Home / Romansa / Hasrat Terpendam Papa Tiriku / Bab 05. Mulai Bangkit.

Share

Bab 05. Mulai Bangkit.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-06 17:46:34

Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.

Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.

Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan tak lagi menolak ajakan sederhana.

Ponsel di saku celananya bergetar. Ia meraih cepat dan melihat layar. Nama Mariska terpampang jelas.

"Halo, Mariska?" suaranya keluar cepat, nyaris tanpa jeda.

Dari seberang, Mariska terdengar ceria, "Via! Kamu lagi sibuk?"

Olivia mengembuskan napas ringan. "Nggak juga. Lagi jalan-jalan sebentar di belakang rumah sambil menikmati udara pagi."

"Sendirian?"

Olivia tersenyum kecil. "Iya. Kamu lupa kalau aku selalu sendirian belakangan ini."

Dari ujung sana, terdengar tawa ringan Mariska, lalu suaranya berubah jadi lebih serius, membuat suasana tiba-tiba berubah. "Aku telepon karena bawa kabar baik. Mungkin kamu mau denger?"

Kening Olivia berkerut, suara itu seperti menimbulkan harapan sekaligus keraguan. "Kabar baik?"

"Hmm, menurutku itu kabar baik."

"Kabar apa, Ris? Katakan."

Mariska melanjutkan cepat, bersemangat. "Ingat sepupuku, Bastian? Yang dulu pernah antar kita waktu KKN ke Garut?"

"Iya, aku ingat."

"Bastian sekarang mulai usaha ekspedisi kecil-kecilan. Baru mulai tiga bulan lalu, kantornya di Kebayoran. Dia lagi cari tenaga admin yang bisa urus dokumen dan tracking pengiriman. Butuh yang cekatan, teliti, dan..." Mariska tertawa kecil, "agak galak."

Olivia terdiam, langkah kakinya pelan membeku di dekat tanaman lavender yang tumbuh rapi di pagar. Tangannya secara otomatis mengusap daun-daun kecil itu, seolah ingin mendapatkan ketenangan. "Kamu serius, kan?" tanyanya lirih.

"Serius! Tapi sebenarnya kalau untuk posisi admin, kamu nggak masalah?"

"Nggak masalah, buat pengalaman. Lalu?"

"Ya tadi aku langsung kepikiran kamu. Memang bukan perusahaan besar, tapi Bastian orangnya fleksibel, dan lingkungan kerjanya ringan. Kamu bisa mulai secepatnya kalau tertarik," jawab Mariska dengan yakin.

Olivia menatap langit biru pucat di atasnya. Angin pagi menyelinap lembut, mengacak-acak helai rambut yang terlepas dari kuncirannya. Hatinya terasa berat, tapi entah kenapa, kali ini muncul secercah harapan yang belum pernah ia rasakan selama berminggu-minggu ini.

"Gimana, Via?"

"Tapi … aku belum benar-benar siap. Aku masih…" suaranya nyaris terhenti.

"Masih berduka?" potong Mariska dengan lembut di ujung telepon.

Olivia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Iya, tapi sebenarnya aku nggak mau terus-terusan begini."

Mariska tertawa kecil dari seberang sana. "Nggak apa-apa. Tapi kadang, Via, kita justru mulai sembuh waktu dikasih kesempatan sibuk."

Olivia membalas tawa itu meski matanya menitikkan air. "Kamu emang selalu lebih bijak daripada dosen Etika Bisnis dulu."

"Jadi, mau aku kabari Bastian untuk jadwalkan wawancara ringan? Atau kamu butuh waktu mikir dulu?"

Meski Mariska tak bisa melihat, Olivia mengangguk pelan. "Bilang ke Mas Bastian … aku mau coba. Semoga aku bisa baik nanti saat interview."

"Datang saja apa adanya, Via. Sisanya biar semesta yang bantu."

"Anyway, makasih banyak, Ris."

"Sama-sama, Via."

