Luciana terdiam. Mulutnya menganga saat matanya menatap beberapa piring berisi makanan di depannya. Makanan yang menggugah selera hingga berhasil membuat perutnya keroncongan. Namun dia tidak mengambil bagian, tatapannya justru beralih pada pria di depannya.
"Kenapa? Makanlah." Luciana menghembuskan napas kasar mendengar jawaban santai Matthias. Dia refleks melirik sekeliling ruangan. Tidak ada orang, jelas saja karena itu ruang makan privat. Hanya ada mereka di sana dan sialnya, dia sendiri tidak yakin bagaimana dirinya bisa berakhir di sana bersama dengan Matthias. "Matthias, kamu tahu? Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku hanya ingin pulang." "Pulang? Dengan suara perutmu yang terus berbunyi?" Bola mata Luciana melebar. Bibirnya terbuka, sebelum kemudian terkatup kembali dan menunduk dengan kedua pipi memerah. Dia refleks memegangi perutnya. "Perut berbunyi bukan berarti lapar." "Tapi kau kelaparan." "Kata siapa?" Luciana menatap berani Matthias. Mencoba menyangkal dan ingin tahu reaksi iparnya. Sampai dia kemudian dibuat gugup ketika perhatian Matthias terfokus sepenuhnya padanya. Pria itu menatapnya. Lama. Tidak berkedip sampai dia menjadi malu sendiri. "Matthias, apa yang kamu—" "Kau belum makan sejak semalam. Wajahmu pucat, matamu bengkak dan kau terlihat kurus. Kau menangis semalaman dan melupakan makan, bukan?" Luciana tersedak ludahnya sendiri mendengar tebakan Matthias yang tepat sasaran. Dia spontan menyentuh pipinya. Bertanya-tanya, apakah semua riasannya tidak menutupi matanya yang bengkak dan wajahnya yang pucat? Bagaimana Matthias juga bisa begitu teliti? Dia memang belum makan sejak semalam. Dia ketiduran setelah menangis sepanjang malam. Paginya, dia bahkan tidak ada selera untuk menyantap makanan. Niatnya datang ke Sinclair Group juga hanya ingin membawa tas miliknya, yang kini telah kembali ke pangkuannya, lalu pulang dan istirahat. Itu saja. Namun semua yang dilakukan Matthias membuatnya tertahan lebih lama dengan pria itu. "Tidak perlu heran bagaimana aku mengetahuinya. Wanita yang baru saja patah hati, pasti begitu." Jawaban Matthias kali ini, seolah menjawab semua pertanyaan yang akan Luciana lontarkan. Namun itu juga berhasil membuatnya mendengkus. "Apa kamu baru saja mengatakan, kalau kamu paling memahami wanita?" "Tidak, aku mengatakan itu, karena adikku begitu. Kalian mirip." Sekilas, Luciana melihat mata Matthias menyipit dan kedua sudut bibir pria itu tertarik ke atas, seolah sedang tersenyum. Dia hampir tak berkedip melihat itu. Tidak juga mengerti apa maksud di balik senyum tipis yang hampir tidak pernah dia lihat pada sosok adik iparnya. "Bukankah itu justru wajar? Yang tidak wajar adalah tetap tenang dan bisa makan dengan baik setelah tahu dirinya dikhianati." "Siapa?" Luciana berkedip. Dia melirik Matthias yang bertanya seolah tak tersindir atau mungkin iparnya paham dan hanya mengujinya. "Tidak tahu. Mungkin saja ada. Kamu tersinggung?" "Tidak, tapi kau benar. Menangis memang wajar. Hanya saja, kalau sampai melupakan makan karena menangisi orang yang menyakiti, itu namanya bodoh." Prang! Gelas milik Luciana pecah. Tak sengaja tersenggol lengannya saat dia bergerak karena kaget. Itu mengejutkan dia dan juga Matthias. Namun karena kesal, Luciana tidak terlalu memedulikan gelasnya yang pecah. Dia hanya membiarkan Matthias memanggil pelayan dan segera membereskan serpihan gelas yang pecah, untuk kemudian diganti dengan yang baru. Ketika mereka kembali ditinggal berdua, dia yang kesal pun langsung menanggapi perkataan Matthias sebelumnya. "Jadi maksudmu, aku ini wanita bodoh, ya?" "Tersinggung?" "Matthias—" "Kalau