LOGIN“Minggir!” titah Lucas dingin.
Sang lawan bincang menyeringai, lalu melipat kedua tangan ke depan dada.
“Aku dengar mempelai wanita berubah sebelum upacara pernikahan. Harusnya aku melihatmu menikah di altar, tapi sayangnya penerbanganku terlambat. Maafkan aku, Kakak,” sahut Felix terdengar mengejek.
Ya, Felix Baratheon-adik tiri Lucas itu baru kembali dari urusan bisnisnya di luar San Carlo.
Lucas yang malas menanggapi, berniat mangkir.
Sialnya sang adik malah menahan dadanya sembari mendecak, “mau ke mana? Aku belum selesai bicara, Kak!”
Dia bahkan mendorongnya kasar. Tapi Lucas dengan sigap menampik tangan Felix dan langsung mencengkeram kerahnya.
Belum sampai Lucas berujar, Felix lebih dulu mencaci, “apa kau begitu putus asa saat Giselle hilang sampai harus menikahi Pelayan? Seleramu memang rendah!”
“Uruslah dirimu sendiri, sialan!” sambar Lucas mengandung ancaman.
Dia tahu sang adik hanya memprovokasi. Dirinya pun melepas cekalan, lantas berlalu tanpa menunggu sahutan.
Felix yang menatap dari belakang, kini memancarkan sorot tajam, seolah ingin menebas punggung Lucas yang selalu menghalangi jalannya.
‘Aish, brengsek! Dia masih saja angkuh. Tunggu saja, aku akan membuatmu kehilangan segalanya!’ geming Felix menggertakkan gigi.
Sementara di ruang kerja, Lucas meminta Peter menemuinya. Tak butuh waktu lama, asisten tersebut datang dan mengetuk pintu.
“Anda memanggil saya, Tuan Muda?” tutur Peter setelah masuk ke dalam.
Lucas yang semula memunggungi Peter, kini berbalik dengan tatapan serius. Peter bisa menebak pasti ada yang mengusik pikirannya.
“Cari tahu kegiatan Felix selama di San Pedro. Aku curiga, dia ada hubungannya dengan menghilangnya Giselle!” ujar Lucas melayangkan titah.
“Baik, Tuan Muda!” sahut Peter sigap.
Esok harinya, Felix yang tengah diselidiki Lucas pun mendatangi Beatrice di kamarnya.
“Ibu, aku datang,” tutur Felix menarik sudut-sudut bibirnya.
Melihat sang putra, seketika membuat wajah Beatrice berbinar cerah. Dirinya bangkit sambil merentangkan kedua tangan, menyambut Felix dengan hangat ke pelukan.
“Hah … putraku. Kau kembali tepat waktu,” bisik Beatrice.
“Tidak, aku terlambat. Harusnya aku melihat wajah kesal Lucas saat pernikahannya dengan putri keluarga Diorson gagal,” sahut Felix saat menarik diri. “Sayang sekali ‘kan, Ibu?”
“Cih! Apa itu hal yang pantas disesali?” balas Beatrice menaikkan kedua alis.
Dia memandu putra kesayangannya duduk di sofa.
“Sebentar lagi Pelayan akan membawakan earl grey tea. Ayo minum bersama Ibu.”
“Aih, Ibu tahu aku tidak suka teh itu,” sahut Felix dengan wajah berangsur muram.
Beatrice mendengus kesal. Terkadang putranya memang kekanakan dan sulit diatur. Padahal itu semua demi kebaikannya.
“Ini bagus untuk kesehatan. Kau juga tahu Ibu selalu melakukan apapun untukmu, termasuk menyabotase pernikahan Lucas!” tukas Beatrice yang sekejap memicu manik putranya melebar.
Kini Felix jadi tertarik dengan obrolan yang akan dibahas, sebab inilah tujuannya menemui Beatrice.
“Jadi benar itu perbuatan Ibu? Yah … aku sudah menduganya, Ibu memang yang terbaik!” katanya disertai seringai sinis. “Tapi aku sangat penasaran, bagaimana bisa Lucas mau menikahi seorang Pelayan? Apa Pelayan itu sangat cantik?”
“Aish! Apa yang kau katakan?!” Beatrice menyambar dengan kening mengerut.
Dia tahu betul bahwa Felix punya ambisi aneh. Putranya itu selalu ingin merebut semua yang dimiliki Lucas. Sifat inilah yang kadang membuatnya cemas.
