Setelah menutup teleponnya, Damian melempar handphone I phone keluaran terbaru itu dan melemparnya ke atas kasur. Dia sendiri melebarkan tangannya di atas kasur setelah menelentangkan tubuhnya di atas kasur berseprai putih itu.
Wangi Anggela masih tertinggal diatas seprai. Wangi lembut yang seolah keluar dari buluh buluh kulit gadis itu. Damian tahu, itu hanya parfum yang dioleskan di sekujur tubuhnya, namun wangi itu melekat sampai ke dasar Sukma.
Damian merasa dadanya bergemuruh keras, dalam matanya sosok anggela yang duduk di atas sofa, membelakanginya dan memegang bangku sofa dengan kuat ketika damian menghujamnya dari belakang. Pinggulnya putih bersih, dan pinggangnya samping, begitu pas dan enak udah dipegang.
Arrrg! Seumur hidup Damian tidak pernah ditolak perempuan, apalagi perempuan pecun. Damian membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu kemudian berguling ketika mendengar nada pesan berbunyi diponselnya. Steve mengirim sebuah nomor dan sebuah nama, Claudia.
Damian tidak membuang waktu, walau itu masih tengah malam, dia segera menghubungi nomor tersebut. Rasa amarah yang menggerogoti dirinya bercampur dengan rasa belum puas seolah berpilin di dalam benaknya.
Satu kali Damian mencoba menghubungi, tidak ada yang mengangkat, maka Damian mencoba menelepon kedua kali. Tidak juga diangkat. Pemuda itu tidak berhenti mencoba.
Pada telepon yang ketujuh, akhirnya telepon itu diangkat. Terdengar dari seberang sana suara seorang lelaki.
"Halo?' suaranya terdengar malas.
Damian mengerutkan kening, "Halo, Claudia?" Damian bertanya ragu.
Lalu, terdengar hening jawaban dari seberang sana, setelahnya seorang perempuan mengambil alih telepon, karena kini suara di seberang sana sudah berubah menjadi suara perempuan.
"Halo, ya, ini Claudya. Who speaking?"
"Halo Claudia, perkenalkan saya Damian Rajasa. Saya ingin berbicara tentang Anggela, kau tahu? Hari ini jadwal Anggela bersamaku," ucap Damian tanpa basa-basi."Oh, ya. Sebentar, apa ada masalah pak Damian? Apa Anggela tidak datang ke tempat bapak?" Suara Claudia terdengar agak panik dan khawatir.
"Tidak, bukan. Dia datang, saya juga sudah mentransfer uang bayarannya, saya hanya ingin memperpanjang waktu kontrak, jadi bisakah anda memberikan saya nomornya agar bisa memanggilnya kembali?"
"Oh, kalau untuk itu maaf pak Damian, apa sebelumnya Anggela sudah menerangkan pada bapak?"
"Menerangkan? Menerangkan apa?" Damian bertanya pura pura tidak tahu.
"Begini pak Damian, bukan ingin berlaku kurang sopan pada bapak, kami semua memperlakukan pelanggan sama. Anggela merupakan bintang kami, banyak orang antri ingin memakai jasanya, namun aturan kami jelas, Anggela hanya melayani satu kali, bila bapak ingin menggunakan jasanya lagi, bisa mengantri ulang, apa bapak mau saya buatkan jadwal temu," tanya Claudia dari seberang sana.
Damian mendecakkan lidah, tidak yang Anggela, tidak juga penghubung ini, mereka satu komplotan. Namun Damian belum menyerah.
"Begini mba Claudia, bagaimana kalau saya bayar 10rb dolar untuk bisa memanggil Anggela hari ini, malam ini. Uang pembayarannya akan segera saya transfer bila mba bisa memberikan kontak Anggela," Damian tersenyum, siapa sih yang tidak tergoda dengan nilai uang sebanyak itu?
Claudia menelan ludah. 10rb dolar, itu jumlah yang banyak. Kalau dihitung bagiannya, dia akan mendapatkan 15 persen dari uang tersebut, pundi pundinya akan segera bertambah cepat. Anggela memang ladang uang.
Tapi, perempuan itu menghela napas, aturan yang dibuat untuk Anggela tentu ada alasannya, lagi pula percuma, Claudia tidak memiliki nomor kontak Anggela, kalau ada sudah dia kasih pastinya. Semua yang berhubungan dengan Anggela memang penuh selubung misteri.
Kalaupun dia akhirnya berhasil menghubungi Anggela, perempuan itu akan menolak mentah-mentah bila keluar dari aturan itu.
Akhirnya dengan rasa menyesal, Claudia menjawab sedih dan sedikit sungkan, "Wah, maafkan saya pak Damian, aturan adalah aturan. Saya akan memasukkan nama bapak ke dalam antrian? Begitu saja bagaimana?" tawar Claudia dengan sopan.
Damian menekan tinjunya di atas kasur, perempuan ini Alot juga. Mucikari biasanya akan silau dengan duit, tapi sepertinya mereka sangat rapih menutupi indentitas Anggela.