begitu, makanlah. Jangan biarkan aku berpikir kau seperti itu. Buka mulutmu!" Luciana yang melotot dan siap memuntahkan semua kekesalannya, seketika terdiam. Dia menatap bingung pria itu sampai kemudian melihat Matthias yang mengambil potongan steak dengan garpu dan mengarahkannya padanya. Matanya berkedip, tapi perlahan, dia membuka mulutnya dan makanan itu masuk ke dalamnya. Matthias menyuapinya dan seolah tak cukup, ibu jari pria itu menyeka sudut bibirnya. Sesaat, Luciana tertegun. Dia membatu atas apa yang baru saja dilakukan iparnya. Tangannya sontak menggenggam lengan kekar Matthias. Menghentikan gerakan pria itu yang mengusap bibirnya, sebelum kemudian dia menyadari kalau Matthias mencondongkan tubuh ke arahnya. Luciana yang kaget, hampir lupa caranya bernapas. Dia hanya terpaku pada mata gelap yang memikatnya dan berhasil membuat jantungnya berdenyut lebih cepat. Bahaya. Itu bahaya. Luciana berdehem dan segera melepaskan tangan Matthias dari bibirnya. Dia pun menurunkan tangannya dan memutus kontak mata mereka. "Terima kasih, aku bisa makan sendiri." Luciana mencoba bicara dengan tenang. Walau suara jantungnya tetap terdengar tak terkendali. Dia malu dan gugup. Namun saat dia mencuri pandang ke arah Matthias, pria itu terlihat sangat tenang seperti tidak terjadi apa-apa. "Tidak masalah. Nikmatilah." Luciana hanya mengangguk tanpa bicara dan kali ini dia benar-benar makan. Menyantap serta mencoba setiap makanan yang ada di atas meja tanpa terkecuali. Dia mencoba melawan kegugupan dan rasa malunya. Suasana di ruangan itu pun menjadi sedikit canggung. Tidak ada lagi yang bersuara. Hanya suara garpu dan pisau yang berdenting. Setidaknya itu yang terjadi sampai dering ponsel Luciana memecah keheningan. Dia yang sedang makan pun, sontak berhenti dan meraih tas miliknya yang kini telah dikembalikan oleh Matthias. Luciana ingin melihat siapa yang menghubunginya, tapi seketika, dia terdiam melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Suamiku. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Wajahnya memucat. Konfrontasi mereka semalam masih membekas dengan jelas dalam benaknya. Hingga dia tidak berani langsung mengangkat panggilan. Luciana takut. Dia takut akan menangis lagi seperti sebelumnya, tapi dia tahu, dia pasti harus menghadapi Felix lagi setelah kejadian semalam. "Siapa?" Luciana menoleh. Dia melihat Matthias menatap ponsel di tangannya yang kini masih terus berdering nyaring. Tangannya bahkan terlihat gemetar. Namun dia tidak bisa menjawab keingintahuan Matthias. "Suamimu?" tebak Matthias saat melihat Luciana hanya diam. Tanpa disangka, ponsel yang kini ada di tangan Luciana pun, diambil oleh pria itu. Luciana kaget, tapi dia sempat mengatakan apa pun ketika akhirnya iparnya mengangkat panggilan suaminya. "Jangan mengganggu Luci. Tinggalkan dia sendiri. Ya, aku bersamanya sekarang." Luciana menatap cemas Matthias yang bicara dengan suaminya. Dia melihat kerutan di dahi iparnya dan sesekali desisan seperti seseorang menahan kesal. Dia jelas penasaran, tapi dia membiarkan Matthias yang bicara dengan suaminya, karena dia takut menangis lagi. Hingga beberapa saat kemudian, iparnya itu mematikan panggilan dan menyerahkan ponselnya. "Apa Felix katakan?" tanyanya penasaran sambil mencengkeram kuat ponsel miliknya. "Suamimu di rumah. Dia menunggumu pulang." Tubuh Luciana menegang seketika. Felix pulang dan menunggunya. Sudah jelas, suaminya pasti ingin membahas apa yang terjadi kemarin. Dia tidak menyangka Felix akan kembali secepat ini. Luciana sebelumnya mengira, Felix baru akan kembali setelah beberapa