MasukOlivia berdiri tegak di depan pintu rumah besar Adrian, dada berdebar tak karuan meski blazer sage-green yang dikenakannya tampak rapi menutupi gemetar halus. Celana bahan hitamnya berlipat sempurna, rambutnya yang diikat setengah ke belakang menambah kesan profesional meski pipinya merona merah, seolah make-up tipis di wajahnya tak mampu menutupi ketegangan yang menggerogoti. Tangannya menggenggam ponsel dengan jari yang sedikit gemetaran, siap memesan ojek online untuk pergi ke kantor—hari pertamanya bekerja.
Langkah kaki menghentak pelan dari dalam rumah. Adrian muncul dari lorong, memakai kemeja santai, jam tangan mahal melingkar di pergelangan kirinya. Senyum tipisnya seolah sudah tahu betul waktu yang tepat untuk muncul. "Udah siap berangkat?" tanyanya santai, tapi tatapan matanya begitu tajam menatap Olivia. Olivia mengangguk cepat. "Iya. Tinggal pesan ojek online, Om." Adrian menyipitkan mata menatap layar ponsel gadis cantik itu. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, "Nggak usah pesan ojek. Biar aku aja yang antar." Kening Olivia langsung berkerut, bibirnya menegang. "Om, aku bisa sendiri. Aku nggak mau merepotkan. Lagi pula Om pasti habis ini mau ke restoran." "Tapi aku nggak bisa tenang kalau kamu berangkat sendirian," sahut Adrian cepat. Ia melangkah lebih dekat, berdiri beberapa meter di depannya. "Hari pertama, Via. Kamu pikir Mama kamu nggak akan khawatir?" Olivia terdiam. Kalimat itu lagi. Kalimat yang selalu jadi senjata Adrian sejak kepergian Sheila. Wajah Adrian datar, tapi ada kehangatan yang terselip di balik itu. "Kalau Sheila masih ada, Mama kamu pasti mau aku yang antar. Pastikan kamu sampai dengan aman. Masa aku biarin kamu naik motor sama orang asing?" Olivia menatap Adrian, hatinya mulai goyah. Satu sisi dia merasa masih perlu menjaga jarak. Tapi sisi lainnya—yang rapuh, yang merindukan rasa aman—mulai terbuka perlahan. Gadis cantik itu menghela napas pelan. "Tapi ... jangan antar sampai depan lobi, ya. Turunin di belokan sebelum gedung." Adrian mengangguk cepat, wajahnya melunak. "Deal. Asal kamu ikut, turunnya di mana pun nggak masalah." Olivia membuang napas berat, matanya menyipit sedikit. "Om sengaja banget, ya, keluar pas aku mau berangkat?" Adrian menyeringai kecil. "Jujur, aku nggak bisa tidur tadi malam. Ngebayangin kamu pergi sendiri, malah aku yang nggak tenang." "Ya sudah. Ayo berangkat, Om." "Ayo. Aku ambil kunci mobil dulu." Tak berapa lama, keduanya melangkah menuju mobil yang terparkir di bawah carport. "Hati-hati, Via." "Iya, Om. Aku bukan anak kecil yang pertama kali naik mobil," kata Olivia pura-pura mendengus kesal dan memalingkan wajah, padahal dalam hatinya entah mengapa dia mulai nyaman diperhatikan Adrian. Adrian hanya tersenyum lebar sambil membuka pintu mobil. Keduanya naik dan memakai seatbelt hampir bersamaan. Beberapa menit kemudian, mereka sudah dalam perjalanan menuju kantor baru Olivia. Mobil sedan hitam itu melaju pelan di jalan protokol yang mulai ramai. Di dalam kabin, suasana sempat hening, hanya suara pelan dari lagu milik Billie Eilish berjudul Wildflower yang mengisi kekosongan di antara dua penumpangnya. Adrian tanpa sadar beberapa kali melirik ke arahnya, matanya menangkap perubahan yang selama ini tersembunyi. Dengan suara lembut, ia memecah diam, "Kamu cocok banget pakai baju itu." Olivia cepat menoleh, sedikit canggung. "Blazer ini?" jawabnya, berusaha