Share

Bab 11. Mendekat.

Author: eslesta
last update Last Updated: 2025-10-09 15:09:12

Pasca dua hari berjuang melawan alergi seafood yang memaksanya berbaring di ranjang dengan tumpukan obat di meja, tubuh Olivia akhirnya mulai menunjukkan tanda-tanda pulih. Nafasnya sudah lega, mual yang mendera hilang, hanya sisa-sisa lelah yang masih menggelayut pelan di setiap uratnya.

Pagi itu, tangannya menggenggam cangkir teh chamomile, hangatnya menyusup di sela jemari. Kimono tidur tipis masih menyelubungi tubuhnya, belum sempat ia lepas karena niat mandi masih menunggu setelah ini. Rambutnya yang diikat sembarangan menjatuhkan beberapa helai ke pelupuk mata, menambah kesan lembut pada wajahnya yang masih lelah.

Dengan langkah ringan yang hampir tak bersuara di lantai kayu, ia menyusuri ruang tengah menuju halaman belakang yang menghadap kolam renang. Tempat itu selama ini hanya menjadi jalur singkat tanpa ia perhatikan. Hari ini berbeda. Ia ingin menghirup udara pagi dan merasakan hangatnya matahari yang baru terbit.

Gadis cantik itu baru melangkah beberapa dari pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah ke halaman, tapi ia langsung terhenti.

"Sial! Mataku ternoda!" gerutunya sambil memicingkan mata.

Napasnya serasa tercekat, pandangannya terpaku ke tengah kolam. Adrian sedang berenang, tubuhnya bergerak dengan ritme yang sempurna, tenang, kuat, dan penuh kendali. Cahaya pagi memantul dari permukaan air, menari di kulit terangnya yang basah. Rambutnya menempel rapi di kepala, setiap gerakan tangan memperlihatkan lekuk otot bisep dan pundak yang tegas, seolah dipahat dari batu.

Olivia menggenggam erat cangkirnya sampai nyaris oleng, tapi ia berhasil menahan. Tiba-tiba dia merasa lelaki itu bukan sekadar pemilik restoran yang dewasa dan sabar.

"Bodoh! Kenapa harus ada Om Adri di situ. Sepagi ini," gumamnya pelan, suara sedikit bergetar. Meski begitu, ia tak beranjak, malah tampak menikmati pemandangan itu dengan mata yang tak lepas menatap.

Dalam basah dan gerakan lambat itu, ia menjadi laki-laki utuh yang tak bisa tidak memikat mata. Perutnya terlihat kokoh dengan otot-otot yang tidak dibuat-buat, mengingatkan Olivia pada adegan-adegan film yang sering ia anggap berlebihan. Tapi ini nyata. Terlalu nyata.

Ia mematung di dekat pintu. Bahkan ketika Adrian menyelesaikan satu putaran renang dan naik ke tepi kolam, Olivia tidak segera berpaling. Napasnya sempat tercekat saat melihat air menetes dari rambut dan menyusuri garis rahang serta dada Adrian, turun perlahan ke perutnya yang basah dan rata.

Ketika Adrian mengambil handuk dan mengusap wajahnya, pandangan itu baru teralihkan. Tatapannya bertemu dengan Olivia. "Hai, pagi, Via," sapanya ringan dengan senyum kecil.

Olivia tersentak, suara tercekat naik satu oktaf dari biasanya.

"Eh... I-ya. Pagi, Om." Ia buru-buru memalingkan wajah, menyibukkan diri menatap dedaunan tanaman hias, seolah meneliti tiap helai daun seakan itu hal terpenting di dunia saat ini.

"Kamu lagi cari matahari pagi, ya?" Adrian bertanya sambil mengusap rambutnya dengan handuk, tetesan air masih tersisa di ujung helai.

"I-iya, Om," jawab Olivia menoleh sekilas, sengaja mengalihkan pandangan dari otot bisep kekar Adrian yang bergerak mengikuti sapuan handuk itu.

"Kamu sudah jauh lebih baik?" Adrian menatapnya penuh perhatian.

