Share

Mempersiapkan Diri

last update Last Updated: 2025-05-30 13:00:13

Luciana terdiam. Mulutnya menganga saat matanya menatap beberapa piring berisi makanan di depannya. Makanan yang menggugah selera hingga berhasil membuat perutnya keroncongan. Namun dia tidak mengambil bagian, tatapannya justru beralih pada pria di depannya.

"Kenapa? Makanlah."

Luciana menghembuskan napas kasar mendengar jawaban santai Matthias. Dia refleks melirik sekeliling ruangan. Tidak ada orang, jelas saja karena itu ruang makan privat. Hanya ada mereka di sana dan sialnya, dia sendiri tidak yakin bagaimana dirinya bisa berakhir di sana bersama dengan Matthias.

"Matthias, kamu tahu? Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku hanya ingin pulang."

"Pulang? Dengan suara perutmu yang terus berbunyi?"

Bola mata Luciana melebar. Bibirnya terbuka, sebelum kemudian terkatup kembali dan menunduk dengan kedua pipi memerah. Dia refleks memegangi perutnya.

"Perut berbunyi bukan berarti lapar."

"Tapi kau kelaparan."

"Kata siapa?" Luciana menatap berani Matthias. Mencoba menyangkal dan ingin tahu reaksi iparnya.

Sampai dia kemudian dibuat gugup ketika perhatian Matthias terfokus sepenuhnya padanya. Pria itu menatapnya. Lama. Tidak berkedip sampai dia menjadi malu sendiri.

"Matthias, apa yang kamu—"

"Kau belum makan sejak semalam. Wajahmu pucat, matamu bengkak dan kau terlihat kurus. Kau menangis semalaman dan melupakan makan, bukan?"

Luciana tersedak ludahnya sendiri mendengar tebakan Matthias yang tepat sasaran. Dia spontan menyentuh pipinya. Bertanya-tanya, apakah semua riasannya tidak menutupi matanya yang bengkak dan wajahnya yang pucat?

Bagaimana Matthias juga bisa begitu teliti? Dia memang belum makan sejak semalam. Dia ketiduran setelah menangis sepanjang malam. Paginya, dia bahkan tidak ada selera untuk menyantap makanan.

Niatnya datang ke Sinclair Group juga hanya ingin membawa tas miliknya, yang kini telah kembali ke pangkuannya, lalu pulang dan istirahat. Itu saja. Namun semua yang dilakukan Matthias membuatnya tertahan lebih lama dengan pria itu.

"Tidak perlu heran bagaimana aku mengetahuinya. Wanita yang baru saja patah hati, pasti begitu."

Jawaban Matthias kali ini, seolah menjawab semua pertanyaan yang akan Luciana lontarkan. Namun itu juga berhasil membuatnya mendengkus.

"Apa kamu baru saja mengatakan, kalau kamu paling memahami wanita?"

"Tidak, aku mengatakan itu, karena adikku begitu. Kalian mirip."

Sekilas, Luciana melihat mata Matthias menyipit dan kedua sudut bibir pria itu tertarik ke atas, seolah sedang tersenyum. Dia hampir tak berkedip melihat itu. Tidak juga mengerti apa maksud di balik senyum tipis yang hampir tidak pernah dia lihat pada sosok adik iparnya.

"Bukankah itu justru wajar? Yang tidak wajar adalah tetap tenang dan bisa makan dengan baik setelah tahu dirinya dikhianati."

"Siapa?"

Luciana berkedip. Dia melirik Matthias yang bertanya seolah tak tersindir atau mungkin iparnya paham dan hanya mengujinya. "Tidak tahu. Mungkin saja ada. Kamu tersinggung?"

"Tidak, tapi kau benar. Menangis memang wajar. Hanya saja, kalau sampai melupakan makan karena menangisi orang yang menyakiti, itu namanya bodoh."

Prang!

Gelas milik Luciana pecah. Tak sengaja tersenggol lengannya saat dia bergerak karena kaget. Itu mengejutkan dia dan juga Matthias. Namun karena kesal, Luciana tidak terlalu memedulikan gelasnya yang pecah.

Dia hanya membiarkan Matthias memanggil pelayan dan segera membereskan serpihan gelas yang pecah, untuk kemudian diganti dengan yang baru.

Ketika mereka kembali ditinggal berdua, dia yang kesal pun langsung menanggapi perkataan Matthias sebelumnya. "Jadi maksudmu, aku ini wanita bodoh, ya?"