Damian menghembuskan napasnya dengan keras, lalu sejurus kemudian berkata dengan nada datar menjawab pertanyaan Claudia, "terimakasih mba, nanti asisten saya akan menelepon kembali untuk menjadwal ulang." Lalu dengan ujung jari ditekannya tombol end telepon.
Dibantingnya telepon itu di kasur dan Damian merebahkan tubuhnya sambil meletakkan ujung lengan di atas dahi.
Brengsek! Tidak yang ini, tidak yang itu semua sama saja! Damian menekan nekan dahinya yang mulai terasa sakit. Malam yang harusnya berkesan justru malah menyisakan amarah.
Lalu, dengan kesal Damian segera menuju kamar mandi. Mandi dengan air dingin akan menenangkan otaknya yang terasa penuh.
Malam ini pilihannya, dia cari perempuan lain, atau balik ke Jakarta. Tapi hasratnya terlalu memuncak, membuat kepalanya jadi sakit sebelah.
Damian mengambil telepon di atas kasur, dia menghubungi Steve kembali.
"Yo, ma men, ada apa lagi bos?" tanya steve di seberang sana. Suaranya tidak seperti orang yang baru bangun tidur, sepertinya Steve tidak tidur kembali.
"Lo belum tidur?" Damian bertanya basa basi.
"Udah, cuma tadi ada yang ganggu, jadi gue tunggu aja gangguan berikutnya. Tuh, feeling gue benar kan, elu telepon lagi," Sahut Steve kalem.
Damian tertawa, "Lo bisa booking cewek kesini?" Tanya Damian tanpa basa basi.
"Malam-malam gini?" Steve tampak terkejut. Dia langsung memperbaiki duduknya untuk merespon lebih cepat.
"Biasanya kupu-kupu malam keluar midnight gini kan?" Sahut Damian sedikit terkekeh, dan disahuti tawa derai dari Steve di ujung telepon.
"Ya, kalo elo di Jakarta iya mudah, langsung cus gue ajak ke tempat kayak surga, tapi loe itu di dunia antah berantah. Garut, jauh bro! Klo pun gue cariin yang disitu, dapetnya remah rengginang. Klo yang kayak gitu elu mau enggak?"
"Tai lu!" Damian memaki disahuti tawa Steve di ujung telepon.
"Udah deh bro, lu balik aja ke Jakarta, nanti sampai disini gue ajak ketempat dimana elu bisa main berapa ronde pun yang elu pengen!" Hibur Steve, tapi itu tidak menurunkan tensi amarah Damian.
"Ya sudahlah, percuma gue nelepon elu," Damian sedikit kesal.
"Jangan marah bos, udah pulang aja, nanti elu cari cewek yang lebih cantik dari pecun 1000 dolar itu," ucap Steve mencoba menghibur kawan sekaligus bosnya itu.
Ah, membicarakan tentang perempuan itu, membuat amarah Damian tersulut lagi, "ya sudah, nanti gue check out pagi-pagi, dan langsung balik ke Jakarta." Putus pemuda itu kemudian.
Setelah teleponnya ditutup Damian meletakkan handphone di atas nakas, besok dia akan segera berangkat pagi-pagi, pulang ke Jakarta, Damian paling benci kalah, maka itu dia menyusun rencana, rencana untuk melacak keberadaan perempuan itu dan melakukan balas dendam atas penolakannya pada dirinya.
Ketika SMA, Damian dan Rama punya tempat tongkrongan unik disebuah warung kecil untuk makan mie instan dan makan bubur kacang ijo. Tempatnya sedikit mojok, terpencil dan privasi, tapi kalau jam makan pagi sama malam ramainya minta ampun. Tempat tesebut sudah menjadi favorit kedua sahabat tersebut.Rama memilih jam makan siang karena tempat itu kerap sepi di jam tersebut. Jadi ketika dia datang, tidak banyak yang memperhatikan.Damian sendiri memilih bersalin baju untuk bertemu dengan Rama. Tempat pertemuan mereka bukan untuk orang orang yang terbiasa mengenakan jas, jadi pemuda itu menyalin bajunya dengan kaos lengan pendek dan juga mengganti celananya menjadi celana jins biasa.Ketika Damian muncul, ternyata Rama sudah duduk di pojok. Damian kemudian memesan makanan dan duduk dihadapan Rama."Udah pesan?" Tanya Rama."Baru aja gue pesan." Sahut Damian."Sori, ini masih jam kantormu ya?" Rama menatap ke arah Damian."Kalau elu k
Steve langsung mengetuk pintu ruang kerja Damian, ketika mendengar suara Damian mempersilahkannya masuk, Steve segera membuka pintu."Bro, gue denger dari satpam, kemarin keadaan gawat ya?"Damian yang berada di belakang meja kerjanya menaikkan kepalanya melihat Steve berdiri di ujung pintu, tidak masuk tapi juga tidak berada di luar.Damian mendesah, dia sudah menduga bakal heboh kalau ada yang tahu, tampaknya satpam di depan pintu masuk ember juga. Sempat-sempatnya dia menceritakan pada Steve perihal kejadian kemarin. "Masuk Steve," ucap Damian karena dia paling tidak suka bicara sambil teriak begitu."Gue denger terjadi sesuatu kemarin," Steve langsung to the point ketika dia sudah duduk di sofa.Damian tersenyum, "lu dapat infonya dari mana?""Ada lah,"Damian tertawa, "palingan dari satpam.""Betul. Katanya kemarin lu di cegat orang, trus di culik!""Klo gue di culik, enggak akan ada di kantor lagi.""Iya, bener, tapi memang ada yang terjadi kan?"Damian lagi-lagi tersenyum, mem