Olivia menghela napas berat. "Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih bengong di kamar, nyalahin keadaan terus, entah sampai kapan."

Di ujung telepon, Mariska membalas dengan senyuman yang bisa dirasakan lewat suara. "It's okay not to be okay. Tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan dan ingat, kematian itu adalah takdir."

Olivia mengangguk pelan, meski Mariska tak melihatnya. "Iya, aku tahu, Maris. Aku udah mulai bisa terima, kok."

"Okay, aku kabari Bastian dulu, ya! Dia pasti senang kamu mau coba," sahut Mariska penuh semangat.

"Ya, Mariska. Bye."

"Bye!" suara Mariska menghilang seiring telepon ditutup.

Olivia berdiri lama di bawah rindangnya pohon di halaman, matanya terpejam, wajahnya menatap kosong ke langit.

Angin sepoi menyentuh wajahnya, membawa serta harapan kecil yang mulai tumbuh. Tawaran kerja itu memang bukan obat bagi luka hatinya, bukan pengganti kepergian sang Mama. Tapi, mungkin ini adalah kesempatan untuk tak lagi terus menengok ke belakang.

"Baiklah, Ma... Via akan coba. Mungkin kalau Mama masih ada, Mama juga mau aku berjuang," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh gemerisik dedaunan.

Di balik jendela dapur, Adrian menatap Olivia yang masih berdiri diam. Sebuah senyum samar menghiasi wajahnya, tak jelas apa yang membuat hati gadis itu sedikit lebih tenang hari ini, tapi Adrian tahu, ada sesuatu yang mulai berubah.

***

Senja merayap pelan dari balik jendela kamar Olivia. Cahaya keemasan menyusup lewat tirai, menyentuh cermin meja rias dengan lembut. Di atas meja, ponselnya masih menyala, layar terbuka pada halaman pencarian: "Tips menjawab interview kerja ekspedisi."

Olivia mengusap pelipisnya perlahan, matanya sembab—bukan karena air mata, tapi dari beban pikiran yang menumpuk tanpa henti.

"Besok interview pertama dan aku nggak boleh bikin Mariska kecewa. Biasanya ada Mama yang bisa aku ajak diskusi," bisik Olivia, sendu.

Tiba-tiba nama Adrian terlintas di kepalanya.

"Apa aku tanya Om Adri?"

Olivia duduk di tepi kasur sambil menatap foto Sheila di frame kecil yang dia taruh di atas nakas.

Setelah beberapa saat berpikir, ia akhirnya melangkah pelan keluar kamar, menuju ruang kerja kecil Adrian. Pintu terbuka setengah, memperlihatkan sosok lelaki itu duduk di balik meja, wajah serius terpaku pada layar laptop. Namun kaos abu-abu dan celana santainya membuat kesan santai, meski kacamatanya sedikit melorot di ujung hidung.

Olivia mengetuk pintu pelan.

Adrian menoleh, alisnya terangkat sedikit, tanda terkejut. "Olivia?" tanyanya, suara lembut tapi penuh perhatian.

"Aku mau tanya soal ... interview," suaranya hampir berbisik, penuh keraguan.

Tanpa banyak kata, Adrian menutup laptopnya dan mengangguk. "Masuk. Silakan duduk."

Olivia melangkah masuk, matanya cepat menyapu ruangan yang penuh rak buku kuliner, bingkai foto kecil, dan satu sertifikat penghargaan dari asosiasi restoran yang terpajang rapi.

Ia menarik kursi besar di depan meja Adrian dan duduk dengan tenang.

Adrian tersenyum, "Jadi, apa yang bisa aku bantu?"

"Sahabatku kenalin aku ke sepupunya. Dia punya perusahaan ekspedisi. Perusahaan kecil, tapi katanya cukup berkembang," suaranya pelan, hampir berbisik. "Eum, besok pagi aku ada interview di sana."

Adrian tersenyum hangat, matanya berbinar sedikit menyemangati. "Bagus. Kamu butuh dibantu bagian apa?"