sembunyikan kebingungan. Adrian menyunggingkan senyum kecil, tangan masih mantap menggenggam setir. "Iya, elegan. Dewasa. Tapi tetap kamu." Olivia memutar bola matanya, tapi sudut bibirnya mengkhianati—senyum tipis hampir terbit. "Om mulai berlebihan deh." "Nggak berlebihan, cuma jujur," jawab Adrian santai. Keheningan kembali, tapi kali ini terasa berbeda. Hangat, penuh arti. Adrian sekali lagi melirik Olivia, matanya menanyakan sesuatu tanpa kata, sebelum akhirnya kembali fokus ke jalan. "Kamu gugup?" tanyanya pelan. "Banget, Om!" jawab Olivia jujur. "Aku takut bikin kesalahan di hari pertama. Lagipula, aku belum pernah punya pengalaman kerja sama sekali." "Kalau kamu udah terbiasa ngadepin Mama kamu yang keras kepala, ngadepin dunia kerja itu setengahnya sudah lulus," Adrian menggoda. Olivia terkekeh, meski senyumnya cepat memudar. "Aku jadi kangen Mama," katanya pelan. Adrian menoleh sebentar, hatinya seperti diremas. "Aku juga." Mereka kembali diam. Tapi tidak ada rasa tak nyaman. Hanya ada dua orang yang sama-sama kehilangan, duduk bersebelahan dan saling memahami kesunyian satu sama lain. Beberapa menit kemudian, mobil mulai mendekati kawasan perkantoran. "Turunin di tikungan depan aja ya, Om," kata Olivia cepat, mengatur nada agar tidak terdengar terlalu lembut. Adrian mengangguk. "Oke. Tapi kabarin aku kalau kamu udah selesai nanti. Aku jemput misalnya aku bisa." "Lihat nanti, Om. Aku belum tau pulang jam berapa. Bisa jadi lebih lama karena anak baru," jawab Olivia, membuka pintu mobil. Sebelum turun, ia menoleh, ragu sejenak. "Makasih ya, udah maksa nganterin." Adrian tersenyum tipis. "Nggak maksa. Cuma tanggung jawab aja." Olivia turun, dan sebelum pintu tertutup, Adrian sempat berkata pelan, nyaris seperti angin. "Good luck, Via." *** Lantai dua bagian sayap kanan gedung tiga lantai itu tampak modern tapi sederhana. Cahaya matahari pagi yang menyusup lewat dinding kaca dari arah timur melukis bayang-bayang meja panjang dan partisi setinggi dada yang membatasi area kerja open space. Rak-rak arsip minimalis berjejer rapi di sudut ruangan, sedangkan aroma kopi dan dingin pendingin ruangan menguar samar, khas kantor startup yang masih berkembang. Langkah kaki Olivia terdengar pelan di koridor, seiring pintu kaca bertuliskan PT. Fast Track Logistic terbuka otomatis. Ia menatap seorang staf wanita di balik meja resepsionis yang langsung melihat ke arahnya. Lanyard bergelantungan di leher wanita itu bertuliskan nama "Gianni". "Pagi, Mbak," sapanya dengan suara sedikit bergetar, masih meraba suasana baru. "Ya, pagi," jawab Gianni sambil tersenyum tipis, matanya menelisik penuh perhatian. "Aku, Olivia. Kerja hari pertama di sini." "Oh, karyawan baru ya?" tanya Gianni ramah. "Iya, Mbak." "Sebentar, aku kasih kartu akses gedung dulu, ya." "Baik, Mbak." Olivia mengangguk, menahan degup jantungnya. Gianni sedang mengulurkan kartu akses untuk Olivia ketika tiba-tiba, langkah cepat dan suara panggilan dari sisi lain koridor memecah suasana. "Via!" seru Bastian dengan suara hangat. Olivia menoleh, bibirnya mengukir senyum tipis, "Hai, Mas." "Ayo! Ikut aku, aku temani kamu ke ruanganmu dan berkenalan dengan tim lain," ajak Bastian tanpa menunggu jawaban, langsung menarik lengannya. Detik berikutnya, Olivia langsung menyambar kartu akses dari tangan Gianni dengan sedikit ragu dan mengekori Bastian menuju pintu kaca tebal. Olivia menelan saliva. