“Keluar dari kamar ini. Kau sudah menikah dengan Tuan Muda Lucas, jadi tidurlah bersamanya. Kamarmu akan dipakai oleh Pelayan lain!” dengus Pelayan berambut pendek menatap berang.
Ariella menelan saliva dengan berat seraya membalas, “i-itu tidak mungkin. Tuan Muda tidak akan mengijinkanku masuk kamarnya.”
“Itu bukan urusanku. Mau kau tidur di dapur atau gudang sekalipun terserah kau, dasar pelacur!” sambar Pelayan rambut pendek tadi yang langsung menutup pintu.
“Tidak! Tolong biarkan aku tinggal di kamar ini. Aku akan tetap membantu bersih-bersih, jadi biarkan aku masuk. To-tolong, buka pintunya!” Ariella terus menggedor ambang itu, tapi tidak ada respon dari dalam.
“Ariella!”
Sang pemilik nama sontak terkejut saat seseorang memanggilnya. Itu kepala pelayan.
“Hah … kenapa kau membuat keributan di jam semalam ini?!” Kepala Pelayan tadi mendengus tajam.
Ariella menyugar belahan rambutnya frustasi, lalu membalas, “maaf, tapi teman sekamar saya tidak mau membuka pintu. Dia membuang barang-barang dan mengusir saya.”
Mendengar itu, kerutan kesal langsung mengebaki dahi kepala pelayan.
“Kau bercanda? Tentu saja dia mengusirmu. Kau sudah menikah dengan Tuan Muda Lucas, jadi pergilah ke kamarnya untuk malam pertama!” sambar Kepala Pelayan melotot tajam. “Ah … aku lupa. Kau sudah melakukannya sebelum menikah. Seorang pelacur memang berbeda.”
Sial, dada Ariella selalu berdenyut nyeri setiap kali orang lain memanggilnya seperti itu. Entah dosa apa yang sudah dia perbuat, sampai harus menerima penghinaan yang tak sepantasnya dia dapatkan.
“Tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!” sentak Kepala Pelayan meninggikan nadanya.
Ariella pun memungut tasnya. Dia menggenggamnya erat seiring langkah kakinya yang terasa berat meninggalkan kamar pelayan. Pikirannya yang kacau, membuatnya tak sadar berjalan ke kamar Lucas. Namun, saat sampai di depan kamar itu, Ariella tiba-tiba ragu.
‘Hah … kenapa aku malah datang ke sini?’ batinnya merasa bodoh.
Namun, jika tidak ke kamar Lucas, mau ke mana lagi? Ariella sudah diusir dari kamarnya sendiri.
Tangannya perlahan mengetuk pintu, sambil memanggil suaminya. “Tu-tuan Muda? Maaf, apa Anda sudah tidur?”
Ariella diam sejenak, menunggu jawaban. Akan tetapi tidak ada sahutan dari dalam, hingga Ariella tak sengaja mendorong pintu itu lebih kuat. Begitu terbuka, manik wanita itu sontak melebar melihat Lucas tengah berganti pakaian. Agaknya pria itu hendak mandi.
Tatapan Ariella tak sengaja jatuh pada bidang dada Lucas. Bahkan otot perutnya yang atletis juga terlihat dari balik kemeja putih yang kancing atasnya terbuka.
“Siapa yang mengijinkanmu masuk?!” Lucas mendecak disertai tatapan tajam.
Ariella buru-buru membuang pandangan seraya bergumam, “ma-maafkan saya, Tuan Muda. Sebenarnya saya—"
“Enyahlah!” decak Lucas terdengar sengit.
Wajahnya yang terpampang berang menunjukkan jelas, bahwa dia tidak menginginkan Ariella ada di sini. Tanpa peduli, Lucas pun beranjak menuju kamar mandi.
Namun, mendadak Ariella malah merengkuh lengan Lucas untuk menghentikannya.
Dengan nada gemetar, Ariella pun berkata, “Tu-tuan Muda, saya telah diusir dari kamar pelayan. Saya tidak tahu harus tidur di mana jika Anda—”
“Sekali lagi kau menyentuhku, aku akan mematahkan tanganmu!” dengus Lucas amat sengit.
Tanpa segan, Lucas menghempas cekalan istrinya. Ariella yang semula tertegun, seketika terhuyung karena gerakan yang kasar.
“Ahh!” Wanita itu mengernyit saat sikunya menghantam sudut nakas di belakang.