Olivia mengangguk pelan. "Jauh lebih baik, Om."

Wajah Adrian mengembang lega. "Syukurlah."

"Berkat istirahat dan minum obat, Om."

"Iya, untungnya pemulihan kamu tergolong cepat, Via. Kamu benar-benar kuat."

"Iya, Om. Oh ya, apa Om memang biasa berenang sepagi ini?" tanya Olivia, berusaha terdengar santai.

"Iya, sudah lama aku nggak berenang. Kamu harus coba sesekali, Via. Biar badanmu juga segar," jawab Adrian, senyumnya makin memikat saat wajahnya terkena cahaya pantulan kolam renang.

"Iya, Om. Lain kali, ya."

Adrian mengangguk dan meletakkan handuknya. "Ya sudah. Aku mau mandi dulu. Kita ketemu di meja makan, ya."

"Baik, Om. Sampai nanti."

Adrian tidak berkata banyak lagi, hanya menatapnya sesaat—mata tajamnya seperti menangkap sesuatu yang belum sempat dikatakan. Lalu ia mengangguk singkat dan berjalan masuk lewat pintu sisi lain, membiarkan Olivia berdiri sendirian dengan teh yang mulai mendingin di tangan.

Setelah Adrian menghilang, Olivia menutup mata sebentar dan mengembuskan napas panjang. "Astaga... itu tadi, kenapa jadi deg-degan? Kacau kamu, Via!"

Gadis cantik itu menatap kolam yang kini tenang. Tapi pikirannya tidak.

Olivia menggelengkan kepalanya dan buru-buru berjalan menuju taman belakang. Sampai di sana, ia duduk di kursi besi yang tampak mengundang. Beberapa detik kemudian pikirannya kembali berisik oleh pemandangan yang seharusnya tidak mengusiknya.

***

Meja makan panjang di sudut ruang itu tertata rapi dengan taplak tenun klasik yang memancarkan aura tradisional. Di atasnya tersaji sarapan sederhana: nasi pecel dengan sayuran rebus yang menggoda selera, sambal kacang kental yang masih mengkilap, dan tempe goreng hangat yang aromanya menggugah. Sebuah teko kecil berisi teh melati mengepul, wangi harumnya merayap pelan memenuhi ruangan, menenangkan udara pagi.

Selepas aktivitas berjemur dan selesai membersihkan diri, Olivia duduk tegak di kursinya sambil menahan detak jantung yang masih sedikit tidak stabil sejak kejadian di kolam renang tadi.

Adrian duduk di seberangnya. Kaos hitam lengan pendek dan celana santai membuatnya tampak kasual, tapi justru itu yang membuat Olivia semakin susah berkonsentrasi. Matanya berusaha fokus pada piring, bukan pada otot lengan Adrian yang masih tampak kencang saat lelaki itu menyendok nasi.

"Kamu bengong aja, Via?" suara Adrian menyadarkannya, nada suara ringan tapi mengusik.

Olivia tersentak, lalu menjawab terbata, "Ah, iya, Om."

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Eum... anu."

"Anu apa, Via?"

"Non, ini sambalnya nggak terlalu pedas," tiba-tiba Bik Surti muncul di depannya dan menyelamatkan situasi. Perempuan berdaster merah itu meletakkan kerupuk putih ke atas meja. Tatapannya ke arah Olivia sekilas, lalu langsung menunduk. "Maaf ya soal waktu itu. Saya benar-benar nggak tahu Non Via alergi udang."

Olivia tersenyum sopan, berusaha menetralisir suasana. "Nggak apa-apa, Bik. Saya juga kurang hati-hati dan nggak jujur sama kalian. Terima kasih ya, udah bantu rawat saya juga."

Bik Surti mengangguk cepat dan langsung kembali ke dapur, tampak lega tapi masih segan untuk duduk terlalu lama di dekat mereka.

Adrian menyuap sepotong tempe goreng, lalu memandang Olivia sebentar. "Kamu udah benar-benar enakan sekarang?"