“Ibu sengaja menjebak Pelayan itu agar tidur dengan Lucas. Ibu meminta seseorang meletakkan obat perangsang di minuman Lucas. Dan kau tahu, saat mangsa disodorkan pada pria yang sedang birahi, tentu saja kecelakaan besar akan terjadi. Mudah ‘kan?” Beatrice berkata seiring senyum tipisnya yang terkuar.
Dia membuka kipas tangannya, lalu melanjutkan. “Lucas telah menikahi pelacur rendahan, jadi dia tidak punya kekuatan pendukung untuk maju sebagai pewaris. Sekarang saatnya kau menunjukan kekuatan, Felix. Ibu akan menjodohkanmu dengan putri pemilik Pasar Raya Prince!”
Namun, belum sampai Felix menimpali, tiba-tiba terdengar bunyi gelas yang pecah dari luar. Rupanya di balik pintu kamar itu ada Ariella yang hendak mengantarkan teh untuk Beatrice.
‘Ti-tidak mungkin. Jadi semua ini rencana Nyonya Beatrice?!’ batin Ariella tertegun.
*** “Hasil pemeriksaan Ava sangat bagus, tapi Nyonya tetap harus memperhatikan kesehatan dan pola makan Nona Ava,” tutur Dokter usai menyerahkan hasil tes. “Saya mengerti. Terima kasih, Dokter,” balas Ariella sopan. Meski Ava hampir lulus dari sekolah menengah, Ariella tetap menganggap dia putri kecilnya. Setiap hari Ariella selalu memantau menu diet Ava. Dirinya takut hal buruk sekecil apapun menimpanya, bagaimana mungkin dia membiarkan Ava kuliah di luar negeri? Begitu keluar ruang dokter, perhatian Ariella tersita pada sejumlah suster yang mendorong brankar dengan cepat. Agaknya ada wanita yang hendak melahirkan. Tapi tatapan Ariella lebih fokus pada pria rambut pirang yang mengikuti dari belakang. Rupanya sangat familiar, Ariella sangat mengenalnya! ‘Damien?!’ batin Ariella tertegun. Sorot matanya mengikuti Damien sampai berbelok ke koridor. Tanpa sadar Ariella melangkah, hendak menyusul. Tapi dari belakang, Ava tiba-tiba memanggilnya. “Mommy!” Kaki Ariella sontak berhent
***“Kakak, Leah masuk, ya!” tukas bocah kecil berpakaian balet itu.Dia sedari tadi mengetuk kamar Ava, tapi tidak ada jawaban. Bahkan saat diam-diam membuka pintu, Leah juga tak menemukan sang kakak di sana.“Huh? Di mana Kak Ava?” gumamnya memindai sekitar. “Apa sedang mandi?”Senyum nakalnya langsung terkuar. Leah yang sejak kecil tampak riang, semakin berbinar saat melirik meja rias Ava.“Itu dia!” katanya antusias.Dia bergegas duduk di depan meja rias, maniknya membola mengamati koleksi alat rias Ava.“Hebat! Kak Ava punya semuanya!” Leah tersenyum puas. “Yang mana, ya? Aku harus cepat sebelum Kak Ava datang.”Tanpa ragu, dia menyabit salah satu lipstick. Sambil menatap cermin, Leah segera mengoles lipstick semerah cerry itu di bibirnya.Di tengah fokus Leah, tiba-tiba Ava keluar dari kamar mandi.“Adik kecil! Apa yang kau lakukan, hem?” tukas Ava melipat kedua tangan.“Aduh!” Leah yang terkejut, refleks melewatkan lipstick dari garis bibirnya.Ava yang melihatnya dari cermin se
‘Kondisi istri Anda cukup kritis. Kami akan terus memantaunya.’Ucapan Dokter setelah keluar ruang bersalin, masih terngiang di telinga Lucas.Semalaman pria tersebut menjaga Ariella yang tak kunjung sadarkan diri. Hingga pagi ini jari Ariella mulai bergerak. Tatapan Lucas seketika melebar, memeriksa istrinya.“Ariella?” Dia memanggil lembut.Sampai detik berikutnya sang istri mulai membuka mata. Sungguh, beton yang menghimpit dada Lucas seolah sirna.Dia bergegas bangkit dari kursinya sembari berkata, “istriku, kau bangun?”“Lucas ….”“Ya, apa kau merasa sakit?” sahut Lucas memeriksa. “Katakan padaku. Aku akan memanggil Dokter. ““Ba-bayi, bayi kita ….”Pria itu menggenggam tangan Ariella sambil menjawab, “tenang saja, Leah kita sangat sehat. Dia cantik sepertimu, istriku.”“Kau tahu? Ava sangat senang mendengar adiknya lahir,” tambahnya.“Lucas, aku mau melihat putri kita,” tutur Ariella.Ya, usai diperiksa oleh dokter, Lucas pun membawa Ariella ke kamar bayi. Pria itu menghentikan k
