Luciana pikir, hari ini dia akan menjalani hari dengan tenang. Tanpa ada masalah lagi atau hal-hal di luar kendali seperti kemarin, yang membuatnya lelah dan malas. Namun rupanya, takdir berkata lain. Dia tidak diberi jeda ketika tanpa diduga, dia dihadapkan pada seseorang yang tidak ingin ditemuinya. Kesialan atau keberuntungan yang buruk? Dari sekian banyak orang, kenapa harus ayah tirinya? "Bagaimana kabarmu?" tanya Richard berbasa-basi. Suara berat dan rendah pria paruh baya itu memecah keheningan serta kebuntuan yang dirasakan Luciana. Dia tersentak dengan kening berkerut dalam. "Apa?"Nada suaranya tersendat sesaat. Campuran rasa kaget dan tak percaya. Dia mengenal Richard dan tahu pria ini tidak pernah benar-benar peduli terhadapnya. Namun kali ini, Richard menyempatkan diri menyapa. Hal yang tidak pernah dilakukan, karena kehadirannya dulu selalu tak dianggap. Dia hanya bayangan di rumah. Dia hidup, tapi seolah mati. Tidak pernah dianggap penting. Tidak didengar. Tidak
Mobil yang ditumpangi Luciana dan Matthias berhenti di pelataran kantor, tepat di tempat parkir khusus yang memang disediakan untuk para petinggi seperti Matthias.Suasana masih sepi. Belum banyak pegawai yang datang pagi itu, dan Luciana memanfaatkan momen itu untuk langsung membuka agenda kerja Matthias dari ponselnya."Pagi ini kamu ada rapat dengan Pak Handoko untuk membahas kelanjutan kerja sama. Setelah itu, ada meeting internal," ucap Luciana sambil men-scroll jadwal pria itu. "Sepertinya jadwalmu hari ini lumayan padat."Matthias hanya mengangguk, lalu melirik sekilas. "Ya, dan sepertinya kau tak akan sempat menjenguk mertuamu itu."Luciana menoleh cepat. Alisnya terangkat, menandai rasa herannya atas nada bicara Matthias yang terdengar sinis, atau mungkin cemburu? Sekilas, ekspresi wajah Matthias terlihat sedikit kecut.Luciana berkedip. Lalu, seulas senyum mengembang di wajahnya saat dia menyadari sesuatu."Kenapa nadamu seperti itu? Apa ini tentang pagi tadi?"Matthias pura
Pagi itu, Luciana terbangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai jendela, namun kehangatan yang menyelimuti tubuhnya bukan berasal dari sinar mentari, melainkan dari pelukan pria di sampingnya. Matthias. Tubuh mereka bertaut di balik selimut, tanpa penghalang apa pun. Nafasnya tenang dan stabil, dadanya yang bidang terekspos samar berkeringat, membawa aroma maskulin yang sangat familiar dan entah bagaimana terasa menenangkan. Luciana menatap wajah pria itu. Dia tampak begitu damai dalam tidurnya, nyaris tak seperti Matthias yang selama ini dikenal tegas dan penuh kontrol. Dalam diam, Luciana membiarkan dirinya menikmati detik-detik kebersamaan itu. “Aku ingin tahu perasaanmu,” bisik Luciana dalam hati. “Tapi aku belum siap mendengarnya.” Pernikahannya dengan Felix belum usai, belum ada kejelasan di ujung jalan. Luka dalam dirinya pun masih dalam proses menyembuh, perlahan tapi belum benar-benar pulih. Namun satu hal pasti, dia ingin Matthi
Luciana tidak mengangkat panggilan ibunya, dan ponselnya terus berdering di dashboard, menarik perhatian Matthias yang sedang menyetir. Mereka dalam perjalanan pulang ke apartemen setelah makan malam bersama orang tua pria itu."Ponselmu terus berbunyi. Itu dari ibumu?"Matthias melirik sekilas. Masih fokus menyetir, tapi terselip rasa penasaran ketika Luciana tidak kunjung mengangkat panggilan itu. Luciana membuang napas kasar. "Ya. Abaikan saja.""Kenapa? Siapa tahu penting.""Aku lelah."Jawabannya datar. Pandangannya lurus ke depan, enggan terlibat lebih jauh. Matthias mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dari sikap Luciana malam ini dan itu menimbulkan rasa tak nyaman di dadanya."Kau marah padaku?"Luciana tidak menoleh. "Tidak."Matthias menyipit, tetap mencoba fokus pada jalanan, meskipun sikap diam wanita di sampingnya mengganggu pikirannya. Tanpa peringatan, dia membelokkan mobil ke tepi jalan. Rem mendadak itu membuat Luciana tersentak."Kenapa berhenti? Mobilnya rusak?""Tid
"Ada apa? Kenapa kalian diam?" tanya Genevieve ketika tidak ada satu pun dari Luciana maupun Matthias yang menjawab. "Kalian tidak ada masalah kan?" Luciana menelan ludah susah payah. Dia tersenyum kaku dan menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak, Tante. Kami ... baik-baik saja." Suaranya terdengar ragu dan terlihat Genevieve mengernyit. Sebelum ada kecurigaan muncul, dia segera menambahkan, "Tapi Tante pasti tahu kalau Victoria sibuk. Kami sulit menghubunginya." "Iya, Luci benar. Victoria tidak punya banyak waktu. Jadwalnya sangat padat." Matthias memperkuat argumen Luciana. "Oh, ya? Tapi waktu itu, kalau tidak salah, Victoria sempat cerita, minggu ini dia tidak terlalu sibuk." "Itu ...." "Kamu tidak tahu apa yang terjadi, Sayang. Berhentilah membahas Victoria. Mari kita nikmati makan malam ini." Alexander tiba-tiba menimpali pembicaraan. Pria paruh baya itu tak disangka membungkam semua rasa penasaran dan kebingungan Genevieve. Luciana terkejut. Sekilas mereka bertatapan, tap
Suara itu menyentak mereka berdua.Luciana dan Matthias serempak menoleh ke arah sepasang pria dan wanita paruh baya yang berdiri di depan meja mereka. Seketika darah Luciana seperti mengalir lebih cepat. Bahunya tegang, mulutnya setengah terbuka, dan matanya membelalak.Genevieve dan Alexander.Orang tua Matthias.Pertemuan yang tak pernah dia rencanakan. Bahkan tak pernah terbayangkan akan terjadi malam ini, saat dia makan malam dengan pria itu."Ayah? Ibu? Kalian di sini?" Matthias segera berdiri, mengambil alih suasana, menyadari kekakuan yang mulai menguasai Luciana."Kami makan malam," jawab Genevieve dengan senyum hangat. "Ayahmu bilang ingin makan romantis malam ini."Berbeda dari istrinya, Alexander tampak lebih dingin. Matanya tajam, mengamati Luciana dan Matthias dengan pandangan yang sulit ditebak."Kalian sendiri sedang apa?" tanya Genevieve kemudian, menatap mereka dengan ekspresi polos. "Makan malam berdua?""A-aku ...." Luciana tercekat. Ucapannya nyaris tak terdengar,