Bukannya peduli, Lucas malah beranjak ke kamar mandi. Dia membanting pintu dengan keras sampai-sampai membuat Ariella tersentak kaget.
Sambil memegangi tubuh yang memar, Ariella pun bergeming, ‘apa aku sehina itu hingga semua orang membenciku?’
Cukup lama Lucas di kamar mandi. Begitu keluar, sorot dingin Lucas jatuh pada Ariella yang meringkuk di lantai.
‘Kenapa dia masih di sini?!’ batin Lucas mengedutkan alis.
Ya, sepertinya Ariella kelelahan sampai tertidur tanpa alas apapun. Tubuh kurusnya pasti kedinginan, apalagi dia tak memakai selimut.
Alih-alih iba, Lucas yang tak menyukai sang istri malah mangkir dari kamarnya. Dia sangat enggan satu ruangan dengan wanita itu.
Lucas pun menuju ruang kerja, pikirannya bisa kacau jika tidak menyibukkan diri. Ketika menyusuri koridor, seseorang malah menghadang.
“Apa ini? Kenapa pengantin baru keluar kamar di malam pertama?”
*** “Hasil pemeriksaan Ava sangat bagus, tapi Nyonya tetap harus memperhatikan kesehatan dan pola makan Nona Ava,” tutur Dokter usai menyerahkan hasil tes. “Saya mengerti. Terima kasih, Dokter,” balas Ariella sopan. Meski Ava hampir lulus dari sekolah menengah, Ariella tetap menganggap dia putri kecilnya. Setiap hari Ariella selalu memantau menu diet Ava. Dirinya takut hal buruk sekecil apapun menimpanya, bagaimana mungkin dia membiarkan Ava kuliah di luar negeri? Begitu keluar ruang dokter, perhatian Ariella tersita pada sejumlah suster yang mendorong brankar dengan cepat. Agaknya ada wanita yang hendak melahirkan. Tapi tatapan Ariella lebih fokus pada pria rambut pirang yang mengikuti dari belakang. Rupanya sangat familiar, Ariella sangat mengenalnya! ‘Damien?!’ batin Ariella tertegun. Sorot matanya mengikuti Damien sampai berbelok ke koridor. Tanpa sadar Ariella melangkah, hendak menyusul. Tapi dari belakang, Ava tiba-tiba memanggilnya. “Mommy!” Kaki Ariella sontak berhent
***“Kakak, Leah masuk, ya!” tukas bocah kecil berpakaian balet itu.Dia sedari tadi mengetuk kamar Ava, tapi tidak ada jawaban. Bahkan saat diam-diam membuka pintu, Leah juga tak menemukan sang kakak di sana.“Huh? Di mana Kak Ava?” gumamnya memindai sekitar. “Apa sedang mandi?”Senyum nakalnya langsung terkuar. Leah yang sejak kecil tampak riang, semakin berbinar saat melirik meja rias Ava.“Itu dia!” katanya antusias.Dia bergegas duduk di depan meja rias, maniknya membola mengamati koleksi alat rias Ava.“Hebat! Kak Ava punya semuanya!” Leah tersenyum puas. “Yang mana, ya? Aku harus cepat sebelum Kak Ava datang.”Tanpa ragu, dia menyabit salah satu lipstick. Sambil menatap cermin, Leah segera mengoles lipstick semerah cerry itu di bibirnya.Di tengah fokus Leah, tiba-tiba Ava keluar dari kamar mandi.“Adik kecil! Apa yang kau lakukan, hem?” tukas Ava melipat kedua tangan.“Aduh!” Leah yang terkejut, refleks melewatkan lipstick dari garis bibirnya.Ava yang melihatnya dari cermin se
‘Kondisi istri Anda cukup kritis. Kami akan terus memantaunya.’Ucapan Dokter setelah keluar ruang bersalin, masih terngiang di telinga Lucas.Semalaman pria tersebut menjaga Ariella yang tak kunjung sadarkan diri. Hingga pagi ini jari Ariella mulai bergerak. Tatapan Lucas seketika melebar, memeriksa istrinya.“Ariella?” Dia memanggil lembut.Sampai detik berikutnya sang istri mulai membuka mata. Sungguh, beton yang menghimpit dada Lucas seolah sirna.Dia bergegas bangkit dari kursinya sembari berkata, “istriku, kau bangun?”“Lucas ….”“Ya, apa kau merasa sakit?” sahut Lucas memeriksa. “Katakan padaku. Aku akan memanggil Dokter. ““Ba-bayi, bayi kita ….”Pria itu menggenggam tangan Ariella sambil menjawab, “tenang saja, Leah kita sangat sehat. Dia cantik sepertimu, istriku.”“Kau tahu? Ava sangat senang mendengar adiknya lahir,” tambahnya.“Lucas, aku mau melihat putri kita,” tutur Ariella.Ya, usai diperiksa oleh dokter, Lucas pun membawa Ariella ke kamar bayi. Pria itu menghentikan k
