Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow.
Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu. Langkah kaki Olivia terdengar pelan saat menuruni anak tangga menuju ruang makan. Matanya sesekali menatap ke bawah, seolah sedang menenangkan denyut jantung yang mulai bergejolak. Di meja, Adrian sedang menuang teh ke cangkir, lalu ia mendongak begitu melihat Olivia masuk. Matanya terpaku, tak mampu mengalihkan pandangannya. Waktu seolah melambat sejenak di antara mereka. "Cantik sekali..." bisiknya tanpa sadar. Olivia berdiri dengan penampilan menawan, sesuatu dalam dirinya memancarkan kekuatan yang baru, seperti cahaya yang memancar dari perempuan yang mulai bangkit dari luka. "Kamu..." Adrian bersuara pelan, suaranya hampir terhenti. "Terlihat sangat siap pagi ini, Via." Olivia menurunkan pandangan, lalu tersenyum canggung. "Serius, Om? Penampilanku nggak berlebihan, ya? Ini pertama kali, takutnya malah terlalu wah untuk interview." Adrian melepaskan senyum hangat, dadanya seakan menyimpan rasa bangga yang sulit ia ungkapkan. 'Justru kamu terlihat menawan dan cantik sekali, Via,' bisiknya dalam hati. "Aku yakin ini nggak berlebihan, Via. Kamu malah kelihatan siap, seperti yang aku bilang tadi. Penampilan kamu wajar banget, sangat wajar. Pasti HR akan kasih nilai plus seribu persen untuk kamu!" katanya sambil tersenyum menilai penampilan Olivia dari atas sampai bawah. Olivia terkikik kecil, matanya berbinar sedikit lega. "Om berlebihan. Pakaian dari Om Adri bikin aku seperti orang yang berbeda pagi ini. Makasih ya, Om." "Sama-sama, Via. Mari kita sarapan dulu." "Ya, Om." Olivia duduk perlahan di kursi favoritnya, tangannya sibuk merapikan lipatan kemeja, sesekali menarik napas pendek seolah mencoba menenangkan hati yang bergemuruh. Wajahnya tampak tenang, tapi Adrian tahu benar ada kegelisahan yang berusaha disembunyikan. "Pagi," suara Bik Surti terdengar dari dapur, datar dan tanpa semangat, saat ia meletakkan sepiring roti panggang dan potongan buah di meja. "Pagi Bik," jawab Olivia singkat, lalu cepat mengalihkan pandangannya ke cangkir teh di depannya, matanya tak berani menatap siapa pun. Adrian duduk di seberangnya, diam-diam mencuri pandang. Ia sudah sering melihat Olivia di rumah ini—kadang dengan rambut acak-acakan, wajah lelah dengan mata sembab. Tapi pagi ini berbeda. Ada sesuatu dalam cara Olivia duduk tegak, dalam caranya tersenyum kecil menahan gugup, dan dalam sorot matanya yang hidup kembali. "Deg-degan, ya?" Adrian bertanya lembut sambil menyeruput tehnya. "Sedikit, Om," jawab Olivia, memotong roti kecil-kecil sebelum akhirnya menatapnya. "Tapi aku udah coba latihan jawab pertanyaan. Seperti yang Om ajarkan." Adrian tersenyum bangga. "Jawaban favorit kamu buat pertanyaan ‘kenapa kamu tertarik kerja di sini’?" Olivia sengaja menahan senyum sambil menirukan suara serius, "Karena saya ingin belajar dari perusahaan yang sedang bertumbuh, dan saya bisa bekerja dengan kecepatan serta tekanan." Adrian menghela napas pelan lalu tertawa kecil. "Good. Itu jawaban yang kuat. Tegas." Olivia meliriknya sejenak. "Aku juga sempat nulis versi jujurnya: ‘Karena aku butuh uang dan bosan nganggur.’ Tapi sepertinya kurang elegan." Mereka tertawa bersamaan, dan suara itu terdengar seperti sesuatu yang lama tak ada di rumah itu. Adrian menatap Olivia lebih lama dari biasanya, kacamata beningnya seolah memperjelas setiap detail wajah yang hari ini tampak berbeda—bukan hanya cantik, tapi ada semangat baru yang mengalir di matanya. "Aku belum pernah lihat kamu begitu, lepas gini," ucap Adrian, jujur. Olivia mengernyit, penasaran. "Maksudnya?" "Bersinar," jawab Adrian singkat dengan senyum hangat. Olivia terkekeh, menepis pernyataan itu sambil berkata, "Om ini bisa aja. Jangan bercanda deh, aku jadi makin gugup." Adrian cuma tersenyum tenang. "Aku nggak bercanda. Serius." Untuk pertama kalinya, Olivia tidak menanggapi dengan sinis. Ia hanya membalas dengan senyum tipis dan kembali menyesap tehnya, berusaha memfokuskan pikirannya pada proses interview