Olivia mengangguk, menghindari kontak mata. "Udah jauh lebih baik, kok. Kayaknya tinggal ngumpulin semangat aja."

Adrian menyenderkan tubuhnya sedikit ke sandaran kursi. "Minggu depan mulai kerja ya? Di kantor Bastian."

"Iya, Om. Karena insiden alergi kemarin, aku jadi minta dispensasi masuk di minggu depan. Untungnya Mas Bastian setuju. Padahal, dia tau kehadiran aku sangat dibutuhkan saat ini." Olivia memotong sepotong kecil tahu bacem, mencoba terdengar tenang.

"Oh ya? Dia nggak keberatan?"

"Enggak, Om."

"Tapi tadi kamu bilang kehadiran kamu sangat dibutuhkan saat ini?"

"Iya, Om. Sebenarnya dia berharap aku bisa masuk besok, sesuai kesepakatan awal. Tapi kata Mas Bastian, kesehatan nomor satu."

Adrian manggut-manggut sambil menyiram saus kacang di atas sayuran yang sudah dia tata di piringnya. "Fast Track itu perusahaan baru, ya?"

"Betul, Om."

"Pantas aja kamu sangat dibutuhkan. Mereka masih kurang main power," balas Adrian, mengaduk saus kacang dengan sayuran.

"Iya, itu salah satunya. Mariska udah ngabarin juga, katanya divisinya belum lengkap jadi mungkin di awal pekerjaanku lebih serabutan. SOP pun belum semua tercatat."

"Kamu yakin bisa bertahan?" tanya Adrian, mengunyah sayuran.

"Bisa, Om. Aku fresh graduate dan harus cari pengalaman sebaik mungkin. Untuk dapat ke puncak, kita harus mulai dari bawah, bukan?"

Adrian tersenyum bangga. "Good. Kamu bakal cocok di sana. Bastian kelihatannya baik, serius kerja, dan aku yakin dia bisa jadi bos yang fair."

Olivia hanya mengangguk. Ia mengunyah perlahan, tapi pikiran masih jauh. Sisa-sisa visual Adrian yang basah dan kekar tadi di kolam berenang masih menari-nari di kepalanya. Dan itu sangat mengganggu.

Tanpa sadar, Olivia meletakkan sendok terlalu keras ke piring.

Tok!

Adrian mengangkat alis. "Kamu baik-baik aja, Via?"

Olivia menunduk. "Maaf... kupikir. Eh, enggak. Nggak sengaja."

Adrian melepaskan tawa kecil, matanya menatap penuh selidik. "Kamu aneh banget pagi ini, Via. Ada yang mengganggu pikiranmu? Cerita dong, siapa tahu aku bisa bantu."

Olivia tersenyum kikuk. "Enggak ada, Om. Mungkin grogi karena tadi kita bicara masalah pekerjaan pertama aku."

Adrian menyender santai, ekspresinya penuh godaan tapi tetap menjaga batas. Ia tidak berkata apa-apa lagi, tapi senyum geli di wajahnya tidak hilang hingga sarapan usai. Entahlah, bagi Adrian, Olivia pagi ini terasa berbeda. Dan dia senang melihat gadis itu lebih lepas. Suasana rumah pun terasa sedikit lebih hidup berkat itu.

***

Selepas sarapan yang cukup mendebarkan tadi, Olivia berdiri di depan lemari kecil di kamarnya, jarinya ragu menyentuh gagang pintu. Saat membuka, deretan pakaian formal menggantung seadanya langsung menyapa matanya. Koleksi kemeja lama dari masa kuliah, celana bahan longgar, dan blazer merah yang warnanya sudah tidak cerah lagi.

Tangannya menarik satu kemeja biru muda yang masih terlihat paling rapi. Perlahan, matanya menjelajah ke kancing yang satu sudah terlepas, belum sempat dijahit kembali. Napasnya terhela panjang.

"Sepertinya, aku terlalu sibuk dengan kaus dan celana jeans. Harus cari baju formal baru," gumamnya lirih, walau di dalam hati masih berusaha menolak ketergantungan pada orang lain.

