Matthis memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Dia akhirnya pulang dan itu terpaksa karena sang ibu menegurnya setelah Victoria mengadu dia tidak pulang sejak kemarin. Dia turun dari mobil dan melihat area sekitar rumah yang dalam keadaan sepi, tapi matanya menemukan mobil sang istri telah terparkir di garasi. Tanda jika rumahnya tidak benar-benar kosong. Ketika Matthias membuka pintu dan masuk, pemandangan lampu menyala menyambutnya. Dia juga samar-samar mendengar Victoria dari arah ruang tengah. "Berhenti menghubungiku lagi, Felix! Aku tidak tertarik denganmu dan aku tidak peduli kau dipecat atau tidak. Itu salahmu sendiri!"Matthias tidak menghentikan langkahnya. Suara Victoria terdengar sarat akan emosi. Membentak lawan bicaranya. Tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi, tapi saat nama Felix disebut, Matthias mulai memahami arah pembicaraan itu. Felix dipecat. Tanpa dijelaskan, dia bisa menebak siapa yang melakukannya. Orang yang bisa melakukan itu hanya satu. Ayah mertuan
PLAK!Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Victoria. Begitu kencang dan keras hingga wajahnya sedikit terdorong ke samping. Rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajahnya. Berantakan. Syok. Kaget. Itulah yang dirasakan olehnya. Victoria menoleh perlahan sambil memegangi pipinya. Wajahnya pucat dan ada darah segar di sudut bibirnya akibat tamparan itu. Itu adalah tamparan kedua yang diberikan ayahnya. Kemarin saat sang ayah akhirnya tahu hubungannya dengan Felix dan sekarang, ketika dia sendiri tidak tahu apa salahnya. "A-apa? Apa yang Ayah lakukan? Kenapa tiba-tiba menamparku?" tanya Victoria terbata-bata. Matanya mengerjap dan rasa takut mulai menyusup ke dalam hatinya. Ayahnya marah. Jelas. Kerutan di dahi, sorot matanya yang tajam dan cara bibirnya menipis, menjelaskan semuanya. Namun, Victoria tidak tahu apa yang menjadi penyebab semua itu. "Karena kamu benar-benar bodoh!" umpat Richard sambil menyibak rambutnya. Mendesah kasar. Suaranya tajam dan menusuk. Memalingk
"Sampai mana?"Matthias mengangkat kedua alisnya, menatap tajam pria yang duduk di hadapannya. Sorot matanya dingin dan tak ramah."Aku tidak mengerti apa yang Ayah bicarakan."Nada suaranya terdengar tenang, nyaris datar. Tubuhnya bersandar santai di sofa, tapi bukan berarti dia lengah. Justru sebaliknya, tiap gerak-gerik Richard kini dia amati dalam diam.Sekilas, dia melihat sesuatu melintas di mata pria itu. Ketidaksukaan. Entah karena pertanyaannya, sikapnya, atau mungkin ... keduanya."Kamu tahu apa yang Ayah maksud—""Tidak. Aku tidak tahu."Matthias langsung menyela, cepat dan tegas. Dia tidak ingin membuang waktu dengan permainan kata-kata yang penuh jebakan. Bersikap tanggap adalah satu-satunya cara menghadapi seseorang seperti Richard."Kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan, langsung saja. Jangan berputar-putar. Aku yakin Ayah datang bukan hanya untuk basa-basi."Matthias melirik sekilas ke arah tangan Richard yang mengepal. Rahang pria paruh baya itu menegang, jelas men
Luciana pikir, hari ini dia akan menjalani hari dengan tenang. Tanpa ada masalah lagi atau hal-hal di luar kendali seperti kemarin, yang membuatnya lelah dan malas. Namun rupanya, takdir berkata lain. Dia tidak diberi jeda ketika tanpa diduga, dia dihadapkan pada seseorang yang tidak ingin ditemuinya. Kesialan atau keberuntungan yang buruk? Dari sekian banyak orang, kenapa harus ayah tirinya? "Bagaimana kabarmu?" tanya Richard berbasa-basi. Suara berat dan rendah pria paruh baya itu memecah keheningan serta kebuntuan yang dirasakan Luciana. Dia tersentak dengan kening berkerut dalam. "Apa?"Nada suaranya tersendat sesaat. Campuran rasa kaget dan tak percaya. Dia mengenal Richard dan tahu pria ini tidak pernah benar-benar peduli terhadapnya. Namun kali ini, Richard menyempatkan diri menyapa. Hal yang tidak pernah dilakukan, karena kehadirannya dulu selalu tak dianggap. Dia hanya bayangan di rumah. Dia hidup, tapi seolah mati. Tidak pernah dianggap penting. Tidak didengar. Tidak
Mobil yang ditumpangi Luciana dan Matthias berhenti di pelataran kantor, tepat di tempat parkir khusus yang memang disediakan untuk para petinggi seperti Matthias.Suasana masih sepi. Belum banyak pegawai yang datang pagi itu, dan Luciana memanfaatkan momen itu untuk langsung membuka agenda kerja Matthias dari ponselnya."Pagi ini kamu ada rapat dengan Pak Handoko untuk membahas kelanjutan kerja sama. Setelah itu, ada meeting internal," ucap Luciana sambil men-scroll jadwal pria itu. "Sepertinya jadwalmu hari ini lumayan padat."Matthias hanya mengangguk, lalu melirik sekilas. "Ya, dan sepertinya kau tak akan sempat menjenguk mertuamu itu."Luciana menoleh cepat. Alisnya terangkat, menandai rasa herannya atas nada bicara Matthias yang terdengar sinis, atau mungkin cemburu? Sekilas, ekspresi wajah Matthias terlihat sedikit kecut.Luciana berkedip. Lalu, seulas senyum mengembang di wajahnya saat dia menyadari sesuatu."Kenapa nadamu seperti itu? Apa ini tentang pagi tadi?"Matthias pura
Pagi itu, Luciana terbangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai jendela, namun kehangatan yang menyelimuti tubuhnya bukan berasal dari sinar mentari, melainkan dari pelukan pria di sampingnya. Matthias. Tubuh mereka bertaut di balik selimut, tanpa penghalang apa pun. Nafasnya tenang dan stabil, dadanya yang bidang terekspos samar berkeringat, membawa aroma maskulin yang sangat familiar dan entah bagaimana terasa menenangkan. Luciana menatap wajah pria itu. Dia tampak begitu damai dalam tidurnya, nyaris tak seperti Matthias yang selama ini dikenal tegas dan penuh kontrol. Dalam diam, Luciana membiarkan dirinya menikmati detik-detik kebersamaan itu. “Aku ingin tahu perasaanmu,” bisik Luciana dalam hati. “Tapi aku belum siap mendengarnya.” Pernikahannya dengan Felix belum usai, belum ada kejelasan di ujung jalan. Luka dalam dirinya pun masih dalam proses menyembuh, perlahan tapi belum benar-benar pulih. Namun satu hal pasti, dia ingin Matthi