nanti. *** Suara ketukan jemari Olivia di layar ponsel berirama pelan, mengisi ruang tamu yang sepi pagi itu. Ia berdiri dekat pintu sambil membuka aplikasi transportasi online. Satu jemari menyentuh pelipis, ragu. Satu lagi menggenggam map berisi CV dan dokumen pelengkap. Rambutnya terurai rapi, kemeja putih bersih menyatu dengan celana abu-abu yang elegan. "Loh? Kamu berangkat sekarang?" suara Adrian mengagetkan, sambil berdiri di ambang koridor ruang keluarga dengan kemeja rapi, meski hari ini dia hanya bekerja dari rumah. Olivia mengangguk singkat. "Iya, Om. Takut kesiangan." Adrian melangkah mendekat, matanya menyorot tak percaya. "Kamu mau naik apa?" "Taksi online, Om. Ini aku mau pesan sebentar lagi," jawab Olivia sambil mengetik nama gedung tempat interview di aplikasi transportasi online. Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dalam-dalam. "Taksi online?" "Iya." "Kenapa nggak bilang dari tadi? Aku antar," putus Adrian. Olivia segera menggeleng, "Nggak usah, Om. Aku bisa sendiri." Adrian menarik napas panjang, wajahnya berubah lembut. "Via, kalau Mama kamu masih hidup, dia pasti nggak akan ninggalin kamu hari pertama kerja. Minimal, dia bakal pastikan kamu sampai sana dengan tenang, tanpa bingung cari alamat atau waswas sendirian di mobil orang asing." Olivia menatap ke lantai, bibirnya menggigit dalam diam. Kalimat itu benar, tapi dia masih keras kepala. "Tapi aku nggak mau bikin Om repot," suara Olivia nyaris berbisik. "Bukan repot, Via. Nganter kamu itu bukan beban. Lagipula, masa lebih enak ditemani sopir yang nggak kamu kenal ketimbang sama Om?" Adrian meyakinkan sambil tersenyum tipis. Olivia tetap diam, pandangannya teralihkan ke layar ponsel yang kini muncul tulisan “Driver Sedang Dicari”. Sesekali jarinya menari tak sabar di atas layar. Akhirnya, dia menghela napas pelan dan mengangguk kecil. "Tapi antar sampai depan kantor aja, Om. Jangan turun. Jangan masuk." Adrian terkekeh ringan, suara itu hangat. "Oke, deal. Kamu tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil dulu!" Olivia hanya mengangguk pelan, menunduk sebentar sebelum ikut berjalan ke mobil hitam itu di belakang Adrian. Tak lama, keduanya sudah berada di perjalanan. Di dalam sedan hitam yang melaju pelan, keheningan menggantung, hanya pemutar musik yang menyelinap membawa lagu sendu milik Suara Kayu berjudul “Kembali Pulang,” yang lembut memenuhi udara. Olivia duduk tegak di kursi depan, matanya tak lepas dari jalanan lengang di depan. Sesekali tangannya mengecek ulang isi map di pangkuannya, menunjukkan kegelisahan yang tersembunyi. Adrian mencuri pandang padanya, bibirnya menguntai senyum kecil. "Kamu sudah terlihat siap. Tapi jangan lupa... senyum. Kadang itu lebih penting daripada jawaban," katanya dengan suara ringan. Olivia menarik napas pelan, sedikit menegakkan bahu. "Aku senyum, kok." "Senyum ke jalan nggak dihitung," Adrian menyindir sambil menoleh ke jendela. Akhirnya Olivia memalingkan wajahnya, menyunggingkan senyum tipis yang hampir tak terlihat. "Nih, Om. Lihat sini. Aku senyum, kan!" Adrian mengangguk, ikut tersenyum. "Bagus. Itu baru calon karyawan keren. Jangan lupa berdoa." "Iya, Om. Sejak tadi aku berdoa di dalam hati." "Good." Diam pun datang, tapi bukan keheningan canggung. Ada percikan kehangatan dari dua orang yang mencoba mengerti satu sama lain lewat kata-kata yang tak terucap. "Om..." suara Olivia memecah sepi. "Hmm?" jawab Adrian, menoleh ke arah Olivia dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Kenapa sih... Om baik banget ke aku? Padahal aku nggak pernah benar-benar ramah ke Om." Adrian kembali memandang lurus ke depan, jarinya mantap menggenggam setir. Suaranya pelan, berat, "Karena kamu bagian dari Sheila. Selama aku masih bisa jaga apa yang dia cintai... rasanya seperti aku masih dekat sama dia." Olivia menunduk. Ada jeda lama sebelum ia bersuara lagi. "Kadang aku masih marah sama Mama karena ninggalin aku. Padahal aku tahu itu bukan salah dia." Adrian tak segera membalas. Ia membiarkan kata-kata Olivia mengendap di antara