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Begitu ia melangkah masuk, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya, terutama dia muncul bersama sosok Bastian. Si pemilik perusahaan sekaligus pria dengan tubuh tegap dan pembawaan berwibawa. Bastian membuka suara sambil berjalan santai di sampingnya, "Teman-teman, ini Olivia. Mulai hari ini, dia jadi staff admin logistik kita." "Hai, Olivia! Selamat bergabung di Fast Track." "Hai, Olivia. Welcome aboard!" "Olivia, semoga betah ya!" Sapaan dari beberapa rekan kerja terdengar. Di antara kerumunan, ada yang hanya mengangguk biasa atau pura-pura sibuk. Tapi desas-desus kecil mulai terdengar, dibungkam suara papan ketik yang ditekan lebih cepat dari biasanya. Tak sedikit yang melirik Olivia dari ujung kepala sampai kaki, menilai sosok pendatang baru itu yang masuk dengan ditemani langsung oleh Bos Besar. Olivia hanya bisa membalas dengan anggukan kecil sambil tersenyum. "Ayo, kita langsung ke Mbak Laras, ya." "Baik, Mas." Keduanya melangkah pelan ke sebuah ruangan terpisah yang terletak di pojokan. Bastian mendorong pintu ruangan itu dengan hati-hati. "Silakan masuk, Olivia," ujarnya lembut, memberi ruang. Olivia masuk dengan langkah yang masih terasa berat di dadanya. Matanya segera tertuju pada seorang wanita berbalut kemeja navy, rambut sebahunya tersisir rapi, dan ekspresi wajah yang sulit ditebak—serius tanpa sedikit pun senyum. Wanita itu berdiri di balik meja, ujung ruangan, seolah mengamati setiap gerakan yang ada. Perkiraan Olivia, usianya sekitar tiga puluhan. "Pagi, Bu Laras," sapa Olivia, bibirnya membentuk senyum sopan tapi ada getar ragu di nadanya. Tatapan tajam Laras menyambut, menelusup sampai ke tulang. Suaranya pelan, namun setiap katanya mengandung ketegasan yang sulit diabaikan. "Selamat datang di tim saya. Kita kerja di sini bukan buat senyum-senyum. Ikuti ritme saya, dan kamu akan baik-baik saja." Olivia menelan salivanya lagi, Ia buru-buru mengangguk, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Siap, Bu. Tapi mohon bimbingannya juga." Laras hanya mengangkat alis sedikit, lalu mengangguk singkat tanpa kata. Di sisi kiri, dua rekan kerja sudah berdiri, menunggu. Yang pertama pria dengan rambut bergaya slick-back dan kemeja lengan digulung rapi, wajahnya menunjukkan antusiasme tipis. Di sampingnya, seorang perempuan berhijab dengan senyum kecil dan wajah yang tenang, memberi sedikit rasa nyaman di suasana yang penuh tekanan itu. "Kenalin, Rayhan. Gue bagian pengurusan dokumen pengiriman kargo ke luar kota dan luar pulau. Yang ribet-ribet, gue handle," kata Rayhan dengan nada santai sambil menyodorkan tangan. "Dan aku Ayu. Aku bantu bagian tracking barang dan follow-up vendor," ujar Ayu pelan, sopan. "Hai, aku Olivia. Panggil aja Via," jawabnya sambil menjabat tangan mereka. "Langsung duduk aja, ya," potong Laras, menunjuk meja kosong yang berada tak jauh dari mejanya. Seperti sengaja diletakkan dekat, seolah ingin memastikan Olivia tak akan bisa bekerja santai. Bastian menyadari ketegangan itu. Ia melirik Olivia dengan senyum tipis. "Santai aja. Kalau ada yang nggak jelas, tanya aja dulu. Tapi aku yakin kamu bisa cepat menyesuaikan diri." Suara Bastian cukup untuk membuat suasana kembali cair tapi juga justru membuat tatapan Laras semakin ketat. Ia menoleh sekilas ke Bastian, lalu kembali ke layar monitornya. Dia tahu ada sesuatu