"Tersinggung?"

"Matthias—"

"Kalau begitu, makanlah. Jangan biarkan aku berpikir kau seperti itu. Buka mulutmu!"

Luciana yang melotot dan siap memuntahkan semua kekesalannya, seketika terdiam. Dia menatap bingung pria itu sampai kemudian melihat Matthias yang mengambil potongan steak dengan garpu dan mengarahkannya padanya.

Matanya berkedip, tapi perlahan, dia membuka mulutnya dan makanan itu masuk ke dalamnya. Matthias menyuapinya dan seolah tak cukup, ibu jari pria itu menyeka sudut bibirnya. Sesaat, Luciana tertegun. Dia membatu atas apa yang baru saja dilakukan iparnya.

Tangannya sontak menggenggam lengan kekar Matthias. Menghentikan gerakan pria itu yang mengusap bibirnya, sebelum kemudian dia menyadari kalau Matthias mencondongkan tubuh ke arahnya.

Luciana yang kaget, hampir lupa caranya bernapas. Dia hanya terpaku pada mata gelap yang memikatnya dan berhasil membuat jantungnya berdenyut lebih cepat.

Bahaya. Itu bahaya.

Luciana berdehem dan segera melepaskan tangan Matthias dari bibirnya. Dia pun menurunkan tangannya dan memutus kontak mata mereka. "Terima kasih, aku bisa makan sendiri."

Luciana mencoba bicara dengan tenang. Walau suara jantungnya tetap terdengar tak terkendali. Dia malu dan gugup. Namun saat dia mencuri pandang ke arah Matthias, pria itu terlihat sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Tidak masalah. Nikmatilah."

Luciana hanya mengangguk tanpa bicara dan kali ini dia benar-benar makan. Menyantap serta mencoba setiap makanan yang ada di atas meja tanpa terkecuali. Dia mencoba melawan kegugupan dan rasa malunya.

Suasana di ruangan itu pun menjadi sedikit canggung. Tidak ada lagi yang bersuara. Hanya suara garpu dan pisau yang berdenting.

Setidaknya itu yang terjadi sampai dering ponsel Luciana memecah keheningan. Dia yang sedang makan pun, sontak berhenti dan meraih tas miliknya yang kini telah dikembalikan oleh Matthias.

Luciana ingin melihat siapa yang menghubunginya, tapi seketika, dia terdiam melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Suamiku.

Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Wajahnya memucat. Konfrontasi mereka semalam masih membekas dengan jelas dalam benaknya. Hingga dia tidak berani langsung mengangkat panggilan.

Luciana takut. Dia takut akan menangis lagi seperti sebelumnya, tapi dia tahu, dia pasti harus menghadapi Felix lagi setelah kejadian semalam.

"Siapa?"

Luciana menoleh. Dia melihat Matthias menatap ponsel di tangannya yang kini masih terus berdering nyaring. Tangannya bahkan terlihat gemetar. Namun dia tidak bisa menjawab keingintahuan Matthias.

"Suamimu?" tebak Matthias saat melihat Luciana hanya diam.

Tanpa disangka, ponsel yang kini ada di tangan Luciana pun, diambil oleh pria itu. Luciana kaget, tapi dia sempat mengatakan apa pun ketika akhirnya iparnya mengangkat panggilan suaminya.

"Jangan mengganggu Luci. Tinggalkan dia sendiri. Ya, aku bersamanya sekarang."

Luciana menatap cemas Matthias yang bicara dengan suaminya. Dia melihat kerutan di dahi iparnya dan sesekali desisan seperti seseorang menahan kesal.

Dia jelas penasaran, tapi dia membiarkan Matthias yang bicara dengan suaminya, karena dia takut menangis lagi. Hingga beberapa saat kemudian, iparnya itu mematikan panggilan dan menyerahkan ponselnya.

"Apa Felix katakan?" tanyanya penasaran sambil mencengkeram kuat ponsel miliknya.

"Suamimu di rumah. Dia menunggumu pulang."

Tubuh Luciana menegang seketika. Felix pulang dan menunggunya. Sudah jelas, suaminya pasti ingin membahas apa yang terjadi kemarin. Dia tidak menyangka Felix akan kembali secepat ini.

Luciana sebelumnya mengira, Felix baru akan kembali setelah beberapa hari atau beberapa minggu. Bukan sekarang, saat dia sendiri masih berusaha menerima semuanya.