mereka. "Aku juga masih marah," ucapnya akhirnya. "Tapi bukan ke Sheila. Ke diri sendiri. Karena aku telat datang ke hidup kalian." Olivia menoleh padanya, tapi Adrian tetap fokus menyetir. Tak ada air mata di wajahnya, tapi nadanya berat. Penuh penyesalan yang tidak butuh penjelasan panjang. Beberapa menit kemudian, mobil mulai melambat. Di sisi kiri jalan, sebuah gedung kantor sederhana bertingkat tiga muncul samar. "Ini?" tanya Adrian. Olivia mengangguk pelan. "Iya, Om. Berhenti di sini aja. Jangan turun." Adrian menepikan mobil perlahan. Ia tak membuka pintu, hanya menoleh dan menatap Olivia sebentar. "Kalau nanti selesai dan kamu perlu dijemput, tinggal kabarin. Saya tunggu di restoran, ternyata lokasinya cukup dekat." Olivia membuka sabuk pengaman, lalu memegang gagang pintu. "Ya, Om. Tapi terima kasih. Mungkin nanti saya bisa naik taksi." Saat Olivia hendak turun, Adrian memanggil pelan, "Via." Olivia menoleh. "Kamu hebat, tahu?" ucap Adrian, suaranya lembut namun penuh arti. Ia tak membalas. Tapi dari balik kacamata beningnya, Adrian bisa melihat sorot mata yang mulai berubah. Olivia menutup pintu dengan perlahan. Langkahnya menjauh, punggungnya tetap tegak walau terlihat ragu di tiap gerak kakinya. Di balik kemudi, Adrian menatap sosok itu dalam-dalam, seolah berusaha membaca luka yang belum sembuh di balik senyum dan sikap Olivia. Napasnya berat, ia menekan pedal mobil perlahan, mencoba fokus pada kemacetan yang mulai menumpuk. Namun, tiba-tiba aroma parfum Olivia yang masih tersisa di kursi sebelah mengalihkan perhatiannya. Ia mengernyit, tak bisa menahan senyum kecil karena ia menyukai wangi itu. Bayangan senyum manis dan sikap lembut Olivia tadi menari di pikirannya. Adrian tertegun, menyadari betapa cantiknya perempuan itu—bibirnya yang tipis begitu pas, dan mata lebarnya dihiasi bulu mata lentik yang menawan hati. Duda tampan itu segera menggelengkan kepala, gusar pada dirinya sendiri. "Sial! Mikir apa sih gue?!" gumamnya pelan, mencoba mengusir perasaan yang tak ia mengerti. Bersambung...Mobil sedan Adrian berhenti di depan Restoran Solaire, kebanggaannya sendiri. Tempat bergaya modern-industrial dengan sentuhan tropikal itu terletak di jantung Jakarta Selatan. Dindingnya didominasi kaca, dihiasi tanaman gantung yang menjuntai di sepanjang jendela, menciptakan suasana segar sekaligus minimalis. Restoran itu adalah hasil perjuangannya melewati jatuh bangun kehidupan pasca perceraian dengan sang istri. "Aku tunggu kabar dari Olivia di sini saja," bisik Adrian sambil melepaskan seatbelt dan melirik jam tangan. "Baru jam setengah sembilan pagi. Semoga wawancaramu berjalan lancar, Via." Senyum manis Olivia yang tadi di dalam mobil tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya. Sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Adrian mematikan mesin dan turun dari mobil. "Pagi, Pak Adri!" sapa Suryadi, petugas keamanan yang berdiri di depan pos satpam. Pria berbadan tegap itu melambaikan tangannya. "Pagi juga, Pak Suryadi." Adrian membalas dengan senyum kecil dan anggukan kep
Olivia berdiri diam di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri yang baru saja tertangkap. Kemeja putih lembut yang kemarin ada di dalam kotak kini melekat pas di tubuhnya, seperti dibuat khusus untuknya. Celana abu tua serasi memberikan kesan rapi dan profesional, sementara rambut yang ia biarkan terurai sebagian disisir rapi dan ujungnya sedikit ditiup blow. Make up tipis menghidupkan rona segar di wajahnya, dan sepasang kacamata bening menghias hidung, memberi kesan cerdas sekaligus dewasa. Olivia menarik napas dalam, dadanya mengembang penuh keyakinan meski hatinya masih terselip keraguan kecil. "Oke, kamu bisa. Tundukkan siapapun HR di balik meja itu, Via," gumamnya pelan, menatap bayangan sendiri dengan senyum kecil yang berusaha menyingkirkan gelisah. Olivia melirik arlojinya. "Sebaiknya aku sarapan dulu. Masih ada waktu, interview aku pukul sembilan." Gadis cantik itu menatap cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya, lalu memutar tubuhnya menuju pintu