Rama mengulurkan tangan untuk membantu Laila berdiri. Laila meraih tangan Rama dan kemudian berdiri. Lalu setelahnya Rama berjongkok di sisi kaki Laila untuk membantu gadis itu mengeluarkan hak sepatunya yang masuk ke dalam celah batako jalan."Aku kaget tadi, aku lihat kau lari, makanya aku khawatir," ucap Rama ketika dia sudah berhasil melepaskan hak sepatu Laila dari dalam celah.Laila yang kontan seketika merasa lemas, langsung menjatuhkan diri di dada Rama yang bidang."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Rama ketika mendapati Laila roboh di dadanya."Aku lemas, takut sekali.""Mereka sudah kuhajar, biar aku bekuk mereka," Rama langsung berbalik hendak menyusul di tempat dua lelaki itu roboh, tapi ternyata kedua orang itu sudah raib dari tempat itu."Lho, kemana mereka?"Ketika Rama hendak bergerak, tangan Laila langsung menggenggam lengannya dengan kuat. Rama segera mengalihkan pandangannya ke arah Laila. Dia melihat Laila menggeleng."Enggak usah dikejar...." Desis Laila, "aku takut..."
Ya?" Tanya Surtini."Nyonya, apa anda membenci menantu anda?"Surtini terdiam, hanya beberapa detik, lalu setelahnya berujar dengan nada tegas, "Saya sudah bilang di awal pembicaraan kita, bagi saya yang penting adalah keluarga. Saya harus menjaga nama baik keluarga Bahar."Damian diam, sebenarnya dia masih ingin menanyakan banyak hal, tapi mulutnya menjadi terkunci. Damian memilih menahan diri. Lelaki itu merasa sedikit jeri dengan nyonya Surtini.Surtini segera berdiri lantas berbalik menghadap ke arah ajudannya yang kemudian mengeluarkan tas miliknya dan menyerahkan tas tersebut pada Surtini, lalu perempuan tua itu berbalik kembali ke arah Damian."Tuan pengacara, apa kau memiliki kendaraan untuk pulang?"Damian mengangkat bahu, "saya dibawa kesini dengan paksaan bukan?" Ucap Damian untuk mengingatkan nyonya tua itu bahwa dia dibawa diluar kehendak dirinya."Baiklah, Ryan akan mengantarkan anda kembali ke kantor." Surtini lantas me
"Ah," Damian berdecak, namun menahan informasi yang hampir saja keluar dari mulutnya. Damian masih ingin tahu lebih banyak lagi informasi tentang Aniela. Berita tentang keluarga Bahar tidak terlalu banyak dan sulit untuk diakses. Mereka bukan keluarga yang menyukai ekspos besar di media, walau begitu kekayaannya sangatlah besar dan berpengaruh.Perempuan tua dihadapannya tahu bahwa Damian sudah mulai paham siapa yang dia maksud, lalu kemudian perempuan itu menggerakkan tangannya. Salah satu lelaki kekar disampingnya mendekat."Bawakan tuan pengacara itu kursi," seru Surtini sambil menjentikkan jari. Salah seorang bodyguard Surtini pun pergi ke luar dan tidak beberapa lama kemudian datang kembali sambil membawakan sebuah kursi lipat dan kemudian membuka kursi lipat itu di belakang Damian.Damian, dengan tidak mengurangi sikap tenangnya mengikuti saran perempuan tua dihadapannya. Dia duduk sambil melonggarkan jasnya. Sikapnya tentu saja tetap diperhatikan oleh Sur
Dengan meneguk ludah, pengacara itu menjawab santai dan lugas, "ya. Dia menceritakannya pada saya."Dokter Wiryo mengangguk, lalu kemudian mengecek hape miliknya, setelah menatap dan meneliti jadwal miliknya, dia kemudian mengalihkan kembali tatapannya ke arah Damian."Jadwal saya kosong dua hari lagi. Kalau itu tidak apa-apa?" ucap sang Dokter."Tidak Masalah dok, jam berapa?" tanya Damian lagi."Kita ambil jam 10 pagi. Nanti tolong dikondisikan saja agar saya bisa melakukan wawancara awal." Dokter Wiryo menambahkan.Damian mengangguk, lalu kemudian dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan sang dokter."Baik, dua hari lagi dok, saya akan menghubungi anda."Setelah berhasil mendapatkan keinginannya, Damian lantas meninggalkan rumah sakit dan berjalan menuju mobil miliknya.Dia menyetir mobilnya langsung menuju kantor. Di dalam perjalanan pikirannya tenggelam terhadap banyak hal. Tentang Aniela, tentang Anggela yang tidak juga muncul. Tentang kesepakatannya dengan Rama da