hari atau beberapa minggu. Bukan sekarang, saat dia sendiri masih berusaha menerima semuanya. "Aku punya apartemen yang bisa kau tinggali jika kau mau. Pergilah ke sana. Masalah barang-barangmu, aku bisa menyuruh orang untuk mengambilnya." "Tidak." Luciana menatap Matthias sambil menelan ludah dengan susah payah. Dia mengepalkan tangannya. Mencoba untuk tidak gemetar atau lemah. Dia jelas mengerti maksud Matthias. Pria ini ingin memberinya perlindungan. Tempat yang aman untuk dia tinggali, tapi jelas itu tidak mungkin. "Terima kasih atas tawarannya, tapi aku akan menemuinya. Aku perlu bicara dengan Felix." "Baiklah, kalau begitu, aku akan menemanimu." "Tidak," tolak Luciana cepat. Dia menggelengkan kepalanya. Tidak ingin Matthias ikut serta. Dia khawatir keributan seperti kemarin terjadi lagi. Apalagi ini masih siang. Dia tidak mau menarik perhatian warga sekitar. "Aku bisa sendiri. Ini juga masalah suami istri. Aku harus menyelesaikannya dan bicara berdua." Ada ketidaksenangan yang tertangkap olehnya di mata Matthias saat dia mengatakan itu, tapi hanya sekilas. Sayangnya, Luciana tidak mengerti kenapa. Dia tidak bisa menebak jalan pikiran iparnya yang misterius itu."Tapi kenapa kamu berdiri di sana? Kamu harusnya istirahat."Luciana tersenyum kaku saat Genevieve mendekat dan memeriksanya. Dia menjadi tidak enak sekaligus takut memikirkan apa yang akan terjadi jika Genevieve tahu dia hamil. "Aku tidak apa-apa, Tante. Aku ingin melihat Matthias. Boleh aku bertemu dengannya?""Matthias? Tapi kamu butuh istirahat."Luciana menggeleng. "Aku mohon, Tante. Matthias tadi menyelamatkanku. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.""Baiklah, ikut, Tante! Tapi Matthias sebenarnya sedang istirahat.""Aku janji tidak akan mengganggu. Terima kasih, Tante."Luciana semringah. Dia senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Matthias. Dia perlu memastikan keadaan pria itu baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri. "Sayang, Luciana perlu istirahat. Nanti saja bertemunya.""Biarkan saja, Sayang. Kalau dia ingin, kita tidak bisa menghalanginya," jawab Genevieve sambil merangkul lengan Luciana. "Ayo! Kamu bisa jalan kan?""Iya, Tante. Aku bisa. Terima kasih sekal
"H-hamil?"Luciana tergagap. Menatap Alexander dengan mata terbelalak. Dia berkedip dan terdiam sesaat. Apa telinganya tidak salah dengar? "Maksud Anda, apa? Anda bercanda, ya?""Apa saya terlihat bercanda?"Tidak. Luciana tidak menemukan ekspresi humor di wajah Alexander. Pria itu selalu dan tak pernah menunjukkan ekspresi selain datar serta serius. Jika Alexander berbohong, memang apa tujuannya? Tentu saja itu aneh. Namun, apa itu artinya dia benar-benar hamil? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Luciana menunduk dan spontan mengelus perut ratanya. Ada rasa tak percaya yang hinggap dalam dadanya. Ini jelas seperti sebuah mimpi yang mustahil terjadi. Dia tidak pernah berharap lagi dirinya akan mengandung ketika tahu Felix itu mandul. Dia juga lupa untuk memikirkan dampak hubungannya dengan Matthias, karena mengira dia tidak akan hamil. Namun, di saat dia sudah menyerah untuk memiliki anak, dia tiba-tiba mendapat kabar dia hamil. Apa ini kabar baik? Kebingungan jelas dirasaka
