Share

Bab 04. Rapuh.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-03 20:34:54

Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara.

Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala.

Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante.

"Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal.

Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

Ponsel Olivia tiba-tiba bergetar lembut di genggamannya. Matanya langsung terbuka lebar saat nama Mariska, sahabatnya, terpampang jelas di layar. Tanpa ragu, dia mengangkat dengan tangan yang sedikit bergetar.

"Halo…?" suara Olivia terdengar parau, nyaris tak dikenali.

"VIA?! Ya Tuhan, akhirnya aku bisa hubungi kamu!" suara di seberang penuh keterkejutan dan rasa bersalah.

Olivia diam saja, bibirnya mengatup rapat sementara dadanya bergemuruh tak karuan.

"Aku bener-bener minta maaf. Aku baru tahu kabar Mama kamu semalam. Aku baru balik ke Jakarta kemarin sore dari Jember. HP-ku rusak total sampai di sana, Via. Dan baru bisa diperbaiki kemarin sore. Pas nyala, langsung kebanjiran notif dan kabar duka, dan aku..."

Olivia menutup matanya rapat-rapat, menghisap napas dalam. Suara Mariska yang terputus-putus itu terasa seperti kepedulian paling tulus yang dia dengar selama berhari-hari ini.

"Via, aku beneran ikut berduka, ya. Aku nyesel banget nggak bisa ada di sana dari awal. Habis dari acara pernikahan Mama kamu, aku langsung pergi ke Jember dan aku nggak sempat buka HP."

"Ya, Mariska. It's okay."

"Kamu, baik-baik saja?"

"Aku nggak apa-apa, Mariska," bisiknya pelan, suaranya masih serak. "Yang penting kamu ada sekarang."

Mariska terdengar menarik napas. "Kamu sekarang tinggal di mana? Di rumah kamu yang dulu?"

Olivia menarik napas panjang, suaranya pelan ketika menjawab, "Rumah itu udah dijual. Sekarang aku tinggal di rumah Om Adrian, suaminya Mama."

Mariska mengernyit, suaranya pelan tapi penuh perhatian. "O-oh … Gimana? Kamu nggak apa-apa tinggal di sana?"

Olivia tertawa kecil, tapi nadanya serak, seperti menahan sesuatu yang sakit. "Rasanya seperti numpang di rumah orang asing. Makan, tidur, tapi nggak benar-benar tinggal."

Di ujung sana, Mariska terdiam sesaat, kemudian suaranya lembut tapi tulus. "Kalau kamu butuh tempat buat narik napas, rumah aku masih kosong. Kamar di sebelah selalu ada. Atau kalau cuma pengen nginep semalam sambil ngobrol, kabarin aku, ya. Aku bisa jemput kalau kamu nggak mau jalan sendiri."

Olivia menunduk, bibirnya gemetar, air mata mulai menetes pelan. Suara Mariska—sahabat yang sudah ia kenal sejak awal kuliah—bukan suara belas kasihan, tapi suara pengertian yang selama ini ia rindu.

"Mariska, makasih ya. Akhirnya ada yang beneran mengerti aku."

"Aku selalu ada, Via. Ya, walau sinyal dan HP kemarin bikin aku menghilang sebentar."

Keduanya tertawa kecil. Ringkih. Tapi penuh rasa saling menguatkan.

"Oh ya, bukannya kamu bilang ada adiknya Mama yang masih hidup. Kenapa nggak tinggal sama dia?"

“Aku udah coba hubungin Tante Ruby, tapi nggak pernah diangkat. Mereka itu nggak pernah akur dan punya masalah yang aku sendiri nggak paham, Ris. Tante Ruby sepertinya tetap membenci Mama. Bahkan setelah Mama meninggal."

"Sabar, ya."

"Iya, Ris. Semoga saja aku segera punya pekerjaan. Setelah aku bisa mandiri, aku pergi dari sini."

"Semoga, Via. Ya sudah, ada yang mau aku kerjakan. Kabari aku kalau kamu butuh sesuatu."

"Siap, Ris. Makasih ya."

"Sama-sama, Via. Aku yakin kamu kuat!"

Olivia tersenyum sambil menutup sambungan telpon. Setelah panggilan itu berakhir, untuk pertama kalinya sejak pemakaman, ia merasa sedikit lebih hidup, hanya karena satu telepon dari seseorang yang benar-benar peduli.