Saat ia berbalik menuju tempat tidur untuk mengambil ponselnya dan menghubungi Mariska, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

Tok.

Tok.

"Via?" suara Adrian terdengar dari luar. Suaranya tak keras, tapi cukup tegas. "Kamu lagi sibuk?"

"Enggak, Om!"

"Boleh buka pintunya?"

"Sebentar, Om!"

Olivia berlari kecil menuju pintu. Perlahan ia membuka sedikit celah, matanya menyapu sosok Adrian berdiri santai dengan kemeja flanel yang lengannya dia biarkan tergulung setengah, tangan kanannya menggenggam kunci mobil.

Wajah pria itu menunjukkan keraguan sesaat sebelum akhirnya bicara, "Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi sebelum aku ke restoran, aku ingin ajak kamu ke butik langganan. Nggak harus beli apa-apa, cuma lihat-lihat aja. Siapa tahu ada yang kamu butuhkan buat kerja nanti."

Olivia membalas tatapan itu dengan mata yang datar, suaranya keluar tanpa semangat, "Aku masih punya beberapa baju. Lagipula, aku bisa beli sendiri nanti setelah gajian."

Adrian mengangguk pelan, tapi matanya tetap tak lepas dari wajah Olivia. "Aku tahu. Aku cuma ingin kamu merasa nyaman saat mulai kerja. Dan jujur aja, kamu pantas kelihatan rapi, bukan sekadar cukup. Kalau Sheila masih ada, aku yakin Mama kamu juga akan minta hal yang sama."

Olivia terdiam. Ucapan Adrian menyentuh bagian terdalam yang masih rapuh. Ia menunduk, lalu kembali melirik lemari. Mungkin benar. Ia butuh sedikit dorongan.

"Oke, Om," katanya akhirnya. "Tapi jangan lama-lama, ya. Dan kalau nggak ada yang cocok, jangan paksa aku beli."

"Siap! Cepat kok nanti di sana," jawab Adrian ringan. "Aku tunggu di sofa."

Setelah pintu tertutup, Olivia menarik napas dalam dan kembali ke depan lemari, memilih kaus hitam serta celana jeans. Ia tak berdandan banyak, hanya mengoles bedak tipis dan menyisir rambutnya rapi.

Sepuluh menit kemudian, ia melangkah keluar kamar. Adrian duduk di sofa ruang keluarga sambil mengecek ponsel. Ia mendongak dan mengangguk saat melihat Olivia. "Kamu sudah siap?"

"Sudah, Om," jawab Olivia, menjaga nada tetap netral.

"Oke. Ayo kita berangkat."

"Hmm," angguk Olivia.

Mereka berjalan berdampingan meninggalkan ruangan keluarga menuju mobil. Tak ada percakapan, hanya suara angin pagi dan langkah kaki yang bergema di teras.

Tak lama, mobil hitam itu meluncur pelan keluar dari bawah carport.

Satu jam kemudian, mereka sampai di depan Butik "Tierra Mode".

Suasana butik yang minimalis dan elegan langsung menyambut mereka. Interior bernuansa beige dan aksen kayu muda memberi kesan hangat. Musik lembut mengalun di latar, membuat pengunjung merasa nyaman. Di sisi kiri, barisan rak dengan koleksi blus kerja, blazer, dan rok rapi berjajar dengan tertata. Di sisi kanan, sebuah sofa empuk disiapkan untuk yang menunggu.

"Eum, ini bukannya mahal banget, ya, Om?" bisik Olivia.

"Masih terjangkau, kok."

"Oh, oke."

"Kamu liat dulu aja, siapa tau ada yang cocok."

"Ya, Om."

Olivia masih ragu saat matanya menatap deretan pakaian yang tergantung rapi di gantungan. Tangannya agak kaku ketika meraih satu per satu, lalu seorang pegawai butik menghampiri dengan senyum ramah, menawarkan bantuan memilihkan.

Adrian menunggu di sofa, duduk dengan kedua tangan disilangkan, memperhatikan Olivia yang tengah memilih pakaian di ujung ruangan. Dari kejauhan, ekspresinya tetap serius, tapi sorot matanya menunjukkan perhatian yang tersembunyi.