"MATTHIAS! TIDAK!"Luciana tiba-tiba membuka mata dan terduduk dengan tangan terulur ke depan. Matanya terbelalak diiringi jerit ketakutan yang berhasil mengagetkan dua perawat di kamar itu. "Nyonya, Anda baik-baik saja?" Luciana yang baru terbangun, hanya bisa menatap linglung pada dua perawat wanita yang mendekat dengan khawatir. Dia refleks melirik sekitar. Melihat ada banyak perlatan medis, yang tidak dia tahu apa namanya. Namun yang jelas, pemandangan itu membuatnya menyadari kalau tempat di mana dia berada sekarang, adalah salah satu kamar di rumah sakit. Tempat di mana dia tidak ingat kapan datang ke sana. "A-apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?"Pertanyaan itu terdengar penuh kebingungan, yang seolah keluar untuk mempertanyakan pada dirinya sendiri. "Anda mengalami kecelakaan, Nyonya, tapi syukurlah Anda tidak mengalami luka serius.""Ah, kecelakaan?" Luciana tersentak dan melihat dua perawat itu menganggukkan kepala. Hingga dia kemudian teringat dengan kejadian sebelum
Luciana dan Matthias menaiki mobilnya. Mereka dalam perjalanan pulang setelah makan siang yang berantakan. "Kenapa rasanya masalah tidak pernah benar-benar berakhir? Aku sangat lelah, Matthias," keluh Luciana. Dia melirik pria itu sekilas. Wajah tenang Matthias cukup meredam rasa gelisahnya. Meski tidak benar-benar hilang. Energinya terasa terkuras habis tanpa sisa. Kematian ibu mertuanya dan tadi Victoria nyaris membuat masalah. Padahal dia ingin mencoba mengubah suasana hati, tapi malah gagal. "Aku minta maaf. Sepertinya tadi Arabella yang memanggil Victoria.""Arabella?"Luciana langsung diam. Dia tertunduk. Dia juga melihatnya. Adik Matthias sempat masuk bersama dengan Victoria. "Dia sepertinya dekat dengan Victoria. Kenapa aku merasa, adikmu tahu sesuatu? Sikapnya sedikit berbeda dari kemarin.""Beda bagaimana?""Kamu tidak menyadarinya?" tanya Luciana dengan nada heran bercampur bingung. "Arabella bersikap ramah kemarin, tapi tadi dia seperti menyimpan kecurigaan pada kita,
"Kau benar-benar tidak tahu diri, ya! Matthias itu suamiku.""Tahu diri? Kenapa harus kalau kau juga merebut suamiku?"Luciana tersenyum. Dia lalu bersandar dan menatap remeh Victoria. Sama sekali tidak peduli dengan kemarahan wanita itu. "Dan kalian juga akan segera bercerai. Matthias akan menjadi duda. Lalu segera setelah itu, kami akan menikah.""Kau! Berani sekali—""Cukup, Victoria! Kalau kau datang hanya untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi. Jangan ganggu aku dan Luciana." Matthias menyela segera karena kesal melihat Victoria. Dia menatap tajam istrinya. "Kau lebih membelanya, Matthias? Kau membela wanita lain dari pada istrimu sendiri?"Suara Victoria melengking. Tampak seolah berusaha menarik atensi pengunjung lain agar menatap mereka dan sialnya itu berhasil. Matthias mengetatkan rahangnya ketika beberapa orang menatap penasaran ke arah meja mereka. Mencari tahu apa yang terjadi dan beberapa lainnya menatap seperti dia adalah pria kejam. "Apa yang kalian lihat?"
"Bagaimana makanannya? Bukankah enak?"Luciana melirik Matthias. Ingin tahu bagaimana responsnya. Meski beberapa menit sebelumnya, mereka sedikit terganggu, tapi dia mencoba untuk tetap santai. Melupakan semua kecurigaan Arabella dan sikap anehnya. "Iya, enak. Kau tahu dengan baik tempat yang bagus untuk makan."Luciana tersenyum melihat Matthias makan dengan lahap. Perasaannya membaik. Dia bisa sedikit bernapas lega karena Matthias yang juga terlihat menikmati waktu makan mereka. "Matthias, aku ingin bicara sesuatu.""Apa?"Pria itu meliriknya. Luciana tidak langsung bicara. Dia menggigit bibirnya gelisah. Bingung bagaimana harus mengatakannya. "Janji jangan marah, oke?"Matthias tidak langsung menjawab. Pria itu menatapnya sambil berhenti makan. "Ya, aku akan mencobanya. Katakan saja.""Aku sebenarnya memikirkan soal apa yang dilakukan Ayah pada Felix," ucapnya. Luciana menatap lurus meja di depannya. Lalu menoleh ke arah Matthias untuk melihat reaksinya dan pria itu diam. Tidak