MasukLangkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.
Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya. Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan tak lagi menolak ajakan sederhana. Ponsel di saku celananya bergetar. Ia meraih cepat dan melihat layar. Nama Mariska terpampang jelas. "Halo, Mariska?" suaranya keluar cepat, nyaris tanpa jeda. Dari seberang, Mariska terdengar ceria, "Via! Kamu lagi sibuk?" Olivia mengembuskan napas ringan. "Nggak juga. Lagi jalan-jalan sebentar di belakang rumah sambil menikmati udara pagi." "Sendirian?" Olivia tersenyum kecil. "Iya. Kamu lupa kalau aku selalu sendirian belakangan ini." Dari ujung sana, terdengar tawa ringan Mariska, lalu suaranya berubah jadi lebih serius, membuat suasana tiba-tiba berubah. "Aku telepon karena bawa kabar baik. Mungkin kamu mau denger?" Kening Olivia berkerut, suara itu seperti menimbulkan harapan sekaligus keraguan. "Kabar baik?" "Hmm, menurutku itu kabar baik." "Kabar apa, Ris? Katakan." Mariska melanjutkan cepat, bersemangat. "Ingat sepupuku, Bastian? Yang dulu pernah antar kita waktu KKN ke Garut?" "Iya, aku ingat." "Bastian sekarang mulai usaha ekspedisi kecil-kecilan. Baru mulai tiga bulan lalu, kantornya di Kebayoran. Dia lagi cari tenaga admin yang bisa urus dokumen dan tracking pengiriman. Butuh yang cekatan, teliti, dan..." Mariska tertawa kecil, "agak galak." Olivia terdiam, langkah kakinya pelan membeku di dekat tanaman lavender yang tumbuh rapi di pagar. Tangannya secara otomatis mengusap daun-daun kecil itu, seolah ingin mendapatkan ketenangan. "Kamu serius, kan?" tanyanya lirih. "Serius! Tapi sebenarnya kalau untuk posisi admin, kamu nggak masalah?" "Nggak masalah, buat pengalaman. Lalu?" "Ya tadi aku langsung kepikiran kamu. Memang bukan perusahaan besar, tapi Bastian orangnya fleksibel, dan lingkungan kerjanya ringan. Kamu bisa mulai secepatnya kalau tertarik," jawab Mariska dengan yakin. Olivia menatap langit biru pucat di atasnya. Angin pagi menyelinap lembut, mengacak-acak helai rambut yang terlepas dari kuncirannya. Hatinya terasa berat, tapi entah kenapa, kali ini muncul secercah harapan yang belum pernah ia rasakan selama berminggu-minggu ini. "Gimana, Via?" "Tapi … aku belum benar-benar siap. Aku masih…" suaranya nyaris terhenti. "Masih berduka?" potong Mariska dengan lembut di ujung telepon. Olivia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Iya, tapi sebenarnya aku nggak mau terus-terusan begini." Mariska tertawa kecil dari seberang sana. "Nggak apa-apa. Tapi kadang, Via, kita justru mulai sembuh waktu dikasih kesempatan sibuk." Olivia membalas tawa itu meski matanya menitikkan air. "Kamu emang selalu lebih bijak daripada dosen Etika Bisnis dulu." "Jadi, mau aku kabari Bastian untuk jadwalkan wawancara ringan? Atau kamu butuh waktu mikir dulu?" Meski Mariska tak bisa melihat, Olivia mengangguk pelan. "Bilang ke Mas Bastian … aku mau coba. Semoga aku bisa baik nanti saat interview." "Datang saja apa adanya, Via. Sisanya biar semesta yang bantu." "Anyway, makasih banyak, Ris." "Sama-sama, Via." Olivia menghela napas berat. "Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih bengong di kamar, nyalahin keadaan terus, entah sampai kapan." Di ujung telepon, Mariska membalas dengan senyuman yang bisa dirasakan lewat suara. "It's okay not to be okay. Tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan dan ingat, kematian itu adalah takdir." Olivia mengangguk pelan, meski Mariska tak melihatnya. "Iya, aku tahu, Maris. Aku udah mulai bisa terima, kok." "Okay, aku kabari Bastian dulu, ya! Dia pasti senang kamu mau coba," sahut Mariska penuh semangat. "Ya, Mariska. Bye." "Bye!" suara Mariska menghilang seiring telepon ditutup. Olivia berdiri lama di bawah rindangnya pohon di halaman, matanya terpejam, wajahnya menatap kosong ke langit. Angin sepoi menyentuh wajahnya, membawa serta harapan kecil yang mulai tumbuh. Tawaran kerja itu memang bukan obat bagi luka hatinya, bukan pengganti kepergian sang Mama. Tapi, mungkin ini adalah kesempatan untuk tak lagi terus menengok ke belakang. "Baiklah, Ma... Via akan coba. Mungkin kalau Mama masih ada, Mama juga mau aku berjuang," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh gemerisik dedaunan. Di balik jendela dapur, Adrian menatap Olivia yang masih berdiri diam. Sebuah senyum samar menghiasi wajahnya, tak jelas apa yang membuat hati gadis itu sedikit lebih tenang hari ini, tapi Adrian tahu, ada sesuatu yang mulai berubah. *** Senja merayap pelan dari balik jendela kamar Olivia. Cahaya keemasan menyusup lewat tirai, menyentuh cermin meja rias dengan lembut. Di atas meja, ponselnya masih menyala, layar terbuka pada halaman pencarian: "Tips menjawab interview kerja ekspedisi." Olivia mengusap pelipisnya perlahan, matanya sembab—bukan karena air mata, tapi dari beban pikiran yang menumpuk tanpa henti. "Besok