Langkah kaki Olivia terdengar pelan menyusuri setapak batu di taman belakang rumah Adrian. Udara pagi masih sejuk, dingin lembut yang membuat napasnya terasa segar. Sinar matahari menembus celah dedaunan trembesi, berkilau malu-malu seperti ingin mengintip rahasia hari baru. Di kejauhan, kolam kecil berisi ikan mas tenang sekali, airnya nyaris tak beriak sama sekali.Karena udara cukup panas, Olivia mengenakan kaus longgar dan celana katun abu, rambutnya dikuncir seadanya. Wajah polos tanpa riasan itu menampakkan ketenangan yang berbeda dari biasanya. Pagi itu, hatinya terasa sedikit lebih ringan—seolah ada beban yang perlahan mencair. Mungkin karena dia sudah mulai bisa menerima keadaan sedikit demi sedikit, ditambah kehadiran Mariska yang menjadi tempat curahan hatinya.Namun, meski sudah lebih dari seminggu tinggal di rumah Adrian, Olivia masih memilih diam, menjaga jarak dengan lelaki itu. Tapi ada perubahan kecil yang tak terelakkan: ia mulai keluar kamar, ikut makan bersama, dan
Hari ketiga di rumah Adrian masih sama sunyinya seperti dua hari sebelumnya. Dingin menusuk dan rasa canggung yang tak hilang dari udara. Olivia tetap memilih mengurung diri di kamarnya, jarang sekali turun sekalipun untuk makan. Adrian berusaha berpura-pura biasa saja, menyembunyikan ketegangan seolah itu bisa membuat suasana menjadi normal. Tapi sejak Sheila pergi, semua terasa hampa dan tak pernah benar-benar seperti sedia kala. Pagi itu, Olivia duduk membungkus tubuhnya dengan selimut di sudut tempat tidur. Jari-jarinya menggenggam ponsel yang menampilkan tujuh panggilan tidak dijawab pada Ruby. Dengan enggan, ia membuka room chat, melihat deretan pesan yang belum juga dibaca oleh sang Tante. "Nomornya aktif, tapi kenapa semua pesanku nggak terbaca?" gumamnya, suara pelan penuh kesal. Tarikan napas panjang mengisi dadanya. Matanya masih sembab, meski tak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya seperti ditinggalkan oleh siapa pun yang seharusnya datang tapi malah pergi menjauh.
Rumah besar berlantai dua milik Adrian Fabian berdiri megah dalam balutan cahaya lampu taman yang hangat. Namun bagi Olivia, bangunan itu terasa lebih seperti penjara yang tak ia pilih, ketimbang rumah.Saat mobil Adrian berhenti di carport, Olivia turun tanpa banyak bicara. Ia hanya menenteng tas kecil, langkahnya pelan tapi tegas menuju pintu depan.Adrian membukakan pintu, mempersilakan dengan gerakan tangan yang diam dan sopan."Kamarmu di atas, lantai dua, yang paling ujung kiri. Sudah Mama kamu pilih sendiri waktu itu," ucapnya pelan, seperti berjalan di atas pecahan kaca."Oke.""Perlu aku antar?"Olivia hanya menggeleng, suara pendek. "Tidak, aku bisa cari sendiri.""Yakin?""Iya."Adrian menghela napas kecil, mencoba memecah keheningan. "Kalau butuh apa-apa, kamu bisa cari aku. Aku ada di ruang keluarga, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan."Tanpa membalas, Olivia mengangguk kecil dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Langkah kakinya bergema pelan di lantai marmer
Langit mendung bergelayut rendah sejak pagi. Udara dipenuhi kelembaban, aroma tanah basah, dan duka yang menggantung berat di udara. Tanah pemakaman wanita itu sunyi meski dipenuhi puluhan pelayat. Semuanya menunduk, seolah tak berani mengganggu kesedihan yang pekat di udara. Di barisan depan, Olivia berdiri tegak, tanpa payung, membiarkan gerimis jatuh membasahi rambut dan wajahnya yang pucat. Kain hitam membungkus tubuhnya, sementara matanya menatap kosong ke arah liang lahat yang siap digunakan. Dari kejauhan, Adrian berjalan dengan langkah gontai. Koko putih dan celana hitamnya tampak kontras dengan sorot matanya yang hampa, seolah beban dunia menekannya. Tangannya gemetar saat ia mengangkat keranda berisi jenazah Sheila, yang dibungkus kain kafan putih bersih. Perlahan ia mendekati lubang liang lahat, bersama para pelayat pria lain. Dengan hati-hati, mereka menurunkan keranda itu. Adrian pun ikut masuk ke liang lahat, mengiringi sang istri sampai ke peristirahatan terakhir