dengan pria itu karena tidak biasanya karyawan baru didampingi olehnya. "Oke, aku tinggal ya, Via." "Makasih, Pak," balas Olivia, dia sengaja merubah panggilan untuk Bastian karena menurutnya tidak etis didengar karyawan lain. Bastian mengernyit sekilas, tapi akhirnya dia mengangguk. "Kalau ada apa-apa, hubungi aku," bisiknya pelan sebelum meninggalkan ruangan. Olivia menarik napas panjang sebelum duduk, membuka laptop yang sudah disiapkan, dan mencoba menyalakan semangatnya. Tapi tetap saja, perasaan gugup seakan menempel di udara. "Ya Tuhan, semoga aku bisa bekerja dengan baik di sini," bisik Olivia sambil memandangi ruangan yang tampak asing. Bersambung...Olivia membiarkan ujung kakinya menari-nari di permukaan air. Cahaya matahari pukul enam pagi memantul halus di atas permukaan kolam, membuat air tampak seperti kaca biru yang berkilau. Hembusan angin membawa aroma dedaunan basah. Sabtu yang tenang. Sabtu yang bikin siapa pun ingin melompat ke air tanpa pikir panjang.Bikini hitamnya mulai basah terciprat setiap kali ia menggerakkan kaki. Titik-titik air menempel di kulit pahanya seperti butiran kaca kecil.Suara pintu geser terdengar dari belakang.Olivia menoleh, rambutnya yang lurus bergeser lembut di bahunya.Adrian berdiri di teras belakang dengan piyama biru kusut dan wajah kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Senyum mengembang di wajahnya seperti senyum malas yang hanya muncul ketika bangun tidur.“Kamu kok nggak ngajakin aku?” katanya sambil berkacak pinggang. “Mau berenang sendirian?”Olivia tertawa kecil. “Sebenarnya aku nggak niat berenang, Mas. Tadi aku minum teh hangat sambil lihat kolam. Airnya kayak manggil-manggil. Aku
Adrian menurunkan kacamatanya yang sedikit melorot, menjepit gagangnya di antara jari telunjuk dan ibu jari. Layar laptop di depannya menampilkan deretan tab wedding organizer lain—semuanya terbuka karena satu alasan: ia ingin menjauh sejauh mungkin dari Blissful Wedding. Setiap melihat nama itu, dadanya seperti mengencang lagi, mengingat kepanikan dan rasa tak percaya yang ia rasakan saat teh yang ia minum kemarin mendadak membuat tubuhnya terasa aneh dan berakhir dengan tidur bersama Olivia.Ia mengusap pelipis. "Sial, kenapa kepikiran Celia lagi."Ketukan pelan pada pintu ruangan, mengusik pikirannya.“Siapa?!” Suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.“Renata, Pak!” seru suara yang sudah tidak asing di telinganya.“Oh. Masuk aja! Ada apa, Ren?”Pintu terbuka pelan, Renata masuk dengan senyum yang terlihat ragu. “Pak, ada Mas Hadi dari Blissful Wedding. Mau ketemu langsung dengan Bapak. Saya sudah bilang Bapak sedang sibuk, tapi … sepertinya beliau nggak akan pergi sebel
Di dalam kamar yang diterangi cahaya matahari lembut, Olivia duduk di tepi ranjang sambil memandangi foto lama ayahnya. Foto itu sudah sedikit pudar di beberapa sisi, namun tetap menyimpan banyak hal yang tak pernah terjawab. Ia menyapunya perlahan dengan ujung jarinya, seperti mencoba menghapus jarak bertahun-tahun yang terlewat. Sejak kecil ia sering bertanya-tanya, Kenapa tidak ada satu pun fotonya di rumah? Jawaban itu baru benar-benar ia mengerti setelah dewasa: ayahnya meninggalkan ibunya, dan ibunya lebih memilih menyingkirkan semua jejak yang bisa membuat luka itu terulang. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Adrian muncul di ambangnya dengan senyum lebar, langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi Olivia yang mengerut pilu. Senyumnya meredup, berganti khawatir. Tapi begitu tatapannya jatuh ke foto di pangkuan gadis itu, ia menghela napas pelan. Mengerti. Pria tampan itu mendekat, duduk di sampingnya. Permukaan kasur amblas sedikit menandakan berat tubuhnya. Tangannya terul