***

Sinar matahari menyelinap pelan dari celah tirai ruang makan, menerangi meja panjang mewah dengan piring setengah berisi nasi goreng dingin dan telur ceplok yang belum benar-benar disentuh Olivia. Setelah menerima telepon dari Mariska, dia memutuskan untuk sarapan, tapi duduknya di kursi empuk tampak lebih seperti rutinitas daripada semangat.

Sesaat kemudian, Adrian melangkah masuk, menenteng amplop kecil dengan gerakan hati-hati. Dia meletakkan amplop itu di ujung meja, dekat piring Olivia.

"Untuk kamu, Via."

"Apa ini, Om?" suara Olivia tenang, tanpa sekalipun menoleh.

"Kartu ATM," jawab Adrian, suaranya rendah dan mantap. "Aku buatkan rekening atas namamu. Untuk kebutuhan kamu. Mama kamu bilang kamu masih cari kerja, jadi—"

"Aku masih punya tabungan yang cukup!" Olivia langsung menyela dengan nada yang tajam, "Aku bukan anak umur lima belas tahun yang perlu dikasih uang jajan." Wajahnya tetap datar, tapi dalam dadanya ada getar kecil dari rasa enggan untuk terlihat lemah.

Adrian menundukkan kepala sejenak, sunyi memenuhi ruang itu. Matanya tidak menyiratkan kemarahan atau kecewa, hanya kekhawatiran yang tersimpan rapat.

"Aku tahu kamu mandiri, Via," katanya pelan sambil melirik ke arah Olivia yang masih menatap kosong ke luar jendela. "Ini bukan soal kamu nggak punya uang. Ini soal kamu sekarang tinggal di sini. Aku cuma nggak mau kamu ngerasa terasing, atau ngerasa beban."

Olivia mendengus. "Justru karena aku tinggal di sini, aku nggak mau diatur dan disuapi."

Adrian menarik napas, mencoba bersikap setenang mungkin. "Kartu itu nggak akan mengubah kamu jadi orang yang tergantung. Tapi kamu juga nggak harus menolak semuanya cuma supaya kelihatan kuat."

Olivia menatapnya dingin. "Apa aku kelihatan lemah di mata Om?"

"Bukan. Tapi kamu kelihatan terluka dan kamu kira semuanya pengen manfaatin luka itu. Tapi kamu salah, Via. Justru aku peduli. Sangat peduli."

Jawaban itu membuat Olivia diam sejenak.

Tiba-tiba gadis cantik itu berdiri, mendorong kursinya mundur. "Oke, makasih atas kepedulian itu, Om. Tapi aku masih bisa beli sabun dan sampo pakai uang sendiri."

Olivia meninggalkan meja makan begitu saja, meninggalkan kartu ATM yang masih tergeletak di sana.

Adrian hanya bisa menghela napas berat sambil memandangi punggung Olivia yang menghilang dibalik tembok.

Olivia berjalan cepat menaiki tangga. Hilang sudah rasa laparnya. Seharusnya dia memang tidak turun untuk sarapan pagi ini. Ternyata suasana hatinya masih kacau.

Di kamar, Olivia duduk di tepi tempat tidur. Nafasnya berat. Ia benci diperlakukan seolah butuh diselamatkan. Tapi lebih dari itu, ia benci betapa Adrian terlihat tenang saat dirinya terus merasa kacau.

Ponselnya di atas nakas bergetar. Ada pesan masuk. Dia segera mengambilnya. Ternyata dari sahabatnya.

Mariska : Via, aku cuma ingin kamu tau kalau kamu itu kuat banget untuk hadapi semua ini. Tapi nggak apa-apa kok kalau suatu hari kamu capek. Aku tetap di sini. Kita bisa ngobrol banyak dan ketawa lagi seperti biasa.

Olivia membaca pesan itu, lalu meletakkan ponsel di dada. Ia belum membalas. Tapi senyum kecil menyelinap, meski samar.

Sementara itu di dapur, Bik Surti yang diam-diam melihat adegan tadi menggeleng pelan sambil bergumam, "Udah dikasih baik-baik masih aja nyolot, dasar anak zaman sekarang. Nggak tau diuntung banget. Pak Adrian kenapa baik banget sih sama dia? Gemes aku tuh!"

Di sisi lain, Adrian hanya tersenyum tipis setelah menerima sikap dingin dari Olivia.

Pria tampan itu mengambil kartu ATM tadi dan memasukkannya ke laci lemari kecil. "Nggak apa-apa kalau sekarang belum mau menerima. Mungkin nanti dia berubah pikiran."

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status