"Aku punya apartemen yang bisa kau tinggali jika kau mau. Pergilah ke sana. Masalah barang-barangmu, aku bisa menyuruh orang untuk mengambilnya."

"Tidak."

Luciana menatap Matthias sambil menelan ludah dengan susah payah. Dia mengepalkan tangannya. Mencoba untuk tidak gemetar atau lemah.

Dia jelas mengerti maksud Matthias. Pria ini ingin memberinya perlindungan. Tempat yang aman untuk dia tinggali, tapi jelas itu tidak mungkin. "Terima kasih atas tawarannya, tapi aku akan menemuinya. Aku perlu bicara dengan Felix."

"Baiklah, kalau begitu, aku akan menemanimu."

"Tidak," tolak Luciana cepat. Dia menggelengkan kepalanya. Tidak ingin Matthias ikut serta. Dia khawatir keributan seperti kemarin terjadi lagi. Apalagi ini masih siang. Dia tidak mau menarik perhatian warga sekitar.

"Aku bisa sendiri. Ini juga masalah suami istri. Aku harus menyelesaikannya dan bicara berdua."

Ada ketidaksenangan yang tertangkap olehnya di mata Matthias saat dia mengatakan itu, tapi hanya sekilas. Sayangnya, Luciana tidak mengerti kenapa. Dia tidak bisa menebak jalan pikiran iparnya yang misterius itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Adik untuk Elias (End)

    Lima tahun kemudian. Di sebuah rumah besar nan mewah, tempat yang dulu dingin dan tidak ada tawa sama sekali, kini berubah menjadi lebih hangat. Celotehan kecil dan tawa renyah sebuah keluarga, mengisi rumah sejak lima tahun lalu. Kebahagian mereka menyebar di setiap sudut. Bahkan membuat para asisten rumah tangga ikut merasakan kebahagiaan. Hal-hal kecil terasa begitu bermakna dan hidup. Semua orang dihargai dan mendapat rasa hormat yang sama. Semua itu karena kehadiran nyonya baru mereka. Wanita yang memberi warna baru dan menciptakan kebahagiaan dalam hati setiap penghuni rumah. "Bi, bisa tolong potong sayurnya?" Suara lembut menyadarkan lamunan seorang wanita paruh baya, yang merupakan salah satu pembantu di sana. Kepalanya menoleh cepat. "Ah, baik, Nyonya!" jawabnya refleks, tapi sesaat kemudian dia bingung dan kembali melirik majikannya. "Eh, tadi Anda suruh apa, ya?" Sang majikan menoleh. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Kepalanya menggeleng pelan saat pembantu

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Takdir yang Berpihak

    Hari yang dinanti akhirnya tiba, pagi itu adalah hari yang menegangkan bagi Luciana dan Matthias. Ini jelas pernikahan kedua bagi mereka, tapi tetap berhasil membuat gugup."Ada apa?" tanya Isabelle saat menjadi tangan putrinya yang sedang digenggam gemetar. Sekilas, Luciana tampak tegang."Aku gugup."Luciana menoleh sebentar. Dia melihat ibunya yang tersenyum sambil memegang tangannya. Ayahnya sudah tiada, jadi ibunya yang akan menggiring dia menemui Matthias."Jangan khawatir, Ibu akan bersamamu," ucap Isabelle lembut. Sentuhan ringan mendarat di lengan Luciana dan perlahan wanita itu menjadi lebih rileks. "Ayo ...!"Dengan satu gerakan ringan, Luciana memeluk lengan ibunya dan mengangguk. Dia mulai melangkah masuk ke dalam ruangan.Sesaat, ballroom hotel menjadi senyap. Semua mata kini tertuju pada Luciana maupun Isabelle, yang melangkah di atas karpet merah panjang yang membentang dari pintu masuk, sampai ujung panggung, tempat Matthias berdiri.Musik instrumental modern—piano le