“Nick, kau datang?” tukas Ava tersenyum. Bocah lelaki itu berhenti tepat di hadapannya. Sambil mengatur napas yang terengah-engah, dia menyodorkan kotak kaca pada Ava. Ava menilik hewan kecil di dalamnya seraya berujar antuasias. “Wah … imutnya!” Tatapannya terpaku pada kura-kura kecil yang sudah lama ditunggunya. “Namanya Lily. Lihat, dia sangat menggemaskan. Sama sepertimu,” ujar Nicholas membuka tutupnya. Lucas yang mendengarnya seketika mengernyitkan kening. Dia tahu putrinya sangat cantik dan manis, tapi melihat anak laki-laki menggodanya terang-terangan, ini sungguh di luar dugaan. Begitu Ava fokus pada kura-kuranya, Lucas langsung memberi isyarat pada Nicholas agar mendekatinya.“Kenapa, Paman?” tanya bocah itu polos. Lucas melipat kedua tangan sembari bertanya tegas, “bocah kecil, dari mana kau belajar ucapan tadi?”“U-ucapan apa maksud Paman?” Nicholas tak paham.Sampai Lucas menaikkan sebelah alis, Nicholas baru menyadarinya. “Ah … soal Ava menggemaskan, ya?” Dia men
***“Bagaimana kondisi istri saya, Dokter?” Richard bertanya datar.Ya, tadi malam Beatrice dilarikan ke rumah sakit. Tubuhnya yang ambruk dari tangga, berguling hingga kepalanya membentur lantai dasar. Begitu ditilik ke bawah, dia sudah tak sadarkan diri. Gelenyar merah mengalir dari tengkuk dan sekitar keningnya.“Pasien mengalami cedera cukup fatal. Benturan yang keras memicu pendarahan di otak, Tuan,” tukas Dokter menjelaskan. “Kemungkinan pasien akan mengamali stroke, bahkan kesulitan bicara.”Richard mengembuskan napas panjang. Ekspresinya memendam kecewa.“Apa pasien bisa sembuh, Dokter? Bagaimana dengan terapi?”“Mungkin bisa dicoba, tapi mengingat kondisi pasien, pasti membutuhkan waktu lama,” sahut Dokter tadi.Begitu keluar dari ruang dokter, Richard sudah disambut sang putra. Lucas sengaja menunggu di luar, sebab dirinya tak mau berurusan dengan Beatrice.“Biarkan ayah melihatnya sebentar,” tutur Richard.Lucas hanya mengangguk. Dia paham, bagaimana pun juga ayahnya pernah
“Kau mencurigaiku?!” decak Beatrice mengerutkan kening. Dia berpaling pada Richard dan lantas melanjutkan, “Sayang, kau tahu sendiri, aku tidak pernah mencelakaimu. Bagaimana bisa Luke meragukanku?”Richard hanya mengangguk, sebab dia memang memercayai istrinya. “Ibumu benar, Lucas!” tukas Richard beralih menatap putranya. “Ayah sudah lama menunggumu. Sekarang keluarga kita sudah berkumpul, jadi jangan membuat masalah. Apalagi di depan putrimu!”“Jika benar itu obat, harusnya dia tidak cemas. Minum saja agar aku percaya!” sahut Lucas bersikeras. Beatrice diam-diam mengepalkan tangannya. Dia tak menyangka malam ini Lucas datang dan mengacaukan rencananya. ‘Brengsek! Dia sengaja menantangku!’ batin Beatrice penuh geram. ‘Jika aku terus menolak, Richard pasti curiga padaku!’Irisnya melirik ramuan obat tadi. Sungguh konyol karena racun itu jadi boomerang untuknya. ‘Aish, sial! Tidak ada cara lain. Jika harus mati, aku juga akan menyeretmu bocah bajingan!’ sambung Beatrice dalam hatin