interview pertama dan aku nggak boleh bikin Mariska kecewa. Biasanya ada Mama yang bisa aku ajak diskusi," bisik Olivia, sendu. Tiba-tiba nama Adrian terlintas di kepalanya. "Apa aku tanya Om Adri?" Olivia duduk di tepi kasur sambil menatap foto Sheila di frame kecil yang dia taruh di atas nakas. Setelah beberapa saat berpikir, ia akhirnya melangkah pelan keluar kamar, menuju ruang kerja kecil Adrian. Pintu terbuka setengah, memperlihatkan sosok lelaki itu duduk di balik meja, wajah serius terpaku pada layar laptop. Namun kaos abu-abu dan celana santainya membuat kesan santai, meski kacamatanya sedikit melorot di ujung hidung. Olivia mengetuk pintu pelan. Adrian menoleh, alisnya terangkat sedikit, tanda terkejut. "Olivia?" tanyanya, suara lembut tapi penuh perhatian. "Aku mau tanya soal ... interview," suaranya hampir berbisik, penuh keraguan. Tanpa banyak kata, Adrian menutup laptopnya dan mengangguk. "Masuk. Silakan duduk." Olivia melangkah masuk, matanya cepat menyapu ruangan yang penuh rak buku kuliner, bingkai foto kecil, dan satu sertifikat penghargaan dari asosiasi restoran yang terpajang rapi. Ia menarik kursi besar di depan meja Adrian dan duduk dengan tenang. Adrian tersenyum, "Jadi, apa yang bisa aku bantu?" "Sahabatku kenalin aku ke sepupunya. Dia punya perusahaan ekspedisi. Perusahaan kecil, tapi katanya cukup berkembang," suaranya pelan, hampir berbisik. "Eum, besok pagi aku ada interview di sana." Adrian tersenyum hangat, matanya berbinar sedikit menyemangati. "Bagus. Kamu butuh dibantu bagian apa?" Olivia menghela napas, matanya menghindar saat jujur berkata, "Gimana jawab pertanyaan seperti… ‘kenapa kamu tertarik kerja di sini’ atau ‘kelebihan dan kekurangan kamu’. Aku belum pernah kerja, Om. Ini pengalaman pertama aku setelah lulus kuliah." "I see..." "Apa Om ada sedikit tips, barangkali?" "Oke, aku akan berikan beberapa hal. Tolong perhatikan baik-baik, Via." "Baik, Om." Adrian duduk lebih tegak, tangannya mulai gerak menjelaskan dengan kalimat ringan tapi penuh makna. Sesekali dia menyelipkan contoh dari pengalamannya merekrut staf di restorannya, seolah sedang berbagi rahasia kecil. Olivia menatapnya penuh perhatian, beberapa kali mata mereka bertemu, lalu buru-buru beralih menatap ke lantai. Dan saat percakapan mereka mulai mengalir, Adrian menatap Olivia dengan senyum ramah. "Kamu udah tahu mau pakai baju apa buat interview besok?" tanyanya ringan. Olivia mengangkat alis, "Yaa … kemeja formal lama aku masih ada. Nanti aku cek di lemari tapi aku yakin semuanya masih bagus meskipun bekas aku pakai kuliah." Adrian menggeleng pelan. "Aku bisa belikan yang baru, aku akan cari bahan yang adem, potongannya sopan tapi tetap kelihatan profesional." Olivia buru-buru mengangkat tangan, wajahnya menampakkan sedikit canggung. "Nggak usah, Om. Serius, aku bukan anak kecil." Adrian hanya tersenyum tipis, mengangguk tanpa berkata lebih. "Ada lagi yang pengen kamu tanya?" Olivia tersenyum ringan. "Udah, Om. Makasih banyak." "Anytime, Via," jawab Adrian, matanya lembut penuh perhatian. "Aku permisi dulu." "Ya, silakan." Setelah itu, Olivia berdiri dari kursinya dan berlalu meninggalkan ruang kerja Adrian, meninggalkannya sendiri di balik meja kerjanya yang berantakan. Waktu berlalu, malam itu, saat Olivia melangkah masuk ke kamar setelah makan malam, matanya langsung tertuju pada kotak besar berwarna biru tua yang teronggok di atas ranjang. Pita tipis keemasan melilit rapi kotak itu, dengan selembar notes kecil terselip di atasnya, tulisan tangan yang sederhana tapi mengena: 'Bukan soal baru atau lama. Tapi kamu pantas tampil sebagai versi terbaik dari dirimu. Bukan karena orang lain, tapi karena kamu layak dilihat dengan bangga. Semoga nyaman dipakai. – A' Olivia terpaku. Jari-jarinya bergetar saat perlahan melepaskan pita itu, hati berdenyut aneh, antara penasaran dan haru. Ketika tutup kotak terbuka, tersusun rapi di dalamnya sebuah kemeja putih susu berbahan lembut, simpel namun berkelas. Di bawahnya, celana kain abu tua yang serasi, serta tas kecil dengan warna netral—semua terlihat biasa, tapi jelas dipilih dengan penuh perhatian. Gadis berwajah cantik itu duduk di tepi ranjang, menatap isi kotak dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sunyi mengisi ruang, pikirannya bergulir. Perlahan, bibirnya menggumam, "Baiklah, mungkin Om Adri memang tak seburuk yang aku kira. Semoga aku bisa bertahan hidup tanpa Mama." Hening. Namun di balik kesunyian itu, ada secercah harapan yang mulai menyala dalam dada Olivia. Bersambung...Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku
Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel
Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul
Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel
Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.
Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.







