya. Adrian berdiri di depan pintu kayu jati bercat putih, menatap rumah yang seharusnya sudah ditinggalkan seminggu lagi. Akan tetapi kini kembali dihuni dalam sunyi oleh seorang anak yang baru saja kehilangan segalanya.

Ia mengetuk pelan.

Tak ada jawaban.

Lalu lebih keras. Masih tidak ada sahutan.

"Aku tahu kamu di dalam, Via," katanya dari balik pintu. Suaranya dalam, pelan, tapi bergetar. "Aku datang untuk menjemput kamu. Kamu boleh benci aku… tapi jangan tinggal sendirian di rumah kosong ini."

Beberapa detik hening. Lalu terdengar suara kunci diputar dengan malas, pintu terbuka sedikit. Cukup untuk menampakkan separuh wajah Olivia.

Wajah sembab, mata merah, rambut awut-awutan, dan tubuh yang tampak kelelahan bukan karena aktivitas, tapi karena menangis sepanjang hari.

"Aku nggak mau ikut Om," ucapnya tegas. "Aku nggak mau tinggal bareng orang yang bikin Mama pergi."

Adrian menatapnya dalam. Tapi kali ini, tidak ada pembelaan, tidak ada kalimat ‘bukan salahku’. Hanya kejujuran yang keluar dari bibirnya. "Aku nggak minta kamu anggap aku sebagai ayahmu. Aku bahkan nggak berharap kamu maafin aku hari ini, atau besok."

Olivia masih menatap tajam, tapi matanya mulai basah lagi.

"Tapi Mama kamu bilang, ‘kalau aku kenapa-kenapa, tolong jangan biarkan Via sendirian, Mas.’” Suara Adrian bergetar, bibirnya sedikit gemetar. "Dan sekarang dia nggak ada. Tapi kamu masih di sini. Masih sendiri."

Olivia menunduk.

"Kamu nggak harus suka sama aku. Tapi tolong jangan hukum diri kamu sendiri dengan tinggal di rumah kosong ini. Kamu boleh benci aku, bisa diam seribu bahasa, bahkan bisa acuhkan aku seumur hidupmu. Tapi jangan tinggal sendirian, Via. Itu permintaan terakhir Mama kamu. Bukan dari aku."

Sunyi. Gerimis mulai turun pelan.

Adrian melangkah mundur. "Kalau kamu tetap nggak mau, aku nggak akan paksa. Tapi mobilku parkir di depan sampai kamu siap. Meskipun itu besok pagi."

Adrian berbalik. Tapi langkahnya tertahan saat suara berat dan parau Olivia akhirnya terdengar.

"Kalau aku ikut Om, bukan berarti aku udah bisa terima semua ini."

Adrian menoleh perlahan. Wajahnya tak bisa menyembunyikan haru.

Olivia membuka pintu lebih lebar, menggenggam tas kecil yang sejak pagi belum sempat dibongkar. Ia berdiri mematung sejenak, lalu berkata dengan suara lirih, "Aku ikut karena Mama."

Adrian mengangguk pelan. Ia tidak tersenyum, tidak bicara lagi. Ia hanya meraih tas dari tangan Olivia dan berjalan menuju mobil.

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status