Olivia menghela napas, matanya menghindar saat jujur berkata, "Gimana jawab pertanyaan seperti… ‘kenapa kamu tertarik kerja di sini’ atau ‘kelebihan dan kekurangan kamu’. Aku belum pernah kerja, Om. Ini pengalaman pertama aku setelah lulus kuliah."

"I see..."

"Apa Om ada sedikit tips, barangkali?"

"Oke, aku akan berikan beberapa hal. Tolong perhatikan baik-baik, Via."

"Baik, Om."

Adrian duduk lebih tegak, tangannya mulai gerak menjelaskan dengan kalimat ringan tapi penuh makna. Sesekali dia menyelipkan contoh dari pengalamannya merekrut staf di restorannya, seolah sedang berbagi rahasia kecil.

Olivia menatapnya penuh perhatian, beberapa kali mata mereka bertemu, lalu buru-buru beralih menatap ke lantai.

Dan saat percakapan mereka mulai mengalir, Adrian menatap Olivia dengan senyum ramah. "Kamu udah tahu mau pakai baju apa buat interview besok?" tanyanya ringan.

Olivia mengangkat alis, "Yaa … kemeja formal lama aku masih ada. Nanti aku cek di lemari tapi aku yakin semuanya masih bagus meskipun bekas aku pakai kuliah."

Adrian menggeleng pelan. "Aku bisa belikan yang baru, aku akan cari bahan yang adem, potongannya sopan tapi tetap kelihatan profesional."

Olivia buru-buru mengangkat tangan, wajahnya menampakkan sedikit canggung. "Nggak usah, Om. Serius, aku bukan anak kecil."

Adrian hanya tersenyum tipis, mengangguk tanpa berkata lebih. "Ada lagi yang pengen kamu tanya?"

Olivia tersenyum ringan. "Udah, Om. Makasih banyak."

"Anytime, Via," jawab Adrian, matanya lembut penuh perhatian.

"Aku permisi dulu."

"Ya, silakan."

Setelah itu, Olivia berdiri dari kursinya dan berlalu meninggalkan ruang kerja Adrian, meninggalkannya sendiri di balik meja kerjanya yang berantakan.

Waktu berlalu, malam itu, saat Olivia melangkah masuk ke kamar setelah makan malam, matanya langsung tertuju pada kotak besar berwarna biru tua yang teronggok di atas ranjang. Pita tipis keemasan melilit rapi kotak itu, dengan selembar notes kecil terselip di atasnya, tulisan tangan yang sederhana tapi mengena:

'Bukan soal baru atau lama. Tapi kamu pantas tampil sebagai versi terbaik dari dirimu. Bukan karena orang lain, tapi karena kamu layak dilihat dengan bangga. Semoga nyaman dipakai. – A'

Olivia terpaku. Jari-jarinya bergetar saat perlahan melepaskan pita itu, hati berdenyut aneh, antara penasaran dan haru. Ketika tutup kotak terbuka, tersusun rapi di dalamnya sebuah kemeja putih susu berbahan lembut, simpel namun berkelas. Di bawahnya, celana kain abu tua yang serasi, serta tas kecil dengan warna netral—semua terlihat biasa, tapi jelas dipilih dengan penuh perhatian.

Gadis berwajah cantik itu duduk di tepi ranjang, menatap isi kotak dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sunyi mengisi ruang, pikirannya bergulir.

Perlahan, bibirnya menggumam, "Baiklah, mungkin Om Adri memang tak seburuk yang aku kira. Semoga aku bisa bertahan hidup tanpa Mama."

Hening.

Namun di balik kesunyian itu, ada secercah harapan yang mulai menyala dalam dada Olivia.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 07. Masa Lalu Ingin Kembali.

    Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 06. Harapan Baru.

    Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 05. Mulai Bangkit.

    Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 04. Rapuh.

    Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 03. Masih Kehilangan.

    Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 02. Berduka dan Kehilangan.

    Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status