Setelah selama hampir dua jam berkendara menembus kemacetan dengan gelisah dan merasa tubuhnya mendapatkan energi yang berlebihan, Adrian akhirnya menginjakkan kaki di bawah carport rumahnya. Tepat di depan pintu ruang tamu, Olivia telah menantinya dengan tatapan manis karena baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk kekasihnya itu."Kamu kok tau banget sih aku udah selesai masak?" tanya Olivia, mendekati Adrian yang tampak berkeringat.Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Adrian langsung berlari mendekati Olivia, memegang tangannya dengan cepat dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. "Eee... tunggu, Mas. Buru-buru amat! Kamu udah kelaparan?" taya Olivia, kebingungan.Adrian, dengan napas yang terengah-engah dan kepanikan di wajahnya, buru-buru menjawab, "Kamu harus tolong aku, Sayang!""Tolong apa?" Olivia mempertanyakan, semakin bingung dengan situasi yang semakin tidak jelas."Aku, aku kepanasan, Sayang! Ada... ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku seperti butuh... pel
Celia menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor Blissful Wedding Organizer. Cahaya lampu putih di atas kepalanya membuat kulitnya tampak lebih halus, lebih bercahaya—seolah ia sedang menyiapkan wajah untuk sebuah pertunjukan.Bibirnya terkatup rapat saat ia menggoreskan lipstik merah merona dengan presisi. Warna yang sengaja ia pilih: tegas, berani, dan tak mungkin diabaikan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai lembut di bahu, bergelombang natural seakan tanpa usaha, padahal ia sudah menghabiskan lima belas menit meluruskannya ulang.Perempuan bertubuh tinggi itu menarik bagian kerah tanktop putihnya sedikit ke bawah hingga sesuatu yang bulat mengintip sebelum kembali menyelimuti tubuhnya dengan blazer biru muda yang anggun. Tampak profesional, namun tetap menggoda. Keseimbangan yang ia cari.“Perfect…” bisiknya sambil mengamati dirinya dari samping. “Adrian pasti tergoda melihat susu yang besar ini.”Meski cara yang dipakai Celia mungkin kotor, namun hatinya tetap berdebar.
Olivia membeku sejenak. "L-lebih, Mas?" tanyanya dengan ragu, seolah setengah takut akan jawaban yang akan ia dengar.Adrian menatapnya dalam, tatapannya begitu pekat hingga membuat dunia seolah menyempit hanya untuk mereka berdua. "Iya, Sayang," bisiknya pelan, suaranya berat namun lembut, "Hukuman yang lebih, karena kamu nakal."Belum sempat Olivia menyusun kata, jemari hangat Adrian menyusuri pipinya perlahan, seolah ingin menghafal setiap lekuk wajahnya. Sentuhan itu turun ke leher, membuat bulu halus di sekitar tubuhnya meremang, lalu meluncur lembut ke lengan Olivia yang masih terangkat di atas kepala.Jantung Olivia berdebar tak terkendali. Sorot mata Adrian membuatnya semakin tak kuasa, seolah pria itu tengah menikmati setiap detik posisinya yang pasrah."Mas..." panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan."Hmm, apa?" Adrian menunduk sedikit, wajah mereka kian dekat."Please jangan siksa aku," bisiknya lagi, matanya bergetar menahan harap.Adrian tersenyum samar, penuh rahasia.