Olivia tampak memegang dua potong kemeja berwarna pastel. Satu biru langit, satu lagi krem muda. Ia mencoba keduanya secara bergantian di dalam kamar pas. Akhirnya ia memilih keduanya, ditambah sepotong blazer warna abu-abu muda dan celana kerja hitam. Tak banyak, tapi cukup untuk awal.

Ketika ia menghampiri Adrian, lelaki itu segera berdiri, mata mereka bertemu.

"Udah dapet yang pas?" tanya Adrian dengan nada hangat.

"Iya, cukup segini," jawab Olivia. "Tolong jangan dibayarin ya. Aku tahu niat Om baik, tapi aku nggak nyaman. Potong aja dari uang rumah Mama."

Adrian sempat ingin membantah, tapi melihat sorot mata Olivia yang tegas dan tidak ingin dikasihani, ia akhirnya mengangguk.

"Oke. Aku minta mereka catat dan tagih ke aku. Nanti aku potong dari rekening itu."

"Makasih, Om," ujar Olivia pelan.

"Sama-sama, Via."

Setelah membayar belanjaan, Olivia dan Adrian berjalan pelan menuju pintu keluar butik. Adrian meraih gagang pintu, tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celana. Ia menarik napas pelan, matanya melekat pada nama yang muncul: Gista.

Dengan nada datar dan suara tanpa semangat, ia mengangkat telepon.

"Halo?" jawabnya singkat.

Olivia tak berniat menguping, tapi jaraknya terlalu dekat untuk tidak mendengar sebagian isi percakapan.

"Mas Adri, kamu lagi di mana?" suara Gista terdengar lembut, diselipkan nada manja yang dibuat-buat.

"Di luar," jawab Adrian, singkat dan sedikit dingin.

"Lagi sama siapa?" tanya Gista, santai tapi seolah menyelidik.

Adrian mengerutkan dahi, nadanya berubah ketus, "Kenapa, Gista?"

Olivia menunduk, pura-pura sibuk dengan tali tas belanjaan di tangannya. Tapi telinganya tak sengaja menangkap nama itu: Gista.

"Nggak apa-apa. Nevan nanya katanya kamu janji beliin mobil-mobilan polisi. Jadi aku cuma mau ta—"

"Itu bisa diatur nanti. Minggu depan aku ketemu Nevan," potong Adrian cepat dengan nada tegas, tanpa sisa kehangatan. Ia jelas tak ingin pembicaraan itu berlanjut.

Gista diam sejenak. Lalu suaranya terdengar lebih lembut lagi, hampir berbisik.

"Kamu lagi sibuk banget, ya? Sama siapa sih sekarang?"

"Bukan urusan kamu, Gista," jawab Adrian dengan nada tajam tapi tetap terkendali. "Kalau urusannya bukan soal penting, jangan ganggu. Aku tutup dulu."

Klik.

Telepon diputus sepihak.

Adrian kembali menghampiri Olivia yang sudah berdiri di depan mobil, ekspresi wajahnya datar. Ia tak langsung bicara, hanya membuka pintu mobil dan naik di balik kemudi.

Mereka duduk di dalam mobil, kabin terasa sunyi sejenak. Adrian menyalakan mesin, lalu melirik sebentar ke arah Olivia.

"Maaf ya, tadi terima telpon sebentar."

"Dari siapa, Om?" tanya Olivia santai, menatap ke depan. Nada suaranya ringan, tapi matanya sempat melirik ke kaca jendela, mencuri ekspresi Adrian dari pantulan.

Adrian menghela napas pelan, lalu menjawab pendek, "Orang nggak penting."

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 46. Pagi Yang Sendu Di Kolam Renang

    Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 45. Nevan Merajuk.

    Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 44. Hasutan Gista.

    Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 43. Bantuan Olivia (21++)

    Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 42. Jebakan Celia.

    Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.

  • Hasrat Terpendam Papa Tiriku   Bab 41. Hukuman Nikmat.

    Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status