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Persiapan Pernikahan

    "Sepertinya tidak banyak perubahan terjadi pada tubuh Anda. Apa Anda merasa nyaman memakainya?"Luciana menatap cermin di depannya. Melihat pantulan dirinya yang berdiri dengan gaun pengantin putih tanpa lengan yang mengembang di bagian perut ke bawah. Ada bordiran halus dan detail kecil di ujung gaun. Sementara di sisi lain tampak polos. Gaun itu menutupi perutnya yang mulai membengkak. Luciana menyukainya. Tidak terasa sesak di bagian perut. "Ya, ini nyaman. Sedikit longgar, tapi jangan diperkecil lagi." Luciana mengelus perutnya sambil melirik desainer. Desainer yang berada di belakangnya tersenyum kecil, sembari mencatat sesuatu di buku catatannya. "Baik, saya tidak akan ubah. Justru bagus kalau sedikit longgar," ucapnya sambil menunduk dan merapikan lipatan gaun di lantai. "Anda akan jauh lebih nyaman saat bergerak."Luciana menatap pantulan dirinya sekali lagi. Cahaya dari lampu kristal di langit-langit jatuh lembut di atas kain satin putih itu, memantulkan kilaunya yang hal

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Perasaan yang Terbalas

    Satu minggu kemudian.Semua orang menjadi sibuk sekarang. Matthias hampir tidak punya waktu di rumah. Pria itu nyaris tidak pernah pulang, tidak pula sempat menghubunginya. Tak hanya itu, Alexander juga ikut sibuk. Termasuk ibunya yang beberapa kali dipanggil sebagai saksi atas kematian istri pertama Richard. Mungkin satu-satunya yang menemani adalah Genevieve, karena Arabella sendiri kembali sibuk kuliah. Sayangnya hari ini, Genevieve harus keluar karena katanya ada pembukaan cabang salon baru. Wanita paruh baya itu akan pulang terlambat dan sepertinya, termasuk melewatkan jam makan malam. Jadi Luciana hanya bersama dengan pembantu di rumah. Menunggu ibunya atau Genevieve pulang. "Nyonya, ini susu untuk Anda."Luciana tersadar dan segera menoleh ke arah pembantu yang meletakkan segelas susu di meja. Dia tahu itu adalah susu ibu hamil. "Terima kasih, Bi.""Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi?""Tidak, Bi. Aku akan mengambilnya sendiri kalau ada sesuatu.""Baiklah, saya pamit ka

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Berhasil Diredam

    Setelah kejadian itu, rumor buruk tentang mereka akhirnya yang berhasil diatasi. Matthias dan Luciana tidak perlu berpisah sementara. Semua kembali normal. Meski memang, beberapa orang masih tidak menyukai apa yang terjadi. Sayangnya, sekeras mungkin mereka mencoba menggali lebih dalam, tidak ada bukti nyata perselingkuhan Matthias dan Luciana. Semua dianggap sebagai kesalahpahaman dan tentu saja, malah berita tentang Victoria yang dinyatakan valid. Keluarga Richard pun tidak yang menuntut, meski sebelumnya telah menuduh Matthias melakukan sesuatu. Mereka tidak punya bukti, tidak ada fakta jika Matthias yang berbuat jahat pada Richard atau pun Victoria. Sementara kejahatan jelas dilakukan keduanya. Hingga akhirnya, hari ini Matthias mengantar Luciana ke kuburan Victoria. Mereka tidak datang berdua. Ada Isabelle dan juga Genevieve yang ikut. Semua bukan tanpa alasan. Mereka menghindari gosip buruk yang dikhawatirkan terjadi jika hanya Matthias dan Luciana berduaan. Tentu saja, Matt

  • Hasrat Tersembunyi Iparku   Jalan Keluar

    Di sisi lain, Luciana berjalan mencari keberadaan ibunya ke setiap ruangan. Namun rupanya, sang ibu berada di ruang tengah bersama Genevieve. Keduanya tampak serius menatap layar ponsel. Dia menjadi ragu sejenak, tapi segera suara Matthias terdengar memanggilnya. "Luci! Dengarkan dulu penjelasanku!"Luciana dengan mudah ditangkap. Matthias menggenggam tangannya dan berhasil menarik perhatian Genevieve mau pun Isabelle. "Lepas, Matthias! Aku tidak mau mendengarmu!" "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud meremehkanmu atau apa. Aku hanya khawatir, aku tidak mau kau kepikiran masalah ini.""Hei? Apa yang terjadi di sini? Kalian bertengkar?"Genevieve langsung berdiri, diikuti oleh Isabelle. Keduanya menatap heran Luciana dan Matthias, padahal beberapa menit lalu mereka tampak harmonis. "Matthias, ada apa ini? Kamu menyakiti Luciana?""Bukan, Bu. Dia hanya salah paham.""Matthias menyembunyikan sesuatu dariku! Dia tidak bilang kalau sekarang media sedang memberitakan tentang kami!" Lucia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status