“Nick, kau datang?” tukas Ava tersenyum. Bocah lelaki itu berhenti tepat di hadapannya. Sambil mengatur napas yang terengah-engah, dia menyodorkan kotak kaca pada Ava. Ava menilik hewan kecil di dalamnya seraya berujar antuasias. “Wah … imutnya!” Tatapannya terpaku pada kura-kura kecil yang sudah lama ditunggunya. “Namanya Lily. Lihat, dia sangat menggemaskan. Sama sepertimu,” ujar Nicholas membuka tutupnya. Lucas yang mendengarnya seketika mengernyitkan kening. Dia tahu putrinya sangat cantik dan manis, tapi melihat anak laki-laki menggodanya terang-terangan, ini sungguh di luar dugaan. Begitu Ava fokus pada kura-kuranya, Lucas langsung memberi isyarat pada Nicholas agar mendekatinya.“Kenapa, Paman?” tanya bocah itu polos. Lucas melipat kedua tangan sembari bertanya tegas, “bocah kecil, dari mana kau belajar ucapan tadi?”“U-ucapan apa maksud Paman?” Nicholas tak paham.Sampai Lucas menaikkan sebelah alis, Nicholas baru menyadarinya. “Ah … soal Ava menggemaskan, ya?” Dia men
***“Bagaimana kondisi istri saya, Dokter?” Richard bertanya datar.Ya, tadi malam Beatrice dilarikan ke rumah sakit. Tubuhnya yang ambruk dari tangga, berguling hingga kepalanya membentur lantai dasar. Begitu ditilik ke bawah, dia sudah tak sadarkan diri. Gelenyar merah mengalir dari tengkuk dan sekitar keningnya.“Pasien mengalami cedera cukup fatal. Benturan yang keras memicu pendarahan di otak, Tuan,” tukas Dokter menjelaskan. “Kemungkinan pasien akan mengamali stroke, bahkan kesulitan bicara.”Richard mengembuskan napas panjang. Ekspresinya memendam kecewa.“Apa pasien bisa sembuh, Dokter? Bagaimana dengan terapi?”“Mungkin bisa dicoba, tapi mengingat kondisi pasien, pasti membutuhkan waktu lama,” sahut Dokter tadi.Begitu keluar dari ruang dokter, Richard sudah disambut sang putra. Lucas sengaja menunggu di luar, sebab dirinya tak mau berurusan dengan Beatrice.“Biarkan ayah melihatnya sebentar,” tutur Richard.Lucas hanya mengangguk. Dia paham, bagaimana pun juga ayahnya pernah
“Kau mencurigaiku?!” decak Beatrice mengerutkan kening. Dia berpaling pada Richard dan lantas melanjutkan, “Sayang, kau tahu sendiri, aku tidak pernah mencelakaimu. Bagaimana bisa Luke meragukanku?”Richard hanya mengangguk, sebab dia memang memercayai istrinya. “Ibumu benar, Lucas!” tukas Richard beralih menatap putranya. “Ayah sudah lama menunggumu. Sekarang keluarga kita sudah berkumpul, jadi jangan membuat masalah. Apalagi di depan putrimu!”“Jika benar itu obat, harusnya dia tidak cemas. Minum saja agar aku percaya!” sahut Lucas bersikeras. Beatrice diam-diam mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka malam ini Lucas datang dan mengacaukan rencananya. ‘Brengsek! Dia sengaja menantangku!’ batin Beatrice penuh geram. ‘Jika aku terus menolak, Richard pasti curiga padaku!’Irisnya melirik ramuan obat tadi. Sungguh konyol karena racun itu jadi boomerang untuknya. ‘Aish, sial! Tidak ada cara lain. Jika harus mati, aku juga akan menyeretmu bocah bajingan!’ sambung Beatrice dalam hatin